Selasa, 20 Desember 2011

ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS HUKUM ALIEN OCCUPATION BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (STUDI KASUS: PENDUDUKAN MILITER ISRAEL ATAS WILAYAH PALESTINA SEJAK 1948)

DESAIN PENELITIAN

A. Latar Belakang

Perang merupakan suatu konsep yang sudah lama dikenal oleh umat manusia. Dalam hubungannya dengan hukum internasional, perang seringkali dianggap sebagai suatu cara bagi sebuah negara untuk memperoleh keinginannya atau untuk mempertegas kekuatan yang dimilikinya.

Pada arti yang luas, perang menyangkut konsep-konsep seperti krisis, ancaman, penggunaan kekerasan, aksi gerilya, penaklukan, pendudukan, bahkan teror. Dengan luasnya definisi, maka konsepsi perang meliputi semua konflik dengan kekerasan atau yang mengandung potensi kekerasan, yang mencakup situasi konflik domestik yang mengarah pada penggunaan kekuatan militer yang kemungkinan tidak mampu diatasi oleh kekuatan polisi domestik (intra-state conflict) sampai pada perang antar negara dalam skala penuh (inter-state conflict).

Ada beberapa sarjana yang menjelaskan pengertian hukum perang. J.G. Starke, seperti dikutip oleh KGPH. Haryomataram, mengemukakan sebagai berikut:

“The laws of war consist of the limits set by International law within which the force required to overpower the enemy may be used, and the principles there under governing the treatment of individuals in the course of war and armed conflict.”
Serupa dengan definisi yang dikemukakan oleh J.G. Starke tersebut, Graham Evans dan Jeffrey Newnham seperti dikutip oleh Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rina Rusman juga menguraikan definisi hukum perang sebagai berikut:

“Secara definitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik antar manusia. Dalam studi hubungan internasional, perang secara tradisional adalah penggunaan kekerasan yang terorganisir oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak bisa tercapai, kecuali dengan cara-cara kekerasan.”

Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat dikatakan bahwa perang merupakan perseteruan antara dua negara atau lebih dengan menggunakan angkatan bersenjatanya masing-masing untuk memperoleh kemenangan dan membebani hukuman bagi pihak yang kalah.

Menyikapi kecenderungan penggunaan perang sebagai jalan keluar yang populer bagi penyelesaian masalah antar negara, masyarakat internasional merasa perlu akan adanya perangkat untuk mengatur keadaan perang. Maka dari kondisi inilah hukum perang (law of armed conflicts) berawal.

Usaha untuk mengatur perang terdesak oleh suatu usaha untuk melindungi orang dari kekejaman perang. Pada penyusunan konsepsi-konsepsi hukum perang, asas perikemanusiaan mempunyai pengaruh yang sangat besar. Maka dengan demikian, sebagai pengganti dari istilah hukum perang muncullah istilah baru yang menunjukkan pengaruh asas humaniter (asas perikemanusaan) dalam penyusunan hukum yang mengatur armed conflicts, yaitu International Humanitarian Law applicable in Armed Conflict.

Istilah ini rupanya dianggap terlalu panjang sehingga sering disingkat menjadi International Humanitarian Law. Istilah yang sudah disingkat ini dalam bahasa Indonesia biasanya disingkat menjadi Hukum Humaniter.
Hukum humaniter internasional tumbuh dari keprihatinan masyarakat internasional terhadap perang dan dampak-dampak negatifnya. Menyadari sepenuhnya bahwa perang merupakan salah satu gejala alami dalam kehidupan dunia, hukum humaniter internasional tidak bermaksud untuk meniadakan perang, melainkan untuk mengurangi dampak negatif dan kerugian yang dihasilkan, terutama yang menyangkut masyarakat sipil.

Selanjutnya hukum perang pun berkembang menjadi salah satu elemen penting dalam hukum internasional. hukum internasional yang berfungsi untuk mengatur hubungan antar negara, diharapkan dapat pula mengatur masalah peperangan yang kerap muncul sebagai solusi dari konflik antar negara. Maka dari itu, hukum perang pun berkembang dan kemudian menemukan tempatnya dalam tatanan hukum internasional sebagai hukum humaniter internasional.

Berkaitan dengan perkembangan hukum humaniter internasional serta penerapannya pada konflik bersenjata Internasional, pada 14 Mei 1948, David Ben Gurion mengumumkan secara remi berdirinya Negara Israel dengan berpijak pada Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. 181 sebagai legitimasinya.

Setahun sebelumnya, pada tahun 1947 Inggris memutuskan untuk meninggalkan Palestina dan memohon kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membuat rekomendasi. Sebagai tanggapan, PBB menunjuk sebuah komisi khusus pada tanggal 29 November 1947, rapat tersebut mengadopsi rencana untuk membuat dinding pemisah di wilayah Palestina untuk memisahkan antara bangsa Yahudi dan bangsa Arab di wilayah tersebut, dengan Kota Yerusalem sebagai zona internasional di bawah yurisdiksi PBB.

Pada tanggal yang sama, PBB juga menegeluarkan suatu petisi untuk memisahkan pemerintahan Mandat Britania di Palestina kepada dua buah wilayah: satu wilayah untuk orang Yahudi dan satu wilayah untuk orang Arab. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan di Yerusalem yang kemudian menyebabkan Perang Arab-Israel 1948 yang menyebabkan pemerintahan mandat Britania berakhir.

Bangsa Yahudi pada wilayah tersebut mendapat 55% dari seluruh wilayah tanah, meskipun hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk di wilayah ini. Sedangkan Kota Yerusalem yang dianggap suci, akan dijadikan Kota Internasional. Sedangkan Bangsa Arab pada wilayah tersebut memprotes diadakannya dinding penyekat. Setelah serangan teroris Yahudi ke pemukiman Arab yang telah membantai ratusan orang Palestina tak bersenjata di rumah mereka, maka para penduduk Arab menggunakan jalam kekerasan, dengan menyerang pemukiman Yahudi guna membalas dendam.

Beberapa saat setelah pengumuman berdirinya Negara Israel, tersebut, pemerintah Amerika Serikat menyatakan pengakuannya terhadap Negara Israel dan disusul kemudian oleh Uni Soviet. Israel pun dengan mudah diterima menjadi anggota penuh PBB. Berdirinya Negara Israel di atas tanah bangsa Palestina, memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat internasional, karena sesungguhnya negara tersebut berdiri di atas wilayah territorial bangsa Palestina, kendati bangsa Palestina dapat dikatakan belum merdeka sebagai suatu negara yang berdaulat.

Menanggapi berdirinya Negara Israel, negara-negara Arab melancarkan reaksi keras dengan menolak mentah-mentah berlakunya Resolusi PBB No. 181. Perang pertama Arab-Israel pun kemudian meletus. Sehari setelah Negara Israel diproklamasikan, langsung diserbu oleh tentara dari Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak, dan negara-negara Arab lainnya yang bergabung dengan para pejuang serta gerilyawan Palestina. Britania memutuskan untuk pergi pada hari tersebut. Namun Arab gagal mencegah berdirinya Negara Israel, dan perang berakhir dengan persetujuan gencatan senjata antara Israel dengan Mesir, Lebanon, Yordania dan Suriah. Pada saat itu Jalur Gaza telah ditinggalkan dari kendali Mesir dan Tepi Barat dikuasai Yordania.

Israel dapat memenangi peperangan ini dan malah merebut kurang lebih 70% dari luas total wilayahmandat PBB Britania Raya, Palestina. Perang ini menyebabkan banyak penduduk Palestina mengungsi dari tanah kelahirannya. Namun pada sisi lain, juga banyak penduduk Yahudi yang diusir dari negara-negara Arab.

Hal tersebut dapat diamati dari sekitar 800.000 penduduk Arab yang tinggal di wilayah Palestina sebelum 1948, hanya sekitar 170.000 yang bertahan, sisanya mengungsi di negara-negara Arab, dimana masa itu juga sebagai tanda berakhirnya mayoritas penduduk Arab di wilayah Palestina.

Semasa perang Arab-Israel 1948, Yerusalem terbagi manjadi dua wilayah. Bagian barat yang meliputi kota baru menjadi sebagian dari Israel, sedangkan bagian timur termasuk kota lama Yerusalem menjadi milik Yordania.

PBB memutuskan bahwa Yerusalem berada di bawah yurisdiksi Internasional. Namun pada 23 Januari 1950, Parlemen Israel mensahkan suatu resolusi untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Negara Israel.

Pada tahun 1956 terjadi Perang Arab-Israel II, dimana perlawanan dilakukan oleh gerilyawan pengungsi dan serangan oleh unit militer Arab kepada Israel. Mesir menolak untuk membiarkan kapal Israel menggunakan terusan Suez dan Tiran, hal ini memicu Perang Arab-Israel kedua.

Inggris dan Perancis bergabung dalam peperangan tersebut karena perselisihan mereka dengan presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser, yang telah menasionalisasi Terusan Suez. Mereka merebut Jalur Gaza dan semenanjung Sinai dalam beberapa hari. Peperangan tersebut dihentikan oleh PBB setelah berlangsung beberapa hari dan pasukan perdamaian PBB dikirim untuk memprakarsai gencatan senjata dalam wilayah Terusan Suez. Pada akhir tahun 1956, kekuatan mereka ditarik dari Mesir, namun Israel menolak meninggalkan Jalur Gaza hingga awal 1957.

Pada 1958 para pemimpin negara Arab, dipimpin oleh presiden Gamal Abdul Nasser, membentuk Palestinian Liberation Organization (PLO / Organisasi Pembebasan Rakyat Palestina), di Kairo, Mesir.

Bulan Juli 1964, para penguasa Arab mengadakan pertemuan mereka di Kairo, Mesir. Pada pertemuan tersebut dikeluarkan kesepakatan untuk mengorganisasikan rakyat Palestina serta memberi kesempatan bagi mereka untuk menjalankan pemerintahan yang bebas di tanah air mereka dan menentukan nasib sendiri.

Kemudian pada 28 Mei 1964, 350 tokoh Palestina menghadiri pertemuan di Palestina Timur di bawah pimpinan Ahmad Shuqeiri untuk membentuk organisasi politik bangsa Palestina. Hal tersebut dimaksudkan untuk menindaklanjuti instruksi Liga Arab yang dihasilkan pada Konferensi Kairo. Pertemuan tersebut dihadiri oleh: Raja Husein selaku Sekretaris Jenderal Liga Arab; serta wakil-wakil dari Tunisisa, Aljazair, Sudan, Suriah, Irak, Mesir, Kuwait, Lebanon, Maroko, dan Yaman. Pada pertemuan tersebut, mereka menyatukan sejumlah faksi pejuang Palestina dalam PLO.

Pada 1967 terjadi Perang Enam Hari antara negara-negara Arab melwan Israel. Kemudian pada musim panas tahun yang sama, para pemimpin Liga Arab mengadakan pertemuan di Khartoum sebagai respon atas perang dan melkukan musyawarah untuk menentukan sikap mereka kepada Israel. Mereka mencapai kesepakatan bahwa mereka seharusnya; tidak mengakui status Negara Israel, tidak ada perdamaian dengan Israel, dan tidak ada negosiasi dengan Israel.

Perang ini disebabkan oleh ketidakpuasan negara-negara Arab atas kekalahan dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupun mesir kalah, namun mereka menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir menyetujui keberadaan paasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas tentara dan juga menghalangi kumpulan gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara Mesir dengan Israel terwujud dalam waktu yang rtidak lama.

Akibat dari perang 1956, kawasan tersebut kembali kepada ketidakseimbangan tanpa ada resolusi dal hal tersebut. Pada masa itu, tidak ada negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan untuk menghadapi Israel pada awal tahun 1960an sebagai bagian dari “perang pembebasan rakyat”. Selain itu negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.

Pada 1967 Mesir mendesak penarikan mundur pasukan PBB dari Semenanjung Sinai dan memberlakukan kembali blokade terhadap kapa Israel di Selat Tiran. Namun, Israel mengetahui rencana Mesir dan mendahului menyerang Mesir, Suriah, dan Yordania ketika mereka sedang mempersiapkan perang melawan Israel. Perang selama enam hari itu berakhir dengan Israel menduduki Semenanjung Sinai, Dataran Tinggi Golan, Jalur Gaza, dan Tepi Barat Sungai Jordan.

Peperangan berakhir enam hari kemudian dengan kemenangna di pihak Israel. Israel menduduki Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, wilayah Arab di sebelah timur Yerusalem, Tepi Barat, dan dataran tinggi Golan.

Setelah peperangan tahun 1967, organisasi gerilyawan dalam PLO membawa para gerilyawan menyerang dengan target militer Israel, dengan tujuan untuk menembus palestina.

Pada 1969 pemimpin organisasi gerilyawan Fatah, Yaser Arafat, terpilih sebagai Ketua Komite Eksekutif PLO, dan pada tahun ini pula Mesir memulai peperangan Attrition dengan tujuan memaksa Israel menyerahkan Semenanjung Sinai. Peperangan itu berakhir mengiringi wafatnya Gamal Abdul Naser pada tahun 1970.

Pada 6 oktober 1973, Suriah dan Mesir menyerang Israel di Yom Kippur, mengejutkan begitu banyaknya militer Israel. Pada peperangan Yom Kippur secara tidak langsung turut andil di dalamnya konfrontasi antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet.

Ketika itu Israel masuk arus peperangan, Uni Soviet mengancam akanmengadakan interbensi militer. Amerika Serikat yang cemas akan adanya perang nuklir, membuat kesepakatan damai pada 25 Oktober 1973.

Pada 1978 Perjanjian Camp David ditandangani oleh Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, Presiden mesir Anwar Sadat, dan perdana Menteri Israel Menachem Begin. Pada pokoknya ada dua kerangka utama, yaitu kerangka Perdamaian Timur Tengah yang memuat masa depan daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta kerangka penyelesaian perjanjian Mesir-Israel mengenai Sinai dan hubungan bilateral kedua negara.

Pada 1979 disepakati perjanjian antara Mesir dan Israel, sebagai imbalan pengakuan Mesir terhadap Israel, yakni Israel bersedia mengembalikan Semenanjung Sinai kepada Mesir dan setuju membahas penentuan nasib sendiri (self-determination) bagi bangsa Palestina. Namun, langkah ini mendapat kecaman dari negara-negara Arab, dan PLO melakukan beberapa serangan kepada Israel.

Pada 1987 pecah perang atau perlawanan Intifada. Terdorong keinginan untuk memperoleh wilayah kediaman yang tetap, sejak tahun 1987, orang palestina melakukan Intifadah, yaitu gerakan yang memperlihatkan sikap bermusuhan secara terang-terangan terhadap Pemerintahan Israel dalam berbagai bentuk. Seperti melempari tentara dengan batu, melempar dengan bom molotov, boikot atas produk Israel, tidak membayar pajak maupun cukai, pengunduran diri secara masal para pegawai Arab yang ditunjuk oleh Pemerintah Israel, dan pemogokan periodik. Gerakan Intifadah ini mendapat dukungan luas terutama dari pemerintah negara-negara timur tengah.

Setelah berbulan-bulan terlibat perundingan rahasia di Oslo, Norwegia, juru runding Palestina dan Israel menandatangani “Deklarasi Prinsip-Prinsip”, yaitu kesepakatan damai yang menggarisbawahi rencana otonomi Palestina di wilayah pendudukan.

Pemimpin PLO Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin memantapkannya dengan bersalaman di halaman Gedung Putih di Washington.

Masalah-masalah utama yang tidak terpecahkan di antara kedua pemerintah adalah: status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan, keamanan Israel, keamanan Palestina, hakikat masa depan Negara Palestina, dan nasib para pengungsi Palestina.
Konferensi tingkat tinggi Taba juga dikenal sebagai status permanen yang dibicarakan di Taba antara israel dan Otoritas Palestina, berlangsung antara 21-27 Januari 2001, bertempat di Taba, Semenanjung Sinai, merupakan pembicaraan damai yang mengarah kepada pencapaian status akhir negosiasi untuk mengakhiri konflik Israel palestina. Konferensi tingkat tinggi ini mendekati kesepakatan akhir paling dekat pada perdamaian dibanding kesepakatan-kesepakatan lain, sebelum maupun sesudahnya, namun perundingan inipun akhirnya gagal mencapai kesepakatan.

Bahkan sampai dengan saat ini pun Negara Israel masih dengan kokoh berdiri di atas tanah Palestina. Dunia internasional seakan tidak berdaya menghentikan pendudukan Israel tersebut, yang dilakukan dengan penuh kekerasan dan ketidaksewenang-wenangan terhadap penduduk Palestina.

Apabila melihat kondisi yang terjadi di wilayah Palestina, dengan masuknya Israel ke wilayah Palestina sebagai penguasa pendudukan, maka di wilayah Palestina yang berlaku adalah hukum internasional. Sehingga untuk menentukan status hukum pendudukan Israel atas wilayah bangsa Palestina sebagai para pihak yang bersengketa dalam suatu konflik bersenjata, maka harus mengacu kepada aturan dalam hukum humaniter internasional sebagai hukum yang mengatur konflik bersenjata.

Maka dengan memperhatikan uraian sebagaimana dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk mengangkat status hukum pendudukan Israel atas wilayah bangsa Palestina tersebut, untuk menjadi objek penelitian ini.


B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dimajukan beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi pegangan dalam rangka memudahkan dan mengarahkan jalannya penelitian. Pokok permasalahan tersebut akan dijadikan sebagai landasan bagi pemilihan data dan bahan-bahan penelitian, penentuan landasan teori dan landasan konsepsional, serta hal-hal lain yang berhubungan dengan metodologi penelitian, analisis permasalahan, dan pengambilan kesimpulan. Pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apakah Israel melakukan alien occupation (pendudukan asing) sebagaimana yang dimaksud oleh hukum humaniter internasional?

2. Bagaimana status hukum pendudukan Israel atas wilayah bangsa Palestina ditinjau berdasarkan hukum humaniter internasional?


C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan latar belakang dan pokok permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui sejauh mana pendudukan Israel atas wilayah Palestina termasuk dalam pengertian yang dimaksud oleh hukum humaniter internasional.

2. Untuk mengetahui status hukum pendudukan Israel atas wilayah bangsa Palestina ditinjau berdasarkan hukum humaniter internasional.


D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan oleh penulis dengan disusunnya skripsi ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian penulis adalah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum, khususnya dalam rangka penerapan prinsip self-determination berkaitan dengan alien occupation dalam Hukum Humaniter Internasional pada situasi konflik bersenjata.

2. Manfaat Praktis
Secara praktis manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian penulis adalah untuk dapat digunakan sebagai sarana bahan kepustakaan Hukum Internasional khususnya hukum humaniter internasional baik bagi para akademisi, praktisi hukum, maupun para penegak hukum, khususnya dalam bidang Hukum Internasional.


E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian hukum yang menitikberatkan pada penggunaan data sekunder di bidang hukum, berupa peraturan-peraturan yang berlaku dan literatur-literatur ilmiah yang ditulis oleh pakar hukum di bidangnya, yang berhubungan dengan objek penelitian.


2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian dimana pengetahuan atau teori tentang pendudukan asing (alien occupation) dalam Hukum Humaniter Internasional sudah ada dan penulis ingin menggambarkan tentang penerapan self-determination berkaitan dengan alien occupation tersebut dalam situasi konflik bersenjata, maksudnya adalah agar dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada. Pada penelitian ini penulis akan menggambarkan tentang penerapan Hukum Humaniter Internasional pada pendudukan asing yang dilakukan oleh Israel terhadap wilayah bangsa Palestina, dalam perspektif konflik bersenjata.


3. Data

a. Sumber Data
Data yang digunakan oleh penulis sebagai bahan untuk menganalisis objek penelitian berasal dari data sekunder, namun untuk mendukung data sekunder tersebut dibutuhkan juga wawancara. Data sekunder yang diperoleh penulis adalah didapat dari sumber yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain, yaitu sebagai berikut:

1) Bahan Hukum Primer, meliputi:

a) Konvensi Den Haag 1907
b) Konvensi Jenewa 1949
c) Protokol Tambahan I dan II 1977

2) Bahan Hukum Sekunder, meliputi:
a) Buku-buku mengenai Hukum Humaniter Internasional
b) Buku-buku mengenai perang
c) Buku-buku mengenai sejarah konflik Palestina-Israel
d) On-line informaton via internet, yang membahas mengenai sejarah konflik antara Palestina dengan Israel sampai dengan saat ini. Yaitu dengan situs utama:

(1) http:www.icrc.org
(2) http:www.qassam.ps
3) Bahan Hukum Tersier, meliputi:
a) Black’s Law Dictionary
b) International Humanitarian Law Dictionary


b. Cara dan Alat Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, penulis melakukan penelitian kepustakaan (studi dokumen dan literatur) terhadap data sekunder di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti (terAs), perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Direktorat Hukum TNI, sumber dari internet, dan dilengkapi dengan wawancara.


c. Analisis Data
Karena sifat dari penelitian penulis adalah deskriptif, maka dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan analisis kualitatif terhadap data-data yang sudah dikumpulkan oleh penulis untuk menjawab pokok permasalahan yang ada.


d. Cara Pengambilan Kesimpulan
Pada pengambilan kesimpulan, penulis menggunakan metode yang sifatnya deduktif. Yaitu berdasarkan data yang sifatnya umum, dalam hal ini dari ketentuan normatif berupa instrumen internasional, dibandingkan dengan data yang sifatnya khusus yaitu data mengenai objek penelitian secara khusus, maka dari tahap tersebut penulis mengambil kesimpulan.


F. Landasan Teori
Pada kurun waktu sekitar lima puluh tahun semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dalam jumlah yang tinggi. Konflik-konflik bersenjata tersebut terjadi hampir di semua benua. Seiring dengan masih banyak terjadi konflik bersenjata, masih banyak pula pelanggaran terhadap hukum yang mengatur mengenai konflik bersenjata, yaitu Hukum Humaniter Internasional. Maka dengan adanya Hukum Humaniter Internasional tersebut diharapkan agar penderitaan umat manusia yang menjadi korban perang dapat dikurangi atau dibatasi. Namun sampai dengan saat ini penderitaan umat manusia belum dapat dikurangi atau dibatasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya penduduk sipil dan objek-objek sipil yang menjadi korban ataupun sasaran dalam suatu konflik bersenjata.

Secara definitif, perang adalah suatu kondisi tertinggi dari bentuk konflik antarmanusia. Perang secara tradisional adalah penggunaan kekerasan yang terorganisasi oleh unit-unit politik dalam sistem internasional. Perang akan terjadi apabila negara-negara dalam situasi konflik dan saling bertentangan merasa bahwa tujuan-tujuan eksklusif mereka tidak bisa tercapai, kecuali dengan cara-cara kekerasan. Pada arti yang luas, perang menyangkut konsep-konsep seperti krisis, ancaman, penggunaan kekerasan, aksi gerilya, penaklukan, pendudukan, bahkan teror.

Maka dengan luasnya definisi ini, maka dalam tulisan inifokus pembahasan akan diarahkan pada teori perang yang meliputi semua konflik dengan kekerasan atau yang mengandung potensi kekerasan, yang terentang antara situasi konflik domestik yang mengarah pada penggunaan kekuatan militer yang kemungkinan tidak mampu diatasi oleh kekuatan polisi domestik (intra-state konflik) sampai pada perang antarnegara pada skala penuh (inter-state conflict).

Rentangan definisi tersebut meliputi lima tahap dalam konflik bersenjata, yaitu: 1) Situasi stabil damai yang didefinisikan sebagai stabilitas politik tingkat tinggi dan legitimasi rezim yang terarah. 2) Situasi ketegangan politik yang didefinisikan sebagai meningkatnya tahap ketegasan sistemik dan semakin terbelahnya faksi-faksi sosial politik. 3) Tahap konflik politik dengan kekerasan yang mengarah pada krisis politik seiring merosotnya legitimasi politik dan semakin diterimanya politik faksional dan kekerasan. 4) Konflik intensitas rendah, yaitu perseteruan terbuka dan konflik bersenjata antara faksi, tekanan-tekanan rezim, dan pemberontakan-pemberontakan. 5) High-intensity conflict, yaitu perang terbuka antar kelompok atau antar negara, disertai penghancuran massal, serta pengungsian penduduk sipil yang lebih dari seribu orang terbunuh.


G. Kerangka Konsepsional
Agar pokok permasalahan tetap konsisten dengan sumber-sumber yang menjadi bahan penelitian, dibutuhkan suatu batasan yang jelas mengenai istilah dalam penelitian. Batasan-batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Hukum Humaniter Internasional
Merupakan aturan-aturan internasional yang dibentuk oleh perjanjian internasional atau kebiasaan internasional, yang secara spesifik diharapkan untuk mengatasi problem-problem kemanusiaan yang muncul secara langsung dari sengketa-sengketa bersenjata internasional maupun non-internasional, dan untuk alasan-alasan kemanusiaan membatasi hak dari pihak-pihak yang berkonflik untuk menggunakan metode dan alat perang pilihan mereka atau untuk melindungi orang-orang dan harta milik mereka yang mungkin terkena dampak konflik.


2. War of national liberation
Disamping konsep alien occupation, terlebih dahulu saya uraiakan konsep war of national liberation, karena alien occupation merupakan salah satu bentuk dari war of national liberation.

Apa maksud istilah ‘war of national liberation’ (perang pembebasan nasional) maka saya mengacu pada Pasal 1 Protokol Tambahan I 1977 ayat (4), dimana disebutkan:
“Ketentuan yang diatur dalam protokol ini termasuk konflik bersenjata dimana bangsa-bangsa (peoples) berjuang melawan dominasi colonial (colonial domination), atau pendudukan asing (alien occupation) atau rezim rasialis (racist regime) dalam rangka melaksanakan hak menentukan nasib sendiri (right of self determination), sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional yang mengatur tentang Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar negara sesuai dengan Piagam PBB”.


3. Pendudukan Asing (Alien Occupation)
Salah satu jenis konflik bersenjata internasional yang merupakan jenis konflik baru, dimana suatu negara telah berhasil melakukan invasi dan menduduki suatu negara atau suatu wilayah yang belum menjadi suatu negara, baik sebagian maupun seluruh wilayah di teritorial tersebut tersebut.


4. Prinsip pembedaan (distinction principle)
Suatu prinsip yang membagi warga negara atau penduduk negara yang sedang melakukan pertikaian bersenjata dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan kombat dan penduduk sipil. Masing-masing golongan mempunyai hak dan kewajiban. Kombat berhak untuk secara aktif turut serta dalam permusuhan, dan apabila jatuh di tangan lawan, ia berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. Ia diwajibkan melindungi penduduk sipil. Sedangkan penduduk sipil tidak boleh secara aktif turut dalam permusuhan dan oleh karena itu berhak mendapat perlindungan.


5. Serangan Balasan (Repraisal)
Suatu pelanggaran terhadap hukum perang sebagai suatu balasan terhadap pelanggaran hukum perang lain yang telah dilakukan terlebih dahulu oleh pihak musuh, dengan tujuan untuk mengakhiri pelanggaran yang dilakukan oleh pihak musuh tersebut. Oleh karena itu, serangan balasan tergantung pada pengaruh peringatan dan tekanan yang dilakukan terhadap pihak musuh sebagai tindakan yang bersifat pembalasan untuk mengakhiri atau menghentikan secara terus-menerus perilaku perang yang tidak sah dan agar musuh tunduk pada hukum perang. Serangan balasan harus merupakan satu-satunya cara penerapan hukum langsung yang dapat ditempuh.


H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam tesis ini disusun dan diuraikan oleh penulis dalam lima bab, uraiannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan latar belakang penulisan, pokok permasalahan yang akan dibahas, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, sumber data, metode dalam pengambilan kesimpulan, landasan teori, kerangka konsepsional, serta sistematika penulisan.


BAB II KAJIAN TEORITIS MENGENAI PENDUDUKAN ASING (ALIEN OCCUPATION) DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Pada bab ini penulis akan mengemukakan mengenai peraturan-peraturan dalam Hukum Humaniter Internasional yang mengatur tentang status hukum dari para pihak yang terlibat dalam suatu konflik bersenjata secara garis besar. Pembahasan dalam bab ini akan terbagi kedalam tiga pokok bahasan yaitu, konsep umum Hukum Humaniter Internasional, pendudukan asing dalam Hukum Humaniter Internasional, dan ruang lingkup status pendudukan militer dalam Hukum Humaniter Internasional.

BAB III KRONOLOGIS DAN PERKEMBANGAN KONFLIK BERSENJATA ANTARA ISRAEL DAN PALESTINA
Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai sejarah dan kronologis konflik bersenjata di wilayah Palestina, sejak sebelum berdirinya Negara Israel, setelah berdirinya Negara Israel, serta perkembangan konflik berkepanjangan antara Palestina dengan Israel tersebut, sampai dengan serangan Israel terhadap Palestina pada 27 Desember 2008 – 17 Januari 2009, dengan menguraikan fakta-fakta di lapangan terkait dengan serangan Israel terhadap Palestina tersebut, dan kondisi terkini.

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS HUKUM ALIEN OCCUPATION BERDASARKAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL (STUDI KASUS: PENDUDUKAN MILITER ISRAEL ATAS WILAYAH PALESTINA SEJAK 1948)
Pada bab ini penulis akan memuat pembahasan serta analisis penulis untuk menjawab pokok permasalahan yang telah dikemukakan pada bab pendahuluan, mengenai status hukum pendudukan asing (alien occupation) yang dilakukan Israel terhadap wilayah bangsa Palestina, berdasarkan Hukum Humaniter Internasional.

BAB V PENUTUP
Pada bab ini penulis akan menguraikan hasil kesimpulan dari uraian sebelumnya serta jawaban atas pokok permasalahan yang telah dikemukakan secara singkat dan jelas, disertai saran-saran bagi para pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam konflik bersenjata tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

1. Neve Gordon, Israel’s Occupation, London: University of California Press, 2008.

2. Gregory H. Fox, Humanitarian Occupation, Cambridge University Press, 2008.

3. Ambarwati, Denny Ramdhany, dan Rima Rusman Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.

4. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

5. Mochtar Kusumaatmaja, Konvensi_Konvensi Palang Merah 1949, cet. 5, Bandung: Alumni, 2002.

6. Teguh Wangsa Gandhi, Akar Konflik Israel Palestina (Tinjauan Demografi, Sejarah, Geopolitik, dan Agama), cet. 1, Yogyakarta: Ramadhan Press, 2009.


B. Konvensi / Perjanjian Internasional

1. Convention (IV) Respecting the Laws and Custom of Wars on Land, Signed at The Hague, 18 October 1907.

2. Convention (I) For the Amelioration of the Condition of Wounded and Sick in Armed Forces in The Field, Signed at, 12 August 1949.

3. Geneva Convention (II) For the Amelioration of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea, Signed at Geneva, 12 August 1949.

4. Protocol Additional to Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Ptotection of Victims of International Armed Conflicts (Prottocol I), Signed 8 June 1977.


C. Jurnal Hukum Internasional

1. Interpretive Guidance on the Notion of Direct Participation in Hostilities Under International Humanitarian Law, Adopted by the Assembly of the International Committee of the Red Cross on 26 February 2009.

2. Indonesian Journal of International Law,Volume 4 No. 1 October 2006: International Humanitarian Law and Human Rights.

3. Indonesian Journal of International Law,Volume 1 No. 4 July 2004: International Criminal Law.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger