Rabu, 22 Juni 2011

MINIMUM ORDER DAN OPTIMUM ORDER DALAM HUKUM INTERNASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

Hukum internasional memiliki fungsi sosial yang sama layaknya bentuk hukum lainnya. Hukum internasional merupakan sebuah konstitusi yang dibuat sendiri oleh, dan untuk masyarakat internasional itu sendiri. Hukum merupakan produk dari sebuah proses sosial yang mencerminkan kepentingan bersama dari sebuah masyarakat dan mengatur pembuatan dan pelaksanaan dari hukum tersebut. Kondisi hukum internasional dalam suatu waktu mencerminkan tingkatan dari perkembangan suatu masyarakat internasional.

Dalam tatanan masyarakat internasional, terdapat kekuatan-kekuatan dunia yang efektif atau disebut dengan effectives elites of the world, yang secara politis mampu mengarahkan kepentingan bersama masyarakat dan menolak kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan bersama ini dikategorikan dalam dua jenis, yaitu:

1) Kepentingan inklusif (inclusive interest), yaitu permintaan dan harapan mengenai sebuah tindakan yang mempunyai tingkat pengaruh tinggi, atau dengan kata lain memiliki dampak yang luas terhadap komunitas internasional secara keseluruhan.

2) Kepentingan eksklusif (exclusive interest), yaitu permintaan dan harapan mengenai sebuah kegiatan yang memiliki pengaruh hanya terhadap beberapa kelompok orang dalam sebuah wilayah tertentu.

Jika kita berbicara mengenai kepentingan bersama, maka dapat pula muncul kemungkinan bahwa kepentingan bersama tersebut akan berbenturan dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Meskipun demikian, kepentingan bersama bukanlah suatu penindasan atas sebuah kepentingan tertentu. Kepentingan bersama muncul akibat pertemuan antara sesuatu yang seyogyanya terjadi (ideal) dengan kenyataan atau realita. Tidak menjadi masalah apakah kepentingan bersama ini muncul akibat putusan sepihak dari kekuatan tiran atau muncul dari keinginan masyarakat langsung, karena kepentingan bersama ini dipengaruhi secara mutlak oleh politik.

Dari perspektif global, inclusive interest dari penduduk dunia secara keseluruhan adalah mempertahankan apa yang dimaksud dengan minimum order, yaitu meminimalisasi (mengurangi atau menekan) kekerasan yang dilarang dan unsur paksaan lainnya. Ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan sebuah cerminan dari aspirasi masyarakat dunia mewujudkan kepentingan yang sangat penting ini.

Masyarakat dunia pada dasarnya juga memiliki sebuah keinginan atau kepentingan yang lebih dari sekedar minimum order, yaitu kepentingan yang lebih jauh yang dinamakan optimum order. Optimum order ini merupakan menghasilkan dan mendistribusikan segala bentuk-bentuk nilai yang diinginkan secara maksimal yang dapat diperoleh melalui sumber daya yang tersedia.

Tatanan atau order dalam hubungan internasional dapat memiliki berbagai pengertian dan interpretasi. Dalam sebuah konferensi yang bernama “Conditions of World Order” di Bellagio, Italia, mendefinisikan tatanan atau order sebagai “kondisi minimum untuk hidup berdampingan.” Namun pada kenyataannya tatanan dalam negara secara tradisional merupakan sebuah produk hierarkis. Jadi dapat dipahami bahwa terdapat ketimpangan dan perbedaan (inequality) antara negara dalam tatanan dunia.



BAB II
MINIMUM ORDER SEBAGAI DASAR UNTUK MENEKAN KEKERASAN DAN PAKSAAN YANG DILARANG

Pada bab sebelumnya telah disebutkan sebelumnya, minimum order dikatakan sebagai upaya meminimalisasi (mengurangi atau menekan) kekerasan yang dilarang dan unsur paksaan lainnya. Selanjutnya akan dibahas mengenai unsur-unsur yang terkait mengenai masalah minimum order.

1. Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB sebagai Dasar Larangan Penggunaan Paksaan dan/atau Kekerasan

Perwujudan minimum order dalam hukum internasional pada dasarnya dituangkan secara tertulis dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang menyatakan:

All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.

Pendahulu PBB, yaitu Liga Bangsa-Bangsa pada dasarnya juga menyebutkan prinsip meminimalisasi kekerasan dalam bagian pembukaan, namun hanya dalam rangka pencapaian perdamaian dan keamanan internasional serta kewajiban untuk tidak melakukan perang. Ketika Pasal 2 ayat (4) masih dalam rancangan, sengaja tidak digunakan istilah war atau perang, melainkan “the threat of force”.

War atau perang memiliki arti yang lebih teknis dan sempit, sementara negara-negara terkadang terlibat dalam sebuah situasi yang mengancam namun tidak menyatakan bahwa mereka secara teknis sedang dalam perang. Situasi yang mengancam ini dapat berupa insiden perbatasan yang berskala kecil, hingga operasi militer yang besar.

Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB ini dielaborasikan dan dianalisis secara sistematis dalam Declaration on Principles of International Law (1970). Dalam deklarasi ini disebutkan bahwa: Pertama, tindakan atau perang dengan cara agresi, mengandung kejahatan terhadap perdamaian, dimana terdapat suatu pertanggunjawaban dalam hukum internasional.

Kedua, negara-negara dilarang menggunakan ancaman atau kekerasan untuk melanggar ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional atau dalam menyelesaikan sengketa.

Ketiga, negara berkewajiban untuk menghindari penggunaan kekerasan dalam tindakan reprisal (pembalasan).

Keempat, negara dilarang menggunakan kekerasan untuk membatasi sekelompok orang untuk menentukan nasib sendiri atau menentukan kemerdekaannya.

Kelima, negara harus menghindarkan diri dari tindakan membantu atau mengatur perselisihan sipil atau terorisme di negara lain dan menghindarkan diri untuk mendorong dibentuknya pasukan yang digunakan untuk menyerang secara mendadak di wilayah negara lain.

Perlu diketahui bahwa Pasal 2 ayat (4) juga meliputi ancaman kekerasan (selain penggunaan kekerasan). Masalah ini dinyatakan dalam sebuah advisory opinion di Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) kepada Majelis Umum PBB perihal Keabsahan Ancaman atau Penggunaan Kekerasan dalam Senjata Nuklir.

Mahkamah Internasional berpendapat bahwa maksud atau niat yang jelas untuk menggunakan kekerasan dalam suatu keadaan dapat digolongkan dalam sebuah ancaman terhadap Pasal 2 ayat (4). Hal ini dicontohkan dalam ancaman-ancaman terhadap sebuah negara, sehingga negara tersebut melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan politis atau ekonomis tertentu.

Sehubungan dengan larangan penggunaan kekerasan terhadap kesatuan wilayah atau kemerdekaan politis dari negara manapun atau bentuk-bentuk lain yang tidak sesuai dengan tujuan PBB, terdapat Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States (1965) yang menekankan bahwa: “tidak satupun negara berhak untuk mengintervensi, secara langsung atau tidak langsung dengan alasan apapun, dalam masalah internal atau eksternal dari suatu negara.

Dengan kata lain, intervensi bersenjata dan segala bentuk campur tangan lainnya atau percobaan ancaman terhadap sifat dari sebuah negara, atau terhadap elemen politis, ekonomis dan budaya suatu negara, adalah perbuatan yang dikutuk.

Ketentuan ini juga ditegaskan dalam sebuah kasus di Mahkamah Internasional, yaitu kasus Corfu Channel. Dalam kasus ini Inggris menuntut pembenaran atas intervensinya ketika menyapu ranjau-ranjau di kanal Corfu sebagai bukti untuk dipergunakan dalam proses peradilan. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa: “pembenaran terhadap intervensi tersebut merupakan manifestasi dari sebuah kebijakan kekerasan yang sejak dahulu mengakibatkan pelanggaran serius, sehingga tidak sesuai dalam hukum internasional.


2. Jenis-Jenis Paksaan atau Kekerasan

Menurut Malcolm Shaw, sejak Piagam PBB dilahirkan, paling tidak terdapat 3 kategori keekrasan atau paksaan dalam hukum internasional, yaitu retorsion, reprisal dan self-defence.

1) Retorsion (Retorsi)

Retorsion adalah tindakan tidak bersahabat atau yang merugikan suatu negara dalam rangka pembalasan terhadap negara lain karena telah melakukan tindakan yang merugikan sebelumnya. Retorsion merupakan tindakan yang dibenarkan sebagai penunjukkan ketidaksenangan terhadap negara lain, namun masih dalam lingkup dapat dibenarkan.

2) Reprisal (Balas Dendam)

Reprisal atau balas dendam adalah tindakan yang illegal yang dilakukan oleh negara sebagai bentuk pembalasan atas tindakan illegal yang telah dilakukan terlebih dahulu oleh negara lain. Kasus klasik yang menangani masalah reprisal ini adalah kasus Naulilaa. Pengadilan menyatakan bahwa reprisal dapat dibenarkan dan dilakukanm ketika terdapat pembenaran akibat sebuah tindakan yang dilakukan sebelumnya yang telah melanggar hukum internasional. Jika hal ini terjadi, reprisal harus dilakukan atas dasar rasa tidak puas terhadap pemulihan dan disertai dengan tindakan yang proporsional antara pelanggaran dan reprisal tersebut.

3) Penggunaan Hak untuk Membela Diri
Hak untuk Membela Diri terdapat pada Pasal 51 Piagam PBB yang menyatakan bahwa:

“Noting in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence if an armed attack occurs against a member of the United Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and security…”

Hak untuk Membela Diri adalah sebuah pengecualian dalam penggunaan paksaan atau kekerasan dalam hukum internasional, meskipun hal ini tidak terlepas dari kontroversi. Salah satu kontroversi adalah hak dalam pembelaan diri secara antsipatif (right of anticipatory self-defense). Dalam pengaturan Pasal 51 digunakan kalimat “if an armed attack occurs…” Hal ini jika dimaknai secara harfiah, maka sebuah serangan bersenjata harus ada terlebih dahulu agar dapat digunakan sebuah kekerasan dalam rangka upaya bela diri. Para pendukung hak dalam pembelaan diri secara antsipatif ini menyatakan bahwa Pasal 51 tidak membatasi keadaan-keadaan menetukan dimana bela diri dapat dilakukan.

Mereka menolak kata if (jika) yang digunakan dalam Pasal 51 ini berarti hanya dalam keadaan if (jika) saja. Sehingga mereka berpendapat secara ekstrim bahwa negara dapat menggunakan paksaan/kekerasan dalam rangka mempertahankan kepentingannya yang sangat besar, meskipun tidak ada serangan kekerasan secara nyata atau indikasi/bahaya yang nyata.

Meskipun demikian, setelah Piagam PBB berlaku dan mengikat (24 Oktober 1945), masih terdapat pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan ini yang dilakukan oleh negara-negara kuat (adikuasa), dan Dewan Keamanan tidak dapat berbuat banyak karena dibayang-bayangi hak veto yang dimiliki negara-negara kuat tersebut. Untuk mengetahui dampak dari Piagam PBB ini terhadap tindakan-tindakan militer dan pembenarannya dari negara-negara kuat di dunia, maka kita harus mengetahui bentuk dan tujaun dari Piagam itu sendiri.

Hingga saat ini negara-negara anggota PBB mengandalkan Dewan Keamanan dalam rangka menjaga perdamaian dan keamanan internasional dan bersedia bekerja sama antara satu dengan yang lain dalam menempuh upaya-upaya yang diputuskan dalam Dewan keamanan.


3. Pembatasan

Seperti yang tertuang dalam Piagam PBB, terdapat batasan-batasan dalam penggunaan kekerasan ini. Pertama adalah larangan penggunaan kekerasan atau ancaman terhadap kesatuan wilayah atau kemerdekaan politis negara manapun (Piagam PBB Pasal 2 ayat (4)).

Kedua adalah larangan penggunaan kekerasan atau ancaman terhadap tujuan-tujuan dari PBB, yaitu menjaga perdamaian dan keamanan internasional, upaya pencegahan terhadap ancaman perdamaian, penggunaan agresi atau bentuk-bentuk lainnya yang merupakan pelanggaran terhadap perdamaian (Piagam PBB Pasal 2 ayat (1)), menciptakan persahabatan dengan dasar persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi tiap orang (Piagam PBB Pasal 2 ayat (2)).

Ketiga, larangan penggunaan kekerasan tidak berlaku ketika negara melaksanakan hak inheren-nya dalam upaya pembelaan diri ketika mendapatkan serangan-serangan…sampai Dewan Keamanan memutuskan upaya apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional (Piagam PBB Pasal 51).

Segala tindakan kekerasan diluar hal-hal diatas dikatakan sebagai tindakan yang illegal, atau suatu ancaman perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian dan tindakan agresi (Piagam PBB Pasal 39).




BAB III
UPAYA PENCAPAIAN OPTIMUM ORDER PADA TINGKAT INTERNASIONAL

1. Pengertian Optimum Order

Penduduk dunia memiliki kepentingan yang lebih ekstensif berupa optimum order. Optimum order didefinisikan oleh Profesor Chen sebagai “…the greatest production and widest distribution of all demanded values that can be attained with available resources.” .

Perspektif optimum order atau ‘ketertiban dunia yang optimal’ menurut definisi Profesor Chen tersebut merupakan suatu konsep yang utopis, didasari oleh harapan agar nilai-nilai dasar yang diinginkan manusia dapat dinikmati secara merata oleh setiap orang di seluruh dunia. Nilai-nilai yang ingin dicapai oleh optimum order meliputi nilai-nilai yang berlaku universal di seluruh dunia, antara lain:

kesehatan, kesejahteraan, pengetahuan, saling menghormati, kebahagiaan, dan sebagainya. Singkatnya, optimum order yang dicita-citakan manusia adalah keberlakuan hak-hak azasi manusia (HAM) secara merata di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang suku, ras, agama, kebangsaan, maupun negara.

Profesor Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa HAM dipercaya memiliki nilai universal yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Upaya meletakkan nilai universal HAM telah dilakukan pada tingkat internasional dalam berbagai instrumen hukum internasional yang ada, mulai dari Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia, hingga kovenan-kovenan HAM internasional serta sejumlah konvensi dalam bidang-bidang khusus dan ekspresi-ekspresi mengenai HAM.

Pembukaan Piagam PBB misalnya menyatakan “…to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small….AND FOR THESE ENDS to practice tolerance and live together in peace with one another as good neighbors…”

Perkembangan selanjutnya, prinsip-prinsip mengenai HAM diatur dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia (DUHAM), yang meskipun sifatnya tidak mengikat (soft law) namun dalam prakteknya telah menjadi kebiasaan internasional. Instrumen HAM internasional lain di samping DUHAM adalah International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Ketiga instrumen HAM ini secara bersama-sama dipandang sebagai piagam hak-hak azasi manusia internasional.

Masyarakat internasional dalam masa sekarang dapat dikatakan telah mencapai kondisi minimum order (keamanan dan perdamaian), sehingga dimulailah upaya menciptakan optimum order. Minimum order dan optimum order memang saling mempengaruhi satu sama lain sebab optimum order yang dicita-citakan hanya dapat diusahakan apabila minimum order (keamanan dan perdamaian) telah tercapai, sebaliknya dalam pertumbuhan interdependensi pada tingkat komunitas dunia, minimum order tidak dapat dipertahankan tanpa didukung optimum order yang memadai.

Bukti pencapaian minimum order adalah adanya tuntutan pengakuan HAM dalam tingkatan yang paling dinamis dan komprehensif, mulai dari Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, hingga sejumlah Perjanjian Internasional bidang HAM dan induk bagi perjanjian yang lebih khusus tentang HAM. Bukti lainnya ialah meningkatnya penggunaan istilah “umat manusia” (“mankind”) dalam berbagai instrumen hukum internasional , sebagaimana diungkapkan Profesor Chen sebagai berikut:

Examples abound: the U.N. Charter refers in its preamble to wars as the “scourge of mankind”; the Nuclear Nonproliferation Treaty admonishes the “devastation that would be visited upon all mankind by a nuclear war”; the Antarctic Treaty seeks to protect the “interests of science and mankind”; the Outer Space Treaty declares outer space to be the “province of all mankind” and astronauts to be the “envoys of mankind”.

Jadi optimum order kemudian membuat masyarakat internasional mengatur bidang-bidang yang lebih luas dari keamanan dan perdamaian semata, bidang-bidang yang berarti penting bagi manusia seiring berkembangnya waktu, serta bidang-bidang yang tidak sempat terpikirkan pada masa yang penuh dengan peperangan.


2. Contoh Upaya Mencapai Optimum Order sebagai Standar Baru dalam Pergaulan Masyarakat Internasional

Masyarakat internasional yang telah mencapai suatu tingkatan minimum order yang relatif stabil dewasa ini kemudian mencoba mencapai optimum order dalam beberapa bidang tertentu. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai upaya kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) agar hak seseorang untuk menentukan orientasi seksual serta identitas gender ditetapkan sebagai instrumen HAM internasional sebagai contoh upaya mencapai optimum order oleh masyarakat internasional dewasa ini.

Upaya kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) agar hak seseorang untuk menentukan orientasi seksual serta identitas gender ditetapkan sebagai instrumen HAM internasional merupakan salah satu contoh pembentukan optimum order.

Sebagaimana diketahui, orientasi seksual dan identitas gender manusia secara kodrati adalah heteroseksualisme (hubungan dengan lawan jenis) antara laki-laki dengan perempuan, sedangkan kaum LGBT adalah sekelompok orang yang orientasi seksual maupun identitas gendernya selain heteroseksual. Secara teknis terdapat tiga macam orientasi seksual, yaitu:

• Homoseksual: memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis (lesbian/terhadap sesama perempuan, gay/terhadap sesama laki-laki);

• Heteroseksual: memiliki orientasi seksual terhadap lawan jenis (laki-laki dengan perempuan);

• Biseksual: memiliki orientasi seksual terhadap kedua jenis, baik laki-laki maupun perempuan.

Kaum LGBT sebagaimana telah disebutkan, orientasi seksualnya termasuk meliputi homoseksual dan biseksual.

Aspek lain dari kaum LGBT yaitu identitas gender diwakili oleh istilah transgender, sifatnya psikologis berbeda dengan orientasi seksual yang bersifat biologis. Transgender bentuknya bisa bermacam-macam, antara lain: laki-laki yang bersikap seperti perempuan (lazim disebut waria), perempuan yang bersikap seperti laki-laki (lazim disebut tomboi), memakai pilihan busana yang berkebalikan dari fisiknya sejak lahir (cross-dresser), bahkan hingga melakukan operasi penggantian kelamin agar sesuai dengan pilihan identitas gendernya sebagaimana yang dilakukan Dorce Gamalama.

Kaum LGBT sejatinya bukan merupakan fenomena yang baru-baru saja terjadi, meskipun tidak diketahui dengan pasti sejak kapan tepatnya aktivitas kaum LGBT bermula, namun fenomena tersebut telah tercatat dalam berbagai literatur dan dokumen sejarah hingga sebelum zaman masehi. Contoh yang paling sederhana adalah kisah kota Sodom dan Gomorrah yang dimusnahkan karena penduduknya melakukan homoseksualitas dan seks bebas.

Kaum LGBT berupaya mendapatkan pengakuan serta perlindungan hukum internasional atas hak untuk menentukan orientasi seksual dan identitas gender secara mandiri sesuai dengan Pembukaan DUHAM yang mengakui “…inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world.” DUHAM menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang setara dan mutlak tak terhapuskan terhadap sesamanya. Pasal 2 DUHAM lebih lanjut menyatakan sebagai berikut:

Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty.

Pernyataan serupa juga terdapat dalam ketentuan Pasal 2.1 ICCPR serta Pasal 2.2 ICESCR.

Sejumlah instrumen hukum internasional di bidang HAM mengatur beberapa bidang tertentu dalam suatu konvensi tersendiri, masing-masing adalah:

1.Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD);
2.Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW);
3.United Nations Convention Against Torture (CAT);
4.Convention on the Rights of the Child (CRC);
5.Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD);
6.International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families (ICRMW atau MWC).

Perjuangan kaum LGBT di tingkat internasional adalah agar hak untuk menentukan orientasi seksual dan identitas gender secara mandiri ditetapkan sebagai konvensi HAM oleh PBB, sebagaimana keenam konvensi tersebut di atas.

Upaya kaum LGBT di tingkat internasional dimulai dari dikeluarkannya Resolusi Brazil yang membahas tentang hak azasi manusia dan orientasi seksual. Resolusi ini dipresentasikan di hadapan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan April 2003, dengan didukung Austria, Belgium, Brazil, Kanada, Republik Czech, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Liechtenstein, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Portugis, Spanyol, Swedia, serta Inggris, akan tetapi pembahasan resolusi ini ditunda pada tahun 2004 karena dirasa tidak akan diterima.

Kelanjutannya, kaum LGBT memprakarsai Deklarasi Montreal (The Declaration of Montreal on Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender Human Rights) yang diadopsi di Montreal, Kanada, tanggal 29 Juli 2006, oleh The International Conference on LGBT Human Rights. Deklarasi tersebut dihadiri lebih dari 1500 delegasi dari berbagai penjuru dunia yang kemudian menyetujui deklarasi tersebut. Deklarasi Montreal menggarisbawahi sejumlah hak dan kemerdekaan bagi kalangan LGBT yang oleh hukum internasional dijamin secara universal

Langkah lain kaum LGBT ditempuh melalui Prinsip Yogyakarta (The Yogyakarta Principles on the Application of International Human Rights Law in relation to Sexual Orientation and Gender Identity” yang berisi garis besar prinsip-prinsip internasional terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip Yogyakarta disusun pada pertemuan International Commission of Jurists dan pakar HAM dari penjuru dunia di Universitas Gadjah Mada tanggal 6 - 9 November 2006, berisi 29 prinsip yang disetujui seluruh pakar, serta sejumlah rekomendasi kepada pemerintah, lembaga regional, masyarakat sipil dan PBB.

Upaya terbaru dari perjuangan kaum LGBT adalah dengan dikeluarkannya instrumen HAM berjudul United Nations Declaration on Sexual Orientation and Gender Identity yang diajukan oleh Perancis dan Belanda dengan dukungan Uni Eropa kepada Majelis Umum PBB tanggal 18 Desember 2008, didukung oleh 68 dari 192 negara anggota PBB, termasuk seluruh anggota Uni Eropa dan sebagian besar negara-negara barat. Negara anggota yang lain tetap menolak isi resolusi tersebut dikarenakan menyangkut persoalan sensitif, tampak bahwa perjuangan kaum LGBT untuk memperoleh pengakuan pada tingkat internasional telah sampai sejauh ini, namun tampaknya tercapainya cita-cita tersebut sebagai salah satu bentuk optimum order belum akan terwujud dalam waktu dekat.




BAB IV
KEKUATAN-KEKUATAN DUNIA YANG BERPENGARUH DALAM PEMENUHAN MINIMUM DAN OPTIMUM ORDER

Tatanan dunia saat ini masih ditandai oleh pembagian-pembagian kekuatan. Kelompok negara maju dan negara berkembang masih memiliki perbedaan pandangan dalam berbagai hal, khususnya mengenai ekonomi dan lingkungan global. Perbedaan ideologi dasar dalam sisi politik, sosial dan ekonomi mengakibatkan munculnya perbedaan dalam perwujudan sistem dan tatanan dunia, baik secara domestik maupun transnasional.

Universalitas masih sebatas sebuah visi saja, mengingat perkelompokan dan ketergantungan satu sama lain masih terus bertahan dan menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.

Perang Dingin merupakan peperangan antara Barat (Liberal) dan Timur (Komunis) yang terjadi untuk mengejar kepentingan mereka dalam perlombaan di bidang luar angkasa dan nuklir. Perang Dingin berakar pada upaya pembangunan Eropa yang runtuh melalui Kebijakan Luar Negeri. Amerika Serikat memberikan Kebijakan Bantuan Luar Negeri kepada Eropa Barat yang disebut dengan Marshall Plan, sementara Uni Sovyet melakukan upaya yang sama kepada Eropa Timur dengan apa yang disebut dengan Molotov Plan. Dampak yang cukup signifikan akibat Perang Dingin ini salah satunya adalah pembagian wilayah Jerman (Barat dan Timur) dan terbentuknya pakta pertahanan yaitu NATO dan Pakta Warsawa.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Perang Dingin merupakan sebuah Perang Nuklir dan Perlombaan Ruang Angkasa, namun kedua belah pihak menyadari akan adanya bahaya yang terjadi apabila Perang Nuklir akan benar-benar terjadi. Ada upaya untuk mengurangi, membatasi atau memusnahkan senjata nuklir, antara lain:

a. Non Poliferation Treaty 1968 (antara AS dan Uni Sovyet);
b. Strategic Arms Limitation Talks 1972 atau SALT I yang berisi kesepakatan untuk membatasi persediaan senjata-senjata nuklir strategis;
c. Strategic Arms Reduction Treaty 1982 atau START (antara AS dan Ui Sovyet)
d. Perlombaan ruang angkasa: Sputnik I dan II (1957) oleh Uni Sovyet dan Explorer I dan II, Discoverer dan Vanguard (1958) oleh AS.


Perang Dingin pada saat itu sangat mempengaruhi kehidupan umat manusia, dimana banyak harta kekayaan yang dikeluarkan, jangkauan secara geografis dapat terwujud, dampak lingkungan yang berkepanjangan. Hal ini membuat Perang Dingin menjadi salah satu konflik yang terbesar dalam sejarah umat manusia. Setelah Perang Dingin berakhir dengan ditandai runtuhnya Uni Soviet pada sekitar tahun 1991, kekuatan-kekuatan dunia yang baru pun muncul.

1. Kebangkitan Uni Eropa dan Jerman

Setelah Eropa runtuh akibat Perang Dunia II, pemerintah negara-negara Eropa berusaha bangkit dengan secara bersama-sama mendukung perkembangan ekonomi satu sama lain melalui European Coal and Steel Community (ECSC) yang kemudian pada tahun 1957 dibentuk European Economic Community (EEC). Usai Perang Dingin, Eropa secara cepat mampu membangun kembali perekonomiannya. Eropa Barat menjadi yang tercepat, Eropa Tengah seperti Hungaria, Slovenia dan Polandia juga mampu beradaptasi secara cepat. Eropa Timur masih harus menyesuaikan diri. Meskipun secara bersama-sama Eropa berusaha bangkit, Yugoslavia dilanda perang. Kebangkitan perekonomian Jerman dibantu melalui The Marshall Plan (Investments Funds for the European Recovery Program) yang bertujuan untuk memodernisasi praktek bisnis dan memaksimalan potensi terbesar dari Jerman.

Pada tahun 1970-1980 Jerman mengalami kenaikan dalam perkembangan ekonominya, meskipun terkadang mengalami penurunan juga. Setelah Jerman bersatu, maka diinvestasikan sejumlah dana yang besar untuk pembangunan Jerman Timur. Jerman yang kembali bersatu kini menjadi kekuatan ekonomi yang sangat besar di dunia. Jerman didukung dengan tenaga kerja yang berketerampilan tinggi, infrastruktur yang modern, modal yang besar dan tingkat korupsi yang rendah menjadikan kekuatan ekonomi Jerman no. 1 di Eropa dan no. 4 di dunia. Hasil ekspor Jerman yang terkenal meliputi mesin-mesin, mobil, teknologi, bahan kimia dan daging.


