Minggu, 18 Desember 2011

ORGANISASI REGIONAL DAN TRADING PARTNERS; ASEAN - CHINA FREE TRADE AGREEMENT (ACFTA)

Dalam era globalisasi dan transparansi ini sesungguhnya kegiatan perdagangan antar negara dan kerjasama ekonomi merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan lagi yang diharapkan akan dapat memperluas kesempatan berusaha dalam perdagangan dan kesempatan memperoleh aneka produk; salah satu diantaranya kesepakatan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Pembukaan pasar ini merupakan perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan Cina.

Dalam membentuk ACFTA, para Kepala Negara Anggota ASEAN dan China telah menandatangani ASEAN - China Comprehensive Economic Cooperation pada tanggal
6 Nopember 2001 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam. Sebagai titik awal proses pembentukan ACFTA para Kepala Negara kedua pihak menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 Nopember 2002. Protokol perubahan Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 6 Oktober 2003, di Bali, Indonesia.

Protokol perubahan kedua Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 8 Desember 2006. Indonesia telah meratifikasi Ratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004.

Tujuan dari kesepakatan ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) adalah (sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Framework Agreement ASEAN-China FTA):

1. Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi
antara negara-negara anggota.

2. Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa
serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah
investasi.

3. Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.

4. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam –CLMV) dan menjembatani kesenjangan dan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota.

ASEAN dan Cina juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui beberapa hal dibawah ini, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 (langkah-langkah untuk kerjasama ekonomi yang menyeluruh) Framework Agreement ASEAN-China FTA :

a. penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang;

b. liberalisasi secara progresif perdagangan jasa dalam cakupan sektor utama;

c. membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ASEAN-China FTA.

d. Ketetapan-ketetapan tentang perlakuan khusus dan berbeda serta fleksibiltas bagi anggota negara-negara ASEAN yang baru;

e. Ketetapan tentang fleksibiltas bagi pihak-pihak yang bersangkutan dalam perundingan ASEAN-CHINA FTA untuk menyampaikan wilyah sensitif mereka dalam sektor perdagangan, penanaman modal dengan fleksibilatas yang dirundingkan dan disetujui bersama berdasarkan prinsip timbal balik dan keuntungan bersama.

f. Penetapan langkah perdagangan efektif dan fasilitasi penanaman modal, termasuk tapi tidak terbatas pada penyeerhanaan prosedur pajak dan pengembangan pengakuan bersama pengaturan-pengaturan;

g. Perluasan kerjasama ekonomi diberbagai wilayah yang mungkin dapat disepakati oleh semua pihak yang terlibat, yang akan melengkapi pendalaman hubungan perdagangan dan penanaman modal antara pihak-pihak yang bersangkutan dan memformulasikan rencana aksi dan program untuk melaksanakan kerjasama sektor-sektor yang telah disepakati; dan

h. Penetapan mekanisme yang tepat untuk keperluan pelaksanaan kesepakatan ini secara efektif.

Berkaitan dengan tehnikalitas kerangka hukum dalam hal pelaksanaan ACFTA, meskipun
China memiliki kesepakatan menyeluruh dengan ASEAN sebagai satu kelompok kawasan, masing-masing negara anggota asosiasi ini juga dapat merundingkan sendiri proses liberalisasi yang dapat mereka lakukan dengan pihak China. Hal ini tak lain dikarenakan setiap negara anggota ASEAN memiliki kepentingan ekonomi yang berbeda dengan negara-negara anggota lainnya. Selain itu, negara ASEAN juga memiliki tingkat kesiapan yang berbeda-beda.

Terdapat enam komponen penting dalam kerangka kesepakan atas kerjasama ekonomi menyeluruh antara ASEAN dan China termasuk :

1. Perdagangan dan langkah-langkah fasilitasinya (meliputi berbagai isu seperti penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, adanya kesepakatan mengenai standar dan penilaian prosedur sektor jasa.

2. Bantuan teknis dan pengembangan kapasitas bagi negara-negara anggota ASEAN yang baru (atau negara-negara CLMV, termasuk kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam).

3. Adanya langkah-langkah promosi perdagangan yang konsisten dengan peraturan-peraturan dalam WTO

4. Perluasan kerjasama dalam bidang keuangan, pariwisata, pertanian, pengembangan sumber daya manusia, dan hak kekayaan intelektual, dll.

5. Pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) dalam jangka waktu sepuluh tahun, dan diberikannya perlakuan khusus dan berbeda terhadap negara-negara CLMV (ASEAN 6 diharapkan dapat menyelesaikan proses penurunan tarif mereka pada tahun 2010 mendatang. Sementara itu, negara-negara CLMV diberikan lima tahun tambahan, atau hingga tahun 2015, untuk melakukan hal serupa.

6. Pembentukan lembaga-lembaga yang tepat antara ASEAN dan China untuk melaksanakan kerangka kerjasama di antara kedua pihak.

Secara formal ACFTA pertama kali diluncurkan sejak ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan Dispute Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di Vientiane, Laos. Persetujuan Jasa ACFTA ditandatangani pada pertemuan ke-12 KTT ASEAN di Cebu, Filipina, pada bulan Januari 2007. Sedangkan Persetujuan Investasi ASEAN China ditandatangani pada saat pertemuan ke-41 Tingkat Menteri Ekonomi ASEAN tanggal 15 Agustus 2009 di Bangkok, Thailand.

Kerangka kesepakan ini mendorong lembaga-lembaga yang berpartisipasi untuk mengeksplorasi berbagai area baru dan mengembangkan langkah-langkah yang sesuai untuk kerjasama ekonomi yang lebih erat (Pasal 1 (c)). Kalimat ini sama saja artinya bahwa ada kemungkinan besar kedua pihak akan memperluas pelaksanaan perdagangan bebas. Tentunya, kemungkinan perluasan inilah yang perlu dicermati secara seksam karena kerangka kerjasama sama sekali tidak menyebutkan batasan apapun terhadap proses pelaksanaan perdagangan bebas.



PERSETUJUAN PERDAGANGAN BARANG

Dalam ACFTA disepakati akan dilaksanakan liberalisasi penuh pada tahun 2010 bagi ASEAN 6 (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) dan China, serta tahun 2015 untuk serta Kamboja, Laos, Vietnam, dan Myanmar. Penurunan Tarif dalam kerangka kerjasama ACFTA dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu: (1) Program panen awal, (2) Jalur normal, (3) Jalur sensitif. Kerangka kerjasama tersebut diterapkan Indonesia dalam gambaran sebagai berikut :

1. Early Harvest Program (EHP) – Program Panen Awal Indonesia – China :
Produk-produk dalam EHP antara lain:

Chapter 01 s.d 08 : Binatang hidup, ikan, dairy products, tumbuhan, sayuran, dan buah-buahan (SK Menkeu No 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam kerangka EHP ACFTA).

Kesepakatan Bilateral (Produk Spesifik) antara lain kopi, minyak kelapa/CPO, Coklat, Barang dari karet, dan perabotan (SK Menkeu No 356/KMK.01/2004 tanggal 21 juli 2004 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP Bilateral Indonesia-China FTA.

Penurunan tarif dimulai 1 Januari 2004 secara bertahap dan akan menjadi 0% pada 1 Januari 2006.


2. Normal Track – Jalur normal

Threshold :
40% at 0-5% in 2005
100% at 0% in 2010 (Tariff on some products, no more than 150 tariff lines will be eliminated by 2012)

Jumlah NT II Indonesia adalah sebesar 263 pos tarif (6 digit)

Legal enactment NT untuk tahun 2009 s.d 2012 telah ditetapkan melalui SK. MEN-KEU No. 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ACFTA.


