Selasa, 20 Desember 2011

ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS HUKUM ALIEN OCCUPATION BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (STUDI KASUS: PENDUDUKAN MILITER ISRAEL ATAS WILAYAH PALESTINA SEJAK 1948)

DESAIN PENELITIAN

A. Latar Belakang

Perang merupakan suatu konsep yang sudah lama dikenal oleh umat manusia. Dalam hubungannya dengan hukum internasional, perang seringkali dianggap sebagai suatu cara bagi sebuah negara untuk memperoleh keinginannya atau untuk mempertegas kekuatan yang dimilikinya.

Pada arti yang luas, perang menyangkut konsep-konsep seperti krisis, ancaman, penggunaan kekerasan, aksi gerilya, penaklukan, pendudukan, bahkan teror. Dengan luasnya definisi, maka konsepsi perang meliputi semua konflik dengan kekerasan atau yang mengandung potensi kekerasan, yang mencakup situasi konflik domestik yang mengarah pada penggunaan kekuatan militer yang kemungkinan tidak mampu diatasi oleh kekuatan polisi domestik (intra-state conflict) sampai pada perang antar negara dalam skala penuh (inter-state conflict).

Ada beberapa sarjana yang menjelaskan pengertian hukum perang. J.G. Starke, seperti dikutip oleh KGPH. Haryomataram, mengemukakan sebagai berikut:

“The laws of war consist of the limits set by International law within which the force required to overpower the enemy may be used, and the principles there under governing the treatment of individuals in the course of war and armed conflict.”
Serupa dengan definisi yang dikemukakan oleh J.G. Starke tersebut, Graham Evans dan Jeffrey Newnham seperti dikutip oleh Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rina Rusman juga menguraikan definisi hukum perang sebagai berikut:

“Secara definitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik antar manusia. Dalam studi hubungan internasional, perang secara tradisional adalah penggunaan kekerasan yang terorganisir oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak bisa tercapai, kecuali dengan cara-cara kekerasan.”

Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat dikatakan bahwa perang merupakan perseteruan antara dua negara atau lebih dengan menggunakan angkatan bersenjatanya masing-masing untuk memperoleh kemenangan dan membebani hukuman bagi pihak yang kalah.

Menyikapi kecenderungan penggunaan perang sebagai jalan keluar yang populer bagi penyelesaian masalah antar negara, masyarakat internasional merasa perlu akan adanya perangkat untuk mengatur keadaan perang. Maka dari kondisi inilah hukum perang (law of armed conflicts) berawal.

Usaha untuk mengatur perang terdesak oleh suatu usaha untuk melindungi orang dari kekejaman perang. Pada penyusunan konsepsi-konsepsi hukum perang, asas perikemanusiaan mempunyai pengaruh yang sangat besar. Maka dengan demikian, sebagai pengganti dari istilah hukum perang muncullah istilah baru yang menunjukkan pengaruh asas humaniter (asas perikemanusaan) dalam penyusunan hukum yang mengatur armed conflicts, yaitu International Humanitarian Law applicable in Armed Conflict.

Istilah ini rupanya dianggap terlalu panjang sehingga sering disingkat menjadi International Humanitarian Law. Istilah yang sudah disingkat ini dalam bahasa Indonesia biasanya disingkat menjadi Hukum Humaniter.
Hukum humaniter internasional tumbuh dari keprihatinan masyarakat internasional terhadap perang dan dampak-dampak negatifnya. Menyadari sepenuhnya bahwa perang merupakan salah satu gejala alami dalam kehidupan dunia, hukum humaniter internasional tidak bermaksud untuk meniadakan perang, melainkan untuk mengurangi dampak negatif dan kerugian yang dihasilkan, terutama yang menyangkut masyarakat sipil.

Selanjutnya hukum perang pun berkembang menjadi salah satu elemen penting dalam hukum internasional. hukum internasional yang berfungsi untuk mengatur hubungan antar negara, diharapkan dapat pula mengatur masalah peperangan yang kerap muncul sebagai solusi dari konflik antar negara. Maka dari itu, hukum perang pun berkembang dan kemudian menemukan tempatnya dalam tatanan hukum internasional sebagai hukum humaniter internasional.

Berkaitan dengan perkembangan hukum humaniter internasional serta penerapannya pada konflik bersenjata Internasional, pada 14 Mei 1948, David Ben Gurion mengumumkan secara remi berdirinya Negara Israel dengan berpijak pada Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. 181 sebagai legitimasinya.

Setahun sebelumnya, pada tahun 1947 Inggris memutuskan untuk meninggalkan Palestina dan memohon kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membuat rekomendasi. Sebagai tanggapan, PBB menunjuk sebuah komisi khusus pada tanggal 29 November 1947, rapat tersebut mengadopsi rencana untuk membuat dinding pemisah di wilayah Palestina untuk memisahkan antara bangsa Yahudi dan bangsa Arab di wilayah tersebut, dengan Kota Yerusalem sebagai zona internasional di bawah yurisdiksi PBB.

Pada tanggal yang sama, PBB juga menegeluarkan suatu petisi untuk memisahkan pemerintahan Mandat Britania di Palestina kepada dua buah wilayah: satu wilayah untuk orang Yahudi dan satu wilayah untuk orang Arab. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan di Yerusalem yang kemudian menyebabkan Perang Arab-Israel 1948 yang menyebabkan pemerintahan mandat Britania berakhir.

Bangsa Yahudi pada wilayah tersebut mendapat 55% dari seluruh wilayah tanah, meskipun hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk di wilayah ini. Sedangkan Kota Yerusalem yang dianggap suci, akan dijadikan Kota Internasional. Sedangkan Bangsa Arab pada wilayah tersebut memprotes diadakannya dinding penyekat. Setelah serangan teroris Yahudi ke pemukiman Arab yang telah membantai ratusan orang Palestina tak bersenjata di rumah mereka, maka para penduduk Arab menggunakan jalam kekerasan, dengan menyerang pemukiman Yahudi guna membalas dendam.

Beberapa saat setelah pengumuman berdirinya Negara Israel, tersebut, pemerintah Amerika Serikat menyatakan pengakuannya terhadap Negara Israel dan disusul kemudian oleh Uni Soviet. Israel pun dengan mudah diterima menjadi anggota penuh PBB. Berdirinya Negara Israel di atas tanah bangsa Palestina, memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat internasional, karena sesungguhnya negara tersebut berdiri di atas wilayah territorial bangsa Palestina, kendati bangsa Palestina dapat dikatakan belum merdeka sebagai suatu negara yang berdaulat.

Menanggapi berdirinya Negara Israel, negara-negara Arab melancarkan reaksi keras dengan menolak mentah-mentah berlakunya Resolusi PBB No. 181. Perang pertama Arab-Israel pun kemudian meletus. Sehari setelah Negara Israel diproklamasikan, langsung diserbu oleh tentara dari Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak, dan negara-negara Arab lainnya yang bergabung dengan para pejuang serta gerilyawan Palestina. Britania memutuskan untuk pergi pada hari tersebut. Namun Arab gagal mencegah berdirinya Negara Israel, dan perang berakhir dengan persetujuan gencatan senjata antara Israel dengan Mesir, Lebanon, Yordania dan Suriah. Pada saat itu Jalur Gaza telah ditinggalkan dari kendali Mesir dan Tepi Barat dikuasai Yordania.

Israel dapat memenangi peperangan ini dan malah merebut kurang lebih 70% dari luas total wilayahmandat PBB Britania Raya, Palestina. Perang ini menyebabkan banyak penduduk Palestina mengungsi dari tanah kelahirannya. Namun pada sisi lain, juga banyak penduduk Yahudi yang diusir dari negara-negara Arab.

Hal tersebut dapat diamati dari sekitar 800.000 penduduk Arab yang tinggal di wilayah Palestina sebelum 1948, hanya sekitar 170.000 yang bertahan, sisanya mengungsi di negara-negara Arab, dimana masa itu juga sebagai tanda berakhirnya mayoritas penduduk Arab di wilayah Palestina.

Semasa perang Arab-Israel 1948, Yerusalem terbagi manjadi dua wilayah. Bagian barat yang meliputi kota baru menjadi sebagian dari Israel, sedangkan bagian timur termasuk kota lama Yerusalem menjadi milik Yordania.

PBB memutuskan bahwa Yerusalem berada di bawah yurisdiksi Internasional. Namun pada 23 Januari 1950, Parlemen Israel mensahkan suatu resolusi untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Negara Israel.

Pada tahun 1956 terjadi Perang Arab-Israel II, dimana perlawanan dilakukan oleh gerilyawan pengungsi dan serangan oleh unit militer Arab kepada Israel. Mesir menolak untuk membiarkan kapal Israel menggunakan terusan Suez dan Tiran, hal ini memicu Perang Arab-Israel kedua.

Inggris dan Perancis bergabung dalam peperangan tersebut karena perselisihan mereka dengan presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser, yang telah menasionalisasi Terusan Suez. Mereka merebut Jalur Gaza dan semenanjung Sinai dalam beberapa hari. Peperangan tersebut dihentikan oleh PBB setelah berlangsung beberapa hari dan pasukan perdamaian PBB dikirim untuk memprakarsai gencatan senjata dalam wilayah Terusan Suez. Pada akhir tahun 1956, kekuatan mereka ditarik dari Mesir, namun Israel menolak meninggalkan Jalur Gaza hingga awal 1957.

Pada 1958 para pemimpin negara Arab, dipimpin oleh presiden Gamal Abdul Nasser, membentuk Palestinian Liberation Organization (PLO / Organisasi Pembebasan Rakyat Palestina), di Kairo, Mesir.

Bulan Juli 1964, para penguasa Arab mengadakan pertemuan mereka di Kairo, Mesir. Pada pertemuan tersebut dikeluarkan kesepakatan untuk mengorganisasikan rakyat Palestina serta memberi kesempatan bagi mereka untuk menjalankan pemerintahan yang bebas di tanah air mereka dan menentukan nasib sendiri.

Kemudian pada 28 Mei 1964, 350 tokoh Palestina menghadiri pertemuan di Palestina Timur di bawah pimpinan Ahmad Shuqeiri untuk membentuk organisasi politik bangsa Palestina. Hal tersebut dimaksudkan untuk menindaklanjuti instruksi Liga Arab yang dihasilkan pada Konferensi Kairo. Pertemuan tersebut dihadiri oleh: Raja Husein selaku Sekretaris Jenderal Liga Arab; serta wakil-wakil dari Tunisisa, Aljazair, Sudan, Suriah, Irak, Mesir, Kuwait, Lebanon, Maroko, dan Yaman. Pada pertemuan tersebut, mereka menyatukan sejumlah faksi pejuang Palestina dalam PLO.

Pada 1967 terjadi Perang Enam Hari antara negara-negara Arab melwan Israel. Kemudian pada musim panas tahun yang sama, para pemimpin Liga Arab mengadakan pertemuan di Khartoum sebagai respon atas perang dan melkukan musyawarah untuk menentukan sikap mereka kepada Israel. Mereka mencapai kesepakatan bahwa mereka seharusnya; tidak mengakui status Negara Israel, tidak ada perdamaian dengan Israel, dan tidak ada negosiasi dengan Israel.

Perang ini disebabkan oleh ketidakpuasan negara-negara Arab atas kekalahan dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupun mesir kalah, namun mereka menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir menyetujui keberadaan paasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas tentara dan juga menghalangi kumpulan gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara Mesir dengan Israel terwujud dalam waktu yang rtidak lama.

Akibat dari perang 1956, kawasan tersebut kembali kepada ketidakseimbangan tanpa ada resolusi dal hal tersebut. Pada masa itu, tidak ada negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan untuk menghadapi Israel pada awal tahun 1960an sebagai bagian dari “perang pembebasan rakyat”. Selain itu negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.

Pada 1967 Mesir mendesak penarikan mundur pasukan PBB dari Semenanjung Sinai dan memberlakukan kembali blokade terhadap kapa Israel di Selat Tiran. Namun, Israel mengetahui rencana Mesir dan mendahului menyerang Mesir, Suriah, dan Yordania ketika mereka sedang mempersiapkan perang melawan Israel. Perang selama enam hari itu berakhir dengan Israel menduduki Semenanjung Sinai, Dataran Tinggi Golan, Jalur Gaza, dan Tepi Barat Sungai Jordan.

Peperangan berakhir enam hari kemudian dengan kemenangna di pihak Israel. Israel menduduki Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, wilayah Arab di sebelah timur Yerusalem, Tepi Barat, dan dataran tinggi Golan.

Setelah peperangan tahun 1967, organisasi gerilyawan dalam PLO membawa para gerilyawan menyerang dengan target militer Israel, dengan tujuan untuk menembus palestina.

Pada 1969 pemimpin organisasi gerilyawan Fatah, Yaser Arafat, terpilih sebagai Ketua Komite Eksekutif PLO, dan pada tahun ini pula Mesir memulai peperangan Attrition dengan tujuan memaksa Israel menyerahkan Semenanjung Sinai. Peperangan itu berakhir mengiringi wafatnya Gamal Abdul Naser pada tahun 1970.

Pada 6 oktober 1973, Suriah dan Mesir menyerang Israel di Yom Kippur, mengejutkan begitu banyaknya militer Israel. Pada peperangan Yom Kippur secara tidak langsung turut andil di dalamnya konfrontasi antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet.

Ketika itu Israel masuk arus peperangan, Uni Soviet mengancam akanmengadakan interbensi militer. Amerika Serikat yang cemas akan adanya perang nuklir, membuat kesepakatan damai pada 25 Oktober 1973.

Pada 1978 Perjanjian Camp David ditandangani oleh Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, Presiden mesir Anwar Sadat, dan perdana Menteri Israel Menachem Begin. Pada pokoknya ada dua kerangka utama, yaitu kerangka Perdamaian Timur Tengah yang memuat masa depan daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta kerangka penyelesaian perjanjian Mesir-Israel mengenai Sinai dan hubungan bilateral kedua negara.

Pada 1979 disepakati perjanjian antara Mesir dan Israel, sebagai imbalan pengakuan Mesir terhadap Israel, yakni Israel bersedia mengembalikan Semenanjung Sinai kepada Mesir dan setuju membahas penentuan nasib sendiri (self-determination) bagi bangsa Palestina. Namun, langkah ini mendapat kecaman dari negara-negara Arab, dan PLO melakukan beberapa serangan kepada Israel.

Pada 1987 pecah perang atau perlawanan Intifada. Terdorong keinginan untuk memperoleh wilayah kediaman yang tetap, sejak tahun 1987, orang palestina melakukan Intifadah, yaitu gerakan yang memperlihatkan sikap bermusuhan secara terang-terangan terhadap Pemerintahan Israel dalam berbagai bentuk. Seperti melempari tentara dengan batu, melempar dengan bom molotov, boikot atas produk Israel, tidak membayar pajak maupun cukai, pengunduran diri secara masal para pegawai Arab yang ditunjuk oleh Pemerintah Israel, dan pemogokan periodik. Gerakan Intifadah ini mendapat dukungan luas terutama dari pemerintah negara-negara timur tengah.

Setelah berbulan-bulan terlibat perundingan rahasia di Oslo, Norwegia, juru runding Palestina dan Israel menandatangani “Deklarasi Prinsip-Prinsip”, yaitu kesepakatan damai yang menggarisbawahi rencana otonomi Palestina di wilayah pendudukan.

Pemimpin PLO Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin memantapkannya dengan bersalaman di halaman Gedung Putih di Washington.

Masalah-masalah utama yang tidak terpecahkan di antara kedua pemerintah adalah: status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan, keamanan Israel, keamanan Palestina, hakikat masa depan Negara Palestina, dan nasib para pengungsi Palestina.
Konferensi tingkat tinggi Taba juga dikenal sebagai status permanen yang dibicarakan di Taba antara israel dan Otoritas Palestina, berlangsung antara 21-27 Januari 2001, bertempat di Taba, Semenanjung Sinai, merupakan pembicaraan damai yang mengarah kepada pencapaian status akhir negosiasi untuk mengakhiri konflik Israel palestina. Konferensi tingkat tinggi ini mendekati kesepakatan akhir paling dekat pada perdamaian dibanding kesepakatan-kesepakatan lain, sebelum maupun sesudahnya, namun perundingan inipun akhirnya gagal mencapai kesepakatan.

Bahkan sampai dengan saat ini pun Negara Israel masih dengan kokoh berdiri di atas tanah Palestina. Dunia internasional seakan tidak berdaya menghentikan pendudukan Israel tersebut, yang dilakukan dengan penuh kekerasan dan ketidaksewenang-wenangan terhadap penduduk Palestina.

Apabila melihat kondisi yang terjadi di wilayah Palestina, dengan masuknya Israel ke wilayah Palestina sebagai penguasa pendudukan, maka di wilayah Palestina yang berlaku adalah hukum internasional. Sehingga untuk menentukan status hukum pendudukan Israel atas wilayah bangsa Palestina sebagai para pihak yang bersengketa dalam suatu konflik bersenjata, maka harus mengacu kepada aturan dalam hukum humaniter internasional sebagai hukum yang mengatur konflik bersenjata.

Maka dengan memperhatikan uraian sebagaimana dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk mengangkat status hukum pendudukan Israel atas wilayah bangsa Palestina tersebut, untuk menjadi objek penelitian ini.


B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dimajukan beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi pegangan dalam rangka memudahkan dan mengarahkan jalannya penelitian. Pokok permasalahan tersebut akan dijadikan sebagai landasan bagi pemilihan data dan bahan-bahan penelitian, penentuan landasan teori dan landasan konsepsional, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan metodologi penelitian, analisis permasalahan, dan pengambilan kesimpulan. Pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apakah Israel melakukan alien occupation (pendudukan asing) sebagaimana yang dimaksud oleh hukum humaniter internasional?

2. Bagaimana status hukum pendudukan Israel atas wilayah bangsa Palestina ditinjau berdasarkan hukum humaniter internasional?


C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan latar belakang dan pokok permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui sejauh mana pendudukan Israel atas wilayah Palestina termasuk dalam pengertian yang dimaksud oleh hukum humaniter internasional.

2. Untuk mengetahui status hukum pendudukan Israel atas wilayah bangsa Palestina ditinjau berdasarkan hukum humaniter internasional.


D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan oleh penulis dengan disusunnya skripsi ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian penulis adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam rangka penerapan prinsip self-determination berkaitan dengan alien occupation dalam Hukum Humaniter Internasional pada situasi konflik bersenjata.

2. Manfaat Praktis
Secara praktis manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian penulis adalah untuk dapat digunakan sebagai sarana bahan kepustakaan Hukum Internasional khususnya hukum humaniter internasional baik bagi para akademisi, praktisi hukum, maupun para penegak hukum, khususnya dalam bidang Hukum Internasional.


E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian hukum yang menitikberatkan pada penggunaan data sekunder di bidang hukum, berupa peraturan-peraturan yang berlaku dan literatur-literatur ilmiah yang ditulis oleh pakar hukum di bidangnya, yang berhubungan dengan objek penelitian.


2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian dimana pengetahuan atau teori tentang pendudukan asing (alien occupation) dalam Hukum Humaniter Internasional sudah ada dan penulis ingin menggambarkan tentang penerapan self-determination berkaitan dengan alien occupation tersebut dalam situasi konflik bersenjata, maksudnya adalah agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada. Pada penelitian ini penulis akan menggambarkan tentang penerapan Hukum Humaniter Internasional pada pendudukan asing yang dilakukan oleh Israel terhadap wilayah bangsa Palestina, dalam perspektif konflik bersenjata.


3. Data

a. Sumber Data
Data yang digunakan oleh penulis sebagai bahan untuk menganalisis objek penelitian berasal dari data sekunder, namun untuk mendukung data sekunder tersebut dibutuhkan juga wawancara. Data sekunder yang diperoleh penulis adalah didapat dari sumber yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain, yaitu sebagai berikut:

1) Bahan Hukum Primer, meliputi:

a) Konvensi Den Haag 1907
b) Konvensi Jenewa 1949
c) Protokol Tambahan I dan II 1977

2) Bahan Hukum Sekunder, meliputi:
a) Buku-buku mengenai Hukum Humaniter Internasional
b) Buku-buku mengenai perang
c) Buku-buku mengenai sejarah konflik Palestina-Israel
d) On-line informaton via internet, yang membahas mengenai sejarah konflik antara Palestina dengan Israel sampai dengan saat ini. Yaitu dengan situs utama:

(1) http:www.icrc.org
(2) http:www.qassam.ps
3) Bahan Hukum Tersier, meliputi:
a) Black’s Law Dictionary
b) International Humanitarian Law Dictionary


b. Cara dan Alat Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan (studi dokumen dan literatur) terhadap data sekunder di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti (terAs), perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Direktorat Hukum TNI, sumber dari internet, dan dilengkapi dengan wawancara.


c. Analisis Data
Karena sifat dari penelitian penulis adalah deskriptif, maka dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan analisis kualitatif terhadap data-data yang sudah dikumpulkan oleh penulis untuk menjawab pokok permasalahan yang ada.


d. Cara Pengambilan Kesimpulan
Pada pengambilan kesimpulan, penulis menggunakan metode yang sifatnya deduktif. Yaitu berdasarkan data yang sifatnya umum, dalam hal ini dari ketentuan normatif berupa instrumen internasional, dibandingkan dengan data yang sifatnya khusus yaitu data mengenai objek penelitian secara khusus, maka dari tahap tersebut penulis mengambil kesimpulan.


F. Landasan Teori
Pada kurun waktu sekitar lima puluh tahun semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dalam jumlah yang tinggi. Konflik-konflik bersenjata tersebut terjadi hampir di semua benua. Seiring dengan masih banyak terjadi konflik bersenjata, masih banyak pula pelanggaran terhadap hukum yang mengatur mengenai konflik bersenjata, yaitu Hukum Humaniter Internasional. Maka dengan adanya Hukum Humaniter Internasional tersebut diharapkan agar penderitaan umat manusia yang menjadi korban perang dapat dikurangi atau dibatasi. Namun sampai dengan saat ini penderitaan umat manusia belum dapat dikurangi atau dibatasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya penduduk sipil dan objek-objek sipil yang menjadi korban ataupun sasaran dalam suatu konflik bersenjata.

Secara definitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik antarmanusia. Perang secara tradisional adalah penggunaan kekerasan yang terorganisasi oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak bisa tercapai, kecuali dengan cara-cara kekerasan. Pada arti yang luas, perang menyangkut konsep-konsep seperti krisis, ancaman, penggunaan kekerasan, aksi gerilya, penaklukan, pendudukan, bahkan teror.

Maka dengan luasnya definisi ini, maka dalam tulisan inifokus pembahasan akan diarahkan pada teori perang yang meliputi semua konflik dengan kekerasan atau yang mengandung potensi kekerasan, yang terentang antara situasi konflik domestik yang mengarah pada penggunaan kekuatan militer yang kemungkinan tidak mampu diatasi oleh kekuatan polisi domestik (intra-state konflik) sampai pada perang antarnegara pada skala penuh (inter-state conflict).

Rentangan definisi tersebut meliputi lima tahap dalam konflik bersenjata, yaitu: 1) Situasi stabil damai yang didefinisikan sebagai stabilitas politik tingkat tinggi dan legitimasi rezim yang terarah. 2) Situasi ketegangan politik yang didefinisikan sebagai meningkatnya tahap ketegasan sistemik dan semakin terbelahnya faksi-faksi sosial politik. 3) Tahap konflik politik dengan kekerasan yang mengarah pada krisis politik seiring merosotnya legitimasi politik dan semakin diterimanya politik faksional dan kekerasan. 4) Konflik intensitas rendah, yaitu perseteruan terbuka dan konflik bersenjata antara faksi, tekanan-tekanan rezim, dan pemberontakan-pemberontakan. 5) High-intensity conflict, yaitu perang terbuka antar kelompok atau antar negara, disertai penghancuran massal, serta pengungsian penduduk sipil yang lebih dari seribu orang terbunuh.


G. Kerangka Konsepsional
Agar pokok permasalahan tetap konsisten dengan sumber-sumber yang menjadi bahan penelitian, dibutuhkan suatu batasan yang jelas mengenai istilah dalam penelitian. Batasan-batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Hukum Humaniter Internasional
Merupakan aturan-aturan internasional yang dibentuk oleh perjanjian internasional atau kebiasaan internasional, yang secara spesifik diharapkan untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan yang muncul secara langsung dari sengketa-sengketa bersenjata internasional maupun non-internasional, dan untuk alasan-alasan kemanusiaan membatasi hak dari pihak-pihak yang berkonflik untuk menggunakan metode dan alat perang pilihan mereka atau untuk melindungi orang-orang dan harta milik mereka yang mungkin terkena dampak konflik.


2. War of national liberation
Disamping konsep alien occupation, terlebih dahulu saya uraiakan konsep war of national liberation, karena alien occupation merupakan salah satu bentuk dari war of national liberation.

Apa maksud istilah ‘war of national liberation’ (perang pembebasan nasional) maka saya mengacu pada Pasal 1 Protokol Tambahan I 1977 ayat (4), dimana disebutkan:
“Ketentuan yang diatur dalam protokol ini termasuk konflik bersenjata dimana bangsa-bangsa (peoples) berjuang melawan dominasi colonial (colonial domination), atau pendudukan asing (alien occupation) atau rezim rasialis (racist regime) dalam rangka melaksanakan hak menentukan nasib sendiri (right of self determination), sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur tentang Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar negara sesuai dengan Piagam PBB”.


3. Pendudukan Asing (Alien Occupation)
Salah satu jenis konflik bersenjata internasional yang merupakan jenis konflik baru, dimana suatu negara telah berhasil melakukan invasi dan menduduki suatu negara atau suatu wilayah yang belum menjadi suatu negara, baik sebagian maupun seluruh wilayah di teritorial tersebut tersebut.


4. Prinsip pembedaan (distinction principle)
Suatu prinsip yang membagi warga negara atau penduduk negara yang sedang melakukan pertikaian bersenjata dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan kombat dan penduduk sipil. Masing-masing golongan mempunyai hak dan kewajiban. Kombat berhak untuk secara aktif turut serta dalam permusuhan, dan apabila jatuh di tangan lawan, ia berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. Ia diwajibkan melindungi penduduk sipil. Sedangkan penduduk sipil tidak boleh secara aktif turut dalam permusuhan dan oleh karena itu berhak mendapat perlindungan.


5. Serangan Balasan (Repraisal)
Suatu pelanggaran terhadap hukum perang sebagai suatu balasan terhadap pelanggaran hukum perang lain yang telah dilakukan terlebih dahulu oleh pihak musuh, dengan tujuan untuk mengakhiri pelanggaran yang dilakukan oleh pihak musuh tersebut. Oleh karena itu, serangan balasan tergantung pada pengaruh peringatan dan tekanan yang dilakukan terhadap pihak musuh sebagai tindakan yang bersifat pembalasan untuk mengakhiri atau menghentikan secara terus-menerus perilaku perang yang tidak sah dan agar musuh tunduk pada hukum perang. Serangan balasan harus merupakan satu-satunya cara penerapan hukum langsung yang dapat ditempuh.


H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tesis ini disusun dan diuraikan oleh penulis dalam lima bab, uraiannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan latar belakang penulisan, pokok permasalahan yang akan dibahas, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, sumber data, metode dalam pengambilan kesimpulan, landasan teori, kerangka konsepsional, serta sistematika penulisan.


BAB II KAJIAN TEORITIS MENGENAI PENDUDUKAN ASING (ALIEN OCCUPATION) DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Pada bab ini penulis akan mengemukakan mengenai peraturan-peraturan dalam Hukum Humaniter Internasional yang mengatur tentang status hukum dari para pihak yang terlibat dalam suatu konflik bersenjata secara garis besar. Pembahasan dalam bab ini akan terbagi kedalam tiga pokok bahasan yaitu, konsep umum Hukum Humaniter Internasional, pendudukan asing dalam Hukum Humaniter Internasional, dan ruang lingkup status pendudukan militer dalam Hukum Humaniter Internasional.

BAB III KRONOLOGIS DAN PERKEMBANGAN KONFLIK BERSENJATA ANTARA ISRAEL DAN PALESTINA
Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai sejarah dan kronologis konflik bersenjata di wilayah Palestina, sejak sebelum berdirinya Negara Israel, setelah berdirinya Negara Israel, serta perkembangan konflik berkepanjangan antara Palestina dengan Israel tersebut, sampai dengan serangan Israel terhadap Palestina pada 27 Desember 2008 – 17 Januari 2009, dengan menguraikan fakta-fakta di lapangan terkait dengan serangan Israel terhadap Palestina tersebut, dan kondisi terkini.

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS HUKUM ALIEN OCCUPATION BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (STUDI KASUS: PENDUDUKAN MILITER ISRAEL ATAS WILAYAH PALESTINA SEJAK 1948)
Pada bab ini penulis akan memuat pembahasan serta analisis penulis untuk menjawab pokok permasalahan yang telah dikemukakan pada bab pendahuluan, mengenai status hukum pendudukan asing (alien occupation) yang dilakukan Israel terhadap wilayah bangsa Palestina, berdasarkan Hukum Humaniter Internasional.

BAB V PENUTUP
Pada bab ini penulis akan menguraikan hasil kesimpulan dari uraian sebelumnya serta jawaban atas pokok permasalahan yang telah dikemukakan secara singkat dan jelas, disertai saran-saran bagi para pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam konflik bersenjata tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

1. Neve Gordon, Israel’s Occupation, London: University of California Press, 2008.

2. Gregory H. Fox, Humanitarian Occupation, Cambridge University Press, 2008.

3. Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rima Rusman Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

4. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

5. Mochtar Kusumaatmaja, Konvensi_Konvensi Palang Merah 1949, cet. 5, Bandung: Alumni, 2002.

6. Teguh Wangsa Gandhi, Akar Konflik Israel Palestina (Tinjauan Demografi, Sejarah, Geopolitik, dan Agama), cet. 1, Yogyakarta: Ramadhan Press, 2009.


B. Konvensi / Perjanjian Internasional

1. Convention (IV) Respecting the Laws and Custom of Wars on Land, Signed at The Hague, 18 October 1907.

2. Convention (I) For the Amelioration of the Condition of Wounded and Sick in Armed Forces in The Field, Signed at, 12 August 1949.

3. Geneva Convention (II) For the Amelioration of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, Signed at Geneva, 12 August 1949.

4. Protocol Additional to Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Ptotection of Victims of International Armed Conflicts (Prottocol I), Signed 8 June 1977.


C. Jurnal Hukum Internasional

1. Interpretive Guidance on the Notion of Direct Participation in Hostilities Under International Humanitarian Law, Adopted by the Assembly of the International Committee of the Red Cross on 26 February 2009.

2. Indonesian Journal of International Law,Volume 4 No. 1 October 2006: International Humanitarian Law and Human Rights.

3. Indonesian Journal of International Law,Volume 1 No. 4 July 2004: International Criminal Law.

Senin, 19 Desember 2011

Design Penelitian Akhir

A. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi, sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi kebutuhannya dengan berbagai cara. Dalam perkembangan peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tenteram, serta sejahtera lahir dan batin, semakin dituntut penyediaan pangan yang cukup, berkualitas, dan merata. Oleh karena itu, kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis.
Sesuai dengan perkembangan era globalisasi dan liberalisasi perdagangan, beberapa komoditas pangan telah menjadi komoditas yang semakin strategis, karena ketidakpastian dan ketidakstabilan produksi pangan nasional, tidak selalu dapat secara otomatis mengandalkan kepada ketersediaan pangan di pasar dunia. Oleh karena itu, sebagian besar negara-negara menetapkan sistem ketahanan pangan untuk kepentingan dalam negerinya.
Selanjutnya kesepakatan pembentukan WTO merupakan realisasi dari cita-cita lama pada waktu merundingkan GATT pertama kali. Perjanjian perdagangan multilateral pertama yang diakui dunia adalah Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade – GATT) pada tahun 1948. Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB. Latar belakang pembentukan GATT dimulai dari pengalaman pahit depresi ekonomi dunia pada dasawarsa 1930-an, yang diikuti dengan pemberlakuan proteksi perdagangan oleh negara-negara besar. Sejak tahun 1948 - 1994, GATT mengadakan 7 (tujuh) putaran perundingan perdagangan multilateral dengan tujuan memfasilitasi perdagangan internasional. Dari berbagai Putaran Perundingan Perdagangan dalam sejarah GATT, yang terpenting adalah Putaran Tokyo dan Putaran Uruguay. Putaran Tokyo telah gagal untuk menyelesaikan masalah utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai safeguards. Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non-tarif telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
Putaran Uruguay memakan waktu tujuh setengah tahun atau hampir 2 (dua) kali dari rencana jadwal semula, dengan 123 negara yang ikut berpartisipasi. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan. Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata, hanya dalam waktu 2 (dua) tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan.
Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia. World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui persetujuan yang berisikan aturan-aturan dasar perdagangan internasional yang dihasilkan oleh para Negara anggota melalui proses negosiasi. Persetujuan tersebut merupakan perjanjian antar Negara anggota yang mengikat pemerintah negara anggota untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan mereka.

WTO didirikan negara anggotanya dengan maksud dan tujuan bersama sebagaimana dicantumkan dalam mukadimahnya sebagai berikut:

“Bahwa hubungan-hubungan perdagangan dan kegiatan ekonomi Negara negara anggota harus dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan standar hidup, menjamin lapangan kerja sepenuhnya, peningkatan penghasilan nyata, memperluas produksi dan perdagangan barang dan jasa, dengan penggunaan optimal sumber-sumber daya dunia sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Juga mengusahakan perlindungan lingkungan hidup dan meningkatkan cara-cara pelaksanaannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara yang berada pada tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini diakui adanya suatu kebutuhan akan langkah-langkah positif untuk menjamin agar supaya negaraberkembang, teristimewa yang paling terbelakang, mendapat bagian dari pertumbuhan perdagangan internasional sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya.Untuk mencapai tujuan tujuan ini diadakanlah suatu pengaturan yang saling menguntungkan yang diarahkan pada pengurangan tarif secara substansial dan juga hambatan-hambatan non-tarif terhadap perdagangan, dan untuk menghilangkan perlakuan diskriminatif dalam hubungan perdagangan internasional.”

Adapun peraturan-peraturan dalam WTO berlaku di seluruh dunia dan tidak akan ada perubahan kebijakan yang sifatnya mendadak sehingga memungkinkan setiap individu, perusahaan-perusahaan dan pemerintah negaranegara anggota menjalankan perdagangan internasionalnya tanpa hambatan. Dengan kata lain, berbagai aturan atau kebijakan yang dibuat atau akan dibuat bersifat transparan dan dapat diprediksi.
Diantara fungsi WTO yang terpenting adalah melancarkan pelaksanaan, pengadministrasian serta lebih meningkatkan tujuan dari perjanjian pembentukan WTO sendiri serta perjanjian-perjanjian lain yang terkait dengannya. Disamping itu WTO akan merupakan forum negosiasi bagi para anggotanya di bidang-bidang yang menyangkut perdagangan multilateral, forum penyelesaian sengketa, dan melaksanakan peninjauan atas kebijakan perdagangan

Perjanjian-perjanjian WTO sangat luas dan kompleks sebab menyangkut berbagai bidang seperti tekstil dan pakaian, pertanian, perbankan, telekomunikasi, belanja negara (government procurement), standar industri, undang-undang sanitasi dan keamanan makanan, perlindungan hak kekayaan intelektual dan sebagainya. Namun demikian terdapat beberapa prinsip mendasar yang menaungi semua bentuk perjanjian dalam WTO yakni:

1) Trade without discrimination (prinsip non-diskriminasi dalam
perdagangan)

a) Most favoured nation (MFN): treating other people equally
Dalam perjanjian WTO, semua negara diperlakukan sama. Artinya Negara-negara anggota WTO tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap mitradagangnya dan tidak boleh ada perbedaan perlakuan antara produk domestiknya dengan produk impor.Prinsip ini merupakan landasan bagi tiga perjanjian WTO, yaitu GATT (artikel 1), GATS (artikel 2) dan TRIPS (artikel 4). Singkatnya dengan prinsip MFN, setiap negara melakukan penurunan hambatan perdagangan atau membuka pasar terhadap suatu produk atau barang jasa dari negara lain yang menjadi mitra dagangnya dengan tidak memandang apakah negara tersebut negara kaya atau Negara miskin, negara lemah ataupun negara kuat.

b) National treatment
Dalam prinsip ini produk lokal maupun produk impor harus diperlakukan sama. Prinsip perlakuan sama dengan produk nasional ini meliputi bidang jasa, merek, undang-undang hak cipta dan hak paten. Prinsip ini merupakan landasan bagi tiga perjanjian WTO yaitu GATT (artikel 3), GATS (artikel 17) dan TRIPS (artikel 3) walaupn dalam implementasinya prinsip tersebut mengalami perbedaan.Berkaitan dengan hal tersebut national treatment hanya berlaku jika sebuah produk, bidang jasa, bentukbentuk kekayaan intelektual asing telah memasuki pasar. Dengan demikian pengenaan bea masuk pada produk impor bukan merupakan pelanggaran terhadap prinsip national treatment walaupun produk sejenis misalnya dapat diproduksi di dalam negeri oleh negara tersebut. Selain itu produk dalam negeri tersebut juga tidak dikenai biaya tambahan seperti yang diberlakukan terhadap produk impor sejenis.

2) Freer Trade: gradually, through negotiation (mencapai perdagangan
bebas secara bertahap melalui negosiasi)
Dalam prinsip ini mencapai perdagangan bebas dilakukan secara bertahap melalui negosiasi. Menurunkan hambatan perdagangan merupakan langkah nyata dalam mendorong perdagangan. Berbagai masalah hambatan perdagangan seperti bea masuk (tarif) dan larangan impor atau kuota yang membatasi kuantitas suatu produk secara selektif serta isu-isu lain seputar hambatan perdagangan seperti penggunaan label merah dan perubahan kebijakan nilai tukar juga didiskusikan dalam rangkaian negosiasi perdagangan. Upaya untuk membuka pasar memang merupakan strategi yang menguntungkan untuk menciptakan perdagangan bebas namun hal itu juga memerlukan berbagai penyesuaian melalui perubahan. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam kesepakatan WTO negara-negara anggota diperbolehkan melakukan perubahan bertahap dengan melakukan langkah-langkah progresif (progressive liberalization). Berkaitan dengan hal itu, negara berkembang diberikan waktu lebih lama untuk memenuhi kewajibannya untuk membuka pasarnya bagi perdagangan bebas.

3) Predictable (dapat diprediksi)
Dengan adanya stabilitas dan prediktibilitas bagi dunia usaha maka iklim investasi dapat mendorong terciptanya lapangan pekerjaan, peluang-peluang bisnis dan keuntungan yang dapat dinikmati oleh konsumen dari ketersediaan berbagai jenis barang dengan harga murah sebagai akibat dari munculnya persaingan dagang yang sehat. Dengan adanya stabilitas dan prediktibilitas akan menurunkan hambatan perdagangan seperti kuota dan langkah-langkah lainnya yang bertujuan untuk membatasi masuknya produk impor. Selain itu negara didorong untuk membuat peraturan perdagangan menjadi lebih transparan terhadap publik, serta pemerintah diharuskan menotifikasi kebijakan tersebut kepada WTO sesuai dengan perjanjian WTO. Pengawasan terhadap kebijakan nasional dilakukan oleh Trade Policy Review Mechanism sebagai upaya untuk mendorong transparansi kebijakan di tingkat domestik maupun pada tingkat multilateral.

4) Promoting fair competition (mendorong persaingan dagang yang adil)
Dalam prinsip ini, persaiangan dalam perdagangan dapat diterapkan secara
adil. Sistem WTO masih memperkenankan penerapan tarif dan bentuk-bentuk proteksi dalam skala kecil. Melalui berbagai tahapan liberalisasi perdagangan yang progresif, penerapan tarif dan kebijakan proteksi tersebut diharapkan dapat dihilangkan sepenuhnya sehingga kondisi perdagangan yang adil akan tercipta. Mekanisme MFN dan national treatment diharapkan dapat mengurangi praktek dumping, subsidi serta hambatan-hambatang perdagangan lainnya.

5) Encouraging development and economic reform (mendorong
pembangunan dan pembaharuan ekonomi bagi negara miskin dan
berkembang)
Sistem WTO dapat membawa kontribusi bagi pembangunan dan pembaharuan ekonomi bagi negara-negara berkembang. WTO memberikan kesempatan, kelonggaran waktu dan fleksibilitas yang besar serta berbagai perlakuan khusus untuk melakukan berbagai penyesuaian sebagai persiapan menuju pasar bebas. Berbagai kemudahan diberikan karena lebih dari 75 persen anggota WTO adalah negara-negara berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami transisi ke arah ekonomi pasar.
Selain prinsip-prinsip perdagangan dalam WTO yang telah disebutkan di atas, adapun terdapat prinsip-prinsip negosiasi dalam WTO sebagai berikut:

a. prinsip fundamental yang digunakan negara-negara dalam melakukan negosiasi di WTO adalah memperoleh keuntungan bersama;

b. asas resiprositas adalah ketika suatu negara mencari perbaikan akses di pasar negara lain (seperti penurunan tarif), negara tersebut harus siap pula untuk memberikan konsesi (seperti pengurangan tarif) yang dianggap menguntungkan atau memiliki nilai yang sama dengan konsesi yang diminta oleh mitra dagangnya tersebut.

c. prinsip Single Undertaking merupakan prinsip dalam negosiasi di
WTO yang didefinisikan sebagai “seluruh unsur dalam negosiasi merupakan bagian dari satu kesatuan utuh yang tidak bisa dibagi-bagi atau disetujui hanya sebagiannya saja.” Prinsip ini dikenal juga sebagai konsep “nothing is agreed until everything is agreed.”

Dalam pertemuan keempat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) di Doha, Qatar pada bulan November 2001, diadopsi sebuah agenda besar mengenai pembentukan putaran baru negosiasi perdagangan yang dikenal dengan nama Doha Development Round (DDR), atau Putaran Doha. Putaran Doha memiliki visi untuk membentuk konsep baru liberalisasi di bidang pertanian, tarif, jasa, rencana implementasi program, potensi reformasi dalam sistem penyelesaian sengketa, serta empat bidang yang disebut dengan ”Singapore Issues,” yaitu persaingan usaha, investasi, transparansi dalam pengadaan barang pemerintah, dan fasilitas perdagangan. Di antara topik-topik perundingan tersebut, perjanjian pertanian menjadi perhatian negara berkembang karena sektor ini menjadi pilar ekonomi di banyak negara berkembang.
Pertanian dan persetujuan di bidang pertanian menjadi perhatian utama dalam negosiasi perdagangan, karena selama ini disadari sering terjadi distorsi perdagangan atas produk-produk pertanian yang disebabkan oleh pengenaan kuota impor dan pemberian subsidi domestik maupun subsidi ekspor. Ketentuanketentuan dalam GATT untuk bidang pertanian pada awalnya disadari banyak mengandung kekurangan dan kelemahan, sehingga pada putaran Uruguay negosiasi diusahakan untuk menghasilkan ketentuan di bidang pertanian yang adil (fair), dapat menjamin kompetisi yang sehat dan tidak distortif melalui penghapusan sistem kuota impor dan pemberian subsidi. Persetujuan bidang pertanian ini disepakati baik oleh negara maju maupun negara berkembang yang menjadi anggota OPD/WTO.
Tujuan Persetujuan bidang pertanian ini adalah melakukan reformasi perdagangan dalam sektor pertanian dan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pasar. Hal ini dapat memperkuat tingkat prediksi dan keamanan negara-negara pengimpor maupun pengekspor. Negara maju diwajibkan untuk mematuhi ketentuan ini dalam kurun waktu 6 tahun, sedangkan Negara berkembang diberi waktu 10 tahun terhitung sejak 1 January 1995.
Perjanjian mengenai pertanian masuk ke dalam WTO sebenarnya atas perjuangan negara sedang berkembang. Pada masa putaran Uruguay, negara berkembang merasa bahwa peraturan perdagangan internasional hanya menguntungkan negara maju karena aspek yang dicakupnya memberikan keuntungan komparatif kepada produk negara maju.
Seperti diketahui, ekspor negara berkembang lebih banyak berupa bahan mentah produk pertanian. Hanya ada 2 (dua) perjanjian yang menguntungkan negara sedang berkembang yang berhasil masuk ke dalam WTO, yaitu pertanian dan tekstil. Aspek positif dari Agreement on Ariculture (AoA) adalah dengan masuknya pertanian dalam peraturan perdagangan multilateral, maka negara maju yang selama ini mensubsidi produksi dan ekspor pertanian harus tunduk pada peraturan menghapuskan segala distorsi perdagangan, diantaranya adalah dengan mengurangi subsidi tersebut.
Negara maju sebagai penghasil dan eksportir besar hasil pertanian, selama ini memberlakukan proteksi ketat, memberikan subsidi besar kepada para petani mereka, dan menyediakan subsidi ekspor. Hal ini merugikan negara pengekspor hasil pertanian lainnya, terutama negara-negara miskin dan berkembang yang memiliki kemampuan sumber daya terbatas. Kepentingan negara berkembang berbeda dari negara maju. Keunggulan banding Dunia Ketiga umumnya adalah ekspor hasil pertanian dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku untuk diolah lebih lanjut. Ekspor komoditas semacam ini sering menjadi satu-satunya sumber devisa bagi negara tertentu, tetapi harganya di pasar internasional sering berfluktuatif tanpa dapat dikendalikan.
Pada dasarnya, Agreement on Agriculture (AoA) mengandung 3 (tiga) unsur utama, yaitu:
1. Pengurangan subsidi ekspor;
2. Pengurangan dukungan (subsidi) dalam negeri;
3. Akses Pasar.
Perundingan di bidang pertanian mencakup tiga aspek utama/pilar utama, yaitu: (1) bantuan domestic (domestic support), (2) subsidi ekspor (export subsidy), dan (3) akses pasar (market access). Perundingan yang berhubungan dengan akses pasar, antara lain membahas masalah bentuk formula penurunan tariff, penjabaran konsep Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM) dalam framework, masalah Sensitive Products untuk negara maju, masalah tariff capping, tariff quota, preferences, tropical products, dan newly acceded members. Perundingan yang berhubungan dengan Subsidi Ekspor, antara lain meliputi penentuan kriteria untuk parallelism (penghapusan ekspor subsidi yang dilakukan secara paralel dengan penghapusan komponen subsidi pada kredit ekspor), aspek subsidi dari State Trading Enterprises (STE), food aid dan differential export taxes yang dapat diterima oleh negara-negara Eropa agar mereka bersedia menghapus seluruh subsidi ekspor, menentukan aspek subsidi dari STE, food aid, kredit ekspor dan masalah monitoring. Adapun perundingan mengenai Subsidi Domestik antara lain membahas masalah penentuan formula yang dapat memotong subsidi domestic secara progresif – semakin tinggi tingkat subsidi semakin besar pemotongannya, penerapan konsep product specific untuk subsidi dalam kategori Amber Box dan Blue Box, masalah pemotongan de minimis yang terkait dengan subsidi Blue Box, masalah disiplin, monitoring dan pengetatan aturan Blue Box, serta titik awal pemotongan Blue Box mengingat subsidi dalam kategori ini tidak di-bound.
Sekilas Agreement on Agriculture tampak seperti akan menghapus penyimpangan (distorsi) perdagangan produk pertanian, dan negara-negara berkembang diuntungkan dengan adanya akses pasar. Tetapi ketika perundingan pengurangan subsidi, Amerika Serikat dan Uni Eropa mengadakan perundingan terpisah yang menghasilkan Blue Box yaitu subsidi berupa pembayaran langsung ke petani, tetapi berkaitan dengan rencana membatasi produksi. Inilah salah satu ketimpangan yang terjadi dalam Agreement on Agriculture. Secara keseluruhan, Agreement on Agriculture menyajikan peraturan yang timpang dan juga tidak dipatuhi oleh negara-negara maju. Beberapa unsur ketimpangan dan ketidakpatuhan tersebut adalah:

1. Kewajiban tidak adil
Agreement on Agriculture mensyaratkan bahwa subsidi dan pembatasan impor harus dikurangi, sebanyak 36% dari nilai subsidi per produk para petani dan 21% dari volume pasar untuk negara maju. Padahal, tingkat subsidi dan tarif impor negara berkembang adalah sepertiga dari ketentuan tersebut. Artinya negara berkembang tidak dapat menggunakan tarif tinggi dan subsidi lebih besar di masa mendatang, bahkan harus menurunkan. Sebaliknya negara maju memberlakukan subsidi dan tarif tinggi dan kalaupun harus menurunkan, tidak terlalu berarti. Negara maju selama ini memberlakukan tarif ekspor hingga 300-400% atas produk pertanian. Selain itu mereka bahkan melanggar tarif impor, dimana Amerika Serikat misalnya meningkatkan pajak hingga 350% untuk impor tembakau. Padahal petani di negara maju sudah terlalu lama dilindungi, pertama dengan subsidi, kedua dengan kontrol atas impor, lalu dengan tarif impor yang tinggi.

2. Subsidi yang timpang
Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa mencakup 90% dari semua subsidi domestik di bidang pertanian di dunia. Kalaupun mereka menurunkan atau menghapus subsidi dalam amber box yaitu subsidi yang secara langsung dianggap mengacaukan perdagangan, tetapi boleh diberikan untuk sementara dengan syarat akan dihapuskan secara bertahap; subsidi dalam green box yaitu subsidi yang tidak secara langsung mendukung produksi pertanian, yaitu dana untuk penelitian, penanganan penyakit tanaman, program lingkungan, dan penyimpanan pasokan pangan untuk menjamin ketahanan pangan dalam negeri; dengan ketentuan subsidi blue box meningkat yaitu subsidi berupa pembayaran langsung ke petani, tetapi berkaitan dengan rencana membatasi produksi. Pembayaran langsung, misalnya mencakup 23% dari subsidi di Amerika Serikat dan Uni Eropa, yaitu bahkan lebih tinggi dari pada tingkat subsidi di 1986 sebelum Agreement on Agriculure ditetapkan. Amerika Serikat dan Uni Eropa memberikan subsidi 15,7 milyar dolar Amerika Serikat pada 1995 hanya untuk gandum dan jagung. Sementara setengah juta petani jagung di Mindanao, Filipina yang pendapatannya kurang dari US$100 harus bersaing dengan jagung yang diimpor dari Amerika Serikat, dan ditanam oleh petani yang disubsidi. Pada tahun 2000, subsidi yang diperbolehkan mencapai 16 juta dolar, dua kali lipat dari tingkat 1995.

3. Produksi pangan domestik dan pertanian non-komersial
Agreement on Agriculture didasarkan pada pemikiran tentang perdagangan internasional yang terbuka dibidang pertanian, dimana supremasi harga merupakan keuntungan komparatif. Artinya, suatu negara harus mengimpor produk pertanian dari negara yang dapat memproduksinya dengan harga lebih murah. Secara teori perdagangan hal ini memang benar, tetapi bagaimana dengan ketahanan pangan di negara sedang berkembang? Negara kaya yang mempunyai cadangan devisa cukup memang bisa menggantungkan pangan pada impor, tetapi negara berkembang hampir selalu kekurangan devisa. Bagaimanapun juga, produksi pangan domestik tetap harus diadakan.

4. Pemaksaan lewat persyaratan IMF/Bank Dunia
Program penyesuaian struktural dari Bank Dunia dan IMF biasanya memberlakukan persyaratan liberalisasi di bidang pertanian yang sama dengan persyaratan WTO di atas. Apabila di WTO, pemenuhan syarat di atas bisa dirundingkan dengan mengajukan alasan ketahanan pangan, atau kepentingan nasional dan rakyat. Tetapi persyaratan pinjaman dari Bank Dunia dan IMF tidak dapat ditawar, walaupun bisa dihilangkan begitu sebuah negara tidak lagi berhutang. Perjanjian hutang pertama antara Indonesia dengan IMF (pada Januari 1998) adalah awal dari penurunan tarif impor untuk gandum, beras, gula, bawang putih.
Pertanian telah diatur oleh WTO sejak tahun 1995, dan dinamai sebagai Perjanjian Pertanian (Agreement on Agruculture / AoA) tahap I. Tujuannya, agar setiap negara mau menghapus tarif pertaniannya dan mau menghapus subsidi pertaniannya. Intinya, meminta diterapkannya perdagangan bebas produk-produk pertanian dan sistem pertanian yang liberalistik. Perundingan Agreement on Agriculture tahap II dimulai kembali sejak Januari 2000 sampai sekarang, seiring dengan diadakannya Putaran Doha sejak tahun 2003. Saat ini tujuannya adalah pengurangan tarif dan pemotongan subsidi lebih lanjut. Akan tetapi negara maju tetap tidak mau memotong subsidinya. Padahal subsidi tersebut faktanya menjadi dumping ke negara berkembang. Sebaliknya negara berkembang seperti Indonesia diminta untuk memotong lagi tarifnya lebih besar, sebagaimana usulan penggunaan formula Swiss, dan subsidi yang terbatas. Ini berarti Indonesia akan kebanjiran produk-produk pertanian dari luar lebih banyak lagi, yang akan mematikan produk-produk pertanian petani.
Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi dan telah menjadi anggota WTO. Aturan-aturan hukum perdagangan internasional dalam kerangka WTO diterapkan terhadap anggota-anggotannya. Pasal XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan bahwa: each member shall casure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provieded in the annexed agreement. Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan aturan-aturan atau hukum perdagangannya dengan aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Ketentuan tersebut diatas membahas mengenai keterikatan Indonesia dan berdampak pada aturan-aturan kebijakan pangan Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan pangan mengamanatkan, bahwa Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan. Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selanjutnya, masyarakat berperan dalam menyelenggarakan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang aman dan bergizi.
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti dan menulis permasalahan tersebut menjadi sebuah desain penelitian akhir dengan judul Tinjauan Yuridis Agreement on Agriculture Dalam World Trade Organization terhadap Kebijakan Ketahanan Pangan Indonesia.


B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan masalahnya, yaitu:

1) Apakah Agreement on Agriculture (AoA) dalam World Trade Organization berpengaruh terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia?

2) Bagaimanakah Indonesia merealisasikan kebijakan ketahan pangannya berdasarkan ketentuan Agreement on Agriculture (AoA) dalam World Trade Organization?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam desain penelitian akhir ini adalah:

a. untuk mengetahui dan menelaah tentang pengaruh Agreement on Agriculture (AoA) dalam World Trade Organization terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia serta;

b. Bagaimanakah Indonesia merealisasikan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Agreement on Agriculture tersebut dalam menerapkan kebijakan ketahan pangannya.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara Akademis yaitu untuk menambah wawasan peneliti mengenai pengaruh Agreement on Agriculture (AoA) dalam World Trade Organization terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia disertai realisasi ketentuan yang diatur di dalam Agreement on Agriculture terhadap kebijakan ketahan pangan Indonesia ;

b. Secara Praktis memberikan input atau masukan bagi instansi atau lembaga terkait sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan didalam membuat kebijakan sehubungan dengan Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization khususnya pengaruh Agreement on Agriculture tersebut terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia beserta realisasinya.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis
Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak lama. Hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini mengadakan hubungan-hubungan perdagangan dengan negara lain. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka. Dewasa ini semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan. Pendirian ini semakin mendorong negara untuk memperluas aktifitas perdagangannya.
Teori-teori tentang perdagangan internasional didominasi oleh teori ortodoks atau klasik dan neo-klasik. Ricardo berpendapat bahwa dua negara dapat menarik keuntungan dari perdagangan timbal balik bahkan jika salah satu diantaranya lebih efisien dari yang lain dalam memproduksi barang. Ricardo menyatakan sebagai berikut:
“Dalam suatu sistem perdagangan bebas, setiap negara secara alamiah mengkhususkan modal dan tenaga kerjanya pada pekerjaan-pekerjaan yang paling menguntungkan baginya. Usaha mengejar keuntungan individual ini sangat terkait dengan kebaikan bagi semua secara universal. Dengan mendorong industri, dengan memberikan imbalan pada kecerdikan, dan dengan memanfaatkan kekuatan khusus yang paling efisien yang diberikan alam, dia mendistribusikan kerja secara paling efektif dan paling ekonomis; sementara itu, dengan meningkatkan produksi massal secara umum, ia menyebarkan keuntungan secara umum, dan mengikat dengan satu kepentingan bersama dan hubungan bersama, masyarakat bangsa-bangsa di seluruh dunia beradab.”

Pandangan Ricardo pada dasarnya bermaksud menyampaikan bahwa dalam suatu perdagangan bebas, sumber-sumber produktifitas negara pesertanya harus dimanfaatkan se-efisien mungkin dan dengan demikian seluruh negara peserta akan meraih keuntungan.
Adam Smith menunjukkan bahwa perdagangan internasional merupakan stimulus bagi pertumbuhan melalui perluasan pasar bagi produsen domestik serta melalui bertambahnya pembagian kerja serta diperkenalkannya teknologi baru.
Kesimpulan-kesimpulan teori klasik dan neo-klasik bahwa perdagangan bebas merangsang pertumbuhan dan meningkatkan pembangunan telah ditentang oleh banyak sarjana. Mereka menunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan di negara-negara berkembang kendati negara-negara ini telah cukup lama berpartisipasi dalam perdagangan internasional.
Para sarjana yang termasuk ke dalam kelompok export pessimist seperti Myrdal dan Prebisch, menekankan kegagalan pasar untuk menciptakan pertumbuhan dan perbaikan struktural di negara-negara berkembang lewat perdagangan internasional. Stagnasi di negara-negara miskin, distribusi perolehan dari perdagangan yang tidak seimbang serta jurang pemisah yang semakin lebar antara negara-negara kaya dan miskin akan muncul dari perdagangan bebas. Kritik Prebisch terhadap gagasan bahwa perdagangan akan mendorong pertumbuhan industrial antara lain didasari oleh penelitian seorang ekonom, Eugene Stanley, pada awal tahun 1960-an, telah meneliti statistik yang dikumpulkan GATT dan menemukan bahwa nilai tukar barang yang diekspor negara-negara kurang berkembang semakin lama semakin merosot dibandingkan dengan barang industrial yang mereka impor dari negara industri maju.
Selama berpuluh-puluh tahun mereka harus mengekspor barang yang jumlahnya semakin lama semakin besar hanya untuk membayar impor dalam volume yang sama. Diperkuat oleh statistik dari British Board of Trade, ilmuwan tersebut di atas menunjukkan bahwa sejak 75 tahun sebelumnya nilai tukar komoditi primer terus merosot dibandingkan dengan barang manufaktur.
Selain itu, dasar hukum mengikatnya suatu hukum internasional kepada suatu Negara menurut Triepel yaitu karena adanya kehendak bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing Negara untuk tunduk pada hukum internasional. Dalam hal ini terdapat keinginan bersama antara sesama anggota WTO untuk tunduk dan melaksanakan persetujuan-persetujuan yang secara bersama-sama telah dibuat oleh anggota WTO khusus pada desain penelitian akhir ini mengenai perjanjian Agreement on Agriculture.
Dalam desain penelitian akhir ini juga akan menggunakan teori keadilan yang dikemukakan oleh Frank J. Garcia. Menurut Frank J. Garcia, ketidaksetaraan dilingkungan internasional dalam bidang sosial dan ekonomi dianggap adil hanya jika dapat menghasilkan keuntungan untuk semua negara khususnya negara yang kurang beruntung, dalam hal ini negara berkembang. Selanjutnya, dia menambahkan bahwa perlu adanya suatu kerangka normatif yang didasari atas kewajiban moral yang mendasari hubungan antara negara maju dan negara berkembang yang tidak setara. Untuk hal ini, dia menyatakan:

a key element of the developing world's trade agenda, plays a central role in satisfying the moral obligations that wealthier states owe poorer states as a matter of distributive justice. Seen in this light, the principle of special and differential treatment is more than just a political accommodation: it reflects a moral obligation stemming from the economic inequality among states.

Adapun keterikatan Indonesia pada Agreement on Agriculture WTO yaitu melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang ratifikasi pembentukan WTO. Suatu perjanjian perdagangan internasional mengikat berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu, sebagaimana halnya perjanjian pada umumnya, perjanjian perdagangan internasional hanya mengikat suatu negara apabila negara tersebut sepakat untuk menandatangani atau meratifikasinya.
Bagi Indonesia, Undang-Undang yang secara eksplisit menyatakan kewajiban mewujudkan ketahanan pangan adalah Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-Undang tersebut menjelaskan konsep ketahanan pangan, komponen, serta para pihak yang harus berperan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Secara umum Undang-Undang tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat wajib mewujudkan ketahanan pangan. Undang-Undang tersebut telah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang antara lain membahas tentang ketersedian pangan, distribusi dan konsumsi pangan Indonesia.

2. Kerangka Konseptual
Guna mengetahui dan memahami maksud dari judul desain penelitian akhir ini dan untuk mempermudah dalam membahas permasalahan serta untuk menghindari penafsiran yang berbeda, maka peneliti perlu menjelaskan beberapa konsep yang berkaitan dengan judul desain penelitian ini, batasan pengertiannya adalah:

a. Tinjauan Yuridis yaitu kajian yang di dasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal ini penelitian didasarkan pada ketentuan-ketentuan WTO khususnya Agreement on Agriculture dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan serta Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

b. Agreement on Agriculture (AoA) merupakan perjanjian pertanian yang tak terpisahkan dari dokumen WTO. Persetujuan Bidang Pertanian bertujuan untuk melakukan reformasi perdagangan dalam sektor pertanian dan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pasar, adil dan lebih dapat diprediksi

c. World Trade Organization (WTO) adalah adalah organisasi multilateral negara-negara yang mengatur jalannya perdagangan dunia yang secara resmi mulai beroperasi pada 1 Januari 1995. Secara institusional WTO sebagai kelanjutan dari GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade) yang telah dibentuk sejak tahun 1947. Perlu diketahui bahwa lahirnya WTO dari GATT merujuk pada putaran perundingan ke-8 disebut dengan Putaran Uruguay. Putaran yang dimulai pada tahun 1986 merujuk pada kesepakatan yang diambil di Uruguay, dan berakhir pada Maret 1994 di Marrakesh, Maroko. Pada saat itulah organisasi GATT diubah namanya menjadi WTO.

d. Ketahanan Pangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 Pasal (1) butir 17 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.


E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam desain penelitian ini adalah normatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan menelaah prinsip-prinsip hukum, isi kaedah hukum yang dalam hal ini adalah mengenai Agreement on Agriculture. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan cara menginventarisasi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO), serta pengaturan mengenai Agreement on Agriculture (AoA) untuk melihat pengaruhnya terhadap ketentuan kebijakan ketahanan pangan Indonesia dengan membandingkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

2. Pendekatan yang Digunakan
Penelitian ini menggunakan pendekatan historis (historical approach) dan juga pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pembahasan sejarah mengenai awal mula perjanjian perdagangan internasional berupa GATT dan WTO yang kemudian melahirkan Agreement on Agriculture. Pendekatan perundang-undangan dengan mengkaji tinjauan yuridis Agreement on Agriculture dalam WTO terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.


3. Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yaitu dengan:

a. Studi Kepustakaan, penelitian kepustakaan ini bertujuan untuk memperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder:

(1) Bahan Hukum Primer, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), World Trade Organization (WTO), dan Agreement on Agriculture (AoA), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

(2) Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum yang menjelaskan atau menjabarkan bahan hukum primer yaitu kebijakan ketentuan pangan nasional sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan antara lain lebih berupa textbook, buku-buku, jurnal-jurnal, surat kabar, tulisan ilmiah, dan bahan-bahan lainnya yang ada relevansinya dengan masalah yang akan diteliti.


4. Analisis Bahan Hukum
Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif analisis, yaitu dengan cara memaparkan ketentuan Agreement on Agriculture dalam WTO serta pengaruhnya untuk dicapai suatu kesimpulan.



F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam desain penelitian akhir ini peneliti bagi dalam 5 bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Sistematika Penulisan.

BAB II : SUMBER HUKUM PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai perdagangan internasional dan sumber hukum perjanjian perdagangan internasional.

BAB III : PENGATURAN GATT DAN WTO DALAM SISTEM PERDAGANGAN MULTILATERAL
Dalam bab ini akan diuraikan tentang General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

BAB IV: TINJAUAN YURIDIS AGREEMENT ON AGRICULTURE TERHADAP KEBIJAKAN KETAHAN PANGAN INDONESIA
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai tinjauan yuridis Agreement on Agriculture (AoA) dalam WTO terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia.

BAB V : PENUTUP
Pada bab ini akan diambil kesimpulan dari uraian-uraian sebelumnya, sehingga dari kesimpulan tersebut diberikan saran-saran yang berguna untuk menambah wawasan/pemahaman mengenai tinjauan yuridis Agreement on Agriculture (AoA) dalam WTO terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Teks / Makalah
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005.
____________ . Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam World Trade Organization (WTO). Mandar Maju. Bandung. 2005.
A.K. Syahmin. Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969). C.V. Armico. Bandung, 1985.
Anonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 2005.
Anwar, Chairul. Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa. Djambatan. Jakarta. 1989.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik; Edisi Revisi.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.2008.
Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Hukum Dagang Internasional. Refika Aditama. Bandung. 2006.
Fakih, Mansour. Dusta Industri Pangan (Penelusuran Jejak Monsato). Read book. Yogyakarta 2003.
Hartono, Darianto. et.al., Seri Terjemahan Persetujuan-Persetujuan WTO: Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA). Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral; DIrektorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan; Departemen Luar Negeri RI. Jakarta. tanpa tahun.
Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO (Aspek-aspek Hukum dan Non Hukum). Refika Aditama. Bandung. 2006.

Hidayat, Mochamad Slamet. et.al. Sekilas WTO (World Trade Organization) Edisi Keempat. Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri. Jakarta. tanpa tahun.
Jhamtani, Hira. WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga. InsistPress. Yogyakarta. 2005.
Kartadjoemena, H.S. GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round. Universitas Indonesia-Press. Jakarta. 1997
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kedua. P.T.Alumni. Bandung. 2003.
Mahmud, Peter Marzuki. Penelitian Hukum. Cetakan 3. Prenada Media Group. Jakarta. 2007.
Mulyana, Dedy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan 5. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2006.
Rudy, T. May. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah Global. Refika Aditama. Bandung. 2003.
__________ . Hukum Internasional 1. Refika Aditama. Bandung. 2006.
__________ . Hukum Internasional 2. Refika Aditama. Bandung. 2006.
Setiawan, Bonnie. et. al. WTO, Kapitalisme, dan Pembangunan Gerakan. The Institute for Global Justice. Media Pembebasan. Jakarta. 2006.
Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kesepuluh. Sinar Grafika. Jakarta. 2000.
Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Refika Aditama. Bandung. 2006.
Wiyono, Eko Hadi. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Palanta. tanpa tahun



2. Undang-Undang
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Hubungan Luar Negeri. UU Nomor 37 Tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882.
________________.Undang-Undang Tentang Perjanjian Internasional. UU Nomor 24 Tahun 2000. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012.
________________.Undang-Undang Tentang Pangan. UU Nomor 7 Tahun 1996. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99.
________________.Undang-Undang Tentang Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Oorganisasi Perdagangan Dunia). UU Nomor 7 Tahun 1994. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57.
________________.Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU Nomor 10 Tahun 2004. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548.
________________.Peraturan Pemerintah Tentang Ketahanan Pangan. PP Nomor 68 Tahun 2002. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 142. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4254.



3. Artikel/Jurnal
Amang, Beddu. Harga Pangan Merosot Tajam Dalam Era WTO, Warta intra Bulog No.07/XXV/Pebruari/2000, hal. 5

_____________.Perdagangan Global: Implikasinya Pada Sektor Pertanian, Warta Intra Bulog No.10/Tahun XXI/Mei/1996, hal. 11

Garcia. J Frank, “Trade And Inequality: Economic Justice And The Developing World”, Michigan Journal of International Law, (2000). Hal.20

Lindan, K.David. “Multilateral Trade, Free Trade Area Di Tingkat Regional, Atau Free Trade Agreement Bilateral”. Makalah, University of South Carolina, USA

Sawit, M.Husein. Mengapa “Petani Korea Marah Terhadap WTO”, Warta Intra Bulog Nomor 02/tahunXXXII/Pebruari/2006, hal.48

Sidik, Mulyono. Haruskah Petani Tergantung Kepada Perusahaan Multi-Nasional. Warta Intra Bulog No.9/Tahun XXIV/April/1999 hal. 16

4. Internet
http://www.deplu.go.id
http://www.globaljust.org
http://www.wikipedia.com/wiki
http://www.wto.org/aoa/legaltext.

Minggu, 18 Desember 2011

Description of the proposed research

State’s Obligation in Transforming World Trade Organization Law into National Law: Indonesian Case

International trade has brought states into closer relation with each other, as technology become more intimate, the range of interest springing from the relationship between states grew in size of complexity. In some regulation of these complex international activities every state had direct interest which rose superior to considerations of national autonomy and independence.

The establishment of the World Trade Organization (WTO) was agreed at a conference in Marrakesh, by 125 countries on 15 April 1994, which concluded the tough negotiation in Uruguay Round of General Agreement on Tariff and Trade (GATT). The negotiations after more than seven years of hard bargaining finally replaced the GATT with the WTO. The Agreement Establishing the WTO had come into force from 1 January 1995 with the support of 85 founding members including Indonesia. Indonesia has become member of the WTO and is considered as the original member under Article XI: 1 of the agreement establishing the WTO. Through Act No. 7 Year 1994 on Ratification Agreement Establishing the World Trade Organization, which bound Indonesia as member of WTO.

Become a member state of WTO has effects in development of Indonesia’s economic and trade, such in domestic market, exports and imports of goods, and the elevation in standard of living. However, the accession as WTO members state potentially raised the issues in legal challenges to take comprehensive advantages in international trade. Article XVI: 4 of the Agreement Establishing WTO, stated that:
“Each Member shall ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provided in the annexed Agreements.”

Article XVI: 5 provide that:

“No reservations may be made in respect of any provision of this Agreement. Reservations in respect of any of the provisions of the Multilateral Trade Agreements may only be made to the extent provided for in those Agreements. Reservations in respect of a provision of a Plurilateral Trade Agreement shall be governed by the provisions of that Agreement.”

Although waiver of obligation is possible under article IX: 3 of the WTO Agreement, under ‘exceptional circumstances clause, it is only to postpone the obligations of the state in temporary manner. After the certain time the state should conform its domestic law and regulation to all WTO agreements.

WTO Agreement with all annexes should be considered as treaty that creating legal obligation under international law. This means that WTO Agreement categorized as ‘law-making’ treaty, which lay down rules of universal or general application. Although a ‘law making treaty cannot in the nature of things be one containing rules of international law always of universal application. We should admit that ‘law-making’ treaty might be of two kinds:
a. enunciating rules of universal international law;
b. laying down general or fairly general rules.

The ‘law-making’ treaty is universal or general, it may be really a ‘framework Convention’, imposing duties to enact legislation or offering areas of choice, within the ambit of which state are to apply the principles laid down therein.

Other categorization of treaty is ‘treaty contract’ is treaty between two or few states, dealing with a special matter concerning these state parties exclusively. According to Starke’s, in contrast to ‘law-making’ treaty, ‘treaty contract’ are not directly a source of international law. They only constitute particular law, which bound the parties or signatories of the treaty, such as bilateral agreement.

Although some scholars think that the categorization of international treaties is not very important issues, however it is necessary to determine state obligations in order to transform an international treaty into national laws and regulations. Under an international law which categorized as ‘law-making‘ treaty a state has obligation to transform into national legislation, the reason this kind of treaty needs to be transform because of it has potential to contradict or even as new law or institutions under national law. However, the obligation remained under international treaties. Therefore, the state must and necessary to transform the international treaties into national law in order to bind the citizen or to establish an institution which required under the international treaty. A state’s obligation under an international treaty will remain with or without a state transform its obligation into its national law.

For developing countries like Indonesia, such conformity is not always an easy task. Indonesia’s participation in international ‘law-making’ treaty, gives obligation to transform international treaty into national law. However, there are debates on this issue. First, whether transformation of international into national law is necessary by the state party. Second, whether ratification through state’s legislation is sufficient to bound citizens of state. Third, whether transformation by Indonesia in anti-dumping, intellectual properties rights, and other issues, such as schedule of commitment and Free Trade Agreements is sufficient for carry out its obligation under international treaty.

There are two perspectives on whether international treaty, such as WTO Agreements should be treated in Indonesian law. First, people who views on that it is unnecessary to transform international treaty into national law. Those people base their opinions on Mochtar Kusumaatmadja. Kusumaatmadja on his book ‘Pengantar Hukum Internasinal (Introduction on International law)’ stated that Indonesia is directly bound to international treaty which its ratified or accessed without transformation process. He stated that transformation is not necessary because Indonesia like any other European Continental system directly bound by international treaty immediately after ratification of treaty. Therefore, Indonesia does not need any implementing legislation to legalize the treaty.

The rationale behind this opinion is that Indonesia accepts monism theory because in practice Indonesia still disregards to carry out its obligation into national law. However, Kusumaatmadja stated that enacted legislation is absolutely necessary if there is modification of legislations, which the rights of citizen directly effected. Although, Kusumaatmadja acknowledged that Indonesia has obligation to transform the treaty, nevertheless Indonesia still has troubles to do so, hence transformation into national law is not required.

However, this rational cannot be used as an excuse for Indonesia incapability to transform a treaty into national laws. At least, three reasons why this rational cannot be used. First, an international treaty only binds states or international organizations as subjects of international laws. Therefore, the subject of private law, criminal law, constitutional law and administrative law are not bound by international treaties this include state institutions and citizens of the state.

Second, it is unusual for people to bring claim in the national court by using international treaties as basis of their claim. In Indonesia, there are no claims or prosecutions that base on an international treaty. Third, there are obligations under international treaty for state parties to conform their national laws. Even there is also mechanism to ensure the conformity of states in transforming their obligations into national law, such as Trade Policy Review Mechanism.

In Indonesia, there are sources of national law, which provide under Law No. 10 Year 2004 on establishment of Laws and Regulations Article 7 (1), stated that the hierarchy of Indonesia national law and regulation are (1) Constitution 1945; (2) Acts; (3) Government Regulations; (4) Presidential Decrees and (5) Municipal Regulation. Under Law No. 10 Year 2004, international treaties or laws are not mentioned as sources of law in Indonesia. Therefore, international treaties that already ratified by Indonesia cannot directly apply in Indonesia.

There are people who argues Indonesian ratification of international treaties should be directly bind Indonesia on international obligation, because ratification on international treaties are based on Laws or Presidential Decrees. However I have to object on this view. The rational behind my objection are first, a legislation that ratified international treaty is approval of the authority of the state (a parliament or a president) to be bound by international treaty. The legislation on the ratification usually oblige by international treaties or by national laws and legislations. These laws cannot be basis for the implementation of an international treaty in national milieu. The provision on the ratification legislation only has two articles. First article provides that ratification on an international treaty. Second article provides the when the Law entry into force.

Numerous international treaties that have been ratified by Indonesia are inconsistence with Indonesian laws, hence the national laws need to be amended or changed to conform to international treaties. There are also rules of international treaties, which cannot be found in national law although the treaties are already ratified by Indonesia. Therefore it is necessary to create the law in national level. Consequently, amendment and creation of new law are necessary in order to international obligations can bind state’s institutions, officials and citizens.

Lawrence M Friedman in American Law. London: WW Norton and Company. (1984)., stated that to make national law apply needs: the structure of a legal system consists of elements of this kind: the number and size of courts, their jurisdiction, and modes of appeal from one court to another, how the legislature is organized, what procedures the police departement follows, and so on; substance, by this meant the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system; legal culture, by this we mean people’s attitudes toward law and legal system, their beliefs, values, ideas, and expectations

The cases study that would analyze on this research are Anti-dumping rules in Indonesia; Trade Related aspects on Intellectual Property Rights; Schedule of Commitment; and Free Trade Agreements.


Approach/methodology

In order to pursue this research, first I have to find out all primary sources of data that is related to how WTO Agreement and all annex that all ready regulated under Indonesian Law. The Indonesian Law that I will collect such as Acts on Intellectual Property Rights, Government Regulations on Anti-dumping, Presidential Decree, Ministerial Decrees regarding the implementation of Schedule of Commitments and implementation on Free Trade Agreement in Indonesia.


Literature references

1. Aust, Anthony, Modern Treaty Law and Practice, Cambrige University Press, London, 1999.
2. Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, 5th edition, Oxford University Press, Oxford, 1998.
3. Cassesse, Atonio, International Law, Oxford University Press, New York, 2002
4. Friedmann, Wolfgang, The Changing Structure of International Law, Valkis, Feffer & Simon Private, Ltd., Bombay, 1964.
5. Friedman, Lawrence. M, American Law. London: WW Norton and Company. 1984
6. Jackson, John H, William J. Davey, and Allan O. Sykes, Jr., Legal Problems of International Economic Relations, 4th ed., West Group, US, 2002
7. Kusumaatmadja, Mochtar and Etty R Agus, Pengantar Hukum International, Pt Alumni, Bandung, 2003
8. Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius.
9. Shearer, IA, Starke’s International Law, 11th Edition, Butherworhts, Singapore, 1994.
10. Van den Bossche, Peter, The Law and Policy of the World Trade Organization, Cambrige University Press, UK, 2007
11. Wallace, Rebeca, International Law, 2nd edition, Sweet&Maxwell, London, 1992.
12. Juwana, Hikmahanto, Hukum Ekonomi Dan Hukum Internasional: Bunga Rampai, Lentera Hati, Jakarta, 2002
13. Seidl-Hohenvelde, Ignaz, Transformation Or Adoption Of International Law Into Municipal Law, The International And Comparative Law Quarterly, Vol. 12, No. 1 (Jan., 1963), Pp. 88- 124 Published By: Cambridge University Press On Behalf Of The British Institute Of International And Comparative Law
14. Azam, Mohammad Monirul, Establishment Of The Wto And Challenges For The Legal System Of Bangladesh,
15. Sands, Philippe Turtles And Torturers: Thetransformation Of International Law, Inaugural Public Lecture as Professor of Public International Law, University of London, June 6, 2000.
16. Hongju Koh, Harold, Is International Law Really State Law?, Harvard Law Review, Vol. 111, No. 7 (May, 1998)



Scientific relevance/innovation

This research should give benefit in theory and practice, on how developing countries, Indonesia in this case, transform its obligation under WTO law into its national law in order to make international trade work. This research also will give awareness that transformation of treaty into national law is not as easy task for developing countries because of obstacles that this countries faces in its legal system.

There is small comparative research concerning the impact of international trade law on the legal systems of various States. The theories, which explain the impact of international trade law usually, base on monism and dualism theories. However, in practice every states have different obstacles in implementing international law obligation, because they face constitutional issues, political issues, cultural issues, social issues, which sometimes being disregard as issues in transforming the treaty into national law. This would be the focus on this research.


Societal relevance

This research hopefully can give contribution for development of international law especially on how international treaty should be transform in national law. This research also has relevance for Indonesia on how to carry out its obligation under WTO Law and how to have benefit in international trade. Therefore other developing countries could learn from the Indonesia experience in transforming the law.

HAKIKAT KEILMUAN ILMU HUKUM (Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Filsafat Hukum)

A. Pendahuluan

Ilmu Hukum dalam perkembangannya, selalu diperdeatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan sosial maupun ilmu hukum sendiri. Sudah sejak lama sebuah pertanyaan timbul dan harus dijawab secara akademis, apakah ilmu hukum itu ilmu?

Dari segi kajian, penelitian hukum pada dasarnya bukanlah untuk melakukan verifikasi atau pengujian hipotesis sebagaimana penelitian ilmu sosial maupun penelitian ilmu alamiah. Didalam penelitian hukum tidak dikenal istilah data.

Perbedaan metode kajian terhadap ilmu hukum pada dasarnya, beranjak dari sifat dan karakter ilmu hukum itu sendiri. Menurut Philipus M. Hadjon, ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis dan preskriptif. Karakter yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu mulai meragukan hakikat keilmuan hukum.

Berdasarkan paparan diatas, dapat ditarik dua isu hukum yaitu: pertama, apakah ilmu hukum merupakan ilmu? Jika ilmu hukum adalah ilmu, termasuk dalam cabang ilmu manakah ilmu hukum? Kedua, apakah sama karakter ilmu hukum dan metode kajian ilmu hukum dengan ilmu lain, misalnya ilmu alam atau ilmu social?

Maka ulasan singkat dalam makalah ini adalah: (1) Pendahuluan; (2) Konstruksi Ilmu; (3) karakter Normatif ilmu Hukum; (4) Jenis dan lapisan lmu Hukum; (5) Penerapan dan Pembentukan Hukum; (6) Penutup.



B. Konstruksi ilmu

Istilah Ilmu (Science) menyandang dua makna, yaitu sebagai produk dan sebagai proses. Sebagai produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu sistem. Win van Dooren, mengemukakan bahwa ilmu dapat didefiniskan sebagai pengetahuan yang sah secara intersubjektif dalam bidang kenyataan tertentu yang bertumpu pada satu atau lebih titik tolak dan ditata secara sistematis.

Sebagai proses, istilah ilmu menunjuk pada kegiatan akal budi manusia untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara bertatanan (Stelselmatig) atau sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu, untuk mengamati dan mengamati gejala-gejala (Gegevens) yang relevan pada bidang tersebut, yang hasilnya berupa putusan-putusan yang keberlakuannya terbuka untuk dikaji oleh orang lain berdasarkan kriteria yang sama dan sudah disepakati dan atau yang dilazimkan dalam lingkungan komunitas keahlian dalam bidang yang bersangkutan.

Berangkat dalam dua makna tersebut, C.A. van Peursen mendefinisikan bahwa ilmu adalah sebuah kebijakan, sebuah strategi untuk memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya tentang kenyataan, yang dijalankan orang terhadap (yang berkenaan) kenyataan.

Sementara itu, keberadaan ilmu dalam pandangan Harol Berman, harus memenuhi tiga perangkat kriteria yaitu: (1) kriteria methodological, dalam peristilahan metodologi, ilmu dalam arti modern, merupakan seperangkan pengetahuan yang terintegrasi yang lahir dalam konteksitas dedukto-hipotetiko-verifikatif; (2) kriteria nilai, yaitu substansi yang mengacu pada premis-premis nilai objektifitas, bebas pamrih (disinterestedness), skeptik, toleransi, dan keterbukaan; (3) kriteria sosiologikal, yang meliputi pembentukan komunitas ilmuwan, penautan berbagai disiplin ilmiah, dan status social.


Dengan demikian keberadaan ilmu merujuk pada intelektual yang memiliki struktur yang unsur-unsur nya meliputi: (1) pra-anggapan sebagai guiding principle; (2) bangunan sitematasi yakni: metode dan substansi (konsep dan teori); (3) keberlakuan intersubyektif; dan (4) tanggung jawab etis.

Berdasarkan cirri-ciri ilmu diatas, maka terdapat berbagai cara untuk mengklasifikasi ilmu-ilmu kedalam beberapa kelompok dan sub-kelompok, tergantung pada aspek (patokan/kriteria) yang digunakan.

Dari sudut substansi, dikenal ilmu formal dan ilmu empiris. Ilmu formal merajuk pada ilmu yang tidak bertumpu pada pengalaman atau empiris, objek kajiannya bertumpu pada struktur murni yaitu analisis aturan operasional dan struktur logika; misalnya, logika dan matematika secara teori sistem. Ilmu empiris merujuk bahwa untuk memperoleh pengetahuan faktual tentang kenyataan aktual, dan arena itu bersumber pada empiri (pengalaman) dan eksperimental. Ilmu empiris disebut juga dengan ilmu positif, yang terdiri dari ilmu-ilmu alam (naturwissen-schaften) dan ilmu-ilmu manusia (geisteswissenscaften).

Ilmu formal dan ilmu empiris merupakan genus dari kelompok ilmu teoritis, yaitu ilmu yang ditunjukkan untuk memperoleh pengetahuan saja dengan mengubah dan atau menambah pengetahuan. Adapun vis a vis ilmu teoritis adalah ilmu praktis, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas-aktivitas penerapan itu sendiri sebagai objeknya, selain itu juga bertujuan untuk mengubah keadaan, atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkret.

Ilmu praktis dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu ilmu praktis nomologis dan ilmu praktis normologis. Ilmu praktis normologis berusaha untuk memperoleh pengetahuan faktual-empiris, yaitu pengetahuan tentang hubungan ajeg yang ceteris paribus berdasarkan asa kausalitas-deterministik.

Sedangkan ilmu praktis nomologis berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi (menautkan tanggung jawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subjek tertentu dalam situasi konkret, namun dalam kenyataannya apa yang seharusnya terjadi itu niscaya dengan sendirinya terjadi. Ilmu praktis normologis disebut juga dengan ilmu normatif atau ilmu dogmatik.


C. Karakter Normatif Ilmu Hukum

Sebagaimana telah dibahas diatas, bahwa ilmu hokum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif. Selain itu juga objek telaahnya berkenaan dengan tuntunan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik.

Usaha ke empirisasi ilmu hukum diantaranya dilakukan dengan menerapkan metode-metode penelitian sosial dalam kajian hukum normatif. Langkah ini dilakukan dengna format-format penelitian hukum yang dilatarbelakangi oleh metode penelitian sosial (penelitian empirik), sehingga timbul kejanggalan-kejanggalan dengan pemaksaan format penelitian ilmu sosial dalam penelitian hukum normatif seperti: (1) perumusan masalah dengan kata bagaimana-seberapa jauh, dan lain-lain; (2) sumber data, teknik pengumplan data, dan analisis data; (3) populasi dan sampling.

Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dengan menjelaskan keilmuan hukum dan dengan sendirinya membawa konsekuensi pada metode kajiannya yaitu: pendekatan dari sudut falsafah ilmu, dan pendekatan dari sudut pandang teori hukum.


1. Pendekatan dari Sudut Falsafat Ilmu

Falsafah ilmu membedakan ilmu dari dua sudut pandangan, yaitu pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris dan pandangan normatif yang melahirkan ilmu normatif.

Sisi empiris tersebut yang menjadi kajian ilmu hukum empiris seperti sociological jurisprudence, dan socio legal jurisprudence. Dengan demikian dari sudut pandang ini, ilmu hukum normative metode kajiannya khas, sedangkan ilmu hukum empiris dapat dikaji melalui penelitian kuantitatif atau kualitatif, tergantung sifat datanya.


2. Pendekan dari Sudut Pandang Teori Hukum

Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama yaitu dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit), dan falsafah hukum. Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan pada praktek hukum, yang masing-masing mempunyai karakter yang khas dan dengan sendirinya juga memiliki metode yang khas.



D. Terminologi ilmu Hukum

Ilmu hukum memiliki berbagai istilah, Rechtswetenschap atau Rechttheorie dalam bahasa Belanda, Jurisprudence atau Legal Science dalam bahasa Inggris dan Jurisprudence dalam bahasa Jerman. Dalam kepustakaan bahasa Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah.

Istilah Rechtswetenschaf (Belanda) dalam arti sempit adalah dogmatik hukum atau ajaran hukum (Derechtsleer) yang tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistemasi hukum positif dan dalam hal tertentu juga eksplanasi. Dengan demikian dogmatik hukum tidak bebas nilai tetapi syarat nilai. Rechtswetenschaf dalam arti luas meliputi dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum.

Rechtstheorie juga mengandumg makna sempit dan luas. Dalam arti sempit yaitu lapisan ilmu hukum yang berada diantara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam arti ini merupakan ilmu eksplanasi hukum (Een Verklarende wetenschaf van Het Recht).

Istilah Jurisprudence, legal Science, dan Legal Philosopy dalam bahasa Inggris mempunyai makna yang berbeda dengan istilah-istilah Belanda diatas. M.D.A. Feeman memberikan gambaran sebagai berikut:

Jurisprudence involves the study of general theoretical questions about the nature of law and legal system, abaout the relationship of law to justice and morality and about the social nature of law….. and science, however, is concerned with empirically observable fact and events.

H.P.H. Visser Thooft dari sudut pandang filsafat ilmu menggunakan istilah Rechtswetenscappen (ilmu-ilmu hukum) dan dirumuskan sebagai disiplin yang objeknya hukum. Atas dasar itu dikatakan: recht is mede wetwnschap.

Sementara Meuwissen menggunakan istilah Rechtsbeoefening (pengembanan hokum) untuk menunjuk pada semua kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam masyarakat.

E. Jenis dan Lapisan Ilmu Hukum
Ilmu hukum dari segi objek dapat dibedakan atas ilmu hukum dalam arti sempit yang dikenal dengan ilmu hukum dogmatik (ilmu hukum normatif) dan ilmu hukum dalam arti luas.

Dari sudut pandang ilmu, dibedakan pandangan positivisme dan pandangan normatif. Dari sudut pandang ini dibedakan ilmu hukum normatif (dogamatik) dan ilmu hukum empiris. Sifat keilmuan dapat dilihat dari tiga aspek yaitu proses, produk dan produsen (ilmuwan).

Perbedaan antara ilmu hukum empris dan ilmu hukum normatif menurut D.H.M. Meuwissen digambarkan dalam sifat hokum empiris antara lain:

1. Secara tegas membedakan fakta dan norma;
2. Gejala hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial;
3. Metode yang digunakan adalah metode ilmu empiris dan;
4. Bebas nilai.

Implikasi dari perbedaan mendasar antara hukum normatif dan ilmu hukum empirik adalah: pertama, dari hubungan dasar sikap ilmuwan. Dalam ilmu hukum, empirik ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-gejala objeknya yang dapat ditangkap oleh pancaindera, sedangkan ilmu hukum normatif, juris secara aktif menganalisasi norma sehingga peranan subjek sangat menonjol.

Kedua, dari segi kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmu hukum empirik adalah kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu itu benar karena didukung fakta dengan dasar kebenaran pragmatik yang pada dasarnya adalah konsensus sejawat sekeahlian.


1. Filsafat Hukum

Berkaitan denga ajaran filsafati dalam hukum, maka ruang lingkup filsafat hukum tidak lepas dari ajaran filsafat itu sendiri, yang meliputi:

1) Ontology Hukum, yakni mempelajari hakikat hukum, misalnya hakikat demokrasi, hubungan hukum dan moral dan lainnya;

2) Axiology Hukum, yakni mempelajari isi dari nilai seperti kebenaran, keadilan, kebebasan, kewajaran, penyalahgunaan wewenang dan lainnya;

3) Ideologi Hukum, yakni mempelajari rincian dari keseluruhan orang dan masyarakat yang dapat memberikan dasar atau legitimasi bagi keberadaan lembaga-lembaga hukum yang akan datang, sistem hukum atau bagian dari sistem hukum;

4) Epistemologi Hukum, yakni merupakan suatu studi meta filsafat. Mempelajari apa yang berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana pengetahuan mengenai hakikat hukum atau masalah filsafat hukum yang fundamental lainnya yang umumnya memungkinkan;

5) Teleology Hukum, yakni menentukan isi dan tujuan hukum;

6) Keilmuan Hukum, yakni merupakan meta teori bagi hukum dan;

7) Logika Hukum, yakni mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari sistem hukum dan struktur sistem hukum.



2. Teori Hukum

Sehungungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat.

Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya inter-disipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan dalam dogmatik hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang filsafat sebagai eksplanasi reflektif.

Berdasarkan sifat inter-disipliner, maka bidang kajian teori hukum meliputi:

1) Analisis badan Hukum, meliputi konsep hukum, norma hukum, sistem hukum, konsep hukum teknis, lembaga hukum, figur hukum, fungsi dan sumber hukum;

2) Ajaran Metode Hukum, meliputi metode dogmatik hukum, metode pembentukan hukum dan metode penerapan hukum;

3) Metode keilmuan dogmatik hukum, yaitu apakah ilmu hukum sebagai disiplin logika, disiplin eksperimental atau displin hermeneutic;

4) Kritik Ideologi Hukum, berbeda dengan ketiga bidang kajian diatas, kritik ideology merupakan hal baru dalam bidang kajian teori hukum. Ideologi adalah keseluruhan nilai atau norma yang membangun visi orang terhadap manusia dan masyarakat.



3. Dogmatik Hukum

Dogmatik hukum merupakan ilmu hukum dalam arti sempit. Titik fokusnya adalah hukum positif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teori kebenaran yang paling sesuai bagi dogmatikus hukum adalah teori pragmatis, dimana proporsi yang ditemukan dalam dogmatik hukum bukan hanya informatif atau empirik, tetapi terutama yang normatif dan evaluatif. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa teori hukum merupakan meta teori bagi dogmatik hukum.



F. Penerapan Hukum dan Pembentukan Hukum

1. Penerapan Hukum

Menerapkan hokum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya umum kedalam suatu kasus yang sifatnya konkret.

Roscue Pound menjelaskan langkah penerapan hukum menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan diantara sekian banyak hukum yang sesuai dengan perkara yang akan diperiksa oleh hakim;

2) Menafsirkan kaidah hukum dari hukum yang telah dipilih sesuai dengan makna ketika kaidah itu dibentuk;

3) Menerapkan kaidah yang telah ditemukan dan ditafsirkan kepada perkara yang akan diputuskan oleh hakim.


2. Pembentukan Hukum

Interpretasi hukum lahir dari kesulitan hakim pada waktu memahami maksud pembuat undang-undang. Artinya, hukum harus ditemukan dan apabila tidak berhasil menemukan hukum tertulis, hukum harus dicari dari hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa pembentukan hukum oleh hakim (rechtsvorming).

Philipus M. Hadjon mengatakan, bahwa metode interpretasi hukum meliputi: interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis, wets-en rechtistoriche interpretative, interpretasi perbandingan hukum, intyerpretasi antisipasi, dan interpretasi teleologis.



*bahan kuliah Prof. Valerine J.L.V.K / metodologi penelitian hukum
Powered By Blogger