2. Asia: China dan India

a. India

Perkembangan ekonomi India pada hakikatnya sudah dimulai pada masa penjajahan Inggris. Namun pada periode sebelum tahun 1991, India menerapkan sebagian sistem ekonomi protektionis dan sosialis, karena perekonomian India sangat tertutup terhadap dunia luar akbiat intervensi pemerintah berupa regulasi-regulasi. Pada tahun 1991, India menerapkan kebijakan ekonomi pasar bebas. Ekonomi pasar bebas di India menghasilkan investasi dan perdagangan asing (ekspor-impor). Ekspor unggulan India berada di sektor pertanian dan industri, khususnya tekstil. Selain kedua produk ini, India juga memiliki ekspor berupa: minyak, bahan kimia, dan batu-batu berharga. Pada tahun 2009/2010, IMF menyatakan India menempati urutan kesebelas dalam perekonomian dunia dengan pendapatan perkapita US $ 1.43 triliun. Namun jika hanya dihitung melalui cara purchasing power parity atau pendapatan perkapita yang sebenarnya, maka India menempati posisi keempat dalam perekonomian dunia, dengan pendapatan perkapita US $ 4 triliun.

b. China

China mengalami keterpurukan pada masa terbentuknya pemerintahan Republik. (1911-1927). Sempat mengalami kenaikan pada saat Perang Dunia I, ketika banyak permintaan akan barang-barang dari China. Pada tahun 1919-1921, rakyat China menyerukan boikot terhadap barang asing, dan justru membantu perkembangan perekonomian China. China mengalami keterpurukan kembali ketika mengalami produksi berlebih dalam petanian yang mengakibatkan harga jatuh di pasar internasional. Hal ini memaksa investasi asing untuk masuk ke China. Keadaan tidak menentu ini dialami China selama tahun 1940-1970 akhir.

Pada tahun 1976, Deng Xiaoping menggerakkan reformasi pasar bebas yang membangkitkan perekonomian China secara signifikan. Salah satu upayanya adalah melalui Chengbao System, yaitu dimana aset negara diberikan kepada operator privat, yang memberikan negara uang dan sebagian keuntungan. Sistem ini diberlakukan pada sekitar tahun 1990. China juga melakukan liberalisasi, antara lain dengan menerapkan “special economic zones” dimana investor asing dapat berinvestasi di China dengan menggunakan tenaga kerja yang murah. Pada tahun 1997 Deng Xiaoping meninggal dunia dan digantikan oleh Jiang Zemin yang juga berhasil meningkatkan perekonomian China.Pada saat ini kesejahteraan China meningkat, dengan hanya 10% angka kemiskinan, tingkat umur yang lebih panjang (73 tahun), dan 93% rakyat China mampu membaca dan menulis. Pada tahun 2010, China menempati urutan kedua dalam perekonomian dunia.


3. Kekuatan Dunia Lainnya

a. Brazil

Brazil mengalami perkembangan perekonomian yang stagnan dan cenderung menurun pada tahun 1962-1993. Namun ketika diterapkan Real Plan (Plano Plan) digerakkan pada tahun 1994, Brazil secara perlahan mengalami perkembangan sedikit demi sedikit hingga sekarang. Dengan sumber daya alam yang melimpah, kini Brazil menempati urutan kedelapan dalam perekonomian dunia.

b. Russia

Russia sebagai salah satu negara pecahan Uni Sovyet tentunya masih menyimpan potensi-potensi yang tersisa sebagai bekas negara super power. Dengan wilayah yang luas, Russia memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Pada sektor industri, Russia unggul dalam bidang alat transportasi. Namun hasil produk unggulan yang terkenal dari industri pertahanan adalah Pesawat Tempur Sukhoi. Segala sumberdaya yang dimiliki Russia menjadikannya urutan kesepuluh dalam tingkat perekonomian dunia.

c. Korea Selatan

Sejak dahulu Korea Selatan memiliki potensi yang sangat besar dalam bidang industri khususnya elektronik dan otomotif. Korea Selatan menempati urutan keempatbelas dalam perekonomian dunia.



BAB IV
KESIMPULAN


Kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah dan penelusuran mengenai minimum dan order ini adalah:

1. Minimum order merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh tatanan dunia secara bersama dan utama, yaitu upaya meminimalisasi atau menekan kekerasan dan paksaan yang dilarang. Minimum order ini didasari oleh Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB.

2. Optimum order yang dicita-citakan manusia adalah keberlakuan hak-hak azasi manusia (HAM) secara merata di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang suku, ras, agama, kebangsaan, maupun negara.

3. Dalam menempuh baik minimum maupun optimum order, tatanan dunia sangat bergantung kepada keputusan-keputusan yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan dunia, yaitu negara-negara kuat khususnya dari pengaruh segi ekonomi dan politik. Pada sekarang ini, Amerika Serikat bukanlah satu-satunya negara yang bisa memberikan pengaruh terhadap tatanan dunia, namun muncul nama-nama baru seperti Jerman, China, India, Brazil, Russia dan Korea Selatan yang merupakan beberapa kandidat kuat yang dapat memegang kunci bagi pergerakan tatanan dunia.



DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Chen, Lung-Chu. An Introduction to Contemporary International Law – A Policy Oriented Perspective, New Haven and London: Yale University Press, 2000.

Dahlman, Carl and Anuja Uz. India and the Knowledge Economy – Leveraging Strength and Opportunities, Washington DC: World Bank, 2005.

Devaland, Mary Jo. China’s Economic Policy Impact on the United States, New York: Nova Science Publishers, Inc., 2009.

Humell, Andrew and Ngaire Woods. Order, Globalization and Inequality in World Politics, Oxford: Oxford University Press, 2002.

Juwana, Hikmahanto, Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Berkembang, PT. Yarsif Watampone, Jakarta, 2010

Malanczuk, Peter. Akehurst’s Modern Introduction to International Law, 7th Revised Edition, London and New York: Routledge, 1997.

Phillips, Charles and Alan Axelrod. Encyclopedia of Historical Treaties and Alliances, New York: Facts on File, 2006.

Rajan, Ramkishen S. and Sunil Rongala. Asia in the Global Economy – Finance, Trade and Investment, Singapore: World Scientific, 2008.

Shaw, Malcolm N. International Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

Westra, Joel H. International Law and the Use of Armed Force – The UN Charter and the Mayor Powers, London and New York: Routledge, 2007.
JURNAL DAN WORKING PAPERS

Allott, Philip. The Concept of International Law, European Journal of International Law, Vol. 1999.

De Long, J. Bradford and Barry Eichengreen. The Marshall Plan: History’s Most Successful Structural Adjustment Program, Center for Economic Performance and Landeszentral Bank Hamburg Conference on Post-World War II European Reconstruction, 1991.

Temin, Peter. The Golden Age of European Grwoth Reconsidered, European Review of Economic History, Cambridge University Press: 2002.


WEBSITE

EconomyWatch. Russia Economy,
, diakses pada tanggal 22 Mei 2011.

The Economist. Brazil Takes Off,
diakses pada tanggal 22 Mei 2011.

The Economist. Improving Prosperity,
, diakses pada tanggal 22 Mei 2011.

Piagam PBB, http://www.un.org/, diakses tanggal 10 Maret 2011.

Naskah Prinsip Yogyakarta, diunduh dari www.yogyakartaprinciples.org, diakses tanggal 10 Maret 2011.

Naskah Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia, http://www.un.org/, diakses tanggal 10 Maret 2011.

Naskah ICCPR, diunduh dari www.un.org, diakses tanggal 10 Maret 2011.

Naskah ICESCR, diunduh dari www.un.org, diakses tanggal 10 Maret

International Criminal Court (ICC)

Menjelang akhir abad yang sangat berdarah dalam perjalanan sejarah manusia, komunitas international bersama-sama mengadopsi sebuah treaty yang membentuk sebuah pengadilan pertama dalam sejarah yang independen dan permanen. Pengadilan tersebut saat ini telah menjadi kenyataan yang disebut sebagai International Criminal Court (ICC).

ICC memiliki kemampuan untuk untuk melakukan investigasi dan menuntut setiap individu yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), genosida (genocide), dan kejahatan perang (crime of war). ICC sifatnya melengkapi keberadaaan sistem peradilan nasional sebuah negara dan akan melangkah hanya jika pengadilan nasional sebuah negara tidak memiliki kemauan atau tidak mampu untuk menginvestigasi dan menuntut kejahatan-kejahatan yang terjadi tersebut.

ICC juga akan membantu untuk mempertahankan hak-hak perempuan dan anak-anak yang bisanya memiliki kekuatan yang sangat kecil untuk mempertahankan hak-haknya untuk mendapat keadilan[1].


Sejarah Berdirinya ICC

Statuta yang menjadi dasar berdirinya ICC, Statuta Roma, diadopsi pada konferensi internasional yang disponsori oleh PBB di Roma pada tanggal 17 Juli 1998. Setelah melangsungkan pembahasan mendalam selama 5 minggu, 120 negara menyatakan pendiriannya untuk mengadopsi statuta tersebut. Hanya 7 negara menolak untuk mengadopsi statuta tersebut. Mereka adalah Cina, Israel, Iraq, Yaman, Qatar, Libya, dan Amerika Serikat (AS). Sementara 21 negara abstain dalam pemungutan suara. 139 negara berikutnya menandatangani treaty tersebut pada tanggal 31 Desember 2000.

Selanjutnya pada tanggal 11 April 2002 sebanyak 66 negara meratifikasi treaty tentang Statuta Roma. Dengan diratifikasinya treaty ini oleh 66 negara maka telah melewati batas minimal sebanyak 60 negara yang menjadi syarat dapat berlakunya sebuah treaty. Pengadilan ini memulai bekerja sejak tanggal 1 Juli 2002. Pada tanggal 19 September 2002 sebanyak 81 negara telah meratifikasi treaty tentang Statuta Roma.[2]

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa ICC adalah sebuah pengadilan permanen yang dibentuk untuk melakukan investigasi dan menuntut setiap individu yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), genosida (genocide), dan kejahatan perang (crime of war).

Jika demikian halnya sekilas terlihat ada tumpang tindih kedudukan ICC jika dibandingkan dengan pengadilan-pengadilan Internasional lainnya yang telah lebih dulu ada seperti International Court of Justice (ICJ) ataupun International Criminal Tribunal for Former Yugosavia dan International Criminal Tribunal for Former Rwanda. Namun jika diamati lebih jelas terlihat perbedaan prinsip yang sangat mendasar antara ICC dengan 3 pengadilan lain tersebut.

ICJ adalah pengadilan sipil yang mengadili sengketa antara negara. Artinya para pihak di sini adalah negara. Sedangkan ICC adalah pengadilan kriminal yang mengadili individu. Sementara jika kita bandingkan dengan pengadilan ad-hoc yang pernah dibentuk untuk bekas negara Yugoslavia dan Rwanda ada kesamaan dalam hal sebagai pengadilan kriminal yang mengadili individu seperti Slobodan Milosevic, namun terdapat perbedaan pada cakupan geografi yang dapat dijangkau.

Tribunal untuk Yugoslavia dan Rwanda jelas hanya bisa menjangkau tindakan kriminal berat yang dilakukan oleh individu dua negara tersebut sementara ICC dapat menjangkau ke seluruh jengkal dunia dimana terdapat tindak kriminal berat tehadap kemanusiaan.

ICC juga akan menghindarkan penundaan terhadap pengadilan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan serta menghindari pembentukan tribunal berulang-ulang setiap terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan yang akan membutuhkan banyak biaya dan tenaga dalam pembentukannya.

Beberapa hal yang dapat dilakukan dengan dibentuknya ICC adalah ICC dapat menjadi lembaga yang dapat menghindari terjadinya impunity yang selama ini dinikmati oleh individu-individu yang seharusnya bertanggungjawab terhadap kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia secara internasional.

ICC dapat membantu menyediakan insentif dan petunjuk pelaksanaan kepada setiap negara yang ingin melakukan penuntutan terhadap individu-individu yang bertanggungjawab terhadap kejahatan atas kemanusiaan di pengadilan negara mereka masing-masing.

Selanjutnya ICC juga akan menjadi lembaga terakhir yang akan melakukan tuntutan terhadap individu yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak dituntut di negaranya diakibatkan oleh tidak adanya kemampuan ataupun kemauan dari negara tersebut untuk melakukan penuntutan.

Jadi dalam hal ini ICC akan menjadi semacam benteng terakhir keadilan bagi korban kejahatan tehadap kemanusiaan. Sebagaimana yang ditulis oleh A Irmanputra Sidin yang mengatakan “Berdasarkan Artikel 17, ICC bukanlah pengadilan the first resort, tetapi the last of the last resort karena itu tidak akan merusak kedaulatan domestik negara peserta.

ICC menggunakan prinsip remedi domestik bahwa negara peserta tetap mengadili terlebih dahulu pelaku pelanggaran HAM berat”.[3] Ini sejalan dengan penjelasan tentang ICC yang dipublikasikan dalam situs ICC yang mengatakan:

“As noted, the ICC is not intended to replace national courts. Domestic judicial systems remain the first line of accountability in prosecuting these crimes. The ICC ensures that those who commit the most serious human rights crimes are punished even if national courts are unable or unwilling to do so. Indeed, the possibility of an ICC proceeding may encourage national prosecutions in states that would otherwise avoid bringing war criminals to trial.”[4]

Dengan demikian jelas terlihat bahwa ICC adalah pengadilan pelengkap (komplemen) bagi pengadilan nasional. Keberlakuannya hanya akan dapat terjadi jika pengadilan domestik tidak dapat mengadakan pengadilan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.



ICC dan UU Pengadilan HAM Indonesia

Jika kita hubungkan masalah yurisdiksi ICC ini dengan UU Pengadilan HAM Indonesia (UU No. 26/ 2000) maka dalam laporan Amnesty Internasional bulan Februari 2001 disebutkan bahwa pada pasal 5 UU No. 26/ 2000 mengatur bahwa Pengadilan HAM mempunyai lingkup wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar batas territorial wilayah negara RI.

Aturan ini mengundang kekhawatiran bagi Amnesty International bahwa pembatasan wilayah territorial tersebut tidak konsisten dengan hukum internasional karena tidak memberikan kesempatan bagi penggunaan yurisdiksi universal terhadap mereka yang dicurigai melakukan tindakan pidana menurut hukum internasional dan berada di wilayah territorial Indonesia, atau bagi tersangka perkara-perkara semacam itu untuk diekstradisi ke negara lain yang mampu serta bersedia untuk menuntut mereka yang dituduh sebagai pelakunya.[5]

Dalam hal definisi tentang kejahatan yang diatur pada Bab III pasal 7 UU Pengadilan HAM Indonesia, telah terlihat kesesuaian yang sangat positif dengan pengertian yang tercantum dalam Statuta Roma tentang ICC pasal 6 dan 7.

Amnesty Internasional dalam laporan yang sama menulis, “Pemakaian Statuta Roma sebagai dasar bagi pemberian definisi ini kami sambut baik karena bersama-sama dengan instrumen atau traktat internasional lainnya UU ini memberikan standar yang pasti bagi penyidikan dan penuntutan atas pelanggaran HAM yang berat. Cara pendekatan semacam ini juga akan membantu memberikan sarana bagi peratifikasian Statuta Roma oleh Indonesia”. [6]

Selain masalah yurisdiksi tempat, ICC juga tidak memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002. ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili delik yang terjadi (ratione temporis) sebelum 1 Juli 2002. Indonesia, jika suatu hari nanti meratifikasi ICC, maka jurisdiksi ICC hanya pada delik-delik yang terjadi setelah tanggal ratifikasi. Namun, Indonesia tanpa meratifikasi dapat meminta pelaksanaan yurisdiksi ICC dengan terlebih dahulu menyampaikan deklarasi penerimaan kepada Panitera ICC di Den Haag Belanda (Artikel 11,12 ICC).[7]

Jika kita bandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia, maka hal ini kongruen dengan ketentuan UUD ’45 hasil amandemnen pada pasal 28I yang intinya melindungi seseorang dari penuntutan atas ketentuan yang berlaku surut.

Hal ini di satu sisi menunjukkan adanya ketidaksinkronan antara Statuta Roma tentang ICC dengan ketentuan hukum internasional lainnya. Amnesty International, masih dalam laporannya tentang Pengadilan HAM Indonesia, mengomentari ketentuan pasal 28 I tersebut dengan memakai perbandingan pasal 11 (2) Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan:

“Tidak seorangpun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran pidana menurut UU nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan”.

Ketentuan ini menurut Amnesty International menunjukkan bahwa hukum internasional tidaklah melarang adanya perundang-undangan pidana yang berlaku surut yang semata-mata berupa prosedur untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan penjatuhan hukuman atas kelakuan, yang pada saat dilakukan, memang merupakan perbuatan kriminal menurut prinsip-prinsip umum peraturan yang telah diterima oleh komunitas bangsa-bangsa.[8]

Jika kita cermati hal ini maka UUD ’45 dapat dikatakan melanggar prinsip-prinsip hukum internasional yang universal yang berikutnya berakibat pada tidak maksimalnya pelaksanaan UU Pengadilan HAM yang kita punya. Namun demikian hal ini juga terjadi pada Statuta Roma tentang ICC yang menyatakan tidak dimilikinya yurisdiksi oleh ICC untuk mengadili kejahatan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002. Penulis tidak (belum) mendapat keterangan lanjutan yang dapat mnjelaskan mengapa dalam Statuta Roma ini bisa terjadi kelemahan yang sangat elementer seperti ini.


Keberadaan dan kontroversi dalam ICC

ICC berada di The Hague, Belanda. Namun demikian, jika diperlukan ICC dapat dipindah keberadaannya ke negara lain. Negara-negara yang mengikatkan diri pada ICC akan menentukan anggaran dan ikut membayar iuran untuk ICC. Pendanaan ICC juga didapat dari PBB khususnya ketika ICC menginvestigasi dan menuntut kasus yang diserahkan kepada ICC oleh Dewan Keamanan (DK) PBB.

DK PBB dapat menyerahkan kepada ICC untuk melakukan investigasi dan penuntutan. DK PBB juga dapat meminta ICC untuk menghentikan investigasi dan penuntutan selama 12 bulan dalam suatu waktu jika DK merasakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh ICC saling tumpang tindih dengan tanggung jawab DK PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan. Ketentuan ini akan membuat setiap anggota tetap DK PBB memiliki kesulitan untuk memanipulasi ICC.

Statuta Roma juga memberikan rambu-rambu yang sangat ketat untuk menghindari terjadinya masuknya kasus-kasus yang sarat dengan motivasi politik. Sebagai contoh semua dakwaan akan memerlukan konfirmasi dari hakim-hakim pra-peradilan.

Hakim-hakim ini akan memeriksa bukti-bukti pendukung dakwaan sebelum mengumumkannya kepada publik. Dengan demikian terdakwa dan negara-negara yang memiliki perhatian terhadap kasus ini akan memiliki kesempatan untuk melakukan perlawanan terhadap dakwaan dalam proses dengar pendapat di depan sidang pra-peradilan. Sebagai tambahan, setiap investigasi yang dilakukan oleh jaksa penuntut harus mendapat persetujuan dari hakim-hakim pra-peradilan.

Setiap hakim dan jaksa penuntut akan melewati proses penelitian yang cermat dan tepat sebelum mereka terpilih dan diangkat di pengadilan ini. Statuta Roma memberikan criteria yang ketat untuk melakukan seleksi terhadap jaksa dan hakim, persyaratan tersebut meliputi keahlian dan reputasi, karakter moral, dan independensi yang tidak tercela. Mereka yang terpilih selama masa jabatannya akan dilarang untuk terlibat dalam berbagai aktivitas yang akan dapat mempengaruhi indepensinya.

Tentu saja Statuta Roma memberikan ketentuan bahwa para hakim dan jaksa yang menyalahgunakan kewenangannya akan dapat diberhentikan dengan tidak hormat. Setiap negara yang ikut serta meratifikasi ICC memiliki hak menominasikan orang-orangnya untuk dipilih sebagai hakim dan jaksa. Hanya hakim dan jaksa yang bertugas di tingkatan tertinggi di tiap negara yang dapat dinominasikan di ICC.

Namun demikian keberadaan ICC tidak luput dari permasalahan. Sebagaimana yang disampaikan pada bagian awal tulisan ini, terdapat 7 negara yang menolak untuk menandatangani Statuta Roma salah satunya AS. Ironinya, ketika komunitas internasional melakukan kohesi melawan penjahat kemanusiaan, AS, yang distigma sebagai police of the world malah menyatakan tidak bergabung sebagai negara peserta. Argumentasi penolakan AS bahwa ICC telah mengurangi peran Dewan Keamanan PBB (DK PBB), sebuah sistem yang cacat, dibangun tanpa pengawasan, dan mengancam kedaulatannya.[9]

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah AS ini benar-benar mengejutkan karena hal ini sangat berlawanan terhadap dukungan terhadap pembentukan ICC oleh hampir semua sekutu dekat AS. Permusuhan Pemerintahan Bush terhadap ICC meningkat secara dramatis pada tahun 2002. Perhatian utama yang menjadi alsan pemerintah Bush menolak ICC berhubungan dengan kemungkinan yurisdiksi ICC dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan investigasi dan penuntutan yang bermotif politik terhadap personil militer dan pejabat politik AS.

Pada tanggal 6 Mei 2002 sebuah manuver diplomatic yang belum pernah terjadi sebelumnya, Pemerintah Bush secara efektif mencabut tanda tangan AS pada treaty yang telah dilakukan sebelumnya. Pada saat itu Duta Besar AS yang berkuasa penuh untuk masalah-masalah kejahatan perang, Pierre-Richard Prosper menyatakan bahwa pemerintah AS tidak ingin “berperang” melawan ICC. Namun sebenarnya prnyataan ini sama sekali tidak benar. Penolakan untuk meratifikasi treaty yang dilakukan oleh AS telah membuka jalan yang amat komprehensif bagi pemerintah AS untuk mengurangi peran ICC.

Akibat dari penarikan diri ini pemerintahan Bush berikutnya melakukan langkah-langkah yang sangat tidak simpatik yang menunjukkan arogansi AS terhadap komunitas international.

Langkah pertama yang dilakukan adalah pemerintah Bush melakukan negosiasi dengan DK PBB untuk memberikan pengecualian terhadap personel AS yang menjadi bagian dari operasi pasukan penjaga perdamaian PBB. Namun negosiasi ini pada bulan Mei 2002 gagal untuk mendapat pengecualian terhadap pasukan penjaga perdamaian di Timor Timur.

Akibat dari hal itu pada bulan Juni AS melakukan veto terhadap rencana perpanjangan pasukan penjaga perdamaian untuk Bosnia-Herzegovina kecuali jika DK PBB memberikan pengecualian yang lengkap terhadap personel AS dari pemberlakuan ICC. Akibat dari permintaan ini hubungan AS dengan negara-negara sekutunya sempat tegang untuk beberapa waktu sampai akhirnya DK PBB menyepakati untuk memberi pengecualian terhadap personil AS yang terlibat dalam operasi pasukan penjaga perdamaian PBB untuk waktu satu tahun. Pengecualian ini diberikan dengan sangat terbatas dan DK PBB telah menunjukkan keinginannya untuk mengevaluasi pengecualian ini pada tanggal 30 Juni tahun depan.

Kedua, Pemerintah AS telah mengajukan permintaan kepada negara-negara di seluruh dunia untuk melakukan “kerjasama” bilateral untuk tidak menyerahkan warga negara AS kepada ICC. Tujuan dari “kerjasama” ini (kerjasama impunity atau yang lebih dikenal sebagai persetujuan pasal 98) adalah untuk menghindarkan personel AS dari yurisdiksi ICC.

Selain itu mereka juga mengkampanyekan dua tingkatan aturan main untuk tindak pidana internasional yakni yang berlaku untuk warga negara AS dan yang berlaku bagi warga ngara di luar AS. Hal ini tentu saja sangat menggelikan karena pemerintah AS melakukan segala cara untuk menghindari warga negaranya diserahkan kepada ICC smentara AS sangat getol untuk meminta negara-negara yang dianggap oleh AS telah melakukan tindakan pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia.

Organisasi seperti Human Right Watch International memprotes keras sikap AS ini dengan meminta negara-negara di seluruh dunia untuk menolak bekerja sama dengan AS dalam hal ini.

Ketiga, Kongres A telah memberi dukungan kepada pemerintah AS atas usahanya dalam isu ini dengan mengesahkan UU Perlindungan Pegawai Pemerintah AS (American Service member Protection Act, ASPA) yang kemudian ditandatanganioleh Presiden Bush pada tanggal 3 Agustus 2002. Isi yang paling utama dari Undang-undang yang sangat anti-ICC ini adalah:

a) Larangan bagi pemerintah AS untuk bekerja sama dengan ICC;

b) Melakukan “invasi” terhadap ketentuan-ketentuan The Hague dengan memberikan kekuasaan kepada Presiden AS untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk membebaskan personel AS dari tahanan atau penjara ICC;

c) Memberikan hukuman kepada negara-negara yang bergabung dalam ICC, menolak untu memberikan bantuan militer kepada negara-negara yang ikut serta dalam ICC (kecuali terhadap negara-negara sekutu utama AS);

d) Larangan bagi personel AS untuk berpartisipasi dalam misi penjaga perdamaian bila tidak ada garansi atau jaminan bahwa kekebalan terhadap ketentuan dalam ICC diberikan kepada mereka.

Ketentuan-ketentuan dalam ASPA ini benar-benar memberikan bukti bahwa pemerintah AS telah melakukan sebuah tindakan yang bertentangan dengan kehendak dunia internasional untuk menyeret pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dari manapun ke depan pengadilan pidana internasional yang permanen. Meskipun demikian, dengan dukungan komunitas internasional yang melihat arti penting dari ICC ini, ICC tetp mulai diberlakukan secara efektif pada 1 Juli 2002.



Kesimpulan
International Criminal Court atau Peradilan Kriminal International akan menjadi system peradilan pidana yang permanent yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002 dan akan mengadili kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, serta kejahatan perang. ICC akan menghindari pembentukan berulang-ulang pengadilan kriminal internasional ad-hoc seperti yang selama ini dibentuk untuk Yugoslavia dan Rwanda.

ICC bukan dimaksudkan untuk secara langsung mengadili kejahatan-kejahatan yang terjadi di satu negara, namun merupakan peradilan yang akan berlaku jika negara tempat terjadinya kejahatan-kejahatan tersebut tidak memiliki kemampuan atau kemauan untuk mengadilinya. Ini untuk menghindari impunity yang selama ini dinikmati oleh para pelaku kejahatan di beberapa negara yang dianggap tempat terjadinya kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan.

Namun demikian terdapat beberapa kelemahan bagi keberadaan ICC ini. Salah satunya yang paling menonjol adalah tidak diakuinya asas retroaktif dalam penyelesaian kasus-kasus kejahatan ini. Artinya, segala kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002 tidak akan menjadi yurisdiksi ICC. Para pelaku kejahatan kemanusiaan sebelum 1 Juli 2002 akan tetap menikmati kebebasan tanpa harus mendapat hukuman atas segala perbuatannya. Kelemahan lain dari ICC adalah bahwa mereka berlaku sebagai the last of the last resort bagi penuntutan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.

Artinya mereka masih menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada negara untuk melakukan penuntutan bagi para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Padahal jika seseorang yang disangka sebagai pelaku kejahatan mampu memegang kekuasaan di negaranya, maka akan mustahil penuntutan terhadap dirinya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum di negara tersebut.

Meskipun demikian, masih dapat diupayakan upaya penuntutan terhadap pelaku kejahatan yang masih memegang kekuasaan ini dengan mengambil contoh pelaksanaan pengadilan HAM bagi para pelaku kejahatan kemanusian Timor-timur yang saat ini berlangsung di Indonesia. Meskipun dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa UU ini tidak mengenal asas retroaktif, namun masih dapat diupayakan terobosan untuk tetap dapat melaksanakan pengadilan bagi para pelaku kejahatan kemanusiaan.

Selain beberapa kelemahan di atas, berlakunya ICC ini juga dapat mengalami hambatan yang sangat berat dikarenakan ICC tidak mendapat dukungan politik yang kuat dari AS. Sebagaimana yang diuraikan sebelumnya bahwa AS dengan berbagai alasan menolak berlakunya ICC. Seperti yang kita ketahui posisi AS yang sangat dominan dalam politik internasional akan dapat menghambat efektivitas kerja dari ICC. Meskipun demikian dengan dukungan mayoritas Negara-negara di dunia kita harapkan ICC tetap dapat memulai tugasnya untuk menciptakan keadilan di seluruh dunia.




referensi

[1] Publikasi ICC pada situs resmi http://www.un.org/law/icc/
[2] Ibid
[3] A Irmanputra Sidin, Berjalan Menuju Roma (Refleksi Berlakunya Statuta Roma), dalam situs http://www.kompas.com/kompas-cetak/0207/13/opini/berj04.htm
[4] Op.cit http://www.un.org/law/icc/
[5] Amnesty International, Komentar Mengenai Undang-undang Pengadilan HAM Indonesia, February 2001. hal 1.
[6] Ibid. hal 2
[7] Op.cit A Irmanputra Sidin
[8] Amnesty International, Op.cit
[9] Op.cit. http://www.un.org/law/icc/

Pengakuan Dalam Teori dan Praktek Hukum Internasional

Pengakuan lebih merupakan manifestasi kepentingan politik daripada kepentingan hukum. Pengakuan internasional kepada suatu Negara, pemerintah atau belligeren cenderung menonjolkan aspek kepentingan. Ada atau tidaknya suatu kepentingan politik akan berpengaruh terhadap diberikannya atau tidak suatu pengakuan.

Menurut Konvensi Montevideo 1933 secara politis, Negara menjadi subjek hukum internasional apabila telah memenuhi syarat-syarat: penduduk yang tetap; wilayah yang pasti; pemerintahan yang berdaulat dan kemampuan melakukan hubungan internasional dengan Negara-negara lain.

Penggabungan, pemisahan dan penggantian pemerintahan baru, berarti terjadi perubahan bentuk Negara atau bentuk pemerintahan. Persoalan yang dihadapi oleh suatu Negara atau pemerintahan baru dari sudut pandang hukum internasional adalah berkaitan dengan masalah “pengakuan” (recognition).

Persoalan yang timbul adalah apakah suatu pemerintahan atau Negara baru memerlukan adanya suatu pengakuan internasional, sehingga dari sudut hukum internasional dapat dianggap mampu melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain.

Pengakuan apbila sudah menjadi ius cogen, maka secara hukum, pengakuan mutlak diberikan karena wajib bagi setiap pergantian, perubahan dan penggabungan Negara atau pemerintahan baru. Dengan kata lain, setiap pemerintahan atau Negara baru akan menjadi subjek hukum internasional akan syah apabila sudah mendapat pengakuan atau diakui oleh masyarakat internasional.

Negara yang memberikan pengakuan karena alasan-alasan politik dapat menimbulkan, tidak saja akibatpolitik tetapi juga menimbulkan akibat hukum yaitu:

a. Akibat politik: Negara baru dapat mengadakan hubungan diplomatic dan;

b. Akibat hukum:

1. Pengakuan merupakan bukti terhadap keadaan yang sebenarnya (evidence of factual situation);

2. Pengakuan menimbulkan akibat-akibat tertentu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatic antar Negara yang mengakui dan diakui;

3. Pengakuan memperkokoh status hukum Negara yang diakui dihadapan pengadilan Negara yang mengakui disamping alasan politis. Dalam prakteknya, Inggris member pengakuan apabila suatu Negara telah memenuhi syarat-syarat politis.


TEORI-TEORI PENGAKUAN

1. Teori Konstitutif

Menurut teori ini, pengakuan merupakan hal yang bersifat mutlak. Keberadaan suatu Negara harus melalui suatu pengakuan. Tanpa adanya pengakuan, maka suatu Negara tidak dapat dianggap sebagai suubjek hukum internasional. Akibatnya, Negara yang bersangkutan tidak dapat menjalin hubungan internasional dengan Negara lain.
Oppenheim menyatakan:

“A State in and becomes an international person trought recognition only and exclusively”

(sebuah Negara dalam dan akan menjadi subjek hukum internasional hanya melalui pengakuan yang ekslusif)

Menurut teori ini, suatu Negara menjadi subjek hukum internasional hanya melalui pengakuan. Ada 2 alasan yang melatarbelakangi pendapat ini, yaitu:

“jika kata sepakat yang menjadi latar belakang hukum internasional, maka tidak ada Negara yang diperlakukan sebagai subjek hukum internasional, tanpa adanya kesepakatan, Negara-negara yang telah ada terlebih dahuku”


2. Teori Deklaratif

Menurut teori ini pengakuan merupakan suatu pernyataan, artinya, ada tidaknya suatu pengakuan bukan merupakan syarat penting. Secara hukum, tidak ada suatu ketentuan yang mengharuskan suatu Negara atau pemerintahan memperoleh pengakuan dari Negara lain sesuai dengan satu pendapat yang menyatakan:

“…….there is no general acceptance of the existence of the duty or the right mentioned. No right to recognition Is laid down in the Draft Declaration on the right and duties of State, drawn up by the International law Commission…….recognition in a facultative and not obligatory act is more consistent with the practice”

(tidak ada ketentuan umum bahwa terdapat kewajiban atau hak yang disebutkan untuk mengakui Negara atau pemerintah lain yang diatur di dalam rancangan deklarasi tentang hak dan kewajiban Negara-negara, dan juga dijelaskan oleh Komisi Hukum Internasional….. pengakuan tidak bersifat wajib dan tidak ada kewajiban hukum sesuai dengan praktek)

Tidak adanya kewajiban mutlak dalam hukum internasional untuk memberikan pengakuan terhadap Negara atau pemerintahan yang baru. Apakah pengakuan mutlak diberikan atau tidak, beberapa pendapat member gambaran yang satu dengan yang saling secara berbeda, diantaranya:

1. Chen : pengakuan merupakan suatu kewajiban hukum internasional; dan

2. Ian Brownlie : Tidak ada suatu kewajiban hukum bagi masyarakat internasional untuk memberikan pengakuan terhadap suatu Negara atau pemerintahan baru.
Berpedoman pada Resolution Institute of Interntional Law, yang menyatakan:

“pengakuan atas Negara baru merupakan tindakan sukarela dari satu atau beberapa Negara yang diakui adanya persekutuan hidup yang diorganisir secara politis diatas suatu wilayah tertentu, tidak tergantung pada Negara lain apapun, dan sanggup mematuhi kewajiban-kewajiban hukum internasional dan dengan jalan itu negara-negara menyatakan maksudnya untuk menganggap negara baru itu sebagai anggota persemakmuran iinternasional”


Bentuk-bentuk Pengakuan

1. Pengakuan Negara Baru

Lahirnya suatu Negara baru melalui proses damai dan sesuai dengan proses konstitusi adalah hal yang tidak sulit, asalkan suatu Negara telah memenuhi syarat sebagai Negara sesuai dengan Konvensi Montevideo 1933. Pernyataan sepihak non-konstitusional terhadap suatu wilayah Negara baru akan menjadi masalah, bahkan perannya akan semakin penting apabila melalui cara-cara konstitusional.


2. Pengakuan Pemerintahan Baru

Proses pergantian pemerintahan baru akan menimbulkan beberapa persoalan, tidak saja persoalan-persoalan hukum tetapi juga politis yang apabila proses lahirnya suatu pemerintahan baru melalui cara-cara non-konstitusional seperti Coup’etat, pemberontakan atau pergantian pemerintahan baru dengan penggulingan pemerintahan lama. Cara-cara pergantian tersebut memperoleh pengakuan apabila:

a. Adanya pemerintahan yang permanen. Artinya, pemerintahan tersebut mampu mempertahankan kekuasaannya dalam jangka waktu yang lama;

b. Pemerintahan yang ditaati, apakah dengan adanya pemerintahan baru tersebut rakyat akan mematuhi segala ketentuan hukum yang dilahirkannya;

c. Penguasaan wilayah secara efektif sebagian besar wilayah Negara.



Macam-macam Pengakuan

Pemerintahan Baru

Pengakuan de facto,
pengakuan ini bersifat sementara untuk melihat apakah pemerintahan baru tersebut merupakan “pemerintahan berdaulat” yang mampu menjalankan kewajiban menurut hukum internasional. Disamping itu, pemerintahan baru tersebut dapat menjalankan pemerintahan di dalam negerinya. Pengakuan de jure, pengakuan ini diberikan apabila tidak ada keraguan lagi terhadap pemerintahan baru tersebut.

Pengakuan terhadap pemberontak (insurggensi) dalam hukum internasional mendapat perlindungan untuk menerima perbekalanm dari Negara-negara netral. Pemberian pengakuan terhadap pemberontak untuk menanamkan keyakinan, bbahwa pemberontakan janganlah diperlakukan sebagai kaum pengacau apabila tertangkap. Hal ini diberikan apabila kaum penentang berada dibawah pimpinan dan mempunyai wilayah dan mentaati ketentuan hukum perang (humaniter).

Pengakuan belligerensi,
apabila suatu kelompok dalam suatu Negara telah berkembang menjadi kuat dan besar dan menantang pemerintahan yang berkuasa, maka kelommpok ini dinamakan belligerensi.

Sampai saat ini, baik secara teoretis maupun praktis, masalah pengakuan terus menjadi perdebatan diantara Negara-negara. Hubungan internasional terus berlanjut dan terus berbeda dalam beberapa hal apakah “pengakuan” sudah diterima sebagai jus cogens. Tampaknya pengaturan masalah pengakuan dalam hukum internasional masih jauh dari harapan. Perbedaan tentang perlu tidaknya pengakuan diberikan kepada Negara, pemerintah, penguasaan wilayah baru diserahkan kepada kebijakan masing-masing Negara. Peran PBB baru sebatas member himbauan atau anjuran berupa Resolusi.

Law and development Theory

A. Pendahuluan

Law and Development Theory dan Law and Dependence Theory merupakan sebuah teori yang dapat dikatakan sebagai sebuah perkembangan akhir dari teori filsafat yang telah ada sebelumnya.

Dalam Law and Development terdapat sebuah Teori lain yang pada dasarnya di jelaskan secara implisit dalam Law and Development Theory dan teori tersebut adalah Modernization Theory Law and Dependency Theory yang pada umumnya berkembang di wilayah negara-negara maju

Law and Development Theory sendiri telah menjadi bidang yang ada dalam studi akademik selama 30 tahun. Sebagai disiplin ilmu yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial pada awal 1950an,


B. Modernization Theory

Teori modernisasi merupakan sebuah paradigma yang paling pertama menjelaskan tentang pergerakan perkembangan politik. Perkembangan teori ini berkembang sebagai akibat dari perang dunia ke-dua terutama setelah adanya usaha dari para ahli ekonomi Amerika, pakar politik dan ahli sosiologi.

Modernization Theory melahirkan Law and Development Theory dalam bidang hukum. Hubungan ini mengikat nasib mereka bersama: keruntuhan Modernization Theory pada awal tahun 1970-an membawa serta jatuhnya Law and Development Theory yang sempat terlahir sepuluh tahun sebelumnya.

Modernization Theory yang mengacu pada teori Structural Functional yang dikembangkan oleh Tacott Parson. Pada intinya teori ini menekankan bahwa pembangunan merupakan proses evolusioner tidak terhindarkan harus mengarah pada peningkatan diferensiasi social yang membentuk lembaga-lembaga ekonomi, politik dan sosial seperti pada masyarakat Barat: pembentukan pasar bebas, lembaga politik liberal-demokrat, dan The Rule of Law. Proses pembangunan politik tersebut harus memenuhi empat elemen yang menjadi esensi, elemen tersebut antara lain :

a. Rasionalisasi, elemen yang di dasarkan pada dikomi yang familiar dalam teori sosial dari Durkheim, Weber, Tonnies dan Talcot Parsons untuk mewujudkan adanya pergeseran dari: masyarakat yang bersifat particular menjadi masyarakat yang bersifat universal, menjadikan sesuatu yang masih bersifat ascription menuju pencapaian achievement, dan melakukan perubahan yang mendasar terhadap tindakan yang bersifat affectifity menjadi affective neutrality;

b. Integrasi nasional, sebagai bayangan tentang adanya gambaran konflik-konflik etnis di Negara-negara berkembang;

c. Demokratisasi, menekankan adanya pluralism, competitiveness, accountability, dan

d. mobilisasi politik dengan kegiatan pencerdasan masayarakat yang dapat dicapai melalui proses pendidikan.

Untuk membuktikan kebenaran teori tersebut, Negara-negara maju –terutama Amerika Serikat—menyediakan talangan/kredit dana dalam jumlah luar biasa kepada Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Setelah dua dekade proyek raksasa tersebut berjalan, pada tahun 1974 para penganjur teori tersebut akhirnya menyatakan bahwa Modernization Theory berada pada kondisi yang kritis, karena tidak mampu mewujudkan teori tersebut ke dalam kenyataan di Negara-negara berkembang.

Namun pendukung teori ini tidak mau jujur mengakui kegagalan teorinya yang diterapkan di Negara-negara berkembang, tetapi sebaliknya justru mengkambing-hitamkan Negara berkembang sebagai sumber kegagalan teori mereka. Mereka menuduh rendahnya mentalitas penduduk Negara-negara Berkembang memang tidak mampu mewujudkan persyaratan yang dituntut oleh teori mereka, bukan teori mereka yang gagal.

Sebagai anak kandung Modernization Theory, Law and Development movement juga menekankan bahwa perkembangan evolusi di Negara-negara berkembang harus menghasilkan lembaga-lembaga dan ideal-ideal hukum seperti yang ada pada masyarakat Barat. Namun lonceng kematian Modernization Theory telah menggariskan takdir Law and Development movement.

Paradigma sistem sosial Talcott Parsons, yang berdasarkan pendekatan struktural fungsional, dan dalam sibernetikanya memandang hukum hanya merupakan sub dari sub-sistem sosial, sebagaimana dapat disederhanakan pada gambar 2, memang tidak pantas dipergunakan sebagai pisau analisa, karena teori ini merendahkan peran hukum, yang dalam kajian tersebut derajatnya ditentukan lebih rendah dari lembaga-lembaga politik dan ekonomi.

Pada kajian yang melibatkan peran hukum dalam masyarakat, penulis berpendapat seyogyanya dipergunakan paradigma hukum sebagai inter-sub sistem sosial, sebagaimana tampak pada gambar 2 berikut. Dalam paradigm ini, hukum berperan untuk menghubungkan dan mengintegrasikan seluruh sub-sistem social, bukan sebagai bagian yang lebih rendah derajatnya di banding sub-sub system sosial lainnya. Berdasarkan paradigma ini, hukum berada pada semua bagian –merupakan inter-sub sistem--, dari sistem sosial (dalam arti luas), baik pada sub-sistem ekonomi, sub-sistem politik maupun sub-sistem bidang kehidupan sosial lainnya, yang disebut sebagai sub-sistem sosial (dalam arti sempit).



C. Dependency Theory

Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kenajuan bagi negara dunia ketiga telah menumbuhkan sikap kritis beberapa ilmuan sosial untuk memberikan suatu teori pembangunan yang baru, yang tentu saja mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan teori yang telah ada. Kritikan terhadap modernisasi yang dianggap sebagai “musang berbulu domba” dan cenderung sebagai bentuk kolonialisme baru semakin mencuat dengan gagalnya negara-negara Amerika Latin menjalankan modernisasinya.

Frank sebagai pelopor kemunculan teori dependensi, pada awalnya menyerang pendapat Rostow. Frank menganggap Rostow telah mengabaikan sejarah. Sejarah mencatat bagaimana perkembangan dunia ketiga yang tatanan ekonominya telah dihancurkan oleh negara dunia pertama selama masa kolonial. Pemikiran Frank terus bergulir dan disambut oleh pemikir sosial lainnya seperti Santos, Roxborough, Cardoso dan Galtung.


a. Radikalisme ala Marx

Teori dependensi merupakan analisis tandingan terhadap teori modernisasi. Teori ini didasari fakta lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari negara dunia ketiga, khususnya di Amerika Latin. Teori dependensi memiliki saran yang radikal, karena teori ini berada dalam paradigma neo-Marxis. Sikap radikal ini analog dengan perkiraan Marx tentang akan adanya pemberontakan kaum buruh terhadap kaum majikan dalam industri yang bersistem kapitalisme. Analisis Marxis terhadap teori dependensi ini secara umum tampak hanya mengangkat analisanya dari permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar negara. Sehingga negara pusat dapat dianggap kelas majikan, dan negara dunia ketiga sebagai buruhnya.

Sebagaimana buruh, ia juga menyarankan, negara pinggiran mestinya menuntut hubungan yang seimbang dengan negara maju yang selama ini telah memperoleh surplus lebih banyak (konsep sosialisme). Analisis Neo-Marxis yang digunakannya memiliki sudut pandang dari negara pinggiran.

Marx mengungkapkan kegagalan kapitalisme dalam membawa kesejahteraan bagi masyarakat namun sebaliknya membawa kesengsaraan. Penyebab kegagalan kapitalisme adalah penguasaan akses terhadap sumberdaya dan faktor produksi menyebabkan eksploitas terhadap kaum buruh yang tidak memiliki akses. Eksploitasi ini harus dihentikan melalui proses kesadaran kelas dan perjuangan merebut akses sumberdaya dan faktor produksi untuk menuju tatanan masyarakat tanpa kelas.


b. Pendekatan Historis Struktural

Perspektif dependensi muncul setelah perspektif modernisasi diterapkan di banyak negara terbelakang. Pengamatan yang dilakukan oleh ahli sejarah telah memberikan gambaran serta dukungan bukti empirik terhadap kegagalan modernisasi. Sebagai sebuah kritik, dependensi harus dapat menguraikan kelemahan-kelemahan dari modernisasi dan mengeluarkan pendapat baru yang mampu menutup kelemahan tersebut.

Penggunaan metode hidtoris struktural telah memberikan bukti empirik yang sangat cukup untuk memberikan kritik terhadap modernisasi. Sebagai sebuah proses perubahan sosial yang memakan waktu sangat lama, pembangunan erat kaitannya dengan sejarah perkembangan suatu negara. Oleh karena itu tidak salah apabila Frank menyatakan bahwa perkembangan ekonomi negara saat ini tidak lepas dari begaimana keadaan sejarah ekonomi, politik dan sosialnya di masa lalu.


c. Asumsi serta Tesis dari Frank dan Santos

Asumsi dasar teori ketergantungan ini menganggap ketergantungan sebagai gejala yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global (Barat dan Non Barat, atau industri dan negara ketiga), dan kondisi ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis.

Terdapat beberapa asumsi dasar dalam perspektif dependensi yang disampaikan oleh beberapa ahli. Frank menyatakan bahwa pemahaman terhadap sejarah ekonomi, sosial dan politik menjadi suatu hal yang penting dalam menentukan kebijakan pembangunan pada suatu negara. Karakteristik suatu negara yang khas dapat dikaji dari perspektif historis. Pendekatan pembangunan yang dilakukan oleh negara terbelakang saat ini sebenarnya merupakan hasil pengalaman sejarah negara maju yang kapitalis seperti negara-negara Eropa dan Amerika Utara.

Terdapat perbedaan sejarah yang sangat mendasar antara negara maju dan negara bekas koloni atau daerah jajahan sehingga menyebabkan struktur sosial masyarakatnya berbeda. Frank juga menganggap adanya kegagalan penelitian sejarah dalam menganalisis hubungan ekonomi yang terjadi antara negara penjajah dan negara jajahannya selama masa perdagangan dan imperialisme. Pembangunan ekonomi merupakan sebuah perjalanan menuju sistem ekonomi kapitalisme yang terdiri dari beberapa tahap. Saat ini negara terbelakang masih berada pada awal tahapan tersebut.

Frank menyajikan lima tesis tentang dependensi, yaitu :

1. Terdapat kesenjangan pembangunan antara negara pusat dan satelitnya, pembangunan pada negara satelit dibatasi oleh status negara satelit tersebut.

2. Kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan hubungan dan difusi dengan negara maju. Tesis ini dapat dijelaskan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu “isolasi temporer” yang disebabkan oleh krisis perang atau melemahnya ekonomi dan politik negara pusat. Frank megajukan bukti empirik untuk mendukung tesisnya ini yaitu pada saat Spanyol mengalami kemunduran ekonomi pada abad 17, perang Napoleon, perang dunia pertama, kemunduran ekonomi pada tahun 1930 dan perang dunia kedua telah menyebabkan pembangunan industri yang pesat di Argentina, Meksiko, Brasil dan Chili. Pengertian isolasi yang kedua adalah isolasi secara geografis dan ekonomi yang menyebabkan ikatan antara “pusat-satelit” menjadi melemah dan kurang dapat menyatukan diri pada sistem perdagangan dan ekonomi kapitalis.

3. Negara yang terbelakang dan terlihat feodal saat ini merupakan negara yang memiliki kedekatan ikatan dengan negara pusat pada masa lalu. Frank menjelaskan bahwa pada negara satelit yang memiliki hubungan sangat erat telah menjadi “sapi perah” bagi negara pusat. Negara satelit tersebut hanya sebatas sebagai penghasil produk primer yang sangat dibutuhkan sebagai modal dalam sebuah industri kapitalis di negara pusat.

4. Kemunculan perkebunan besar di negara satelit sebagai usaha pemenuhan kebutuhan dan peningkatan keuntungan ekonomi negara pusat. Perkebunan yang dirintis oleh negara pusat ini menjadi cikal bakal munculnya industri kapitalis yang sangat besar yang berdampak pada eksploitasi lahan, sumberdaya alam dan tenaga kerja negara satelit.

5. Eksploitasi yang menjadi ciri khas kapitalisme menyebabkan menurunnya kemampuan berproduksi pertanian di negara satelit. Ciri pertanian subsisten pada negara terbelakang menjadi hilang dan diganti menjadi pertanian yang kapitalis.
Pendapat yang disampaikan Frank sangat kental dengan nuansa pemikiran Marx tentang kapitalisme dan eksploitasi. Frank memperkuat semua pendapatnya dengan menggunakan bukti-bukti empirik dan menggunakan metode historis struktural. Bukti empirik yang dikumpulkan Frank merupakan hasil penelitian sejarah perkembangan sosial dan ekonomi negara-negara Amerika Latin.

Santos mengamsusikan bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan-aturan perkembangannya sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara pusat adalah kapitalisme sehingga menyebabkan timbulnya saha melakukan ekspansi keluar dan tipe hubungan ekonomi pada negara periferi merupakan bentuk ketergantungan yang dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh negara pusat. Santos menjelaskan bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia.

Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang dilakukan memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan negara maju. Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara miskin menjadi satelitnya. Konsep ini lebih dikenal dengan istilah “pusat – periferi”.

Tesis yang diajukan oleh santos adalah pembagian ketergantungan menjadi tiga jenis yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan ketergantungan teknologi industri. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang dialami oleh negara jajahan. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk ketergantungan yang paling awal dan hingga kini telah dihapuskan. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan.

Sementara itu, jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19, maka ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Ekspor bahan mentah menyebabkan terkurasnya sumber daya negara, sementara nilai tambah yang diperoleh kecil. Sumbangan pemikiran Santos terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada bentuk ketergantungan teknologi industri.

Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri.


d. Sumbangan Cardoso, Galtung, Frank dan Roxbourgh

Roxborough sebagai tokoh dependensi, menjelaskan bahwa pengaruh kapitalisme terhadap perubahan struktur sosial pedesaan akan lebih baik bila menggunakan analisa kelas. Eksistensi kapitalisme sangat terkait dengan peran kelas. Penjelasan Lenin tentang dua jalur penetrasi kapitalisme tersebut memberi hasil yang hampir sama, yaitu diferensiasi yang menjurus ke arah polarisasi pemilikan lahan dan ekonomi.

Struktur ketergantungan secara bertingkat mulai dari negara pusat sampai periferi disampaikan oleh Galtung. Imprealisme ditandai satu jalur kuat antara pusat di pusat dengan pusat di periferi (CC-CP). Ditambahkan Frank, bahwa daerah desa yang terbelakang akan menjadi penghalang untuk maju bagi negara bersangkutan. Struktur kapitalisme juga dapat dikaitkan dengan Cardoso tentang dependensi ekonomi. Ketergantungan ekonomi terjadi melalui perbedaan produk dan kebijakan hutang yang menyebabkan eksploitasi finansial.


e. Imperialisme dan Ketergantungan

Modernisasi yang disampaikan oleh negara dunia pertama tak ubahnya seperti imperialisme yang mereka lakukan pada waktu lampau. Menurut Roxborough, teori imprealisme memberikan perhatian utama pada ekspansi dan dominasi kekuatan imperealis. Imperealis yang ada pada abad 20 pertama-tama melakukan ekspansi cara produksi kapitalis ke dalam cara produksi kapitalis. Tujuan ekspansi tersebut ke negara ketiga pada mulanya hanyalah untuk meluaskan pasar produknya yang sudah jenuh dalam negeri sendiri, serta untuk pemenuhan bahan baku. Namun, pada pekembangan lebih jauh, ekspansi kapitalis ini adalah berupa cara-cara produksi, sampai pada struktur ekonomi, dan bahkan idelologi.

Teori Pembangunan Dunia Ketiga adalah teori materialisme yang dikembangkan Karl Marx. Salah satu kelompok teori yang tergolong teori struktiral ini adalah teori ketergantungan Teori Post-Dependensi (Pasca Ketergantungan) Teori Pembangunan Yang lain ( Another Development Adam Smith and the Spontaneous Order of the Market Place; Karl Marx and the Teori Pembangunan Klasik memiliki tiga aliran, yaitu aliran-aliran Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx. teori yang dikembangkan oleh Karl Marx (Marxian). Ketergantungan itu dasarnya pada pandangan karl marx (pasca ketergantungan) immanuel wallerstein.

mengkritik bahwa teori ketergantungan tidak bisa menjelaskan pembangunan di dunia ketiga, yang filsafat materialisme yang dikembangkan oleh Karl Max. Teori Ketergantungan membantah tesis Marx kajian tersebut memiliki asumsi yang sama, yakni ketergantungan pembangunan yang dikembangkan Karl Marx. Salah satu kelompok teori yang tergolong teori struktiral ini adalah teori ketergantungan yang melawan pembangunan. Teori ketergantungan sering Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Teori Pembangunan materialisme yang dikembangkan Karl Marx.

Salah satu kelompok teori yang tergolong teori struktiral ini adalah teori ketergantungan Teori Pembangunan Klasik memiliki tiga aliran, yaitu aliran-aliran Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx. teori yang dikembangkan oleh Karl Marx (Marxian). Ketergantungan itu empiris tentang pembangunan di negara-negara pinggiranjuga dari para pemikir Marxis (Paul Baran) maupun yang bukan (Raul Prebisch). Tokoh-Tokoh Teori Ketergantungan 1. Karl MarxTeori Pembangunan Klasik memiliki tiga aliran, yaitu aliran-aliran Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx. teori yang dikembangkan oleh Karl Marx (Marxian). Ketergantungan itu dapat dikemukakan : :

a. Teori moderenisasi

Teori moderenisasi secara umum dapat diungkap sebagai cara pandang (Visi) yang menjadi modus utama analisanya diletakkan kepada faktor manusia dalam suatu masyarakat . Moderenisasi kemudian menjadi semacam komoditi di kalangan masyarakat, yang menempatkan faktor mentalitas menjadi penyebab perubahan
Menurut teori moderenisasi ukuran masyarakat moderen atau masyarakat yang berbudaya maju adalah pada nilai-nilai dan sikap hidup beserta Sistem ekonomi yang menghidupinya Menurut Selo Sumardjan masyarakat yang termoderenisasi menghadapai beberapa tahapan yaitu :

1. Moderenisasi tingkat alat
2. Moderenisasi tingkat lembaga
3. Moderenisasi tingkat Individu
4. Moderenisasi Tingkat Inovasi


b. Teori Depedensia

Teori ini muncul di Amerika latin, yang menjadi kekuatan reaktif dari suatu kegagalan teori moderenisasi dalam pembangunan yang sedang dijalankan, dalam konsp berfikir teori ketergantungan, pembagian kerja secara internasional adalah yang menyebabkan keteberlakangan negara-nagera pertanian.

Kemudian muncul pertanyaan mengapa pembagian kerja internasional bila tiap-tiap negara mempunyai sepesialisasi produksi sesuai keuntungan komparatif yang dimilikinya, ternyata tidak menguntungkan semua negara ?

Teori moderenisasi menjawab masalah tersebut dengan kesalahan terletak pada negara-negara tersebut yang melakukan moderenisasi dirinya, disini teori depedensi yang berlandaskan sterukturalisme berpandapat bahwa kemiskinan yang terdapat dinegara dunia ketiga yang mengkhususkan pada produksi pertanian adalah akibat setruktur perekonomian dunia yang bersifat ekploitatif, dimana yang kuat melakukan ekploitasi terhadap yang lemah. Maka surplus dari negara-negara dunia ketiga berpindah ke negara-negara maju.

Yang cukup menarik adalah dalam perkembangannya, teori ketergantungan ini justru menolak teori maxsis klasik yang memuat asusmsi:

1. Negara Dunia ketiga adalah negara yang tidak dinamis, yang memakai cara berproduksi orang asia yang sangat berbeda dengan orang eropa yang mengahasikan modal kapitalisme.

2. Negara-negara duinia ketiga ini setelah berhubungan dengan sitem kapitalisme akan mengikuti jejak negara-negara kapitalis yang telah maju.
Di kalangan pemikir teori ketergantungan yang berkembang lebih lanjut, mereka membantah kedua tesis diatas dan mengembangkan inti pemikiran yang lebih maju yaitu:

1. Negara-Negara pinggiran (Dunia ke III) yang pra kapitalis sebenarnay memiliki dinamikanya sendiri apabila tidak berhubungan dengan sistem kapitalisme akan berkembang dengan sendirinya

2. Justru karena penagruh sistem kapitalisme negara maju, parkembangan negara pinggiran jadi terhambat.

Hal tersebut adalah beberapa contoh ditinggakatan makro analisis teori depedensi sedangakan di tingkatan mikro dapat kita lihat bagaimana hal tersebut dapat dibuktikan oleh terori depedensi dimana beberapa fenomena hubungan yang bersifat ekploitatif :

1. Bagaimana Kerdit yang diberikan kepada rakyat kecil terbentuk (Pedagang kecil dan petani) denga terkesan memberikan kebebasan kepeda mereka untuk berusaha secara alamiah di pasar bebas?. Bagaimana pula campur tangan pihak birokrasi pemerintah dan pihak perbank-kan memberi pengaruh yang tidak kecil ketika mengucurkan kredit kepada petani. Bagaimana bantuan mereka selalu melalui lingkaran aparat birokrasi pemerintahan sehingga terkesan sangat tidak sehat, karena aparat birokrasi ikut mengerogoti besar bantuan tadi dalam bentuk pembinaan yang tidak Fungsional.

2. Bagaimana aparat birokrasi pemerintah menciptakan ketergantungan pelayanan kepada pengusaha atau pemodal besar sehingga sehingga memberikan fasilatas kepada mereka dalam kerangka pengembangan usaha mereka di pasar bebas

3. Bagaimana Multy National Corporation (MNC) mengembangkan usaha di negara berkembang, dengan menciptakan ketergantunagan pelayanan pada pusat-pusat distribusi yang mereka ciptakan (misal dalam layanan purna jual dll)
Saatnya negara-negara berkembang berani mengatakan tidak kepada negara maju dengan sejumlah paket kerja ekonomi yang timpang, di indonesia sendiri kita bisa lihat banyak perusahaan Trans Nasional yang mengalai kekayaan alam di Indonesia tapi tidak ada dampak positif untuk masyarakat, yang paling mencolok adalah PT Freeport yang mengambil gunung emas, dengan meninggalkan lubang dalam sisa penggalian, tetapi masyarakat sekitar hanya bisa mengigit jari ketika gunung emasnya dibawa pergi, Negara Dunia Ketiga harus menentukan nasibnya sendiri untuk emngembalikan kejayaanya.



III. Teori Dependensi (Teori Ketergantungan)

a) Dasar Teori

Teori dependensi menolak premis dan asumsi-asumsi yang diajukan oleh teori modernisasi. Teori dependensi dilandasi oleh strukturalisme yang beranggapan bahwa kemiskinan yang terdapat di negara-negara Dunia Ketiga yang mengkhususkan diri pada produksi pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif, dimana yang kuat (Raul Prebisch: Negara Pusat) melakukan eksploitasi terhadap yang lemah (negara-negara Pinggiran). Maka, surplus dari negara-negara Dunia Ketiga (negara pinggiran) beralih kenegara-negara industri maju (negara Pusat).

Teori struktural sendiri berpangkal pada filsafat materialisme Marx, namun sekaligus teori ketergantungan membantah tesis Marx yang menyatakan bahwa kapitalisme akan menjadi cara produksi tunggal, dan menciptakan proses maupun struktur masyarakat yang sama disemua negara yang ada didunia ini. Prebisch yang pemikirannya dilanjutkan oleh Baran, berpendapat bahwa kapitalisme yang berkembang di negara-negara yang menjadi morban imperialisme, tidak sama dengan perkembangan kapitalisme dari negara-negara kapitalisme yang menyentuhnya. Kapitalisme di negara-negara pinggiran merupakan kapitalisme yang sakit, yang sulit berkembang dan memiliki dinamika yang berlainan. Oleh karena itu, perlu dipelajari secara terpisah sebagai sesuatu yang unik, jika hanya menerapkan konsep-konsep dan teori-teori yang berlaku di negara-negara kapitalis pusat, tidak akan pernah diperoleh pemahaman yang benar tentang dinamika dan proses kapitalisme pinggiran.


b. Ciri Pokok:

1. Yang menjadi hambatan dari pembangunan bukanlah ketiadaan modal, melainkan pembagian kerja internasional yang terjadi. Dengan demikian, faktor-faktor yang menyebabkan keterbelakangan merupakan faktor eksternal;

2. Pembagian kerja internasional ini diuraikan menjadi hubungan antara dua kawasan, yakni pusat dan pinggiran. Terjadi pengalihan surplus dari negara pinggiran ke pusat.

3. Akibat pengalihan surplus ini, negara-negara pinggiran kehilangan sumber utamanya yang dibutuhkan untuk membangun negerinya. Surplus ini dipindahkan ke negara-negara pusat. Maka, pembangunan dan keterbelakangan merupakan dua aspek dari sebuah proses global yang sama. Proses global ini adalah proses kapitalisme dunia. Dikawasan yang satu, proses itu melahirkan pembangunan, dikawasan lainnya keterbelakangan.

4. Sebagai terapinya, Teori ketergantungan menganjurkan pemutusan hubungan dengan kapitalisme dunia, dan mulai mengarahkan dirinya pada pembangunan yang mandiri. Untuk ini, dibutuhkan sebuah perubahan politik yang revolusioner, yang bisa melakukan perubahan politik yang radikal. Setelah faktor eksternal ini disingkirkan, diperkirakan pembangunan akan terjadi melalui proses alamiah yang memang ada di dalam masyarakat negara pinggiran.

Runtuhnya paradigma modernisasi diikuti dengan penyatuan ideologi yang berlawanan. Dalam skala yang lebih luas terdapat beberapa faktor, diantaranya:

1. Menyalahkan kemunduran Negara berkembang akibat imporealisme dari Negara barat/Negara maju.

2. Meyebarluaskan bahwa sosialisme lebih dari liberalism.

3.Mengargumentasikan bahwa budaya Negara berkembang harus dilindungi dari gangguan nilai-nilai barat, sehingga ada adagium bahwa hukum Negara adalah buruk dan hukum adat adalah baik.

Setelah sekitar 30 tahun kajian tentang hokum dan teori perkembangan, kita dapat mempelajari setidaknya terdapat delapan hal, yaitu :

1. Hukum modern sangat penting meskipun tidak untuk perkembangan ekonomi. System pasar dunia secara bertahap menyebabkan homogenisasi secara global bagi hokum perdagangan.

2. Munculnya aturan hokum sangat membantu walaupun tidak penting bagi perkembangan politik.

3. Melampaui hal yang minimal, hukum bukan merupakan sesuatu yang penting. Pusat dari semuanya adalah sejarah yang unik, budaya, ekonomi, politik dan campuran materialnya (populasi, sumber daya alam, dasar teknologi dan sebagainya).

4. Teori ketergantungan sebagian benar dan sebagian lagi salah, sedangkan teori modernisasi sebagian salah dan terlalu dini untuk menyatakan sebagian lagi benar., namun aturan hokum sesuai untuk keduanya. Teori ketergantungan mendiagnosis dengan benar bahwa kesulitan ekonomi Negara berkembang berhubungan secara langsung dengan legalisasi kolonialisme dan posisi yang tidak menguntungkan dalam sistem pasar dunia.

5. Negara berkembang akan mengambil keuntungan masyarakatnya akan meningkat kualitas kehidupannya.

6. Isi dari aturan minimum dalam hokum yang terbaik dapat dilakukan dengan melakukan upaya orientasi kepada pembangunan hokum, dengan struktur institusi hokum dan badannya berupa doktrin hokum.

7. Cara kerja dari teori perkembangan secara substansi merupakan refleksi dari kepentingan dan isu barat.

8. Teori hokum dan perkembangan merupakan sesuatu yang khusus sedamgkan studi tentang hokum dan perkembangan merupakan sesuatu yang umum.
Krisis dari teori perkembangan disebabkan kemunduran teori ketergantungan dan teori modernisasi, karena ketidakmampuan yang memadai dalam memperhitungkan realitas.

Sociological Jurisprudence dan Sosiologi Hukum

Bab 1
Pendahuluan

Sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat. Sosiologi merupakan cabang Ilmu Sosial yang mempelajari masyarakat dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Sebagai cabang Ilmu, Sosiologi dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, August Comte.

Comte kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Namun demikian, sejarah mencatat bahwa Emile Durkheim ilmuwan sosial Perancis yang kemudian berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.

Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir kemudian di Eropa.

Sejak awal masehi hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia, para ilmuwan ketika itu mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.

Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.
Tiga tahapan itu adalah :

1. Tahap teologis: adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.

2. Tahap metafisis: pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.

3. Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Comte kemudian membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan.

Kajian sosiologi hukum adalah suatu kajian yang objeknya fenomena hukum, tetapi menggunakan optik ilmu sosial dan teori-teori sosiologis, sehingga sering disalahtafsirkan bukan hanya oleh kalangan non hukum, tetapi juga dari kalangan hukum sendiri. Yang pasti Kajian yang digunakan dalam kajian sosiologi hukum berbeda dengan Kajian yang digunakan oleh Ilmu Hukum seperti Ilmu Hukum Pidana, Ilmu Hukum Perdata, Ilmu Hukum Acara, dan seterusnya.

Persamaannya hanyalah bahwa baik Ilmu Hukum maupun Sosiologi Hukum, obyeknya adalah hukum. Jadi meskipun obyeknya sama yaitu hukum, namun karena “kacamata” yang digunakan dalam memandang obyeknya itu berbeda, maka berbeda pulalah penglihatan terhadap obyek tadi.

Disadari bahwa hukum merupakan salah satu dari pranata-pranata yang bersifat sentral bagi sifat sosial manusia dan yang tanpa pranata-pranata itu, maka manusia akan menjadi suatu makhluk yang sangat berbeda. Banyak bidang pemikiran dan tindakan , yang di dalamnya hukum, ditelaah dan terus memainkan peran besar dalam kegiatan manusia. Pemikiran tentang hukum telah berkembang sepanjang sejarah umat manusia. Para filosof telah menegaskan betapa hukum adalah sesuatu yang buruk, yang menjadikan umat manusia akan melakukan dengan baik untuk mengendarai cirinya sendiri.

Namun demikian, terhadap semua keraguan filosofis tersebut, pengalaman telah membuktikan bahwa hukum merupakan salah satu dari kekuatan-kekuatan besar yang menciptakan peradaban dalam masyarakat manusia, di mana perkembangan peradaban umumnya telah dikaitkan dengan perkembangan gradual suatu sistem aturan-aturan hukum, bersama-sama dengan mekanisme untuk penegakannya yang teratur dan efektif.

Namun demikian, seperti yang pernah dikemukakan oleh Prof. Dennis Lloyd (1982), ketentuan hukum tidak berada dalam suatu ruang kosong, tetapi ditemukan berdampingan dengan aturan-aturan moral dengan kompleksitas atau kurang-lebih yang berwujud kepastian. Di lain pihak, hukum juga merupakan salah satu “gejala sosial”, yang diterapkan di dalam masyarakat yang berbeda-beda satu sama lain. Olehnya, kitapun tak dapat menafikan wujud hukum sebagai “realitas sosial”.


Sebagaimana diketahui, ada tiga jenis Kajian yang dapat digunakan dalam mempelajari ilmu hukum, yaitu :

(a) Kajian normatif, yang memandang hukum hy dlm wujudnya sbg aturan dan norma;

(b) Kajian filosofis, yang memandang hukum sebagai pemikiran, dan

(c) Kajian sosiologis, yang memandang hukum sebagai perilaku.

Perkembangan Kajian sosiologis di dalam kajian hukum itu, menimbulkan adanya dua jenis Kajian sosiologis :

(a) yang menggunakan sociology of law , dan
(b) yang menggunakan sociological jurisprudence .


“Sociology of law” diperkenalkan oleh seorang Italia, Anzilotti, olehnya itu berkonotasi Eropa Daratan, sedangkan “Sociological Jurisprudence” diperkenalkan oleh Prof. Roscoe Pound, guru besar Harvard Law School di Amerika Serikat, olehnya itu berkonotasi Anglo Saxon.

“Sociology of law” adalah sosiologi tentang hukum, karena itu ia lebih merupakan cabang sosiologi. Sedangkan “sociological jurisprudence” adalah Ilmu Hukum Sosiologis, karena itu merupakan cabang ilmu hukum.

Lebih jelasnya perbedaan antara “sociology of law” dan “sociological jurisprudence” (Curzon) :

a. Sociological jurisprudence. Pound refers to this as a study of the peculiar characteristics of the legal order, i.e. an aspect of jurisprudence proper. Lloyd writes of it as a branch of normative sciences, having the law more effective in action, and based on subjective values. Some other writters use the term to refer to the Sociological School of jurisprudence, that is, those jurists who see in a study of society a means whereby the science of law might be made more precice.

b. Sociology of law. Pound refers to this study as “sociology proper”, based on a concept of law as one of the means of social control. Lloyd writes of it as essentially a descriptive science employing empirical techniques. It is concerned with an examination of why the law sets about its tasks in the way it odes. It views law as the product of a social system and as a means of controlling and changing that system. Note: The term “legal sociology” has been used in some texts to refer to a specific study of situations in which the rules of law operate, and of behavior resulting from the operations of those rules.

Meskipun di antara “sociology of law” dan “sociological jurispridence” ada perbedaan, tetapi keduanya memiliki persamaan mendasar yaitu berkisar di dunia “sein”, di dalam realitas. Keduanya berada di dunia “is” (realm of “is”) yang adalah : “refers to a complez of actual determinants of actual human conduct”. Jadi berbeda dengan pandangan kaum positivistis yang berada di dunia”sollen” (“ought”).

Dengan kata lain, kajian sosiologis terhadap hukum ini, berpandangan empiris. Mereka ingin melakukan pemahaman secara sosiologis terhadap fenomna hukum. Jadi, “interpretative understanding of social conduct” ( suatu usaha untuk memahami objeknya dari segi tingkah laku sosial), meliputi : “ causes, its course, and its effects”. Fenomena hukum dari sudut pandangan aliran sosiologis ini adalah gejala-gejala yang mengandung streotip baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Metode yang digunakan dalam kajian sosiologis itu adalah “deskriptif”, dan mengkaji hukum dengan menggunakan teknik-teknik: survei lapangan (“field surveys”), observasi perbandingan (“comparative observation”), analisis statistic (“statiscical analysis”) dan eksperimen (“experimentation”).

Kajian sosiologis berbeda dengan pandangan kaum positivisme yang memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom; sebaliknya, kajian sosiologis memandang hukum bukan sesuatu yang otonom, melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum yang ada dalam masyarakatnya, seperti faktor ekonomi, politik, budaya, dan sosial .

Dari penjelasan diatas maka ada dua hal yang bisa dijadikan pokok permasalahan yaitu :

1. Bgmnkah pandangan ahli yang menganut aliran sociological jurisprudence ttg hukum?

2. Bagaimanakah pendekatan sociological jurisprudence dalam hukum internasional?




Bab 2
Pembahasan

2.1. Aliran sosiologis terhadap hukum

Aliran Sosiological Jurispridence yang dipelopori oleh Eugen Erlich (1826-1922) yang berasal dari Asutria, bukunya yang terkenal “Fundamental Principle of The Sociology of Law”. Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Tokoh penting lainnya ialah Roscoe Pound (1870-1964), yang berasal dari Amerika mengemukakan bahwa hukum itu harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi dalam rangka memenuhi akan kebutuhan sosial, serta tugas ilmu hukumlah untuk mengembangkan suatu kerangka kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.

Pound juga membedakan dalam mempelajari hukum, ada hukum sebagai suatu proses yang hidup dimasyarakat (law in action) dan ada hukum yang tertulis (law in the books). Ajaran pound ini bukanlah satu atau sebagian hukum saja tetapi semua bidang hukum baik subtantif maupun ajektif. Sehingga hukum tersebut apakah sudah sesuai dengan yang senyatanya. Malah Pound menambahkan kajian sosiologi hukum itu sampai kepada putusan dan pelaksanaan pengadilan, serta antara isi suatu peraturan dengan efek-efek nyatanya.

Tokoh lain yang termasuk dalam aliran ini adalah Von Jhering berpaham “social utilitarianism”. Sistem Jhering mengembangkan segi-segi dari positifisme Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Bentham dan Mill. Jhering mengembangkan filsafat hukumnya sesudah melakukan studi yang intensif terhadap hukum Romawi. Hasil renungannya terhadap kehebatan dari hukum Romawi membuatnya sangat tidak menyukai apa yang disebut sebagai Begriffsjurisprudenz (ilmu hukum yang menekankan pada konsep-konsep).

Studinya mengenai hukum Romawi tersebut telah mengajarkan kepadanya, bahwa kebijaksanaan hukum itu tidak terletak pada permainan teknik-teknik penghalusan dan penyempurnaan konsep-konsep itu untuk melayani tujuan-tujuan yang praktis.

Mark Weber disisi lain dalam teorinya yang dikenal dengan nama “legal rational form”,menyatakan bahwa hukum sebagai suatu kekuatan yang mendominasi masyarakat memliki suatu badan yang berfungsi untuk menjalankan hukum tersebut berdasarkan norma-norma yang ada di masyarakat.

Pandangan lain datang dari Durkheim, dalam bukunya “The Division of Labour in Society”, ia menyatakan bahwa semakin kompleks struktur masyarakat semakin kompleks juga hukum yang berlaku karena menurutnya hukum adalah sebuah alat untuk mempersatukan sebuah masyarakat yang terdiri dari berbagai kelas sehingga perkembangan hukum harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat agar dapat sejalan dengan perkembangan masyarakat.


2.2. Pendekatan sosiological Jurisprudence terhadap Hukum Internasional

Hukum Perdata Internasional (HPI) adalah cabang ilmu hukum perdata yang memiliki anasir, elemen, unsur, atau nuansa asing. HPI adalah hukum nasional, dan sekali-kali bukan suatu hukum yang bersifat supranasional ataupun hukum internasional. Oleh karena itu, setiap negara di dunia ini memiliki sistem HPI-nya masing-masing, misalnya HPI Indonesia, HPI Belanda, dan seterusnya .

Dalam ilmu HPI, keberlakuan hukum asing di ranah hukum nasional bukanlah sesuatu yang kontroversial apalagi haram sifatnya. Sebaliknya keberlakuan hukum asing justru merupakan suatu peristiwa yang lumrah. Suatu akibat dari saling pengakuan dan kesetaraan sistem hukum di dunia ini (gelijkwaardeigheids-beginsel). Hal yang pertama dikenal sebagai asas comitas, dan yang terakhir merupakan asumsi dasar dari ilmu HPI. Sejauh mana suatu hukum asing dapat diberlakukan di ranah hukum nasional harus memperhatikan perasaan masyarakat hukum nasional bersangkutan.

Secara teoritis, keberlakuan hukum asing untuk suatu permasalahan hukum adalah
mungkin untuk dikesampingkan dan, sebagai gantinya, diberlakukanlah hukum nasional. Di sini perlu ditegaskan, bahwa keberlakuan hukum asing tersebut sama sekali tidak dibatalkan, melainkan hanya dikesampingkan. Konstruksi hukumnya adalah hukum asing tersebut sebenarnya berlaku, tetapi karena satu dan lain hal keberlakukannya tersebut terpaksa dikesampingkan demi kemaslahatan masyarakat hukum nasional.

Lembaga pengesamping tersebut dikenal sebagai lembaga ketertiban umum. Lembaga ini merupakan padanan hukum Indonesia untuk “openbare orde” (Belanda), yang mengadopsi konsep “ordre public” (Perancis). Tujuan tertentu yang hendak dicapai dari pengesampingan tersebut adalah untuk menjaga perasaan masyarakat hukum dari masyarakat hukum nasional bersangkutan.

Alasan pengesamping yang dapat dikemukakan dan penerapan dari alasan tersebut harus bersifat terbatas. Jika tidak demikian, maka keberlakuan hukum asing dapat dengan mudah, dan cenderung seringkali untuk, dikesampingkan. Akibatnya asumsi dasar dari ilmu HPI _ mengenai kesetaraan sistem hukum _ akan menjadi nihil, dan perkembangan ilmu HPI itu sendiri akan menjadi mandeg.



2.2.1. Lembaga Ketertiban Umum

Istilah ketertiban umum menurut Prof. Kollewijn memiliki sejumlah variasi pengertian. Pertama, ketertiban umum dalam hukum perikatan merupakan batasan dari asas kebebasan berkontrak. Kedua, sebagai unsur pokok dalam “ketertiban dan kesejahteraan, keamanan” (rust en veiligheid). Ketiga, sebagai pasangan dari “kesusilaan yang baik” (goede zeden). Keempat, sebagai sinonim dari “ketertiban hukum” (rechtsorde), ataupun _ kelima _ “keadilan.” Keenam, sebagai pengertian dalam hukum acara pidana untuk jalannya peradilan yang adil, dan terakhir kewajiban hakim untuk mempergunakan pasal-pasal dari perundang-undangan tertentu.

Perlu diperhatikan bahwa ketertiban umum berbeda dengan kepentingan umum. Secara konseptual, kepentingan umum berarti menjaga kepentingan masyarakat luas atau kepentingan bersama, yang sekaligus diperhadapkan (vis-Ć -vis) dengan kepentingan kelompok, golongan atau individu. Kepentingan umum menjadi, misalnya, dasar untuk menggusur atau mengambil sebagian atau seluruh tanah milik seseorang untuk tujuan pembangunan sarana dan prasarana publik.

Untuk keperluan tersebut Pemerintah dapat menetapkan jumlah ganti kerugian sepihak, sesuai dengan kemampuan keuangannya. Oleh karena penggusuran tersebut adalah untuk kepentingan umum, maka pihak yang tergusur dapat menerima uang ganti kerugian yang sepihak tadi. Dalam penerapan kepentingan umum terdapat kebutuhan praktis dari masyarakat. Tetapi kepentingan umum bukanlah suatu dasar atau alasan pengesamping bagi keberlakuan hukum asing.

Sebaliknya, ketertiban umum tidak dapat dijadikan dasar untuk penggusuran. Penerapan ketertiban umum suatu kebutuhan normatif dan ideal. Istilah “ketertiban umum” sering digunakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 23 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor IndonesiĆ« (AB) _ Stb. 1847-23 _ misalnya menyatakan bahwa “Undang-undang yang ada sangkut-pautnya dengan ketertiban umum atau tata susila yang baik, tidak dapat dihilangkan kekuatan hukumnya dengan tindakan atau persetujuan” (door geene handelingen of overeenkomsten kan aan de wetten, die op publieke orde of de goede zeden betrekking hebben, hare kracht ontnomen worden).

Ketentuan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh pasal 1337 Burgerlijke Wetboek (BW) yang menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum” (eene oorzaak is ongeoorloofd, wanneer dezelve bij de wet verboden is, of wanneer dezelve strijdig is met de goede zeden, of met de openbare orde).

Dalam peraturan perundang-undangan mutakhir, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, misalnya juga dimuat ketertiban umum sebagai suatu persyaratan. Pasal 2 UUPT menyatakan bahwa “Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan.

”Meski istilah “ketertiban umum” sudah sering dan umum digunakan baik dalam peraturan perundang-undangan, literatur hukum, maupun pembicaraan sehari-hari, tetapi tidak ada suatu definisi pasti yang diberikan terhadapnya. Suatu definisi yang dapat menentukan luas-lingkupnya.

Meski dari pendapat Prof. Kollewijn di atas kita mendapatkan sedikit petunjuk tentang ketertiban umum yang dimaksud, kebutuhan akan pengertian atau definisi yang lebih rinci akan membantu pemahaman serta penerapan dari ketertiban umum itu sendiri. Ketiadaaan definisi ini merupakan suatu akibat langsung dari hakikat lembaga ketertiban umum, yakni dinamis dan evolusioner.

Demikian dikatakan karena lembaga ketertiban umum terbentuk dan dipengaruhi oleh faktor tempat dan waktu. Misalnya, fenomena pasangan homoseksual sudah mulai dibicarakan secara terbuka dewasa ini di Jakarta. Sebagian (kecil) kelompok masyarakat hukum Indonesia bahkan dapat mentolerir keberadaan pasangan homoseksual.

Tetapi, paling tidak, satu dekade yang lalu wacana pasangan homoseksual dibicarakan secara jauh lebih tertutup; bahkan dipandang sebagai suatu aib. Penerimaan sekelompok kecil anggota masyarakat hukum Indonesia akan pasangan homoseksual sama sekali tidak, atau belum, menunjukkan penerimaan dan pengakuan hukum Indonesia atas hak-hak hukum pasangan homoseksual.

Berbeda dengan masyarakat hukum Indonesia, masyarakat hukum Australia telah berevolusi ke arah yang jauh berbeda dan liberal. Sampai dengan sekarang, pasangan homoseksual di Australia memang belum bisa mendapatkan perlakuan hukum yang sama seperti pasangan heteroseksual. Tetapi Parlemen Australia pada masa sidang musim dingin 2008 telah membahas perihal penghapusan perlakuan hukum yang diskriminatif bagi pasangan homoseksual dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, pasangan homoseksual akan segera memperoleh hak yang sama dengan pasangan heteroseksual, antara lain, terkait dengan masalah perpajakan, jaminan sosial, kesehatan, jaminan hari tua, dan hak-hak veteran.

Dinamika dan evolusi yang terjadi di Australia memperlihatkan kepada kita bahwa dalam suatu kurun waktu yang lampau terdapat suatu persepsi dan nilai yang dipegang oleh masyarakat hukum Australia. Tetapi sejalan lewatnya waktu, persepsi dan nilai tersebut bahkan dianggap sebagai suatu perlakuan yang diskriminatif. Suatu perubahan seratus delapan puluh derajat! Persepsi dan nilai yang “baru” dari masyarakat hukum Australia tetap tidak menerima, apalagi mengesahkan, perkawinan pasangan homoseksual. Sesuatu yang sudah diterima dan disahkan oleh masyarakat hukum di Belanda dan Denmark.

Contoh di atas menunjukkan bahwa seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat hukum Indonesia, meski secara perlahan, mulai menerima wacana pasangan homoseksual; sementara pada waktu yang bersamaan di belahan lain di dunia ini, suatu kelompok masyarakat hukum telah berevolusi sedemikian rupa hingga memberikan keabsahan hukum bagi pasangan homoseksual.




Bab 3
Penutup

Kesimpulan

1. Ada bbrp ahli yg ckp berpengaruh dalam aliran sociological jurisprudence, Yaitu:

a. Ehrlich yang berpendapat bahwa pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

b. Roscoe Pund , yang berpendapat bahwa hukum itu harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi dalam rangka memenuhi akan kebutuhan sosial, serta tugas ilmu hukumlah untuk mengembangkan suatu kerangka kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.



2. Pendekatan sociological jurisprudence dalam hukum internasional banyak terjadi di bidang hukum perdata internasional terutama jika dikaitkan dengan lembaga ketertiban umum dimana nilai-nilai yang menyimpang di masyarakat diamggap menyalahi aturan




Daftar Pustaka

Brotosusilo. Agus, Diktat Filsafat Hukum, FHUI, 2011

Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jakarta: Bina Cipta, 1987.


_______. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid II, Bagian III. Buku IV. Bandung: Alumni, 1989.
Powered By Blogger