Senin, 26 September 2011

Sekilas tentang Special & Differential Treatment Dalam WTO

S&D sebagai suatu istilah eksplisit merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini baru dikenal secara luas setelah berdirinya WTO pada tahun 1994. Istilah S&D dapat ditemukan di dalam berbagai perjanjian WTO, seperti the Agreement on Agriculture (AA), the Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), dan the Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (SCM).

Di dalam AA, istilah tersebut dapat dilihat dalam Mukadimahnya yang berbunyi:

…having regard to the agreement that special and differential treatment for developing countries is an integral element of the negotiations, and taking into account the possible negative effects of the implementation of the reform programme on least-developed and net food-importing developing countries

Sementara istilah S&D dalam AA, sebagaiman tersebut di atas, digunakan sebagai suatu frase dalam Mukadimah, di dalam SPS dan SCM istilah S&D tercantum dalam judul dari beberapa pasal perjanjiannya itu sendiri. Pasal 10 SPS berjudul Special and Differential Treatment, dan Pasal 27 SCM berjudul Special and Differential Treatment of Developing Country Members.

Sebagai suatu istilah yang implisit, S&D dapat ditemukan baik dalam beberapa ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) maupun WTO. Di dalam GATT, S&D termanifestasi dalam berbagai istilah, baik yang digunakan sebagai judul beberapa pasal tertentu maupun sebagai frase di dalam perjanjiannya itu sendiri.

Pasal XVIII GATT, sebagai contoh, menggunakan istilah Governmental Assistance to Economic Development’ sebagai judul, dan Bagian IV diberi judul Trade and Development. Beberapa istilah, yang secara implicit merujuk kepada S&D digunakan dalam beberapa pasal GATT, seperti istilah special measures dan dan more favourable and acceptable conditions. Dalam ketentuan-ketentuan WTO yang lain, istilah-istilah special treatment , special regard, dan special attention digunakan.

Di dalam ketentuan-ketentuan GATT dan WTO yang lainnya lagi, istilah S&D tidak dapat ditemukan baik sebagai judul maupun frase, tetapi terindikasi dalam makna keseluruhan ketentuan-ketentuan tersebut. Sebagai contoh, Pasal 65.2 Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) memberikan tambahan masa transisi selama 4 tahun bagi Negara Sedang Berkembang (NSB) untuk menerapkan secara penuh perjanjian TRIPs, lebih lama dibandingkan dengan masa transisi yang diberikan secara umum kepada semua negara. Meskipun tidak mempergunakan istilah S&D, tetapi jelas bahwa ketentuan Pasal 65.2 tersebut merupakan S&D.

Saat ini, S&D telah dikenal secara luas, mencakup baik istilah yang eksplisit maupun implisit, baik dalam GATT maupun WTO. Hal ini karena GATT merupakan bagian integral WTO dan, oleh karena itu, ketentuan-ketentuan GATT tidak dapat dipisahkan dari ketentuan-ketentuan WTO. Namun, meskipun ketentuan-ketentuan S&D tersebut besar jumlahnya, tidak satupun definisi yang eksplisit dapat ditemukan baik dalam GATT maupun dalam WTO. Oleh karena itu, para pengamat mendefinisikan S&D menurut perspektif masing-masing. John Whalley, misalnya, secara sederhana mendefinisikan S&D sebagai hak-hak dan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada NSB, tetapi tidak diberikan kepada negara-negara maju.

Sedikit berbeda dengan definisi tersebut, definisi S&D menurut Kiichiro Fukasaku merujuk kepada hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada NSB, yang mempengaruhi cara-cara mereka berpartisipasi di dalam sistem perdagangan internasional. Lebih jauh, Murray Gibbs menyatakan bahwa S&D merupakan produk dari harmonisasi perjuangan politik NSB dalam mengatasi ketimpangan yang nyata dari sistem perdagangan internasional pasca perang, dengan cara membentuk preferensi perdagangan kepada NSB dalam berbagai relasi ekonomi internasional.

Akhirnya, dengan formulasi yang lebih kompleks, Ricardo Melendez-Otiz dan Ali Dehlavi mendefinisikan S&D sebagai berikut:

… the term special and differential treatment (SDT) refers to the set of provisions in trade accords which have bee negotiated to grant developing country exports preferential access to markets of developed countries, and operationalise the notion that developing countries taking part in trade negotiations have no obligation to reciprocate fully the concessions they receive. SDT also implies longer timeframes and lower levels of obligations for developing countries for adherence to the rules. It is a fundamental cross cutting issue for developing countries in the Multilateral Trading System (MTS) and is an integral part of the balance of rights and obligations in the Uruguay Round Agreements (URAs).

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik beberapa komponen pokok dari S&D: hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan; ketentuan-ketentuan (hukum) WTO; NSB; bertujuan memperbaiki ketimpangan; dan menggunakan beberapa cara. S&D merupakan hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan artinya bahwa S&D merupakan klaim-klaim atau hak-hak dan keuntungan-keuntungan, atau perlakuan-perlakuan khusus yang tidak dinikmati oleh pihak lain.

Hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan tersebut diberikan secara hukum oleh WTO, dan oleh karena itu merupakan instrumen hukum. Selanjutnya, S&D hanya diberikan kepada NSB, dan tidak kepada negara-negara maju. Lebih jauh, S&D tersebut dimaksudkan untuk mengatasi ketimpangan, khususnya yang disebabkan oleh perbedaan tingkat pembangunan antara negara-negara maju dan NSB.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, beberapa cara dipergunakan seperti pemberian preferensi perdagangan; diterapkannya prinsip non-resiprositas; pemberian masa transisi yang lebih panjang; dan dikenakannya kewajiban-kewajiban yang lebih longgar. Secara ringkas, S&D dapat didefinisikan sebagai hak-hak khusus dan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada NSB oleh Perjanjian WTO, bertujuan untuk mengatasi ketimpangan pembangunan ekonomi, melalui berbagai cara yang sah.


Sekretariat WTO mengklasifikasikan S&D ke dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah S&D yang ditujukan untuk meningkatkan peluang perdagangan bagi NSB. The Enabling Clause, misalnya, menyatakan bahwa Negara maju dapat memberikan preferensi tariff terhadap produk-produk yang berasal dari NSB, menurut the Generalised System of Preferences (GSP).

Kelompok kedua adalah S&D yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan NSB. Sebagai contoh, perjanjian tentang SPS mewajibkan negara-negara anggota WTO untuk mempertimbangkan kepentingan-kepentingan khusus NSB, terutama dalam mempersiapkan dan menerapkan SPS.

Ketiga, S&D yang memberikan fleksibilitas kepada NSB. Misalnya, Perjanjian Pertanian atau AA memberikan persentase de minimis untuk memperhitungkan jumlah keseluruhan subsidi domestik yang berjalan sebesar 10 persen, lebih tinggi daripada yang diberikan kepada negara-negara maju, yaitu 5 persen.

Keempat, S&D dalam bentuk pemberian masa transisi yang lebih panjang kepada NSB. Perjanjian tentang Trade-Related Investment Measures (TRIMs) memberikan masa transisi kepada NSB pada umumnya selama 5 tahun dan kepada negara-negara terbelakang atau least-developed countries (LDCs), selama 7 tahun.

Kelima, S&D yang berupa bantuan teknis kepada NSB untuk mengatasi kesulitan-kesulitan teknis, financial dan sumber daya dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian WTO. Perjanjian tentang Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), misalnya, mewajibkan negara-negara maju untuk memberikan bantuan teknis dan financial kepada NSB dan negara-negara terbelakang dalam rangka membantu memfasilitasi negara-negara tersebut dalam mengimplementasikan perjanjian TRIPs secara penuh.

Terakhir, S&D yang khusus diperuntukkan bagi negara-negara terbelakang. Salah satu contoh dari S&D kelompok ini adalah yang termuat dalam Perjanjian Prosedur Lisensi Impor atau Import Licensing Procedures (ILP), menyatakan bahwa dalam mengalokasikan lisensi, pertimbangan khusus harus diberikan kepada importir-importir yang mengimpor produk-produk yang berasal dari NSB, khususnya dari negara-negara terbelakang.



Justifikasi Teoretis
Dari definisi S&D dan elaborasinya dalam beberapa klasifikasi di atas, sangat sulit untuk menempatkan S&D ini secara teoretis dalam konteks liberalisasi perdagangan internasional di bawah WTO. Hal ini mengingat karakteristik dari S&D berbenturan dengan karakteristik dari liberalisasi itu sendiri. S&D menghendaki adanya pembedaan perlakuan antara negara-negara maju dengan NSB, mengingat adanya perbedaan yang nyata dalam tingkat pembangunan kedua kelompok negara anggota WTO tersebut. Perbedaan tingkat pembangunan menghendaki adanya seperangkat aturan atau kebijakan, untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, yang berbeda pula. Selain menghendaki adanya pembedaan perlakuan, S&D juga mentolerir intervensi negara yang signifikan dalam pembangunan perekonomian.

Sebaliknya, liberalisasi yang menjadi filosofi dasar WTO sendiri justru menghendaki adanya persamaan perlakuan terhadap semua negara anggotanya. Sebagaimana termanifestasi dalam prinsip MFN dan NT, NSB yang terlibat dalam negosiasi-negosiasi tarif dan dalam aktivitas-aktivitas perdagangan internasional yang lain diposisikan secara sejajar, dan mempunyai hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang sama, dengan negara-negara maju.

Prinsip pertama menyatakan bahwa jika suatu negara anggota WTO memberikan keistimewaan kepada satu negara anggota WTO yang lain, maka keistimewaan yang sama juga harus diberikan kepada seluruh negara nggota WTO. Sedangkan, prinsip yang kedua, NT, menghendaki adanya perlakuan yang sama antara produk-produk asing dengan produk-produk domestik.

Diasumsikan bahwa pembedaan perlakuan bagi anggota-anggota tertentu, misalnya NSB, merupakan hal yang tidak tepat karena akan menimbulkan inefisiensi dan distorsi perdagangan. Oleh karena itu aturan-aturan yang bersifat non-diskriminasi merupakan keharusan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kessie:

Increasing global welfare necessitated a rules-based non-discriminatory system which guaranteed a level-playing field on which international trade could be conducted. It was the assumption of the contracting parties to GATT that they would all maintain outward-oriented trade policies and resort to policies that restricted imports or exports sparingly.

Pandangan-pandangan yang kontradiktif secara diametral tersebut sudah muncul sejak digagasnya untuk memasukkan klausula-klausula S&D pada saat pendirian the International Trade Organisation (ITO). Dalam the United Nations Conference on Trade and Employment (UNCTE) yang bertempat di Havana, Cuba, tanggal 21 Nopember 1947, NSB mengkritik bahwa proposal Amerika Serikat dan Draft ITO Charter hanya mengakomodasi kepentingan-kepentingan negara-negara maju dan mengabaikan kepentingan-kepentingan pembangunan NSB.

Mereka mengkritik paradigma liberalisasi yang mendasari proposal dan Draft tersebut. Kontradiksi seperti ini terus berlangsung walaupun pada akhirnya S&D masuk ke dalam aturan-aturan GATT dan kemudian WTO sampai sekarang. Masuknya S&D ke dalam GATT dan WTO tersebut merupakan kompromi yang dicapai antara negara-negara maju dan NSB. Tercapainya kompromi ini dapat difahami secara teoretis sebagai suatu bentuk saling pengertian antara kedua kelompok dan merupakan bentuk pengakuan atau justifikasi akan pentingnya S&D. Paling tidak, ada dua justifikasi teoretis atas eksistensi S&D dalam GATT dan WTO: S&D sebagai instrumen ‘pembangunan’ dan sebagai instrumen ‘keadilan’.


S&D sebagai Instrumen Pembangunan
Justifikasi pertama terhadap eksistensi S&D adalah ‘pembangunan’, dalam arti bahwa S&D akan dapat menolong NSB dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembangunan ekonominya, dalam konteks perdagangan internasional. Sepintas lalu, justifikasi seperti ini tampak rancu, karena sebagaimana yang tercermin dari liberalisasi perdagangan internasional melalui WTO, liberalisme sendiri mengandung ide-ide pembangunan ekonomi. Tetapi, kenyataannya proses liberalisasi perdagangan tidak selalu menghasilkan pembangunan ekonomi sebagaimana yang diinginkan oleh NSB. Oleh karena itu, S&D masih relevan, sebagaimana yang akan dibahas berikut.

Para pendukung liberalisasi perdagangan kerap menyuarakan:

…“a rising tide lifts all boats” and the economy-wide gains from trade liberalization will make everyone better off. More refined arguments in favour of poverty reduction ensuing from trade liberalization often emphasize the ensuing rise in world prices for agriculture products as industrialized countries eliminate protection for farming in OECD countries. This is expected to boost incomes in the rural economies of the developing world, where the bulk of world poverty resides.

Para diplomat dan eksekutif perusahaan-perusaan Barat terus menerus menyebarkan pesan-pesan provokatif, termasuk di dalam lingkungan WTO sendiri. Mereka mempromosikan,”if you embrace trade liberalisation, you will be better off”. Lebih jauh mereka menyatakan, “trade liberalisation alleviates poverty, promotes development, and increase GNP, personal income, and living standards.” Hal ini semua berarti bahwa liberalisasi perdagangan – juga dikenal sebagai bagian dari ‘globalisasi’ – akan menguntungkan semua pihak yang terlibat, termasuk NSB.

Paradigma liberalisasi WTO didasarkan pada pemikiran bahwa liberalisasi perdagangan akan menghasilkan pertumbuhan perdagangan yang bertumpu pada prinsip keunggulan komparatif (comparative advantage). Menurut prinsip ini, setiap negara akan melakukan spesialisasi perdagangan, dalam arti bahwa setiap negara hanya akan memperdagangkan produk-produknya, baik barang maupun jasa, yang memiliki daya saing di pasar internasional. Dengan cara ini, kemakmuran akan diperoleh sejalan dengan meningkatnya perdagangan barang dan jasa yang terspesialisasi tersebut. Eskalasi perdagangan internasional akan menciptakan pertambahan kemakmuran baru.

Meskipun demikian, hal ini tidak timbul dengan sendirinya, tetapi lebih disebabkan oleh alokasi sumber daya yang lebih efisien, yang banyak dibantu dengan aturan-aturan perdagangan yang lebih liberal. Dengan demikian liberalisasi perdagangan internasional menjadi factor yang sangat esensial bagi pembangunan ekonomi setiap negara, termasuk NSB. Jika suatu negara menghendaki adanya peningkatan pembangunan ekonominya, negara yang bersangkutan harus terlibat dalam proses liberalisasi
perdagangan sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan alokasi sumber daya.

Konsekuensinya, negara yang bersangkutan harus membuka perekonomiannya terhadap perdagangan dan investasi asing, serta menghapuskan semua hambatan perdagangan.
Berangkat dari pemikiran bahwa liberalisasi akan menghasilkan kemakmuran, negara-negara maju dan NSB bergabung dalam GATT, dan kemudian WTO.

Tetapi, meskipun mereka terlibat di dalam GATT dan kemudian di dalam WTO, NSB terus menerus mengkritik skema liberalisasi perdagangan internasional. Sejak sebelum terbentuknya GATT sampai periode GATT, dan kemudian sampai terbentuknya WTO, NSB selalu menunjukkan sikap ketidakpuasan terhadap sistem perdagangan internasional berbasis liberalisasi. Sebelum terbentuknya GATT, NSB menganggap bahwa paradigma perdagangan bebas tidak secara otomatis mengakomodasi kepentingan-kepentingan pembangunan mereka. Sebaliknya, paradigma tersebut hanya melayani kepentingan-kepentingan negara-negara maju.

Dalam dekade pertama kehadiran GATT, NSB mengkritik aturan-aturan GATT yang memperlakukan sama semua pihak sebagai sesuatu yang tidak fair. Hal ini karena aturan-aturan seperti itu dianggap tidak melindungi kepentingan-kepentingan pembangunan NSB, terutama negara-negara yang baru merdeka. Memasuki dekade kedua dan ketiga era GATT, NSB menciptakan apa yang dikenal sebagai Third World Critiques dengan mengemukakan teori bahwa struktur ekonomi internasional yang ada memperburuk ketergantungan NSB terhadap negara-negara maju.

Pada dekade terakhir era GATT, yakni pada periode Putaran Uruguay (Uruguay Round), negosiasi-negosiasi perdagangan menghasilkan fakta bahwa produk-produk NSB yang memiliki daya saing, seperti produk-produk pertanian dan tekstil, justru tidak diliberalisasi. Padahal Deklarasi Putaran Uruguay sendiri menyatakan bahwa negosiasi-negosiasi akan menghasilkan ”further liberalisation and expansion of world trade to the benefit of all countries, especially less-developed contracting parties”. Selain itu Deklarasi tersebut juga memberikan penekanan khusus terhadap pentingnya negosiasi-negosiasi mengenai produk-produk tropis, tekstil dan pertanian – produk-produk yang secara historis merupakan unggulan NSB. Konsekuensinya, NSB senantiasa menghadapi kesulitan untuk mengekspor produk-produk tekstil dan pertanian mereka, dan, oleh karena itu, kepentingan-kepentingan pembangunan mereka terhambat.

Kritik-kritik di atas menjadi bagian dari apa yang saat ini dikenal sebagai Anti Globalisation dan, oleh karena itu juga Anti WTO, meskipun para pendukungnya tidak selalu berasal dari NSB. Paradigma ini berargumen bahwa globalisasi justru meningkatkan kemiskinan, menyebarluaskan pekerjaan-pekerjaan dengan upah rendah, dan menaikkan harga-harga. Menurut paradigma ini, globalisasi juga lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan bisnis di atas kepentingan-kepentingan pembangunan, lingkungan, kesehatan dan keamanan. Dengan kalimat lain, globalisasi, yang terepresentasi melalui WTO, berwatak anti pembangunan. Oleh karena itu, di dalam struktur perekonomian internasional yang liberal, tidak ada tempat bagi NSB untuk meningkatkan taraf pembangunannya.

Berangkat dari paradigma-paradigma yang saling berlawanan sebagaimana yang dipaparkan di atas, suatu pertanyaan dapat diajukan mengenai hubungan antara liberalisasi perdagangan internasional dan pembangunan NSB: sejauh mana liberalisasi perdagangan internasional membantu pembangunan NSB? Jawaban dari pertanyaan ini senantiasa mengundang perdebatan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh seorang pengamat, “researchers are still struggling to reach a consensus on the best approach to analysing the impacts of multilateral trade liberalization on poverty, let alone agreeing on the answer.”

Meskipun demikian, satu hal telah jelas bahwa di satu sisi, NSB telah secara de facto, terlibat di dalam WTO. Hal ini dapat diartikan bahwa NSB telah menerima paradigma liberalisasi. Tetapi, di sisi lain, mereka masih terus menunjukkan keprihatinannya mengenai kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh keterlibatannya di WTO. Fakta-fakta ini hendaknya dibaca sebagai suatu pengakuan bahwa liberalisasi perdagangan internasional melalui WTO telah memberikan keuntungan terhadap pembangunan ekonomi NSB, tetapi keuntungan yang diperoleh tidak sebesar yang diperoleh oleh negara-negara maju. Perwakilan-perwakilan NSB pada Konferensi Tingkat Menteri di Seattle, misalnya, menyatakan bahwa “their concerns and participation were being marginalised, and that those already holding an unequal share of the world’s natural and social resources continue to receive an unequal share of the gains from trade.” Hal ini berarti ada kesenjangan yang lebar dalam hal perolehan negara-negara maju dengan NSB. Dengan kata lain, sementara peningkatan kesejahteraan di NSB terjadi baik secara tetap ataupun mungkin lebih besar, peningkatan kesejahteraan secara absolut terjadi lebih besar di negara-negara maju.

Dari bahasan di atas, dapat dikatakan bahwa penyebab utama ketidakpuasan NSB terhadap sistem WTO adalah ketimpangan (inequality). S&D diyakini merupakan salah satu cara untuk mengatasi masalah ketimpangan ini. Sebagaimana yang tercermin dalam latar belakang terbentuknya S&D, paralel dengan kritik-kritik mereka terhadap liberalisasi perdagangan, NSB juga tetap menyuarakan keinginannya untuk mempertahankan dan meningkatkan eksistensi S&D. S&D diyakini dapat memerankan peranan yang sangat penting dalam setiap tahap pembangunan. Sudah merupakan kelaziman bahwa menyusul kemerdekaan yang mereka peroleh, mayoritas NSB menerapkan strategy pembangunan ekonominya melalui beberapa tahapan berikut: Strategi Substitusi Impor (import substitution strategy); Strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi ekspor (export-led strategy); dan Strategi Liberalisasi (liberalisation strategy).

Tujuan dari Strategi Substitusi Impor adalah memproduksi produk-produk barang yang sebelumnya diimpor ke dalam wilayah NSB sendiri. Strategi ini – juga dikenal sebagai inward-looking strategy – menghendaki adanya proteksi terhadap produk-produk domestic dari membanjirnya impor dari negara-negara lain, terutama dari negara-negara maju. Ketentuan-ketentuan S&D dalam bentuk bantuan pemerintah dan hambatan-hambatan impor, misalnya, diperlukan untuk membantu industri-industri baru (infant industry) NSB agar tumbuh sedemikian rupa sehingga mereka dapat berkompetisi dengan produk-produk dari negara lain. Industri-industri baru seperti ini juga memerlukan proteksi agar produk-produk mereka kompetitif di pasar dalam negeri sendiri.

Tanpa proteksi, industri-industri baru akan tetap kerdil dan bahkan mati. Hampir mustahil bagi negara-negara yang baru merdeka untuk melakukan industrialisasi jika mereka harus tunduk kepada aturan-aturan perdagangan internasional yang sepenuhnya telah diliberalisasi. Hal ini karena aturan-aturan seperti itu melarang adanya intervensi negara dan pembatasan-pembatasan. Oleh karena itu S&D merupakan jalan keluar yang legal.

Strategi yang berorientasi ekspor (export-led strategy), atau dikenal juga sebagai strategi outward-looking, bertujuan untuk mengekspor produk-produk yang dihasilkan oleh NSB ke pasaran asing, termasuk pasar negara-negara maju. Strategi ini memerlukan bukan hanya keterbukaan negara-negara importer, tetapi juga suatu jaminan bahwa produk-produk NSB akan kompetitif di negara-negara importir tersebut.

Dalam konteks ini, ketentuan-ketentuan S&D yang bertujuan untuk memberikan preferensi perdagangan dari negara-negara maju kepada produk-produk NSB, akan memainkan peran yang sangat penting. Selain itu, ketentuan-ketentuan S&D yang bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan NSB juga sangat esensial.

Strategi terakhir, liberalisasi (liberalisation strategy) bertujuan untuk meningkatkan keuntungan dari transaksi-transaksi perdagangan internasional. Hal ini dicapai melalui liberalisasi terbatas sebelum NSB sepenuhnya melakukan liberalisasi perdagangan sepenuhnya. Pada tahapan ini, ketentuan-ketentuan S&D masih diperlukan, karena masih adanya ketimpangan intrinsik antara NSB dengan negara-negara maju. Kompetisi bebas dan tidak terbatas dengan negara-negara maju akan berdampak buruk bagi NSB. Di satu sisi, ketentuan-ketentuan S&D diperlukan untuk menjamin bahwa pasar negara-negara maju terbuka untuk produk-produk NSB. Ketentuan-ketentuan S&D yang bertujuan untuk meningkatkan akses pasar dan melindungi kepentingan-kepentingan NSB memainkan peran yang sangat penting. Di sisi lain, ketentuan-ketentuan S&D juga diperlukan untuk melindungi pasar NSB dari kompetisi yang keras dengan produk-produk negara-negara maju. Ketentuan-ketentuan S&D sangat penting untuk mengatasi masalah seperti ini, sebab S&D dapat memberikan fleksibilitas dan bantuan teknis bagi NSB.


S&D sebagai Instrumen Keadilan
Justifikasi teoretis kedua terhadap eksistensi S&D adalah ‘keadilan’(justice), dalam arti bahwa S&D merupakan instrumen untuk tercapainya keadilan dalam perdagangan internasional. Hal ini karena, sebagaimana disebutkan di atas, S&D telah diintegrasikan ke dalam instrumen hukum, yang di dalamnya keadilan merupakan elemen yang esensial. Tetapi, sangat sulit untuk menarik suatu definisi yang memadahi dari konsep keadilan dalam konteks perdagangan internasional, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan S&D. Dalam konteks ini, konsep keadilan sebagai fairness, sebagaimana tercermin dalam A Theory of Justice dari Rawls, layak untuk dipertimbangkan, meskipun Rawls sendiri menerapkan konsep ini hanya dalam lingkup nasional, dan menolak untuk memperluas konsep tersebut dalam konteks internasional. Perluasan konsep tersebut sebenarnya dilakukan oleh ahli-ahli yang lain, di antaranya Frank J. Garcia, karena mereka melihat adanya paralelitas antara problem dalam lingkup nasional dan internasional.

Ide dasar konsep keadilan sebagai fairness bahwa seluruh barang-barang sosial primer – seperti kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan, dan dasar-dasar bagi kehormatan diri – didistribusikan secara merata kecuali ketidakmerataan distribusi barang-barang tersebut digunakan untuk keuntungan mereka yang paling tidak beruntung. Dua prinsip dapat ditarik dari konsep tersebut: prinsip kebebasan berdasarkan persamaan (equal liberty) dan prinsip perbedaan (difference). Menurut Rawls, prinsip-prinsip ini akan menjamin implementasi seluruh sistem alokasi barang-barang sosial primer secara adil. Prinsip pertama menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas totalitas sistem kebebasan dasar yang berdasarkan persamaan, sesuai dengan sistem kebebasan yang berlaku umum bagi semua orang.

Prinsip kedua mensyaratkan bahwa ketimpangan ekonomi dan sosial ditata agar (a) dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka yang paling tidak beruntung, dan (b) mereka yang paling tidak beruntung mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan atau posisi-posisi yang terbuka bagi semua orang. Dalam konteks perdagangan internasional, prinsip-prinsip ini berartri bahwa setiap negara memiliki hak yang sama untuk mengakses barang-barang sosial primer, dan bahwa problem ketimpangan di antara mereka harus diatasi.

Dengan demikian, menurut konsep keadilan sebagai fairness, keadilan adalah distribusi yang merata barang-barang sosial dalam transaksi-transaksi perdagangan internasional antara negara-negara maju dan NSB. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua ketimpangan harus ditiadakan. Hanya ketimpangan yang tidak adil (unjust inequalities), yakni yang merugikan mereka yang paling tidak beruntung (NSB), yang harus ditiadakan. Oleh karena itu, ketidaksamaan yang didedikasikan untuk keuntungan mereka yang paling tidak beruntung, seperti ketentuan-ketentuan S&D, dapat dibenarkan. Sebagaimana yang terlihat dari definisinya, S&D menghendaki adanya perbedaan perlakuan terhadap negara-negara yang berbeda (unequal treatment to unequal parties). Dalam konteks ini, ketentuan-ketentuan S&D bahkan memainkan peran yang esensial dalam merealisasikan konsep keadilan sebagai fairness. Sebagaimana yang dikemukakan Garcia:

“the principle of special and differential treatment, a key element of the developing world’s trade agenda, plays a central role in satisfying the moral obligations that wealthier states owe poorer states as a matter of distributive justice. Seen in this light, the principle of special and differential treatment is more than just a political accommodation: it reflects a moral obligation stemming from the economic inequality among states.”

Berdasarkan konsep keadilan sebagai fairness, sepintas lalu isu utama S&D tampak secara teoretis identik dengan isu yang didasarkan kepada justifikasi pembangunan ekonomi sebagaimana yang dipaparkan di atas, yakni ketimpangan (inequality).

Tetapi, yang kedua menekankan bahwa S&D diperlukan oleh NSB untuk mempromosikan pembangunan ekonominya, sedangkan yang pertama lebih menekankan bahwa S&D merupakan kewajiban moral negara-negara maju untuk mengatasi problem ketimpangan terebut.

Dengan demikian, konsep keadilan sebagai fairness akan memperkuat konsep S&D yang didasarkan pada justifikasi pembangunan ekonomi. Persoalannya, masih diperdebatkan apakah problem ketimpangan tersebut lebih tepat diatasi oleh liberalisasi atau oleh ketentuan-ketentuan S&D. Sebagaimana yang tercermin dari pernyataan Joost Pauwelyn’s:

Rather than seeking special treatment, which results in trade inequalities, developing countries should focus on obtaining equal free trade. Indeed, the greatest benefit that developing countries stand to reap from the world trade system will not result from special treatment – less free trade – but rather from equal liberalisation – freer trade – in the export sectors of the most interest to them, particularly agriculture and textiles.

Dengan kalimat lain, masih diragukan bahwa ketentuan-ketentuan S&D dapat menjadi instrumen yang efektif untuk meningkatkan pembangunan ekonomi NSB. Namun jika diposisikan sebagai kewajiban moral, ketentuan-ketentuan S&D memiliki basis yang lebih kuat, karena ketentuan-ketentuan tersebut berdiri di atas konsep yang lebih universal, dan sekaligus netral. Telah diterima secara universal bahwa yang kuat harus membantu yang lemah, yang kaya harus membantu yang miskin. Demikian halnya, sudah merupakan kewajiban moral bahwa negara-negara yang lebih kuat dan kaya menolong negara-negara yang lebih lemah dan miskin. Dengan kalimat lain, negara-negara maju secara moral berkewajiban untuk menolong NSB.

Kewajiban moral semacam itu dapat berasal dari berbagai sumber seperti nilai-nilai sosial, politik, dan teologis. Dalam perspektif teologis, misalnya, ketentuan-ketentuan S&D secara moral adil. Sebagian besar ketentuan-ketentuan S&D tersebut mencerminkan nilai-nilai yang terdapat dalam beberapa konsep yang ditemukan dalam Injil dan Al-Qur’an, dan dalam literatur-literatur suci dan akademis yang berkembang secara tradisional sejak masa Jesus dan Nabi Muhammad s.a.w. Konsep-konsep homily, mortification, mercy, dan almsgivin’, yang ditemukan dalam ajaran-ajaran agama Kristen dan Islam sangat dekat dengan konsep-konsep exhortation, giving up of a legal right, compassion, dan assistance, yang ditemukan dalam ketentuan-ketentuan S&D dalam GATT/WTO. Dengan demikian, secara moral, ketentuan-ketentuan S&D dapat dianggap sebagai kewajiban yang timbul tidak hanya dari motif-motif ekonomi tetapi juga dari perintah Tuhan.

Permasalahannya, kemudian, apakah S&D berbasis keadilan, sebagaimana dipaparkan di atas, tidak bertentangan dengan paradigma dasar GATT/WTO, yakni liberalisme? Jawaban dari pertanyaan ini bisa bervariasi, tergantung perspektif yang digunakan. Dari diskursus tentang liberalisme telah jelas bahwa paradigma tersebut mempunyai komitmen yang kuat terhadap ‘persamaan’ (equality), memperlakukan orang-orang atau negara-negara secara sama atau sejajar. Dengan demikian, liberalisme juga dapat dianalisis sebagai suatu teori keadilan yang berbasis persamaan (justice as equality), dan setiap teori liberal dapat dikritisi berdasarkan kinerjanya dalam mewujudkan ide-ide persamaan. Karena konsep keadilan yang dikembangkan didasarkan pada A Theory of Justice dari Rawls, jawaban dari pertanyaan itu pun semestinya juga dikembalikan pada teori Rawls tersebut. Berdasarkan teori Rawls, S&D sebagai instrumen keadilan harus ditemukan justifikasinya dalam teori keadilan egalitarian (the egalitarian theory of justice). Keadilan sebagai fairness, sebagaimana dikemukakan di atas, berasal dari teori liberalisme. Dengan demikian, S&D sebagai instrumen keadilan tidak bertentangan dengan paradigma liberalisme, dan bahkan dapat memperkuat eksistensi liberalisme sebagai paradigma utama GATT/WTO.

Akhirnya, karena S&D telah diintegrasikan ke dalam ketentuan-ketentuan hukum, S&D seharusnya juga diakui sebagai instrumen hukum, yang menimbulkan kewajiban-kewajiban hukum dan bukan hanya semata-mata kewajiban moral.
Dalam konteks ini S&D berdiri di atas tiga pondasi. Pertama, telah menjadi konsensus yang diterima secara luas bahwa affirmative action atau reverse discrimination, di bawah payung ketentuan-ketentuan S&D merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan problem ketimpangan ekonomi. Kedua, ketentuan-ketentuan S&D, seperti preferensi perdagangan, dapat disejajarkan dengan preferensi perpajakan nasional, yang akan memperbaiki kondisi orang-orang miskin. Ketiga, ada kecenderungan meningkatnya preseden bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam S&D telah diakui dalam praktek-praktek hukum dan semi-hukum (quasi-legal practice).

Dengan demikian, fairness bukan semata-mata merupakan keharusan moral (moral imperative) tetapi juga merupakan kewajiban hukum. Diposisikan sebagai instrumen hukum, S&D dapat dianggap sebagai suatu diskriminasi yang sah (legitimate discrimination) atau, paling tidak, sebagai suatu diskriminasi yang tidak sah tetapi ditolerir (illegitimate but tolerated discrimination).



Empat Masalah Berkaitan Dengan S&D
Secara prinsip, peraturan di WTO mensyaratkan liberalisasi perdagangan barang, tetapi mengabaikan hal-hal yang merupakan keuntungan komparatif Negara berkembang misalnya tekstil dan pakaian jadi tidak dimasukkan kedalam Perjanjian Perdagangan Barang . Pada putara Uruguay, ada kesepakatan bahwa Negara maju sevara bertahap akan menghapuskan kuota impor tekstil dan pakaian jadi hingga 2005. Tetapi mereka menghindari proses liberalisasi yang sesungguhnya dengan hanya “membebaskan” produk-produk yang memang dulunta tidak dibatasi kuota.

Berikutnya, WTO berupaya mengupayakan liberalisasi arus barang, tetapi tidak mengatur liberalisasi arus tenaga kerja yang merupakan keuntungan komparatif Negara berkembang. Negara berkembang menghadapi paling tidak empat masalah berkaitan dengan WTO:

1. Struktur Sistem dan Perjanjian WTO Tidak Adil Terhadap Kepentingan Negara Berkembang. Contoh, subsidi yang biasa diterapkan oleh Negara-negara maju (untuk riset dan adaptasi pada lingkungan) dimasukkan dalam kelompok non-actionable subsidy, yaitu subsidi yang tidak terkena ketentuan pembalsan silang, sementara subsidi yang biasa diberikan oleh Negara-negara berkembang (untuk diversifikasi, pengembangan teknologi, dan semacamnya) justru dimasukan dalam kategori actionable subsidy, sehingga bias menimbulkan pengaduan apabila dianggap mengacaukan pasar;

2. Keuntungan yang diharapkan oleh Negara berkembang ketika bergabung dengan WTO, ternyata tidak berwujud. Salah satu alas an utama adalah karena Negara-negara maju gagal memenuhi komitmen mereka. Contohnya, kasus perdagangan tekstil dan juga subsidi pertanian yang tak juga kunjung dihapuskan oleh Negara-negara maju. Demikian pula janji untuk menerapkan perlakuan khusus dan berbeda kepada Negara berkembang (special and differential treatment) tidak kunjung diwujudkan. Sebaliknya, Negara-negara sedang berkembang terus ditekan untuk meliberalisasi pasarnya, sementara Negara maju memproteksi pasar mereka.

3. Negara berkembang terus ditekan untuk menerima isu-isu baru dan menyepakati perundingan baru dibidang perdagangan.

4. Proses pengambilan keputusan di dalam WTO tidak transparan dan tidak adil, sehingga Negara berkembang tidak bias berpartisipasi secara penuh untuk merumuskan perjanjian yang ada, ataupun menyampaikan pendapat dan masalah mereka.








*dimuat sebagai tugas kuliah
pada mata kuliah Organisasi Perdangangan Internasional
Powered By Blogger