Minggu, 18 Desember 2011

HAKIKAT KEILMUAN ILMU HUKUM (Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Filsafat Hukum)

A. Pendahuluan

Ilmu Hukum dalam perkembangannya, selalu diperdeatkan keabsahannya sebagai ilmu, baik oleh ilmuwan sosial maupun ilmu hukum sendiri. Sudah sejak lama sebuah pertanyaan timbul dan harus dijawab secara akademis, apakah ilmu hukum itu ilmu?

Dari segi kajian, penelitian hukum pada dasarnya bukanlah untuk melakukan verifikasi atau pengujian hipotesis sebagaimana penelitian ilmu sosial maupun penelitian ilmu alamiah. Didalam penelitian hukum tidak dikenal istilah data.

Perbedaan metode kajian terhadap ilmu hukum pada dasarnya, beranjak dari sifat dan karakter ilmu hukum itu sendiri. Menurut Philipus M. Hadjon, ilmu hukum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis dan preskriptif. Karakter yang demikian menyebabkan sementara kalangan yang tidak memahami kepribadian ilmu hukum itu mulai meragukan hakikat keilmuan hukum.

Berdasarkan paparan diatas, dapat ditarik dua isu hukum yaitu: pertama, apakah ilmu hukum merupakan ilmu? Jika ilmu hukum adalah ilmu, termasuk dalam cabang ilmu manakah ilmu hukum? Kedua, apakah sama karakter ilmu hukum dan metode kajian ilmu hukum dengan ilmu lain, misalnya ilmu alam atau ilmu social?

Maka ulasan singkat dalam makalah ini adalah: (1) Pendahuluan; (2) Konstruksi Ilmu; (3) karakter Normatif ilmu Hukum; (4) Jenis dan lapisan lmu Hukum; (5) Penerapan dan Pembentukan Hukum; (6) Penutup.



B. Konstruksi ilmu

Istilah Ilmu (Science) menyandang dua makna, yaitu sebagai produk dan sebagai proses. Sebagai produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang tertentu dan tersusun dalam suatu sistem. Win van Dooren, mengemukakan bahwa ilmu dapat didefiniskan sebagai pengetahuan yang sah secara intersubjektif dalam bidang kenyataan tertentu yang bertumpu pada satu atau lebih titik tolak dan ditata secara sistematis.

Sebagai proses, istilah ilmu menunjuk pada kegiatan akal budi manusia untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara bertatanan (Stelselmatig) atau sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara khusus diciptakan untuk itu, untuk mengamati dan mengamati gejala-gejala (Gegevens) yang relevan pada bidang tersebut, yang hasilnya berupa putusan-putusan yang keberlakuannya terbuka untuk dikaji oleh orang lain berdasarkan kriteria yang sama dan sudah disepakati dan atau yang dilazimkan dalam lingkungan komunitas keahlian dalam bidang yang bersangkutan.

Berangkat dalam dua makna tersebut, C.A. van Peursen mendefinisikan bahwa ilmu adalah sebuah kebijakan, sebuah strategi untuk memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya tentang kenyataan, yang dijalankan orang terhadap (yang berkenaan) kenyataan.

Sementara itu, keberadaan ilmu dalam pandangan Harol Berman, harus memenuhi tiga perangkat kriteria yaitu: (1) kriteria methodological, dalam peristilahan metodologi, ilmu dalam arti modern, merupakan seperangkan pengetahuan yang terintegrasi yang lahir dalam konteksitas dedukto-hipotetiko-verifikatif; (2) kriteria nilai, yaitu substansi yang mengacu pada premis-premis nilai objektifitas, bebas pamrih (disinterestedness), skeptik, toleransi, dan keterbukaan; (3) kriteria sosiologikal, yang meliputi pembentukan komunitas ilmuwan, penautan berbagai disiplin ilmiah, dan status social.


Dengan demikian keberadaan ilmu merujuk pada intelektual yang memiliki struktur yang unsur-unsur nya meliputi: (1) pra-anggapan sebagai guiding principle; (2) bangunan sitematasi yakni: metode dan substansi (konsep dan teori); (3) keberlakuan intersubyektif; dan (4) tanggung jawab etis.

Berdasarkan cirri-ciri ilmu diatas, maka terdapat berbagai cara untuk mengklasifikasi ilmu-ilmu kedalam beberapa kelompok dan sub-kelompok, tergantung pada aspek (patokan/kriteria) yang digunakan.

Dari sudut substansi, dikenal ilmu formal dan ilmu empiris. Ilmu formal merajuk pada ilmu yang tidak bertumpu pada pengalaman atau empiris, objek kajiannya bertumpu pada struktur murni yaitu analisis aturan operasional dan struktur logika; misalnya, logika dan matematika secara teori sistem. Ilmu empiris merujuk bahwa untuk memperoleh pengetahuan faktual tentang kenyataan aktual, dan arena itu bersumber pada empiri (pengalaman) dan eksperimental. Ilmu empiris disebut juga dengan ilmu positif, yang terdiri dari ilmu-ilmu alam (naturwissen-schaften) dan ilmu-ilmu manusia (geisteswissenscaften).

Ilmu formal dan ilmu empiris merupakan genus dari kelompok ilmu teoritis, yaitu ilmu yang ditunjukkan untuk memperoleh pengetahuan saja dengan mengubah dan atau menambah pengetahuan. Adapun vis a vis ilmu teoritis adalah ilmu praktis, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas-aktivitas penerapan itu sendiri sebagai objeknya, selain itu juga bertujuan untuk mengubah keadaan, atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkret.

Ilmu praktis dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu ilmu praktis nomologis dan ilmu praktis normologis. Ilmu praktis normologis berusaha untuk memperoleh pengetahuan faktual-empiris, yaitu pengetahuan tentang hubungan ajeg yang ceteris paribus berdasarkan asa kausalitas-deterministik.

Sedangkan ilmu praktis nomologis berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi (menautkan tanggung jawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subjek tertentu dalam situasi konkret, namun dalam kenyataannya apa yang seharusnya terjadi itu niscaya dengan sendirinya terjadi. Ilmu praktis normologis disebut juga dengan ilmu normatif atau ilmu dogmatik.


C. Karakter Normatif Ilmu Hukum

Sebagaimana telah dibahas diatas, bahwa ilmu hokum memiliki karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif. Selain itu juga objek telaahnya berkenaan dengan tuntunan perilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik.

Usaha ke empirisasi ilmu hukum diantaranya dilakukan dengan menerapkan metode-metode penelitian sosial dalam kajian hukum normatif. Langkah ini dilakukan dengna format-format penelitian hukum yang dilatarbelakangi oleh metode penelitian sosial (penelitian empirik), sehingga timbul kejanggalan-kejanggalan dengan pemaksaan format penelitian ilmu sosial dalam penelitian hukum normatif seperti: (1) perumusan masalah dengan kata bagaimana-seberapa jauh, dan lain-lain; (2) sumber data, teknik pengumplan data, dan analisis data; (3) populasi dan sampling.

Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dengan menjelaskan keilmuan hukum dan dengan sendirinya membawa konsekuensi pada metode kajiannya yaitu: pendekatan dari sudut falsafah ilmu, dan pendekatan dari sudut pandang teori hukum.


1. Pendekatan dari Sudut Falsafat Ilmu

Falsafah ilmu membedakan ilmu dari dua sudut pandangan, yaitu pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris dan pandangan normatif yang melahirkan ilmu normatif.

Sisi empiris tersebut yang menjadi kajian ilmu hukum empiris seperti sociological jurisprudence, dan socio legal jurisprudence. Dengan demikian dari sudut pandang ini, ilmu hukum normative metode kajiannya khas, sedangkan ilmu hukum empiris dapat dikaji melalui penelitian kuantitatif atau kualitatif, tergantung sifat datanya.


2. Pendekan dari Sudut Pandang Teori Hukum

Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibagi atas tiga lapisan utama yaitu dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit), dan falsafah hukum. Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan pada praktek hukum, yang masing-masing mempunyai karakter yang khas dan dengan sendirinya juga memiliki metode yang khas.



D. Terminologi ilmu Hukum

Ilmu hukum memiliki berbagai istilah, Rechtswetenschap atau Rechttheorie dalam bahasa Belanda, Jurisprudence atau Legal Science dalam bahasa Inggris dan Jurisprudence dalam bahasa Jerman. Dalam kepustakaan bahasa Indonesia tidak tajam dalam penggunaan istilah.

Istilah Rechtswetenschaf (Belanda) dalam arti sempit adalah dogmatik hukum atau ajaran hukum (Derechtsleer) yang tugasnya adalah deskripsi hukum positif, sistemasi hukum positif dan dalam hal tertentu juga eksplanasi. Dengan demikian dogmatik hukum tidak bebas nilai tetapi syarat nilai. Rechtswetenschaf dalam arti luas meliputi dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum.

Rechtstheorie juga mengandumg makna sempit dan luas. Dalam arti sempit yaitu lapisan ilmu hukum yang berada diantara dogmatik hukum dan filsafat hukum. Teori hukum dalam arti ini merupakan ilmu eksplanasi hukum (Een Verklarende wetenschaf van Het Recht).

Istilah Jurisprudence, legal Science, dan Legal Philosopy dalam bahasa Inggris mempunyai makna yang berbeda dengan istilah-istilah Belanda diatas. M.D.A. Feeman memberikan gambaran sebagai berikut:

Jurisprudence involves the study of general theoretical questions about the nature of law and legal system, abaout the relationship of law to justice and morality and about the social nature of law….. and science, however, is concerned with empirically observable fact and events.

H.P.H. Visser Thooft dari sudut pandang filsafat ilmu menggunakan istilah Rechtswetenscappen (ilmu-ilmu hukum) dan dirumuskan sebagai disiplin yang objeknya hukum. Atas dasar itu dikatakan: recht is mede wetwnschap.

Sementara Meuwissen menggunakan istilah Rechtsbeoefening (pengembanan hokum) untuk menunjuk pada semua kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam masyarakat.

E. Jenis dan Lapisan Ilmu Hukum
Ilmu hukum dari segi objek dapat dibedakan atas ilmu hukum dalam arti sempit yang dikenal dengan ilmu hukum dogmatik (ilmu hukum normatif) dan ilmu hukum dalam arti luas.

Dari sudut pandang ilmu, dibedakan pandangan positivisme dan pandangan normatif. Dari sudut pandang ini dibedakan ilmu hukum normatif (dogamatik) dan ilmu hukum empiris. Sifat keilmuan dapat dilihat dari tiga aspek yaitu proses, produk dan produsen (ilmuwan).

Perbedaan antara ilmu hukum empris dan ilmu hukum normatif menurut D.H.M. Meuwissen digambarkan dalam sifat hokum empiris antara lain:

1. Secara tegas membedakan fakta dan norma;
2. Gejala hukum harus murni empiris, yaitu fakta sosial;
3. Metode yang digunakan adalah metode ilmu empiris dan;
4. Bebas nilai.

Implikasi dari perbedaan mendasar antara hukum normatif dan ilmu hukum empirik adalah: pertama, dari hubungan dasar sikap ilmuwan. Dalam ilmu hukum, empirik ilmuwan adalah sebagai penonton yang mengamati gejala-gejala objeknya yang dapat ditangkap oleh pancaindera, sedangkan ilmu hukum normatif, juris secara aktif menganalisasi norma sehingga peranan subjek sangat menonjol.

Kedua, dari segi kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmu hukum empirik adalah kebenaran korespondensi, yaitu bahwa sesuatu itu benar karena didukung fakta dengan dasar kebenaran pragmatik yang pada dasarnya adalah konsensus sejawat sekeahlian.


1. Filsafat Hukum

Berkaitan denga ajaran filsafati dalam hukum, maka ruang lingkup filsafat hukum tidak lepas dari ajaran filsafat itu sendiri, yang meliputi:

1) Ontology Hukum, yakni mempelajari hakikat hukum, misalnya hakikat demokrasi, hubungan hukum dan moral dan lainnya;

2) Axiology Hukum, yakni mempelajari isi dari nilai seperti kebenaran, keadilan, kebebasan, kewajaran, penyalahgunaan wewenang dan lainnya;

3) Ideologi Hukum, yakni mempelajari rincian dari keseluruhan orang dan masyarakat yang dapat memberikan dasar atau legitimasi bagi keberadaan lembaga-lembaga hukum yang akan datang, sistem hukum atau bagian dari sistem hukum;

4) Epistemologi Hukum, yakni merupakan suatu studi meta filsafat. Mempelajari apa yang berhubungan dengan pertanyaan sejauh mana pengetahuan mengenai hakikat hukum atau masalah filsafat hukum yang fundamental lainnya yang umumnya memungkinkan;

5) Teleology Hukum, yakni menentukan isi dan tujuan hukum;

6) Keilmuan Hukum, yakni merupakan meta teori bagi hukum dan;

7) Logika Hukum, yakni mengarah kepada argumentasi hukum, bangunan logis dari sistem hukum dan struktur sistem hukum.



2. Teori Hukum

Sehungungan dengan ruang lingkup dan fungsinya, teori hukum diartikan sebagai ilmu yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritis maupun manifestasi praktis, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat.

Teori hukum merupakan ilmu eksplanasi hukum yang sifatnya inter-disipliner. Eksplanasi dalam teori hukum sifatnya eksplanasi analisis sedangkan dalam dogmatik hukum merupakan eksplanasi teknik yuridis dan dalam bidang filsafat sebagai eksplanasi reflektif.

Berdasarkan sifat inter-disipliner, maka bidang kajian teori hukum meliputi:

1) Analisis badan Hukum, meliputi konsep hukum, norma hukum, sistem hukum, konsep hukum teknis, lembaga hukum, figur hukum, fungsi dan sumber hukum;

2) Ajaran Metode Hukum, meliputi metode dogmatik hukum, metode pembentukan hukum dan metode penerapan hukum;

3) Metode keilmuan dogmatik hukum, yaitu apakah ilmu hukum sebagai disiplin logika, disiplin eksperimental atau displin hermeneutic;

4) Kritik Ideologi Hukum, berbeda dengan ketiga bidang kajian diatas, kritik ideology merupakan hal baru dalam bidang kajian teori hukum. Ideologi adalah keseluruhan nilai atau norma yang membangun visi orang terhadap manusia dan masyarakat.



3. Dogmatik Hukum

Dogmatik hukum merupakan ilmu hukum dalam arti sempit. Titik fokusnya adalah hukum positif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teori kebenaran yang paling sesuai bagi dogmatikus hukum adalah teori pragmatis, dimana proporsi yang ditemukan dalam dogmatik hukum bukan hanya informatif atau empirik, tetapi terutama yang normatif dan evaluatif. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa teori hukum merupakan meta teori bagi dogmatik hukum.



F. Penerapan Hukum dan Pembentukan Hukum

1. Penerapan Hukum

Menerapkan hokum berarti memberlakukan peraturan yang sifatnya umum kedalam suatu kasus yang sifatnya konkret.

Roscue Pound menjelaskan langkah penerapan hukum menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Menemukan hukum, artinya menetapkan pilihan diantara sekian banyak hukum yang sesuai dengan perkara yang akan diperiksa oleh hakim;

2) Menafsirkan kaidah hukum dari hukum yang telah dipilih sesuai dengan makna ketika kaidah itu dibentuk;

3) Menerapkan kaidah yang telah ditemukan dan ditafsirkan kepada perkara yang akan diputuskan oleh hakim.


2. Pembentukan Hukum

Interpretasi hukum lahir dari kesulitan hakim pada waktu memahami maksud pembuat undang-undang. Artinya, hukum harus ditemukan dan apabila tidak berhasil menemukan hukum tertulis, hukum harus dicari dari hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu berupa pembentukan hukum oleh hakim (rechtsvorming).

Philipus M. Hadjon mengatakan, bahwa metode interpretasi hukum meliputi: interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis, wets-en rechtistoriche interpretative, interpretasi perbandingan hukum, intyerpretasi antisipasi, dan interpretasi teleologis.



*bahan kuliah Prof. Valerine J.L.V.K / metodologi penelitian hukum

2 komentar:

Powered By Blogger