3. Sensitive Track – Jalur sensitif

Sensitive List (SL) :
(a) Tahun 2012 = 20%
(b) Pengurangan menjadi 0-5% pada tahun 2018.
(c) Produk sebesar 304 Produk (HS 6 digit) antara lain Barang Jadi Kulit : tas, dompet; Alas kaki : Sepatu sport, Casual, Kulit; Kacamata; Alat Musik; Tiup, petik, gesek; Mainan: Boneka; Alat Olah Raga; Alat Tulis; Besi dan Baja; Spare part; Alat angkut; Glokasida dan Alkaloid Nabati; Senyawa Organik; Antibiotik; Kaca; Barang-barang Plastik.


Highly Sensitive List (HSL)
(a) Tahun 2015 = 50%
(b) Produk HSL adalah sebesar 47 Produk (HS 6 digit), yang antara lain terdiri dari Produk Pertanian, seperti Beras, Gula, Jagung dan Kedelai; Produk Industri Tekstil dan produk Tekstil (ITPT); Produk Otomotif; Produk Ceramic Tableware.


PERSETUJUAN PERDAGANGAN JASA

Persetujuan Jasa ACFTA telah berlaku efektif sejak Juli 2007. Dengan adanya Persetujuan ini para penyedia jasa dikedua wilayah akan mendapatkan manfaat perluasan akses pasar jasa sekaligus national treatment untuk sektor dan subsector yang dikomitmenkan oleh masing-masing Pihak ACFTA. Paket Pertama Persetujuan Jasa ACFTA mencakup kurang lebih 60 subsektor tambahan dari komitmen para Pihak di GATS/WTO. Dari sudut pandang tingkat ambisi liberalisasi, Paket Pertama tersebut mencerminkan tingkat komitmen yang cukup tinggi dari seluruh 4 moda penyediaan jasa baik cross-border supply, consumption abroad, commercial presence, dan movement of natural persons. Disamping memberikan manfaat dari meningkatnya arus perdagangan jasa antara kedua wilayah, Persetujuan Jasa diharapkan akan mendorong peningkatan investasi khususnya pada sektor-sektor yang telah dikomitmenkan oleh para Pihak seperti :

(a) business services such as computer related services, real estate services,
(b) research, management consulting;
(c) construction and engineering related services;
(d) tourism and travel related services;
(e) transport services; educational services;
(f) telecommunication services;
(g) health-related and social services;
(h) recreational,cultural and sporting services;
(i) environmental services; dan
(j) energy services.



PERSETUJUAN INVESTASI

Melalui Persetujuan Investasi tersebut, pemerintah Negara-negara Anggota ASEAN dan China secara kolektif sepakat untuk mendorong peningkatan fasilitasi, transparansi dan rezim investasi yang kompetitif dengan menciptakan kondisi investasi yang positif, disertai berbagai upaya untuk mendorong promosi arus investasi dan kerjasama bidang investasi. Disamping itu kedua pihak juga secara bersama-sama akan memperbaiki aturan investasi menjadi lebih transparan dan kondusif demi peningkatan arus investasi.

Selain itu hal terpenting lainnya adalah ASEAN dan China sepakat untuk saling memberikan perlindungan investasi. Kegiatan sosialisasi ini akan memaparkan kebijakan, peraturan, ketentuan, dan prosedur investasi. Satu hal lagi yang sangat penting, kedua pihak sepakat mendirikan one stop centre untuk memberikan jasa konsultasi bagi sektor bisnis termasuk fasilitasi pengajuan perijinan Dari sudut pandang investor, Persetujuan Investasi ASEAN – China memberikan berbagai manfaat nyata seperti: (i) jaminan perlakuan yang sama untuk penanam modal asal China ataupun ASEAN antara lain dalam hal manajemen, operasi, likuidasi; (ii) pedoman yang jelas mengenai ekspropriasi, kompensasi kerugian dan transfer serta repatriasi keuntungan; (iii) kesetaraan untuk perlindungan investasi dalam hal prosedur hukum dan administratif. Apabila terjadi sengketa yang muncul antar investor dan salah satu pihak, persetujuan ini memberikan mekanisme penyelesaian yang spesifik disamping adanya kesepakatan semua pihak untuk terus berupaya menjamin perlakuan yang sama atau non-diskriminatif.




KERJASAMA EKONOMI

Didalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China, kedua pihak sepakat akan melakukan kerjasama yang lebih intensif dibeberapa bidang seperti : Pertanian; Teknologi Informasi; Pengembangan SDM; Investasi; Pengembangan Sungai Mekong; Perbankan; Keuangan; Transportasi; Industri; Telekomunikasi; Pertambangan; Energi; Perikanan; Kehutanan; Produk-Produk Hutan dan sebagainya.

Pemerintah China telah mengalokasikan dana sebesar USD 10 miliar dibawah China
ASEAN Investment Cooperation Fund untuk membiayai proyek-proyek kerjasama investasi utama seperti infrastruktur, energi dan sumberdaya, teknologi komunikasi dan
informasi dan bidang-bidang lainnya sekaligus menyediakan fasilitas kredit sebesar USD 15 juta untuk mendukung proses integrasi ASEAN dan kerjasama ekonomi dibawah ACFTA untuk lima tahun kedepan.



PENYELESAIAN SENGKETA
Perselisihan atau sengketa dagang antar pelaku usaha dalam ACFTA dapat diselesaikan melalui perjanjian Disputes Settlement Mechanism (DSM) ACFTA. Perjanjian ini bertujuan untuk memberikan kepastian dalam penyelesaiaan sengketa
dagang dengan prinsip kesamaan (equitable), cepat, dan efektif. Persetujuan DSM ini
ditandatangani oleh para Menteri Ekonomi ASEAN dan China dalam pertemuan ke-10
KTT ASEAN pada bulan Nopember 2004 di Laos.


Prosedur penyelesaian perselisihan ACFTA terdiri dari tiga tahap, yaitu :

1. Tahap Konsultasi
Tahap pertama dijelaskan pada artikel 4 perjanjian Dispute Settlement Mechanism yang menyediakan mekanisme kepada pihak yang terkena komplain untuk untuk melakukan konsultasi sesuai pertimabangan yang memadai, berkaitan kepada setiap masalah yang menyangkut pelaksanaan atau penerapan ACTA.

Pada paragraph 2 ditekankan bahwa pentingnya pertukaran informasi secara komprehensif yang disampaikan secara tertulis dan mecakup isu atau permasalahan secara spesifik, factual, dan berdasarkan landasan hukum yang benar.

Pada paragraph 3 diinformasiakn bahwa setelah permintaan konsultasi. Dilakukan pihak yang dikenakan komplin diharuskan menjawab permintaan konsultasi tersebut dalam jangka waktu 7 ( tujuh ) hari dan sudah dapat melakukan proses konsultasi dengan itikad baik secra periode kurang dari 30 ( tiga puluh ) hari setelah tanggal diterimanya permintaan tersebut. Adapun apabila proses tersebut tidak dipenuhi maka pihak yang memberikan komplain dapat secra langsung meminta penunjukan tribunal.

Pada paragraph 4 dijelaskan bahwa kedua pihak diharapkan dapat menyediakan informasi yang terukur untuk proses pemeriksaan terkait hal yang mempengaruhi pelaksanaan ACFTA serta daapt menjaga pertukaran informasi yang rahasia yang dilakukan selama proses konsultasi.

Dalam kasus yang mendesak ( urgency ) pihak yang menghadapi masalah dapat melakukan konsultasi pada periode kurang ( sepuluh ) hari setelah tanggal diterimanya permintaan dari pihak yang menerima komplain. Apabila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan secara konsultasi selama periode 20 ( dua puluh ) hari pihak yang mempermasalahkan dapat melanjutkan ke tingkat arbitrase ( arbitral tribunals).


2. Tahap Konsultasi/ Mediasi
Tahap Selanjutnya adalah melalui proses konsiliasi atau mediasi. Sebagai pihak yang bersengketa setiap waktu dapat mengajukan konsiliasi atau mediasi, dan pada waktu kapanpun dpat pula menghentikan proses konsiliasi atau mediasi tersebut bahkan Selama proses arbitrasi berlangsung.

3. Tahap Arbiotrase
Tahap formal terakhir adalah arbitrase, proses ini digunakan jika para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa dalam periode 60 ( enam puluh ) hari setelah tanggal permintaan konsultasi aatu dalam waktu 20 (dua puluh) hari pada kasus yang sifatnya mendesak (urgent). Pengadialn (arbitrary) yang dibentuk untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada. Masing-masing dari kedua belah pihak diharuskan menunjuk seorang arbiter. Kedua arbiter yang ditunjuk akan menyepakati tambahan 1 (satu) arbiter yang akan menjabat sebagai ketua.

Apabila tim yang terbentuk tersebut tidak mencapai kesepakatan, diharapkan dapat meminta secara formal krpada Direktur Jenderal WTO untuk dapat menentukan keputusan. Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa adalah anggota non-WTO maka wewenang diberikan kepada President Mahkamah Kontitusi International yang dipercayakan melakukan tugas tersebut.



INDONESIA VS CINA

Hubungan perdagangan antara Indonesia dengan China sudah terjalin sejak lama. Dalam lima tahun terakhir (2004-2008), perdagangan Indonesia dengan China menunjukkan perkembangan yang meningkat sebesar 30,11% pertahun. Total nilai perdagangan kedua Negara tersebut pada tahun 2004 sebesar 8.706,1 juta US$, kemudian tahun 2008 meningkat menjadi sebesar 26.883,7 juta US$ yang sebagian besar (85%) berupa produk non migas.

Selama periode tersebut, neraca perdagangan Indonesia China untuk produk non migas selalu surplus bagi Indonesia, namun untuk produk non migas sejak tahun 2005 selalu defisit bagi Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa produk non migas dari China memiliki keunggulan di pasar Indonesia. Dengan diberlakukannya ASEAN China FTA berbagai kalangan dan khususnya pengusaha merasa khawatir akan membanjirnya produk China. Kekhawatiran tersebut cukup beralasan mengingat produk China dikenal memiliki harga murah, sementara sudah banyak beredar produk impor China sebelum ASEAN-China FTA diberlakukan. Produk-produk impor dari ASEAN dan China akan lebih mudah masuk ke Indonesia dan lebih murah karena adanya pengurangan tarif dan penghapusan tarif, serta tarif akan menjadi nol persen dalam jangka waktu tiga tahun. Dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam negeri yang produknya sejenis dengan produk impor China, yang dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat daya saing yang relatif kurang kompetitif.


China memang mempunyai dukungan yang besar terhadap industri dalam negerinya sehingga dapat menguasai pasar dunia. Kemudahan dalam memberikan pinjaman bank dengan bunga yang rendah mendorong lahirnya produk-produk yang merambah negara-negara lain dengan harga relatif murah. Dukungan infrastruktur juga sangat diperhatikan bagi perluasan perdagangan. Selain itu kemudahan izin usaha juga diterapkan.

Kemudahan-kemudahan seperti di China tersebut sampai saat ini belum ditemui di Indonesia. Inilah yang memberikan kekhawatiran tersendiri atas dampak ACFTA di dalam negeri. Produk dalam negeri dinilai belum dapat bersaing dengan produk-produk dari China karena biaya produksi di dalam negeri masih tinggi dan menyebabkan harga jualnya jauh di atas produk-produk China. Penerapan ACFTA tentu akan menyebabkan berubahnya peta perdagangan antara Indonesia, negara-negara ASEAN, dan China. Pada tabel 1 berikut disajikan ekspor-impor Indonesia dengan negara-negara tersebut:


Dari data di atas jelaslah bahwa impor China ke Indonesia lebih besar dari ekspornya, sehingga terjadi defisit perdagangan. Jadi, kekhawatiran tersebut sangat beralasan. Tanpa pemberlakuan ACFTA pun impor China ke Indonesia sudah cukup tinggi, apalagi dengan dihapuskannya tarif bea masuk barang China ke Indonesia.

Indonesia memang masih jauh tertinggal dari China. Ketertinggalan ini dapat dilihat dari perbandingan indikator makroekonomi antara Indonesia dengan China sebagaimana digambarkan pada tabel berikut :


Indikator-indikator diatas menjelaskan betapa China lebih unggul dari Indonesia. Suku bunga kredit bank komersil di China hanya sebesar 5,31 persen, sementara Indonesia jauh lebih tinggi yakni sebesar 13,6 persen. Inilah yang menyebabkan minimnya perkembangan pertumbuhan produksi industri Indonesia yang hanya 2 persen di tahun 2009 sementara China mencapai 8,1 persen. Dari data tersebut, infrastruktur Indonesia juga terlihat jauh tertinggal. Padahal infrastruktur yang baik akan menunjang dalam menciptakan biaya berproduksi murah yang selanjutnya akan menekan harga di tingkat konsumen. Infrastruktur yang baik juga sangat membantu dalam perluasan pasar hingga mencapai skala perdagangan ekspor-impor.



DAMPAK ACFTA TERHADAP INDONESIA

Segala sesuatu memang akan memberi dampak positif dan negarif. Begitu juga dengan ACFTA. Dampak kesepakatan ini memang memiliki implikasi yang cukup luas di bidang ekonomi, industri dan perdagangan. Dari sisi konsumen atau masyarakat, kesepakatan ini memberikan angin segar karena membuat pasar dibanjiri oleh produk-produk dengan harga lebih murah dan banyak pilihan. Dengan demikian akan berdampak pada meningkatnya daya beli masyarakat sehingga diharapkan kesejahteraan pun dapat ditingkatkan.

Namun, kesepakatan tersebut justru membuat industri lokal gelisah. Hal ini dikarenakan industri lokal dinilai belum cukup siap menghadapi serbuan produk-produk China yang berharga murah. Produk-produk dalam negeri masih memiliki biaya produksi yang cukup tinggi sehingga harga pasaran pun masih sulit ditekan. Keadaan ini dikhawatirkan akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dikarenakan ditutupnya perusahaan dalam negeri akibat kalah bersaing.

Masalah yang paling dikhawatirkan adalah pengaruh ACFTA terhadap keberlangsungan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang berkonsentrasi pada pasar dalam negeri. Tentu UKM tersebutlah yang paling parah terkena imbas dengan membanjirnya produk-produk China. Produk-produk China yang menguasai pasar Indonesia dapat ditampilkan sebagai berikut:



Berdasarkan chart di atas, bisa dilihat produk-produk China berupa mainan anak dan alat rumah tangga marak dibeli oleh masyarakat. Hal ini merupakan tantangan berat bagi UKM yang memproduksi barang-barang tersebut, untuk terus melanjutkan usahanya.

Dampak ACFTA juga akan merambah ke sektor pertanian. Mengingat begitu lancarnya hubungan ekspor-impor pertanian antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN dan China. Data menunjukkan trade balance (neraca perdagangan) produk pertanian dengan ASEAN-Cina pada Januari 2010, Indonesia masih meraih surplus US$ 2,2 miliar. Nilai surplus terbesar diperoleh dari sektor perkebunan, seperti minyak kelapa sawit dan turunannya, karet SIR 20, minyak dan lemak dari sayuran, karet lembaran, minyak kopra, biji cokelat (pecah, setengah pecah, dan mentah), serta gaplek iris dan kering sebesar US$ 2.756 miliar.

Secara lebih rinci, nilai ekspor Indonesia ke China adalah: 1. Sektor komoditas primer sektor perkebunan, kontribusi terbesar disumbang karet US$ 6,152 miliar, kakao US$ 1,269 miliar, kopi US$ 991 juta, dan kelapa US$ 901 juta. 2. Sektor perkebunan olahan, sumbangan terbesar adalah minyak sawit (US$ 14,11 miliar) dan karet (US$ 1,485 miliar). 3. Subsektor tanaman pangan, kontribusi terbesar disumbang gandum (US$ 252 juta) dan ubi kayu (US$ 36 juta). 4. Subsektor hortikultura disumbang buah, kacang-kacangan, dan tumbuhan awetan (US$ 170 juta). 5. Subsektor peternakan disumbang susu (US$ 187 juta) dan lemak (US$ 377 juta). Sementara nilai impor Indonesia dari China sebagai berikut :

1. Impor terbesar terjadi pada subsektor hortikultura, seperti bawang putih segar, buah apel, pir, serta kwini Mandarin segar, dan komoditas buah lainnya sebesar US$ 434,4 juta;

2. Subsektor pangan berupa benih gandum dan gandum lainnya, gula kasar, kacang kupas, dan komoditas pangan lain sebesar US$ 109,53 juta;

3. Subsektor peternakan yang umumnya berupa impor binatang hidup US$ 17,947 juta (Tempo, 19 Januari 2010).



KEBIJAKAN INDONESIA MENGHADAPI ACFTA :

Berbagai kebijakan memang harus dibuat agar dampak ACFTA tidak menggerus perekonomian Indonesia. Hal yang paling krusial adalah dalam menekan harga produk lokal sehingga dapat bersaing dengan produk-produk murah dari China. Inilah mengapa perlunya menciptakan biaya produksi rendah.

Biaya produksi rendah bagi industri dalam negeri dapat diciptakan dengan pertama, menurunkan suku bunga pinjaman bank. Suku bunga pinjaman yang diterapkan di Indonesia adalah sebesar 13,6 persen. Suku bunga tersebut dianggap terlalu tinggi dan membebani para pengusaha, terutama pengusaha UKM. Bunga yang relatif tinggi memberikan keengganan bagi perusahaan maupun perorangan untuk meminjam uang karena biayanya dianggap masih mahal. Implikasi bunga pinjaman yang tinggi lainnya adalah akan menyebabkan sektor manufaktur sulit bersaing. Bunga pinjaman tersebut akan membebani ongkos kapital sehingga menaikkan biaya produksi. Dan selanjutnya seperti yang telah disebutkan di atas yakni membuat biaya produksi tinggi dan memaksa harga produk pun menjadi lebih mahal. Dengan demikian diperlukan penurunan suku bunga pinjaman agar meringankan beban biaya produksi dan juga mendorong pembukaan usaha-usaha baru agar terbuka kesempatan kerja yang lebih luas.

Kedua, memperbaiki infrastruktur. Infrastruktur memang tak dipungkiri merupakan variabel yang sangat krusial dalam memacu roda perekonomian. Bahkan Kwiek Kian Gie mengatakan, secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. Penurunan kinerja infrastruktur berimplikasi pada terhambatnya distribusi barang dan jasa yang menyebabkan kenaikan biaya angkut, sehingga biaya produksi meningkat. Hal inilah mengapa perbaikan infrastruktur akan sangat menekan biaya produksi.

Selain kedua kebijakan tersebut, di sektor pertanian diperlukan fokus dalam pengembangan komoditas berbasis keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan di sektor perkebunan perlu mendapat perhatian khusus. Diperlukan pengembangan produk-produk perkebunan bernilai tambah berupa olahan. Sehingga ekspor komoditas perkebunan tidak lagi berupa bahan mentah, namun mempunyai nilai tambah yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi.

Diharapkan dengan kebijakan-kebijakan yang sistematis dan terarah, momen ACFTA dapat memberikan efek laju pertumbuhan ekonomi yang cepat dan memunculkan daya saing produk lokal yang unggul, murah, dan memiliki pasar yang luas.


Hal lain yang juga diusulkan adalah beberapa langkah sebagai berikut :

a. Penguatan daya saing global meliputi penanganan isu-isu domestik meliputi :
penataan lahan dan kawasan industri, pembenahan infrastruktur dan energi, pemberian insentif (pajak maupun non pajak lainnya), membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), perluasan akses pembiayaan dan pengurangan biaya bunga (KUR, Kredit Ketahanan Pangan dan Energi, modal ventura, keuangan syariah, anjak piutang, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia dsbnya), pembenahan sistem logistik, perbaikan pelayanan publik (NSW, PTSP/SPIPISE dsb), penyederhanaan peraturan dan peningkatan kapasitas ketenagakerjaan).

b. Pengamanan pasar domestik melalui : (a) pengawasan di border dengan meningkatkan pengawasan ketentuan impor dan ekspor dalam pelaksanaan FTA, menerapkan Early Warning System untuk pemantauan dini terhadap kemungkinan terjadinya lonjakan impor, pengetatan pengawasan penggunaan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) dari negara-negara mitra FTA, pengawasan awal terhadap kepatuhan SNI, label, ingridien, kadaluarsa, kesehatan, lingkungan, security dsb, penerapan instrumen perdagangan yang diperbolehkan WTO terhadap industri yang mengalami kerugian yang serius akibat tekanan impor dan penerapan instrumen anti dumping dan countervailing duties atas importansi yang un fair, (b) peredaran barang di pasar lokal meliputi task force pengawasan peredaran barang yang tidak sesuai dengan ketentuan
perlindungan konsumen dan industri dan kewajiban penggunaan label dan manual berbahasa Indonesia, dan (c) promosi penggunaan produksi dalam negeri dengan mengawasi efektivitas promosi penggunaan produksi dalam negeri (Inpres Nomor 2 Tahun 2009) termasuk mempertegas dan memperjelas kewajiban KLDI memaksimalkan penggunaan produk dalam negeri revisi Kepres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa oleh Pemerintah.

c. Penguatan ekspor dengan penguatan peran perwakilan luar negeri, pengembangan trading house, promosi pariwisata, perdagangan dan investasi, penanggulangan masalah akses pasar dan kasus ekspor, pengawasan penggunaan SKA Indonesia, peningkatan peran LPEI dalam mendukung pembiayaan ekspor dan optimalisasi trade financing.

d. Bimbingan yang berkesinambungan agar KUKM dapat menerapkan manajemen stok yang lebih adaptif terhadap pasar dan differensiasi pasar yang memungkinkan terjadinya subsidi silang

e. Perlu dilakukan kajian yang berkelanjutan terhadap kondisi KUKM yang lebihmendetail terhadap jenis dan variasi produk-produk pertanian dan industri kecil yang mempunyai peluang pasar yang besar dan dapat dilakukan secara spesifik di berbagai daerah.

f. Perlu diberi peran yang lebih besar kepada trading house (BLU/LLP dan atau Induk Koperasi Perdagangan) untuk melakukan penetrasi produk-produk KUKM di berbagai negara ASEAN dan China yang dilaksanakan secara periodik, (misalnya selama satu bulan pada tiap-tiap negara).

g. Perlu dilakukan koordinasi dan sinergitas aparat pusat dan daerah dalam menata produk-produk yang dapat diproduksi KUKM serta menggalakkan pemakaian produksi dalam negeri.

h. Perlu dipertimbangkan keterpaduan para gerakan koperasi yang mempunyai bidang usaha yang sama diantara negara kawasan Asean dan China (Transnational Coperative), sehingga dapat membangun sinergisitas guna menciptakan efisiensi sumberdaya yang dapat memberikan manfaat bagi rakyat banyak sebagaimana koperasi susu dll di benua Eropah.


Peraturan Nasional terkait ACFTA :

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004 tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the Associaton of Southeast Asean Antions and the People’s Republic of China.

2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam rangka EarlyHarvest Package ASEAN-China Free Trade Area.

3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEANChina Free Trade Area.

4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.010/2006 tanggal 15 Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area.

5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/PMK.011/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area.

6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.011/2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.

7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-ChinaFree Trade Area.



*dimuat sebagai tugas pada mata kuliah organisasi perdagangan internasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger