Senin, 19 Desember 2011

Design Penelitian Akhir

A. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi, sehingga ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi kebutuhannya dengan berbagai cara. Dalam perkembangan peradaban masyarakat untuk memenuhi kualitas hidup yang maju, mandiri, dalam suasana tenteram, serta sejahtera lahir dan batin, semakin dituntut penyediaan pangan yang cukup, berkualitas, dan merata. Oleh karena itu, kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis.
Sesuai dengan perkembangan era globalisasi dan liberalisasi perdagangan, beberapa komoditas pangan telah menjadi komoditas yang semakin strategis, karena ketidakpastian dan ketidakstabilan produksi pangan nasional, tidak selalu dapat secara otomatis mengandalkan kepada ketersediaan pangan di pasar dunia. Oleh karena itu, sebagian besar negara-negara menetapkan sistem ketahanan pangan untuk kepentingan dalam negerinya.
Selanjutnya kesepakatan pembentukan WTO merupakan realisasi dari cita-cita lama pada waktu merundingkan GATT pertama kali. Perjanjian perdagangan multilateral pertama yang diakui dunia adalah Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade – GATT) pada tahun 1948. Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB. Latar belakang pembentukan GATT dimulai dari pengalaman pahit depresi ekonomi dunia pada dasawarsa 1930-an, yang diikuti dengan pemberlakuan proteksi perdagangan oleh negara-negara besar. Sejak tahun 1948 - 1994, GATT mengadakan 7 (tujuh) putaran perundingan perdagangan multilateral dengan tujuan memfasilitasi perdagangan internasional. Dari berbagai Putaran Perundingan Perdagangan dalam sejarah GATT, yang terpenting adalah Putaran Tokyo dan Putaran Uruguay. Putaran Tokyo telah gagal untuk menyelesaikan masalah utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai safeguards. Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non-tarif telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
Putaran Uruguay memakan waktu tujuh setengah tahun atau hampir 2 (dua) kali dari rencana jadwal semula, dengan 123 negara yang ikut berpartisipasi. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan. Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata, hanya dalam waktu 2 (dua) tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan.
Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia. World Trade Organization (WTO) merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui persetujuan yang berisikan aturan-aturan dasar perdagangan internasional yang dihasilkan oleh para Negara anggota melalui proses negosiasi. Persetujuan tersebut merupakan perjanjian antar Negara anggota yang mengikat pemerintah negara anggota untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangan mereka.

WTO didirikan negara anggotanya dengan maksud dan tujuan bersama sebagaimana dicantumkan dalam mukadimahnya sebagai berikut:

“Bahwa hubungan-hubungan perdagangan dan kegiatan ekonomi Negara negara anggota harus dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan standar hidup, menjamin lapangan kerja sepenuhnya, peningkatan penghasilan nyata, memperluas produksi dan perdagangan barang dan jasa, dengan penggunaan optimal sumber-sumber daya dunia sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Juga mengusahakan perlindungan lingkungan hidup dan meningkatkan cara-cara pelaksanaannya dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara yang berada pada tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini diakui adanya suatu kebutuhan akan langkah-langkah positif untuk menjamin agar supaya negaraberkembang, teristimewa yang paling terbelakang, mendapat bagian dari pertumbuhan perdagangan internasional sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya.Untuk mencapai tujuan tujuan ini diadakanlah suatu pengaturan yang saling menguntungkan yang diarahkan pada pengurangan tarif secara substansial dan juga hambatan-hambatan non-tarif terhadap perdagangan, dan untuk menghilangkan perlakuan diskriminatif dalam hubungan perdagangan internasional.”

Adapun peraturan-peraturan dalam WTO berlaku di seluruh dunia dan tidak akan ada perubahan kebijakan yang sifatnya mendadak sehingga memungkinkan setiap individu, perusahaan-perusahaan dan pemerintah negaranegara anggota menjalankan perdagangan internasionalnya tanpa hambatan. Dengan kata lain, berbagai aturan atau kebijakan yang dibuat atau akan dibuat bersifat transparan dan dapat diprediksi.
Diantara fungsi WTO yang terpenting adalah melancarkan pelaksanaan, pengadministrasian serta lebih meningkatkan tujuan dari perjanjian pembentukan WTO sendiri serta perjanjian-perjanjian lain yang terkait dengannya. Disamping itu WTO akan merupakan forum negosiasi bagi para anggotanya di bidang-bidang yang menyangkut perdagangan multilateral, forum penyelesaian sengketa, dan melaksanakan peninjauan atas kebijakan perdagangan

Perjanjian-perjanjian WTO sangat luas dan kompleks sebab menyangkut berbagai bidang seperti tekstil dan pakaian, pertanian, perbankan, telekomunikasi, belanja negara (government procurement), standar industri, undang-undang sanitasi dan keamanan makanan, perlindungan hak kekayaan intelektual dan sebagainya. Namun demikian terdapat beberapa prinsip mendasar yang menaungi semua bentuk perjanjian dalam WTO yakni:

1) Trade without discrimination (prinsip non-diskriminasi dalam
perdagangan)

a) Most favoured nation (MFN): treating other people equally
Dalam perjanjian WTO, semua negara diperlakukan sama. Artinya Negara-negara anggota WTO tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap mitradagangnya dan tidak boleh ada perbedaan perlakuan antara produk domestiknya dengan produk impor.Prinsip ini merupakan landasan bagi tiga perjanjian WTO, yaitu GATT (artikel 1), GATS (artikel 2) dan TRIPS (artikel 4). Singkatnya dengan prinsip MFN, setiap negara melakukan penurunan hambatan perdagangan atau membuka pasar terhadap suatu produk atau barang jasa dari negara lain yang menjadi mitra dagangnya dengan tidak memandang apakah negara tersebut negara kaya atau Negara miskin, negara lemah ataupun negara kuat.

b) National treatment
Dalam prinsip ini produk lokal maupun produk impor harus diperlakukan sama. Prinsip perlakuan sama dengan produk nasional ini meliputi bidang jasa, merek, undang-undang hak cipta dan hak paten. Prinsip ini merupakan landasan bagi tiga perjanjian WTO yaitu GATT (artikel 3), GATS (artikel 17) dan TRIPS (artikel 3) walaupn dalam implementasinya prinsip tersebut mengalami perbedaan.Berkaitan dengan hal tersebut national treatment hanya berlaku jika sebuah produk, bidang jasa, bentukbentuk kekayaan intelektual asing telah memasuki pasar. Dengan demikian pengenaan bea masuk pada produk impor bukan merupakan pelanggaran terhadap prinsip national treatment walaupun produk sejenis misalnya dapat diproduksi di dalam negeri oleh negara tersebut. Selain itu produk dalam negeri tersebut juga tidak dikenai biaya tambahan seperti yang diberlakukan terhadap produk impor sejenis.

2) Freer Trade: gradually, through negotiation (mencapai perdagangan
bebas secara bertahap melalui negosiasi)
Dalam prinsip ini mencapai perdagangan bebas dilakukan secara bertahap melalui negosiasi. Menurunkan hambatan perdagangan merupakan langkah nyata dalam mendorong perdagangan. Berbagai masalah hambatan perdagangan seperti bea masuk (tarif) dan larangan impor atau kuota yang membatasi kuantitas suatu produk secara selektif serta isu-isu lain seputar hambatan perdagangan seperti penggunaan label merah dan perubahan kebijakan nilai tukar juga didiskusikan dalam rangkaian negosiasi perdagangan. Upaya untuk membuka pasar memang merupakan strategi yang menguntungkan untuk menciptakan perdagangan bebas namun hal itu juga memerlukan berbagai penyesuaian melalui perubahan. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam kesepakatan WTO negara-negara anggota diperbolehkan melakukan perubahan bertahap dengan melakukan langkah-langkah progresif (progressive liberalization). Berkaitan dengan hal itu, negara berkembang diberikan waktu lebih lama untuk memenuhi kewajibannya untuk membuka pasarnya bagi perdagangan bebas.

3) Predictable (dapat diprediksi)
Dengan adanya stabilitas dan prediktibilitas bagi dunia usaha maka iklim investasi dapat mendorong terciptanya lapangan pekerjaan, peluang-peluang bisnis dan keuntungan yang dapat dinikmati oleh konsumen dari ketersediaan berbagai jenis barang dengan harga murah sebagai akibat dari munculnya persaingan dagang yang sehat. Dengan adanya stabilitas dan prediktibilitas akan menurunkan hambatan perdagangan seperti kuota dan langkah-langkah lainnya yang bertujuan untuk membatasi masuknya produk impor. Selain itu negara didorong untuk membuat peraturan perdagangan menjadi lebih transparan terhadap publik, serta pemerintah diharuskan menotifikasi kebijakan tersebut kepada WTO sesuai dengan perjanjian WTO. Pengawasan terhadap kebijakan nasional dilakukan oleh Trade Policy Review Mechanism sebagai upaya untuk mendorong transparansi kebijakan di tingkat domestik maupun pada tingkat multilateral.

4) Promoting fair competition (mendorong persaingan dagang yang adil)
Dalam prinsip ini, persaiangan dalam perdagangan dapat diterapkan secara
adil. Sistem WTO masih memperkenankan penerapan tarif dan bentuk-bentuk proteksi dalam skala kecil. Melalui berbagai tahapan liberalisasi perdagangan yang progresif, penerapan tarif dan kebijakan proteksi tersebut diharapkan dapat dihilangkan sepenuhnya sehingga kondisi perdagangan yang adil akan tercipta. Mekanisme MFN dan national treatment diharapkan dapat mengurangi praktek dumping, subsidi serta hambatan-hambatang perdagangan lainnya.

5) Encouraging development and economic reform (mendorong
pembangunan dan pembaharuan ekonomi bagi negara miskin dan
berkembang)
Sistem WTO dapat membawa kontribusi bagi pembangunan dan pembaharuan ekonomi bagi negara-negara berkembang. WTO memberikan kesempatan, kelonggaran waktu dan fleksibilitas yang besar serta berbagai perlakuan khusus untuk melakukan berbagai penyesuaian sebagai persiapan menuju pasar bebas. Berbagai kemudahan diberikan karena lebih dari 75 persen anggota WTO adalah negara-negara berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami transisi ke arah ekonomi pasar.
Selain prinsip-prinsip perdagangan dalam WTO yang telah disebutkan di atas, adapun terdapat prinsip-prinsip negosiasi dalam WTO sebagai berikut:

a. prinsip fundamental yang digunakan negara-negara dalam melakukan negosiasi di WTO adalah memperoleh keuntungan bersama;

b. asas resiprositas adalah ketika suatu negara mencari perbaikan akses di pasar negara lain (seperti penurunan tarif), negara tersebut harus siap pula untuk memberikan konsesi (seperti pengurangan tarif) yang dianggap menguntungkan atau memiliki nilai yang sama dengan konsesi yang diminta oleh mitra dagangnya tersebut.

c. prinsip Single Undertaking merupakan prinsip dalam negosiasi di
WTO yang didefinisikan sebagai “seluruh unsur dalam negosiasi merupakan bagian dari satu kesatuan utuh yang tidak bisa dibagi-bagi atau disetujui hanya sebagiannya saja.” Prinsip ini dikenal juga sebagai konsep “nothing is agreed until everything is agreed.”

Dalam pertemuan keempat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) di Doha, Qatar pada bulan November 2001, diadopsi sebuah agenda besar mengenai pembentukan putaran baru negosiasi perdagangan yang dikenal dengan nama Doha Development Round (DDR), atau Putaran Doha. Putaran Doha memiliki visi untuk membentuk konsep baru liberalisasi di bidang pertanian, tarif, jasa, rencana implementasi program, potensi reformasi dalam sistem penyelesaian sengketa, serta empat bidang yang disebut dengan ”Singapore Issues,” yaitu persaingan usaha, investasi, transparansi dalam pengadaan barang pemerintah, dan fasilitas perdagangan. Di antara topik-topik perundingan tersebut, perjanjian pertanian menjadi perhatian negara berkembang karena sektor ini menjadi pilar ekonomi di banyak negara berkembang.
Pertanian dan persetujuan di bidang pertanian menjadi perhatian utama dalam negosiasi perdagangan, karena selama ini disadari sering terjadi distorsi perdagangan atas produk-produk pertanian yang disebabkan oleh pengenaan kuota impor dan pemberian subsidi domestik maupun subsidi ekspor. Ketentuanketentuan dalam GATT untuk bidang pertanian pada awalnya disadari banyak mengandung kekurangan dan kelemahan, sehingga pada putaran Uruguay negosiasi diusahakan untuk menghasilkan ketentuan di bidang pertanian yang adil (fair), dapat menjamin kompetisi yang sehat dan tidak distortif melalui penghapusan sistem kuota impor dan pemberian subsidi. Persetujuan bidang pertanian ini disepakati baik oleh negara maju maupun negara berkembang yang menjadi anggota OPD/WTO.
Tujuan Persetujuan bidang pertanian ini adalah melakukan reformasi perdagangan dalam sektor pertanian dan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pasar. Hal ini dapat memperkuat tingkat prediksi dan keamanan negara-negara pengimpor maupun pengekspor. Negara maju diwajibkan untuk mematuhi ketentuan ini dalam kurun waktu 6 tahun, sedangkan Negara berkembang diberi waktu 10 tahun terhitung sejak 1 January 1995.
Perjanjian mengenai pertanian masuk ke dalam WTO sebenarnya atas perjuangan negara sedang berkembang. Pada masa putaran Uruguay, negara berkembang merasa bahwa peraturan perdagangan internasional hanya menguntungkan negara maju karena aspek yang dicakupnya memberikan keuntungan komparatif kepada produk negara maju.
Seperti diketahui, ekspor negara berkembang lebih banyak berupa bahan mentah produk pertanian. Hanya ada 2 (dua) perjanjian yang menguntungkan negara sedang berkembang yang berhasil masuk ke dalam WTO, yaitu pertanian dan tekstil. Aspek positif dari Agreement on Ariculture (AoA) adalah dengan masuknya pertanian dalam peraturan perdagangan multilateral, maka negara maju yang selama ini mensubsidi produksi dan ekspor pertanian harus tunduk pada peraturan menghapuskan segala distorsi perdagangan, diantaranya adalah dengan mengurangi subsidi tersebut.
Negara maju sebagai penghasil dan eksportir besar hasil pertanian, selama ini memberlakukan proteksi ketat, memberikan subsidi besar kepada para petani mereka, dan menyediakan subsidi ekspor. Hal ini merugikan negara pengekspor hasil pertanian lainnya, terutama negara-negara miskin dan berkembang yang memiliki kemampuan sumber daya terbatas. Kepentingan negara berkembang berbeda dari negara maju. Keunggulan banding Dunia Ketiga umumnya adalah ekspor hasil pertanian dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku untuk diolah lebih lanjut. Ekspor komoditas semacam ini sering menjadi satu-satunya sumber devisa bagi negara tertentu, tetapi harganya di pasar internasional sering berfluktuatif tanpa dapat dikendalikan.
Pada dasarnya, Agreement on Agriculture (AoA) mengandung 3 (tiga) unsur utama, yaitu:
1. Pengurangan subsidi ekspor;
2. Pengurangan dukungan (subsidi) dalam negeri;
3. Akses Pasar.
Perundingan di bidang pertanian mencakup tiga aspek utama/pilar utama, yaitu: (1) bantuan domestic (domestic support), (2) subsidi ekspor (export subsidy), dan (3) akses pasar (market access). Perundingan yang berhubungan dengan akses pasar, antara lain membahas masalah bentuk formula penurunan tariff, penjabaran konsep Special Product (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM) dalam framework, masalah Sensitive Products untuk negara maju, masalah tariff capping, tariff quota, preferences, tropical products, dan newly acceded members. Perundingan yang berhubungan dengan Subsidi Ekspor, antara lain meliputi penentuan kriteria untuk parallelism (penghapusan ekspor subsidi yang dilakukan secara paralel dengan penghapusan komponen subsidi pada kredit ekspor), aspek subsidi dari State Trading Enterprises (STE), food aid dan differential export taxes yang dapat diterima oleh negara-negara Eropa agar mereka bersedia menghapus seluruh subsidi ekspor, menentukan aspek subsidi dari STE, food aid, kredit ekspor dan masalah monitoring. Adapun perundingan mengenai Subsidi Domestik antara lain membahas masalah penentuan formula yang dapat memotong subsidi domestic secara progresif – semakin tinggi tingkat subsidi semakin besar pemotongannya, penerapan konsep product specific untuk subsidi dalam kategori Amber Box dan Blue Box, masalah pemotongan de minimis yang terkait dengan subsidi Blue Box, masalah disiplin, monitoring dan pengetatan aturan Blue Box, serta titik awal pemotongan Blue Box mengingat subsidi dalam kategori ini tidak di-bound.
Sekilas Agreement on Agriculture tampak seperti akan menghapus penyimpangan (distorsi) perdagangan produk pertanian, dan negara-negara berkembang diuntungkan dengan adanya akses pasar. Tetapi ketika perundingan pengurangan subsidi, Amerika Serikat dan Uni Eropa mengadakan perundingan terpisah yang menghasilkan Blue Box yaitu subsidi berupa pembayaran langsung ke petani, tetapi berkaitan dengan rencana membatasi produksi. Inilah salah satu ketimpangan yang terjadi dalam Agreement on Agriculture. Secara keseluruhan, Agreement on Agriculture menyajikan peraturan yang timpang dan juga tidak dipatuhi oleh negara-negara maju. Beberapa unsur ketimpangan dan ketidakpatuhan tersebut adalah:

1. Kewajiban tidak adil
Agreement on Agriculture mensyaratkan bahwa subsidi dan pembatasan impor harus dikurangi, sebanyak 36% dari nilai subsidi per produk para petani dan 21% dari volume pasar untuk negara maju. Padahal, tingkat subsidi dan tarif impor negara berkembang adalah sepertiga dari ketentuan tersebut. Artinya negara berkembang tidak dapat menggunakan tarif tinggi dan subsidi lebih besar di masa mendatang, bahkan harus menurunkan. Sebaliknya negara maju memberlakukan subsidi dan tarif tinggi dan kalaupun harus menurunkan, tidak terlalu berarti. Negara maju selama ini memberlakukan tarif ekspor hingga 300-400% atas produk pertanian. Selain itu mereka bahkan melanggar tarif impor, dimana Amerika Serikat misalnya meningkatkan pajak hingga 350% untuk impor tembakau. Padahal petani di negara maju sudah terlalu lama dilindungi, pertama dengan subsidi, kedua dengan kontrol atas impor, lalu dengan tarif impor yang tinggi.

2. Subsidi yang timpang
Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa mencakup 90% dari semua subsidi domestik di bidang pertanian di dunia. Kalaupun mereka menurunkan atau menghapus subsidi dalam amber box yaitu subsidi yang secara langsung dianggap mengacaukan perdagangan, tetapi boleh diberikan untuk sementara dengan syarat akan dihapuskan secara bertahap; subsidi dalam green box yaitu subsidi yang tidak secara langsung mendukung produksi pertanian, yaitu dana untuk penelitian, penanganan penyakit tanaman, program lingkungan, dan penyimpanan pasokan pangan untuk menjamin ketahanan pangan dalam negeri; dengan ketentuan subsidi blue box meningkat yaitu subsidi berupa pembayaran langsung ke petani, tetapi berkaitan dengan rencana membatasi produksi. Pembayaran langsung, misalnya mencakup 23% dari subsidi di Amerika Serikat dan Uni Eropa, yaitu bahkan lebih tinggi dari pada tingkat subsidi di 1986 sebelum Agreement on Agriculure ditetapkan. Amerika Serikat dan Uni Eropa memberikan subsidi 15,7 milyar dolar Amerika Serikat pada 1995 hanya untuk gandum dan jagung. Sementara setengah juta petani jagung di Mindanao, Filipina yang pendapatannya kurang dari US$100 harus bersaing dengan jagung yang diimpor dari Amerika Serikat, dan ditanam oleh petani yang disubsidi. Pada tahun 2000, subsidi yang diperbolehkan mencapai 16 juta dolar, dua kali lipat dari tingkat 1995.

3. Produksi pangan domestik dan pertanian non-komersial
Agreement on Agriculture didasarkan pada pemikiran tentang perdagangan internasional yang terbuka dibidang pertanian, dimana supremasi harga merupakan keuntungan komparatif. Artinya, suatu negara harus mengimpor produk pertanian dari negara yang dapat memproduksinya dengan harga lebih murah. Secara teori perdagangan hal ini memang benar, tetapi bagaimana dengan ketahanan pangan di negara sedang berkembang? Negara kaya yang mempunyai cadangan devisa cukup memang bisa menggantungkan pangan pada impor, tetapi negara berkembang hampir selalu kekurangan devisa. Bagaimanapun juga, produksi pangan domestik tetap harus diadakan.

4. Pemaksaan lewat persyaratan IMF/Bank Dunia
Program penyesuaian struktural dari Bank Dunia dan IMF biasanya memberlakukan persyaratan liberalisasi di bidang pertanian yang sama dengan persyaratan WTO di atas. Apabila di WTO, pemenuhan syarat di atas bisa dirundingkan dengan mengajukan alasan ketahanan pangan, atau kepentingan nasional dan rakyat. Tetapi persyaratan pinjaman dari Bank Dunia dan IMF tidak dapat ditawar, walaupun bisa dihilangkan begitu sebuah negara tidak lagi berhutang. Perjanjian hutang pertama antara Indonesia dengan IMF (pada Januari 1998) adalah awal dari penurunan tarif impor untuk gandum, beras, gula, bawang putih.
Pertanian telah diatur oleh WTO sejak tahun 1995, dan dinamai sebagai Perjanjian Pertanian (Agreement on Agruculture / AoA) tahap I. Tujuannya, agar setiap negara mau menghapus tarif pertaniannya dan mau menghapus subsidi pertaniannya. Intinya, meminta diterapkannya perdagangan bebas produk-produk pertanian dan sistem pertanian yang liberalistik. Perundingan Agreement on Agriculture tahap II dimulai kembali sejak Januari 2000 sampai sekarang, seiring dengan diadakannya Putaran Doha sejak tahun 2003. Saat ini tujuannya adalah pengurangan tarif dan pemotongan subsidi lebih lanjut. Akan tetapi negara maju tetap tidak mau memotong subsidinya. Padahal subsidi tersebut faktanya menjadi dumping ke negara berkembang. Sebaliknya negara berkembang seperti Indonesia diminta untuk memotong lagi tarifnya lebih besar, sebagaimana usulan penggunaan formula Swiss, dan subsidi yang terbatas. Ini berarti Indonesia akan kebanjiran produk-produk pertanian dari luar lebih banyak lagi, yang akan mematikan produk-produk pertanian petani.
Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi dan telah menjadi anggota WTO. Aturan-aturan hukum perdagangan internasional dalam kerangka WTO diterapkan terhadap anggota-anggotannya. Pasal XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan bahwa: each member shall casure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its obligations as provieded in the annexed agreement. Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan aturan-aturan atau hukum perdagangannya dengan aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Ketentuan tersebut diatas membahas mengenai keterikatan Indonesia dan berdampak pada aturan-aturan kebijakan pangan Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan pangan mengamanatkan, bahwa Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan. Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, bergizi, beragam, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selanjutnya, masyarakat berperan dalam menyelenggarakan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang aman dan bergizi.
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti dan menulis permasalahan tersebut menjadi sebuah desain penelitian akhir dengan judul Tinjauan Yuridis Agreement on Agriculture Dalam World Trade Organization terhadap Kebijakan Ketahanan Pangan Indonesia.


B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan masalahnya, yaitu:

1) Apakah Agreement on Agriculture (AoA) dalam World Trade Organization berpengaruh terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia?

2) Bagaimanakah Indonesia merealisasikan kebijakan ketahan pangannya berdasarkan ketentuan Agreement on Agriculture (AoA) dalam World Trade Organization?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam desain penelitian akhir ini adalah:

a. untuk mengetahui dan menelaah tentang pengaruh Agreement on Agriculture (AoA) dalam World Trade Organization terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia serta;

b. Bagaimanakah Indonesia merealisasikan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam Agreement on Agriculture tersebut dalam menerapkan kebijakan ketahan pangannya.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara Akademis yaitu untuk menambah wawasan peneliti mengenai pengaruh Agreement on Agriculture (AoA) dalam World Trade Organization terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia disertai realisasi ketentuan yang diatur di dalam Agreement on Agriculture terhadap kebijakan ketahan pangan Indonesia ;

b. Secara Praktis memberikan input atau masukan bagi instansi atau lembaga terkait sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan didalam membuat kebijakan sehubungan dengan Agreement on Agriculture dalam World Trade Organization khususnya pengaruh Agreement on Agriculture tersebut terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia beserta realisasinya.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoretis
Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar negara sudah ada sejak lama. Hubungan ini sudah ada sejak adanya negara-negara dalam arti kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian dan pengawasan terhadap ekonomi internasional telah memaksa negara-negara ini mengadakan hubungan-hubungan perdagangan dengan negara lain. Mereka menyadari bahwa perdagangan adalah satu-satunya cara untuk pembangunan ekonomi mereka. Dewasa ini semakin banyak negara sadar bahwa kebijakan menutup diri sudah jauh-jauh ditinggalkan. Pendirian ini semakin mendorong negara untuk memperluas aktifitas perdagangannya.
Teori-teori tentang perdagangan internasional didominasi oleh teori ortodoks atau klasik dan neo-klasik. Ricardo berpendapat bahwa dua negara dapat menarik keuntungan dari perdagangan timbal balik bahkan jika salah satu diantaranya lebih efisien dari yang lain dalam memproduksi barang. Ricardo menyatakan sebagai berikut:
“Dalam suatu sistem perdagangan bebas, setiap negara secara alamiah mengkhususkan modal dan tenaga kerjanya pada pekerjaan-pekerjaan yang paling menguntungkan baginya. Usaha mengejar keuntungan individual ini sangat terkait dengan kebaikan bagi semua secara universal. Dengan mendorong industri, dengan memberikan imbalan pada kecerdikan, dan dengan memanfaatkan kekuatan khusus yang paling efisien yang diberikan alam, dia mendistribusikan kerja secara paling efektif dan paling ekonomis; sementara itu, dengan meningkatkan produksi massal secara umum, ia menyebarkan keuntungan secara umum, dan mengikat dengan satu kepentingan bersama dan hubungan bersama, masyarakat bangsa-bangsa di seluruh dunia beradab.”

Pandangan Ricardo pada dasarnya bermaksud menyampaikan bahwa dalam suatu perdagangan bebas, sumber-sumber produktifitas negara pesertanya harus dimanfaatkan se-efisien mungkin dan dengan demikian seluruh negara peserta akan meraih keuntungan.
Adam Smith menunjukkan bahwa perdagangan internasional merupakan stimulus bagi pertumbuhan melalui perluasan pasar bagi produsen domestik serta melalui bertambahnya pembagian kerja serta diperkenalkannya teknologi baru.
Kesimpulan-kesimpulan teori klasik dan neo-klasik bahwa perdagangan bebas merangsang pertumbuhan dan meningkatkan pembangunan telah ditentang oleh banyak sarjana. Mereka menunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan di negara-negara berkembang kendati negara-negara ini telah cukup lama berpartisipasi dalam perdagangan internasional.
Para sarjana yang termasuk ke dalam kelompok export pessimist seperti Myrdal dan Prebisch, menekankan kegagalan pasar untuk menciptakan pertumbuhan dan perbaikan struktural di negara-negara berkembang lewat perdagangan internasional. Stagnasi di negara-negara miskin, distribusi perolehan dari perdagangan yang tidak seimbang serta jurang pemisah yang semakin lebar antara negara-negara kaya dan miskin akan muncul dari perdagangan bebas. Kritik Prebisch terhadap gagasan bahwa perdagangan akan mendorong pertumbuhan industrial antara lain didasari oleh penelitian seorang ekonom, Eugene Stanley, pada awal tahun 1960-an, telah meneliti statistik yang dikumpulkan GATT dan menemukan bahwa nilai tukar barang yang diekspor negara-negara kurang berkembang semakin lama semakin merosot dibandingkan dengan barang industrial yang mereka impor dari negara industri maju.
Selama berpuluh-puluh tahun mereka harus mengekspor barang yang jumlahnya semakin lama semakin besar hanya untuk membayar impor dalam volume yang sama. Diperkuat oleh statistik dari British Board of Trade, ilmuwan tersebut di atas menunjukkan bahwa sejak 75 tahun sebelumnya nilai tukar komoditi primer terus merosot dibandingkan dengan barang manufaktur.
Selain itu, dasar hukum mengikatnya suatu hukum internasional kepada suatu Negara menurut Triepel yaitu karena adanya kehendak bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing Negara untuk tunduk pada hukum internasional. Dalam hal ini terdapat keinginan bersama antara sesama anggota WTO untuk tunduk dan melaksanakan persetujuan-persetujuan yang secara bersama-sama telah dibuat oleh anggota WTO khusus pada desain penelitian akhir ini mengenai perjanjian Agreement on Agriculture.
Dalam desain penelitian akhir ini juga akan menggunakan teori keadilan yang dikemukakan oleh Frank J. Garcia. Menurut Frank J. Garcia, ketidaksetaraan dilingkungan internasional dalam bidang sosial dan ekonomi dianggap adil hanya jika dapat menghasilkan keuntungan untuk semua negara khususnya negara yang kurang beruntung, dalam hal ini negara berkembang. Selanjutnya, dia menambahkan bahwa perlu adanya suatu kerangka normatif yang didasari atas kewajiban moral yang mendasari hubungan antara negara maju dan negara berkembang yang tidak setara. Untuk hal ini, dia menyatakan:

a key element of the developing world's trade agenda, plays a central role in satisfying the moral obligations that wealthier states owe poorer states as a matter of distributive justice. Seen in this light, the principle of special and differential treatment is more than just a political accommodation: it reflects a moral obligation stemming from the economic inequality among states.

Adapun keterikatan Indonesia pada Agreement on Agriculture WTO yaitu melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang ratifikasi pembentukan WTO. Suatu perjanjian perdagangan internasional mengikat berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu, sebagaimana halnya perjanjian pada umumnya, perjanjian perdagangan internasional hanya mengikat suatu negara apabila negara tersebut sepakat untuk menandatangani atau meratifikasinya.
Bagi Indonesia, Undang-Undang yang secara eksplisit menyatakan kewajiban mewujudkan ketahanan pangan adalah Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-Undang tersebut menjelaskan konsep ketahanan pangan, komponen, serta para pihak yang harus berperan dalam mewujudkan ketahanan pangan. Secara umum Undang-Undang tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat wajib mewujudkan ketahanan pangan. Undang-Undang tersebut telah dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang antara lain membahas tentang ketersedian pangan, distribusi dan konsumsi pangan Indonesia.

2. Kerangka Konseptual
Guna mengetahui dan memahami maksud dari judul desain penelitian akhir ini dan untuk mempermudah dalam membahas permasalahan serta untuk menghindari penafsiran yang berbeda, maka peneliti perlu menjelaskan beberapa konsep yang berkaitan dengan judul desain penelitian ini, batasan pengertiannya adalah:

a. Tinjauan Yuridis yaitu kajian yang di dasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal ini penelitian didasarkan pada ketentuan-ketentuan WTO khususnya Agreement on Agriculture dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan serta Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

b. Agreement on Agriculture (AoA) merupakan perjanjian pertanian yang tak terpisahkan dari dokumen WTO. Persetujuan Bidang Pertanian bertujuan untuk melakukan reformasi perdagangan dalam sektor pertanian dan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih berorientasi pasar, adil dan lebih dapat diprediksi

c. World Trade Organization (WTO) adalah adalah organisasi multilateral negara-negara yang mengatur jalannya perdagangan dunia yang secara resmi mulai beroperasi pada 1 Januari 1995. Secara institusional WTO sebagai kelanjutan dari GATT (General
Agreement on Tariffs and Trade) yang telah dibentuk sejak tahun 1947. Perlu diketahui bahwa lahirnya WTO dari GATT merujuk pada putaran perundingan ke-8 disebut dengan Putaran Uruguay. Putaran yang dimulai pada tahun 1986 merujuk pada kesepakatan yang diambil di Uruguay, dan berakhir pada Maret 1994 di Marrakesh, Maroko. Pada saat itulah organisasi GATT diubah namanya menjadi WTO.

d. Ketahanan Pangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 Pasal (1) butir 17 adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.


E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam desain penelitian ini adalah normatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan menelaah prinsip-prinsip hukum, isi kaedah hukum yang dalam hal ini adalah mengenai Agreement on Agriculture. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan cara menginventarisasi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam prinsip-prinsip General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO), serta pengaturan mengenai Agreement on Agriculture (AoA) untuk melihat pengaruhnya terhadap ketentuan kebijakan ketahanan pangan Indonesia dengan membandingkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

2. Pendekatan yang Digunakan
Penelitian ini menggunakan pendekatan historis (historical approach) dan juga pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan historis dilakukan dalam kerangka pembahasan sejarah mengenai awal mula perjanjian perdagangan internasional berupa GATT dan WTO yang kemudian melahirkan Agreement on Agriculture. Pendekatan perundang-undangan dengan mengkaji tinjauan yuridis Agreement on Agriculture dalam WTO terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.


3. Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum yaitu dengan:

a. Studi Kepustakaan, penelitian kepustakaan ini bertujuan untuk memperoleh data sekunder yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder:

(1) Bahan Hukum Primer, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), World Trade Organization (WTO), dan Agreement on Agriculture (AoA), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

(2) Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum yang menjelaskan atau menjabarkan bahan hukum primer yaitu kebijakan ketentuan pangan nasional sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan antara lain lebih berupa textbook, buku-buku, jurnal-jurnal, surat kabar, tulisan ilmiah, dan bahan-bahan lainnya yang ada relevansinya dengan masalah yang akan diteliti.


4. Analisis Bahan Hukum
Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif analisis, yaitu dengan cara memaparkan ketentuan Agreement on Agriculture dalam WTO serta pengaruhnya untuk dicapai suatu kesimpulan.



F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam desain penelitian akhir ini peneliti bagi dalam 5 bab, yaitu:

BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Sistematika Penulisan.

BAB II : SUMBER HUKUM PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai perdagangan internasional dan sumber hukum perjanjian perdagangan internasional.

BAB III : PENGATURAN GATT DAN WTO DALAM SISTEM PERDAGANGAN MULTILATERAL
Dalam bab ini akan diuraikan tentang General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO)

BAB IV: TINJAUAN YURIDIS AGREEMENT ON AGRICULTURE TERHADAP KEBIJAKAN KETAHAN PANGAN INDONESIA
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai tinjauan yuridis Agreement on Agriculture (AoA) dalam WTO terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia.

BAB V : PENUTUP
Pada bab ini akan diambil kesimpulan dari uraian-uraian sebelumnya, sehingga dari kesimpulan tersebut diberikan saran-saran yang berguna untuk menambah wawasan/pemahaman mengenai tinjauan yuridis Agreement on Agriculture (AoA) dalam WTO terhadap kebijakan ketahanan pangan Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Teks / Makalah
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Internasional. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005.
____________ . Penyelesaian Sengketa Dagang Dalam World Trade Organization (WTO). Mandar Maju. Bandung. 2005.
A.K. Syahmin. Hukum Perjanjian Internasional (Menurut Konvensi Wina 1969). C.V. Armico. Bandung, 1985.
Anonim, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 2005.
Anwar, Chairul. Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa. Djambatan. Jakarta. 1989.
Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik; Edisi Revisi.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.2008.
Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Hukum Dagang Internasional. Refika Aditama. Bandung. 2006.
Fakih, Mansour. Dusta Industri Pangan (Penelusuran Jejak Monsato). Read book. Yogyakarta 2003.
Hartono, Darianto. et.al., Seri Terjemahan Persetujuan-Persetujuan WTO: Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA). Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral; DIrektorat Jenderal Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan; Departemen Luar Negeri RI. Jakarta. tanpa tahun.
Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO (Aspek-aspek Hukum dan Non Hukum). Refika Aditama. Bandung. 2006.

Hidayat, Mochamad Slamet. et.al. Sekilas WTO (World Trade Organization) Edisi Keempat. Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri. Jakarta. tanpa tahun.
Jhamtani, Hira. WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga. InsistPress. Yogyakarta. 2005.
Kartadjoemena, H.S. GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round. Universitas Indonesia-Press. Jakarta. 1997
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kedua. P.T.Alumni. Bandung. 2003.
Mahmud, Peter Marzuki. Penelitian Hukum. Cetakan 3. Prenada Media Group. Jakarta. 2007.
Mulyana, Dedy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan 5. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2006.
Rudy, T. May. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-Masalah Global. Refika Aditama. Bandung. 2003.
__________ . Hukum Internasional 1. Refika Aditama. Bandung. 2006.
__________ . Hukum Internasional 2. Refika Aditama. Bandung. 2006.
Setiawan, Bonnie. et. al. WTO, Kapitalisme, dan Pembangunan Gerakan. The Institute for Global Justice. Media Pembebasan. Jakarta. 2006.
Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kesepuluh. Sinar Grafika. Jakarta. 2000.
Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer. Refika Aditama. Bandung. 2006.
Wiyono, Eko Hadi. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Palanta. tanpa tahun



2. Undang-Undang
Republik Indonesia. Undang-Undang Tentang Hubungan Luar Negeri. UU Nomor 37 Tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882.
________________.Undang-Undang Tentang Perjanjian Internasional. UU Nomor 24 Tahun 2000. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012.
________________.Undang-Undang Tentang Pangan. UU Nomor 7 Tahun 1996. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99.
________________.Undang-Undang Tentang Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Oorganisasi Perdagangan Dunia). UU Nomor 7 Tahun 1994. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57.
________________.Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU Nomor 10 Tahun 2004. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548.
________________.Peraturan Pemerintah Tentang Ketahanan Pangan. PP Nomor 68 Tahun 2002. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 142. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4254.



3. Artikel/Jurnal
Amang, Beddu. Harga Pangan Merosot Tajam Dalam Era WTO, Warta intra Bulog No.07/XXV/Pebruari/2000, hal. 5

_____________.Perdagangan Global: Implikasinya Pada Sektor Pertanian, Warta Intra Bulog No.10/Tahun XXI/Mei/1996, hal. 11

Garcia. J Frank, “Trade And Inequality: Economic Justice And The Developing World”, Michigan Journal of International Law, (2000). Hal.20

Lindan, K.David. “Multilateral Trade, Free Trade Area Di Tingkat Regional, Atau Free Trade Agreement Bilateral”. Makalah, University of South Carolina, USA

Sawit, M.Husein. Mengapa “Petani Korea Marah Terhadap WTO”, Warta Intra Bulog Nomor 02/tahunXXXII/Pebruari/2006, hal.48

Sidik, Mulyono. Haruskah Petani Tergantung Kepada Perusahaan Multi-Nasional. Warta Intra Bulog No.9/Tahun XXIV/April/1999 hal. 16

4. Internet
http://www.deplu.go.id
http://www.globaljust.org
http://www.wikipedia.com/wiki
http://www.wto.org/aoa/legaltext.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger