Minggu, 18 Desember 2011

Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing Melalui ICSID (International Center for the Settlement of Investment Disputes)

A. PENDAHULUAN

ICSID (International Center for the Settlement of Investment Disputes) adalah badan yang dilahirkan bank dunia. Konvensi yang mendirikan badan ini adalah Konvensi ICSID (Convention on the Settlement of Investment Dispute between States and Nationals of Other States), atau kadang-kadang disebut Konvensi Washington DC 18 Maret 1965. Badan Arbitrase ICSID atau The Centre berkedudukan di Washington D.C., dan berafiliasi dengan bank dunia. Konvensi mulai berlaku pada 14 Oktober 1996. Sebulan setelah 20 negara meratifikasinya.

ICSID kerap dipersepsikan secara salah oleh banyak pihak, termasuk mereka yang berlatar belakang hukum, seolah lembaga ini merupakan lembaga arbitrase pada umumnya seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia, American Arbitration Association atau Singapore International Arbitration Center.

ICSID tidak menyelesaikan sengketa antar subyek hukum perdata. ICSID menyelesaikan sengketa antar pemerintah sebagai subyek publik dan para investor sebagai subyek hukum perdata. Kedudukan pemerintah sebagai subyek hukum publik karena pemerintah yang mengeluarkan berbagai izin terkait dengan investasi.

Ada 2 tujuan utama dibentuknya konvensi ini yaitu: pertama, menjembatani jurang atau kekosongan upaya hukum di dalam menyelesaikan kasus-kasus penanaman modal yakni dengan memberikan suatu mekanisme khusus berupa fasilitas arbitrase dan konsiliasi. Kedua, mendorong dan melindungi arus modal dari negara maju kepada negara ketiga (developing countries). Tujuan pertama konvensi ini merefleksi dari peranan the Centre (selanjutnya disebut ICSID). Wewenang badan arbitrase khusus dan terbatas pada penanaman modal saja yang salah satu pihaknya adalah negara penerima penanaman modal (host state).

Manakala suatu sengketa muncul, ICSID akan membentuk suatu panel arbitrase atau konsiliasi untuk menanganinya. Selanjutnya, peranan ICSID hanyalah mengawasi jalannya persidangan dan memberikan aturan-aturan hukum acaranya.

Berikut hasil penelitian dari George R. Delaume tentang ICSID yang menyimpulkan bahwa :

Pertama, tidak seperti lembaga-lembaga arbitrase komersial lainnya, ICSID seperti telah diuraikan dimuka, merupakan suatu organisasi internasional yang dibentuk oleh Konvensi Washington yang berlaku pada tanggal 14 Oktober 1966;

Kedua, ICSID adalah suatu organisasi yang terkait (associated) dengan bank dunia. Keterkaitan ini membawa dua akibat penting. Seperti bank dunia, tujuan utama badan ICSID adalah untuk meningkatkan iklim saling percaya dan menguntungkan antara negara dengan investor untuk meningkatkan arus sumber kekayaan kepada negara sedang berkembang berdasarkan syarat-syarat resonable. Oleh karena itu ICSID tidak dapat dipandang semata-mata sebagai suatu mekanisme penyelesaian sengketa, namun juga meningkatkan perkembangan ekonomi negara sedang berkembang. Akibat lain dari adanya keterkaitan antar ICSID dan bank dunia yaitu bahwa karena bank dunia mensubsidi ICSID, maka biaya arbitrase menjadi relatif lebih murah;

Ketiga, persidangan arbitrase ICSID dapat dilaksanakan dalam konteks hukum internasional yang ditetapkan dalam Konvensi ICSID dan the Regulations and Rules yang dibuat guna pelaksanaannya. Tidak seperti arbitrase komersial, ICSID merupakan suatu perangkat/mekanisme penyelesaian sengketa yang berdiri sendiri, terlepas dari sistem-sistem hukum nasional suatu negara tertentu.

Keempat, Dalam konteks ICSID, peranan utama pengadilan nasional adalah menguatkan dan meningkatkan pengakuan atas eksekusi putusan-putusan arbitrase ICSID. Jika salah satu pihak bersikap apatis dan tidak mau ambil bagian dalam persidangannya mengeluarkan putusannya.

Kelima, arbitrase ICSID dimaksudkan untuk menjaga atau memelihara keseimbangan antara kepentingan investor dengan negara penerima modal (host state).


B. KEANGGOTAAN DAN STRUKTUR ICSID

Negara-negara yang bisa menjadi anggota Konvensi ICSID adalah setiap anggota Bank Dunia. Namun, negara-negara bukan anggota bank dunia dapat menjadi anggota Konvensi asal negara tersebut adalah anggota dari Statuta Mahkamah Internasional.

Badan ICSID sendiri tidak melaksanakan persidangan-persidangan arbitrase atau konsiliasi. Sifat badan ini sama halnya seperti suatu sekretariat. Ia mengelola dan memberikan fasilitas kepada para pihak yang hendak menyelesaikan sengketa penanaman modalnya melalui arbitrase atau konsiliasi. Dalam hal ini lembaga yang dimaksud adalah lembaga arbitrase dan konsiliasi ICSID.

ICSID dikelola oleh suatu administrative Council (dewan administratif). Setiap negara peserta konvensi memiliki wakil dengan ketua ex officio, yaitu Presiden Bank Dunia. Badan Utama dalam struktur organisasi ICSID adalah Secretary General (Sekjen). Ia berfungsi sebagai registrar (pendaftar atau panitera).

Wewenang dari Administrative Council (dewan administratif) diantaranya adalah :

a. Mengesahkan peraturan administrasi dan keuangan pada Centre;

b. Mengesahkan aturan-aturan prosedur untuk pelaksanaan proses konsiliasi dan arbitrasi;

c. Mengesahkan aturan-aturan prosedur untuk pelaksanaan proses konsiliasi dan arbitrasi (disini selanjutnya disebut sebaga Aturan-aturan Konsiliasi dan Aturan-aturan Arbitrase);

d. Menyetujui kerjasama dengan Bank untuk penggunaan fasilitas-fasilitas dan jasa-jasa administrative Bank;

e. Menentukan persyaratan-persyaratan pelayanan Sekretaris Jenderal dan setiap Deputi Sekretaris Jenderal;

f. Mengadopsi anggaran tahunan dari penerimaan dan pengeluaran dari Centre;

g. Menyetujui laporan tahunan mengenai pengoperasian Centre.
Keputusan-keputusan yang dimaksud dalam sub-ayat (a), (b), (c) dan (f) di atas harus disahkan oleh mayoritas dua pertiga dari anggota Dewan Administratif.

Sekretariat harus terdiri dari seorang Sekretaris Jenderal, satu atau lebih Wakil Sekretaris Jenderal dan staf. Sekretaris Jenderal dan Wakil Sekretaris Jenderal harus dipilih oleh Dewan Administratif dengan mayoritas dua pertiga dari para anggota atas pencalonan dari Ketua untuk masa jabatan tidak melebihi enam tahun dan harus memenuhi syarat untuk dipilih kembali. Sekretaris Jenderal harus menjadi perwakilan hukum dan pejabat utama dari Centre dan harus bertanggungjawab untuk pengadministrasiannya, termasuk penunjukan staf, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini dan aturan-aturan yang disahkan oleh Dewan Administratif. Dia harus melaksanakan fungsi kepaniteraan dan harus memiliki kekuasaan untuk pengotentikasian putusan-putusan arbitrase yang diberikan berdasarkan Konvensi ini, dan mengesahkan salinan-salinan darinya.

ICSID menyimpan daftar nama untuk dicantumkan ke dalam suatu panel arbitrase atau konsiliasi. Setiap negara peserta konvensi dapat menunjuk 4 orang arbitor atau konsiliator ke dalam masing-masing daftar panel tersebut. Mereka dapat warga negaranya atau orang asing. Ketua Dewan administratif dapat menunjuk 10 orang pada masing-masing panel.


C. KONVENSI ICSID

Konvensi mengandung 10 bab yang terbagi ke dalam 67 pasal. Bab 1 bagian 1 mengatur tentang berbagai aspek tentang arbitrase, yakni mulai dari pembentukan sampai organisasi arbitrase. Bab II mengatur tentang jurisdiksi centre, Bab III mengatur tentang Konsiliasi. Tentang arbitrase sendiri, yaitu tentang permohonan, konstitusi, wewenang dan fungsi arbitrase serta putusan, pengakuan putusan arbitrase diatur dalam Bab V. Tentang penggantian dan pendiskualifikasian arbitrator (dan konsiliator), biaya persidangan, tempat persidangan masing-masing diatur dalam bab V sampai dengan bab VII. Sengketa-sengketa para pihak, perubahan Konvensi serta ketentuan-ketentuan akhir diatur dalam Bab-bab terakhir, VIII, IX, dan X.

Republik Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan UU no. 5 tahun 1968 (LN No.32 tahun 1968) yakni Undang-undang tentang persetujuan atas Konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dengan warga negara asing mengenai penanaman modal. Undang-undang ini singkat saja hanya terdiri dari 5 pasal saja.

Disebutkan bahwa sesuatu perselisihan tentang penanaman modal antara Republik Indonesia dan warga negara asing diputuskan menurut Konvensi ICSID dan Pemerintah mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut untuk hak substitusi. (Pasal 2).

Pasal utama penting lainnya adalah tentang pelaksanaan keputusan badan arbitrase ICSID. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa untuk melaksanakan putusan Mahkamah Arbitrase ICSID di wilayah Indonesia, maka diperlukan pernyataan Mahkamah Agung untuk melaksanakannya, terdapat PERMA No. 1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990 tentang tatacara pelaksanaan putusan arbitrase asing.


D. YURISDIKSI ICSID

Mengenai yurisdiksi ICSID mengenai sengketa penanaman modal asing ini diatur dalam Pasal 25 Konvensi tersebut, menurut pasal ini, sedikitnya ada tiga persyaratan pokok yang harus dipenuhi oleh para pihak untuk dapat menggunakan sarana arbitrase ini, yaitu :


1. Harus ada kesepakatan

Para pihak sebelumnya harus mencapai kata sepakat untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase ICSID. Konvensi mensyaratkan adanya sepakat yang tertulis yang menunjuk pemakaian ICSID.

Penunjukan badan arbitrase ini tercantum dalam klausula perjanjian penanaman modal yang menetapkan penyerahan suatu sengketa yang kelak mungkin timbul dari perjanjian tersebut. Menurut Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID, kata sepakat untuk menyerahkan sengketa kepada arbitrase ICSID tidak perlu “dinyatakan” di dalam dokumen tersendiri. Negara penerima modal melalui peraturan perundang-undangannya dapat menawarkan agar sengketa yang timbul antara investor dan negara penerima modal diserahkan kepada arbitrase ICSID.


2. Yurisdiksi Rationae Materiae

Yurisdiksi arbitrase ICSID terbatas pada sengketa hukum (legal disputes) akibat adanya penanaman modal saja. Sengketa ini adalah antara warga negara suatu negara dan negara peserta konvensi ICSID. Jadi disini harus ada suatu hubungan internasional, dalam arti kata “luar negeri” khususnya menyangkut perbedaan kewarganegaraan antara warga negara penggugat dan negara yang menggugat.


3. Yurisdiksi Rationae Personae

Dewan arbitrase ICSID hanya memiliki kewenangan mengadili sengketa antara negara dan warga negara asing lainnya yang negaranya adalah juga anggota atau peserta Konvensi ICSID.


E. HUKUM YANG DIPERGUNAKAN DEWAN ARBITRASE ICSID

Pasal 42 ayat (1) Konvensi ICSID menyatakan bahwa dalam penyelesaian perkara yang diserahkan kepada ICSID, hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan pertama-tama adalah hukum yang disepakati oleh para pihak yang berselisih (pilihan hukum).

Sehubungan dengan pilihan hukum ini, timbul persoalan, hukum manasajakah yang dapat dipilih oleh para pihak? Mengenai hal ini ada beberapa kemungkinan. Umumnya para pihak dapat memakai salah satu hukum nasional para pihak atau bahkan hukum nasional negara ketiga.

Dengan demikian, mereka dapat melokalisasi atau menginternasionalisasi hubungan hukum mereka. Hal ini dilakukan dengan menunjuk kepada misalnya prinsip-prinsip umum hukum (general principles of laws) atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku pada kelompok sistem hukum tertentu (principles of law common to a group of legal system) atau pada prinsip-prinsip hukum internasional (principles of international law).

Ada pula yang mengemukakan bahwa para pihak bebas menentukan bahwa hanya perjanjian mereka sajalah yang akan menentukan hubungan hukum mereka itu. Ini merupakan satu-satunya hukum yang berlaku. Jadi, tidak perlu lagi menunjuk pada satu sistem hukum tertentu.

Sudargo Gautama, lebih cenderung pada pendapat yang mengedepankan bahwa pilihan hukum yang dilakukan hanya pada hukum dari sistem hukum negara tertentu, bukan kepada prinsip-prinsip hukum yang agak kurang jelas dan dimaksudkan untuk menginternasionalisasi permasalahan tersebut. Kemudian, ia menambahkan lagi bahwa tidak pada tempatnya sekarang ini dalam rangka pilihan hukum memilih prinsip-prinsip hukum internasional.

Kemudian Pasal 42 ayat (1) Konvensi tersebut di atas disebutkan juga bahwa apabila pilihan hukum yang demikian tidak ada, maka hukum yang digunakan adalah hukum nasional (termasuk kaidah-kaidah HPI) negara peserta konvensi ICSID, dan hukum internasional. Hukum negara peserta disini tentunya adalah host state (negara penerima modal). Hukum nasional disini bukan hanya sachnorment yang dipakai, sistem hukum negara yang bersangkutan secara keseluruhan. Jadi, termasuk juga kollisionnorment-nya. Penunjukan kepada hukum negara peserta itu bukan merupakan suatu sachnormen-verweisung, tetapi adalah suatu gesamtverweisung.

Adapun terhadap penggunaan hukum internasional ada beberapa kemungkinan, yaitu ;

1. Apabila para pihak menyetujuinya;

2. Apabila hukum negara peserta konvensi ini yang merupakan pihak dalam perselisihan tersebut menghendaki supaya hukum internasional yang dipakai;

3. Apabila pokok persoalan yang disengketakan itu secara langsung diatur oleh hukum internasional, atau

4. Apabila hukum negara peserta konvensi yang ikut serta dalam perselisihan tersebut ternyata telah melanggar ketentuan hukum internasional. Disamping itu, berdasarkan Pasal 42 (3) Konvensi ICSID itu arbiter dapat menjatuhkan putusan atas dasar ex aquo et bono, apabila para pihak menghendaki demikian.


F. PENGATURAN DEWAN ARBITRASE ICSID DALAM WORLD BANK CONVENTION


1. Kedudukan Centre (ICSID)

Menurut ketentuan pasal 2, tempat kedudukan Centre di tempat “kantor pusat” Bank Pembangunan Dunia (at the principal office of the international Bank for Reconstruction and Development). Namun demikian, kalimat selanjutnya pasal 2 memungkinkan dipindahkannya kedudukan centre ke tempat lain atas putusan Dewan Administrasi (administrative council). Putusan yang demikian, diambil dengan suara
mayoritas, yaitu dua pertiga dari anggota dewan.

2. Organisasi Centre ICSID memiliki susunan organisasi, yang terdiri dari:

a. Dewan Administrasif (Administrative Council)

Menurut pasal 4 ayat (1) Konvensi, keanggotan Dewan Administrasif terdiri dari
setiap anggota Konvensi. Setiap negara anggota masing-masing diwakili oleh seorang anggota. Menurut pasal 3 Konvensi, “Presiden” Bank Dunia secara ex officio menjadi ketua dewan administrasif.

b. Sekretariat

Badan sekretariat menurut pasal 9 Konvensi, terdiri dari:
seorang pejabat sekretaris jenderal (secretary general) dan dibantu oleh seorang atau lebih deputi sekretaris jenderal (deputy secretary general) serta beberapa orang staf.

c. Panel

Menurut pasal 12 Konvensi, Panel adalah orang yang ditunjuk sebagai “pendamai” atau conciliator atau sebagai “wasit” atau arbitrator (arbiter). Setiap negara peserta konvensi boleh mencalonkan 4 orang untuk setiap panel. Sedang Ketua Dewan (Chairman of the Administrative Council) dapat mencalonkan sepuluh orang untuk setiap panel. Dalam hal yang seperti itu, orang yang dicalonkan adalah orang yang
berasal dari negara yang berbeda.


3. Status, Immunitas dan Privilese

Berdasarkan ketentuan pasal 18 Konvensi, ICSID mempunyai legalitas personal internasional yang penuh. Guna melancarkan fungsinya, Centre leluasa bergerak pada setiap wilayah negara peserta konvensi. Keleluasaan tersebut dibarengi dengan hak “immunitas” serta hak “previlege”.


4. Yurisdiksi Centre

Pada prinsipnya, kewenangan yurisdiksi Centre secara legal hanya meliputi “sengketa” yang langsung timbul dari penanaman modal (investment) antara negara-negara peserta Konvensi. Prinsip ini dapat diperluas jangkauannya, asalkan sengketa yang terjadi masih merupakan perselisihan yang timbul secara langsung dari permasalahan investasi antara satu negara dengan orang asing atau negara asing.


5. Tata Cara Pengajuan Permohonan

Menurut ketentuan pasal 28 Konvensi, pengajuan permohonan disampaikan:
• Kepada sekretaris Jenderal Dewan Administratif Centre,
• permohonan diajukan secara tertulis
• Permohonan memuat penjelasan tentang: pokok-pokok perselisihan, identitas para pihak dan mengenai adanya persetujuan mereka untuk mengajukan perselisihan yang timbul menurut ketentuan Centre.


6. Pembentukan Tribunal

Menurut pasal 37 ayat 2 Konvensi, pembentukan Mahkamah Arbitrase yang dilakukan Centre boleh hanya terdiri dari seorang arbiter (arbitrator) saja, tetapi boleh juga arbiternya terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya ganjil ( any unneven number of arbitrator). Mayoritas anggota arbitrase harus ditunjuk dari luar negara peserta konvensi yang sedang berselisih. Hal itu ditegaskan dalam pasal 39 konvensi.

7. Kewenangan dan fungsi Tribunal

• Memutus sengketa menurut hukum (Pasal 42 konvensi),
• Memanggil dan melakukan pemeriksaan setempat (Pasal 43 konvensi), dan
• Putusan provisi atau putusan pendahuluan (Pasal 47 konvensi).


8. Putusan Arbitrase Centre

Menurut pasal 48 konvensi, tata cara pengambilan keputusan adalah

• putusan diambil berdasar suara mayoritas anggota arbiter,

• putusan arbiter yang sah adalah dituangkan dalam putusan secara tertulis dan ditandatangani oleh anggota arbiter yang menyetujui putusan,

• putusan memuat segala segi permasalahan serta alasan-alasan yang menyangkut dengan dasar pertimbangan putusan,

• setiap anggota arbiter dibenarkan mencantumkan pendapat pribadi (individual opinion) dalam putusan,

• Centre tidak boleh mempublikasikan putusan, tanpa persetujuan para pihak,
selanjutnya, sekretaris jenderal harus segera mengirimkan salinan putusan kepada para pihak.


9. Pengakuan dan Eksekusi Putusan

Bertitik tolak dari Pasal 53 dan 54, dapat dijelaskan hal-hal berikut ini.

• Pengakuan putusan

Makna pengakuan putusan arbitrase Centre, mempersamakan daya kekuatan mengikatnya seperti putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang dijatuhkan oleh badan peradilan di negara yang bersangkutan.

• Eksekusi putusan

Putusan arbitrase Centre bersifat self executing. Pasal 54 ayat 3 Konvensi menegaskan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase Centre, sama halnya dengan tata cara eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.


G. PERBANDINGAN UU NO. 30 TAHUN 1999 DENGAN INTERNATIONAL CENTER FOR DISPUTE SETTLEMENT

Arbitrase dapat diartikan sebagai suatu proses yang sederhana yang dipilih para pihak untuk menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa dengan suatu keputusan final. Persyaratan perwasitan dalam rangka penanaman modal asing paling banyak dicantumkan adalah penyelesaian perwasitan menurut konvensi Bank Dunia (World Bank) yang lebih dikenal dengan “International Center for The Settlement of Dispute” (ICSID). Dengan adanya lembaga ICSID ini, membuka kemungkinan bagi penanaman modal asing yang menanamkan modalnya di Indonesia bilamana mereka menganggap telah diperlakukan kurang wajar oleh pihak pemerintah Indonesia dapat mengajukan gugatan atau klaim sengketa tentang penanaman modal asing yang merupakan sengketa hukum (legal dispute) kepada dewan arbitrase ICSID yang berkedudukan di Washington DC yang akan diselenggarakan menurut “The convention of the settlement of investment dispute between states and national of other states”.

Secara umum prosedur yang berlaku di ICSID tidak jauh berbeda dengan prosedur arbitrase pada umumnya dan khususnya dengan pranata hukum arbitrase di Indonesia yaitu UU No. 30 Tahun 1999 contohnya :

1. Apabila para pihak tidak setuju mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada
ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, maka Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase (article 37 point B ICSID Convention; pasal 13 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999)

2. Arbiter berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter (article 43 point A ICSID Convention; pasal 46 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999)

3. Eksekusi Putusan
Terdapat kesamaan prinsip antara UU No. 30 Tahun 1999 dengan ICSID Convention mengenai pelaksanaan putusan. Article 54 ayat (3) ICSID Convention berbicara tentang pelaksanaan putusan akan diatur oleh Undang-undang tentang pelaksanaan eksekusi yang berlaku di negara di wilayah yang tempat eksekusi tersebut berada. Hal ini sejalah dengan Pasal 66 butir e berisi dimana putusan arbitrase internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung RI yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Namun terdapat juga hal-hal yang pengaturannya berbeda dari ketentuan arbitrase pada umumnya yang terdapat dalam konvensi ICSID ini yaitu :

1. Mekanisme Pembatalan Putusan
Tidak seperti lazimnya arbitrase, putusan ICSID tidak dibatalkan melalui pengadilan, tetapi dengan mengajukan permohonan ke Sekretaris Jenderal ICSID. Article 52 ICSID Convention memaparkan alasan-alasan pembatalan sebagai berikut :

a. That the Tribunal was not properly constituted
b. That the Tribunal has manifesty exceeded its powers
c. That there was corruption on the part of a member of the Tribunal
d. That there has been a serious departure from a fundamental rule of procedure
e. That the award has failed to state the reasons on which it is based

2. Dalam article 53 ICSID Convention termaktub bahwa putusan arbitrase mengikat para pihak dan tidak dapat dilakukan banding atau perbaikan lainnya, kecuali sebagaimana diatur dalam article 52 ayat (1) ICSID Convention. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kehadiran konvensi, bagaimanapun pengadilan nasional negara anggota konvensi tidak dapat meninjau ulang putusan ICSID karena yang dapat dilakukan adalah permohonan pembatalan, interpretasi, dan revisi terhadap putusan tersebut;

3. Terhadap putusan arbitrase ICSID, apabila suatu negara tidak mau mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase berdasarkan ketentuan konvensi, justru dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap article 53 ayat (1) ICSID Convention ini. Terhadap pelanggaran ini, investor dapat mengajukan 2 (dua) gugatan kepada negara tuan rumah yaitu :

• Mengajukan gugatan sebagaimana dikenal dalam hukum nasional negara tuan rumah (host state) pada tingkatan diplomatik

• Menyampaikan sengketa tentang putusan arbitrase yang tidak dapat dilaksanakan kepada Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang memiliki yurisdiksi yang berhubungan dengan sengketa mengenai penafsiran dan penerapan konvensi.


H. CONTOH-CONTOH KASUS SENGKETA PENANAMAN MODAL INTERNASIONAL YANG DISELESAIKAN MELALUI ICSID

1. Kasus Holiday Inns (Holiday Inns/Occidental Petroleum v. Governent of Marocco).

Pada tahun 1966, pemerintah Maroko meminta perusahaan Occidental untuk menghubungi perusahaan hotel Amerika Serikat membangun industri pariwisata negara tersebut.. Kemudian Pemerintah Maroko dan Occidental menandatangani perjanjian dasar (penanaman modal) tentang pembangunan industri parawisata di Negeri Maroko. Dalam perjanjian tersebut ditetapkan bahwa group perusahaan Holiday Inns, perusahaan perhotelan Amerika Serikat yang dihubungi oleh Occidental, akan membangun 4 hotel di kota Rabat, Marrakesh, Fez dan Tangier. Keempat hotel ini nantinya akan dimiliki anak perusahaan cabang Holiday Inns.

Ditentukan pula bahwa pemerintah Maroko akan memberikan fasilitas pemberian pinjaman modal, memberi bantuan di dalam mencari dan mendapatkan lokasi bangunan dan fasilitas perpajakan dan keuangan lainnya. Di dalam klausul perjanjian ditetapkan pula bahwa apabila kelak muncul sengketa maka sengketa akan diserahkan pada badan arbitrase ICSID.

Ketika dua hotel berhasil dibangun dan dua bangunan hotel lainnya nyaris selesai, proyek tersebut mengalami kesulitan berhubungan dengan masalah pembiayaan. Karena masalah itu, group perusahaan Holiday Inns mengancam akan meninggalkan proyek tersebut dan di pihak lainnya, pemerintah Maroko menghentikan pemberian pinjaman uang dan menolak fasilitas keuangan dan bantuan administratif lainnya kepada perusahaan tersebut.

Ketika sengketa itu dilimpahkan ke badan arbitrase ICSID, ternyata pemerintah Maroko serta merta menolak Jurisdiksi dewan arbitrase ini, pihak Maroko berpendapat bahwa perusahaan Holiday Inns kurang memiliki kapasitas untuk menyerahkan sengketa yang bersangkutan kepada badan arbitrase ICSID karena pada waktu penandatanganan perjanjian dasar pada 1966, baik Maroko maupun Swiss bukanlah anggota peserta konvensi ICSID. Terhadap argumentasi ini, Dewan arbitrase berkesimpulan bahwa para pihak sepakat menyerahkan sengketanya kepada badan arbitrase menurut pengertian konvensi.

Kemudian, Maroko berpendapat bahwa cabang perusahaan Holiday Inns lainnya yakni Holiday Inns SA dan Occidental tidak mempunyai hak untuk menjadi peserta di dalam proses arbitrase tersebut karena mereka bukanlah penandatangan perjanjian kontrak pembangunan hotel tersebut yang mengandung klausula arbitrase ICSID. Terhadap argumentasi ini, Dewan arbitrase memutuskan bahwa setiap pihak yang hak-hak dan kewajibannya berdasarkan perjanjian telah tergabung di dalamnya, berhak atas keuntungan-keuntungan dan tunduk kepada klausula arbitrase.

Setelah adanya keputusan sementara di atas, Maroko kemudian mengangkat kembali masalah jurisdiksi lainnya. Setelah ditandatangani perjanjian dasar di tahun 1966, perjanjian tambahan lainnya juga ditandatangani. Diantaranya adalah kontrak antara perusahaan Holiday Inns dan perusahaan milik pemerintah Maroko dan perusahaan swasta asing lainnya yaitu Credit Immobilier Hotelier (CIH).

Kontrak tersebut menyebutkan bahwa peradilan Maroko akan memiliki jurisdiksi atas sengketa-sengketa yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan isi kontrak tersebut. Oleh karenanya, Maroko berpendapat bahwa dewan arbitrase ICSID hanya berwenang memeriksa akibat-akibat yang mungkin timbul dari putusan-putusan yang dikeluarkan pengadilan Maroko tentang hak-hak dan kewajiban para pihak terhadap Konvensi ICSID.

Dewan arbitrase ICSID menolak argumentasi ini, dengan alasan bahwa proyek-proyek tersebut secara umum dilaksanakan oleh berbagai macam tindakan hukum. Para pihak tidak bermaksud untuk membeda-bedakan atau memisah-misahkan perbuatan hukum yang satu dengan yang lainnya. Perjanjian dasar 1966 yang ditandatangani bersama pemerintah pada dasarnya adalah perjanjian utama, sedangkan kontrak yang diadakan kemudian merupakan perjanjian pelaksana dari perjanjian utama tersebut. Oleh Karena itu, dewan arbitrase memiliki jurisdiksi utama untuk memutuskan masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan perjanjian tersebut, sedangkan pengadilan Maroko hanya memiliki jurisdiksi atas masalah-masalah yang tidak langsung atau aspek-aspek tambahan dengan penanaman modalnya.

2. Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/81/1).

Hal yang menarik dalam kasus ini adalah proses beracara melalui arbitrase yang menurut teori dapat dilalui dengan cepat dan hasilnya memuaskan kedua belah pihak, namun dalam praktik seperti pada contoh kasus ini menghabiskan waktu sekitar 9 tahun lamanya.

Pihak Penggugat dalam kasus ini adalah AMCO yang membentuk konsorsium dan terdiri atas: (1). Amco Asia Corporation, (2). Pan American Development, (3). PT. Amco Indonesia.

Dengan pihak Tergugat : Pemerintah Republik Indonesia diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Kasus sengketanya adalah tentang Pencabutan izin investasi yang telah diberikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terhadap AMCO untuk pengelolaan Hotel Kartika Plaza, yang semula diberikan untuk jangka waktu 30 tahun. Namun BKPM mencabut izin investasi tersebut ketika baru memasuki tahun ke-9.

Badan hukum tersebut diatas, telah mengajukan permintaan kepada Mahkamah Arbitrase ICSID bahwa Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini diwakili oleh badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah merugikan dan memperlakukan secara tidak wajar sehubungan dengan pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia. Pemerintah Indonesia c.q BKPM telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing secara sepihak tanpa adanya pemberitahuan terlebih dahulu sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Tuntutan diajukan kepada lembaga arbitrase ICSID yang bertempat di Washington DC, Amerika Serikat oleh para investor yang membentuk konsorsium pada tanggal 15 Januari 1981.

Kasus sengketa antara Pemerintah Indonesia dalam perkara Hotel Kartika Plaza Indonesia telah diputus dalam tingkat pertama oleh lembaga ICSID yang putusannya berisikan bahwa Pemerintah Indonesia telah dinyatakan melakukan pelanggaran baik terhadap ketentuan hukum internasional maupun hukum Indonesia sendiri, dimana Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah melakukan pencabutan lisensi penanaman modal asing yang dilakukan oleh para investor asing seperti AMCO Asia Corporation, Pan America Development dan PT. Amco Indonesia.

Dalam tingkat pertama ini, tim arbitrase yang dipimpin oleh Prof. Berthold Goldman dalam memberikan keputusannya terlalu menitikberatkan pada ketentuan hukum internasional dan juga lebih mengutamakan perasaan keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono). Disini pemerintah Indonesia dikalahkan.

Atas putusan tersebut Pemerintah Republik Indonesia mengajukan keberatan atas dasar:

1. Terhadap permasalahan tersebut hukum indonesia tidak menunjukkan kekosongan hukum. Jadi, semestinya digunakan hukum Indonesia; dan

2. Para pihak sendiri tidak pernah menyetujui sebelumnya bahwa putusan bisa didasarkan pada prinsip keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono).
Dalam tingkat kedua yang merupakan putusan panitia adhoc ICSID sebagai akibat dari permohonan Pemerintah Indonesia untuk membatalkan putusan (annulment) tingkat pertama yang berisikan bahwa Pemerintah Indonesia dianggap benar serta sesuai dengan hukum Indonesia untuk melakukan pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing dan tidak diwajibkan untuk membayar ganti kerugian atas putusan tingkat pertama, namun Pemerintah Indonesia tetap diwajibkan untuk membayar biaya kompensasi ganti kerugian atas perbuatannya main hakim sendiri (illegal selfhelp) terhadap penanaman modal asing.

Dalam putusan tingkat kedua ini, majelis arbitrase yang dipimpin oleh Prof. Seidl Hohenveldren membatalkan putusan tingkat pertama tersebut. Ternyata yang menjadi dasar pembatalan tersebut adalah hukum Indonesia. Putusan ini menggambarkan bahwa majelis arbitrase tidak dibenarkan menjatuhkan putusan atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono), bila para pihak tidak bersepakat terlebih dahulu.

Putusan tingkat ketiga oleh ICSID pada pokoknya berisikan bahwa Indonesia tetap dikenakan kewajiban pembayaran terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pencabutan lisensi atau izin penanaman modal asing kepada pihak investor yaitu sebesar US $ 3.200.000 pada tingkat pertama.

3. Kasus Rafat Ali Rizvi (terpidana in absentia di Pengadilan negeri Jakarta Pusat dalam kasus tipikor di PT. Bank Century, Tbk) v. Republik Indonesia

Rafat Ali Rizvi, Terpidana in absentia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus Tindak Pidana Korupsi di PT Bank Century, Tbk. telah mengajukan permohonan arbitrase terhadap Pemerintah Republik Indonesia di International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID).

Rafat Ali rizvi adalah warga negara Inggris kelahiran Pakistan pada 22 Oktober 1960, dia adalah mantan pemilik Bank Century. Bersama dengan Hesham, dia bertanggung jawab atas penyimpanan aset-aset jaminan surat berharga Century di luar negeri. Rafat Ali Rizvi mengajukan gugatan ke Pemerintah Indonesia senilai 75 juta dolar AS ke Pengadilan Arbitrase terkait masalah investasi (ICSID) pada tanggal 12 Mei 2011 karena merasa dirugikan dari segi bisnis atas kebijakan pemerintah mengucurkan bailout Bank Century sebesar Rp6,7 triliun, selain itu dirinya merasa dilanggar Hak Asasi Manusia (HAM)-nya karena disidangkan secara in absentia hingga dirinya divonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (14/12), memvonis mantan pemilik Bank Century, Hesham Al Waraq dan Rafat Ali Rizvi, masing-masing 15 tahun penjara.
Majelis hakim yang diketuai Marsudin Nainggolan dalam persidangan yang berlangsung secara in absensia menyatakan, kedua terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, yang menimbulkan kerugian bagi negara sebesar Rp. 3,1 triliun.

Selain menjatuhkan hukuman penjara, kedua terdakwa juga diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp. 3,1 triliun, plus denda Rp. 15 miliar dengan subsider enam bulan kurungan. Uang pengganti kerugian negara tersebut, kata hakim, harus dibayar dalam waktu sebulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak dibayar, aset milik terdakwa akan disita, atau diganti dengan pidana selama lima tahun penjara.

Kondisi terakhir terkait gugatan Rafat Ali Rizvi adalah Kejaksaan Agung selaku Jaksa Pengacara Negara telah melayangkan jawaban atas gugatan yang diajukan terpidana kasus Bank Century Rafat Ali Rizvi ke Pengadilan Arbitrase Internasional. Jawaban tersebut menyangku mekanisme penunjukan seorang arbiter. Indonesia menunjuk N. Sonaraja, seorang warga negara australia keturunan New Zealand.

Sedangkan pihak penggugat menunjuk Yoan E Dumuhui seorang warga negara Amerika Serikat. Pada tahap selanjutnya akan dilakukan penunjukan presiden tribunal atau ketua majelis yang akan memimpin persidangan.



H. KESIMPULAN

ICSID merupakan forum penyelesaian sengketa internasional terkait dengan investasi, keanggotaan ICSID terdiri dari para anggota Bank Dunia. Tujuan utama ICSID adalah menjembatani jurang atau kekosongan upaya hukum di dalam menyelesaikan kasus-kasus penanaman modal yakni dengan memberikan suatu mekanisme khusus berupa fasilitas arbitrase dan konsiliasi serta mendorong dan melindungi arus modal dari negara maju kepada negara ketiga (developing countries).

Konvensi tentang ICSID mulai berlaku pada 14 Oktober 1996. Sebulan setelah 20 negara meratifikasinya, dan sampai dengan saat ini telah banyak kasus mengenai sengketa penanaman modal yang diselesaikan melalui forum ICSID. Kasus terbaru yang ditangani oleh ICSID berkaitan dengan Indonesia adalah kasus Rafat Ali Rizvi (terpidana in absentia di Pengadilan negeri Jakarta Pusat dalam kasus tipikor di PT. Bank Century, Tbk).

Keberadaan ICSID saat ini merupakan forum penyelesaian sengketa internasional dalam hal penanaman modal yang paling utama, hal ini harus dibarengi dengan kekuatan ICSID dalam hal mem\berikan putusan yang bersifat mengikat dan final.






*dimuat sebagai reading material penyelesaian sengketa internasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger