Senin, 20 Juni 2011

Berlakunya Yurisdiksi

PENDAHULUAN

Pada awalnya yurisdiksi merupakan konsekuensi logis dari kedaulatan negara atas wilayahnya. Yurisdiksi negara tersebut biasanya lebih dikenal dengan yurisdiksi teritorial yang meliputi yurisdiksi atas individu, benda dan lain-lain yang berada dalam batas teritorial wilayahnya (darat, laut dan udara). Penegasan terhadap yurisdiksi yang dimiliki oleh negara atas wilayah teritorialnya juga ditegaskan dalam Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara, terutama dalam pasal 9 sebagaimana berikut;

Article 9;
The jurisdiction of states within the limits of national territory applies to all the inhabitants.

Nationals and foreigners are under the same protection of the law and the national authorities and the foreigners may not claim rights other or more extensive than those of the nationals.

Semakin meningkatnya hubungan yang terjadi antara negara satu dengan negara lain maka membawa akibat terhadap pemberlakukan yurisdiksi suatu negara. Sehingga yurisdiksi negara tidak hanya terbatas terhadap wilayah teritorialnya saja, namun juga dikenal meluas kewilayah negara lain.

Misalnya perluasan yurisdiksi teritorial seperti pembukaan diplomatik di negara lain (ekstrateritorial jurisdiction), atau yurisdiksi negara pada sebuah kapal berbendera, yurisdiksi yang berlaku secara bilateral dan regional bahkan sampai pada universal. Apabila digambarkan maka berlakunya yurisdiksi suatu negara meliputi;

1.Nasional
2.Bilateral
3.Regional
4.Universal

Namun sebelum membahas lebih lanjut mengenai berlakunya yurisdiksi suatu negara, kami akan membahas yurisdiksi secara umum terlebih dahulu seperti pengertian yurisdiksi dan macam-macam yurisdiksi.

Yuridiksi berasal dari kata latin yaitu Yurisdictio, yuris artinya kepunyaan hukum dan dictio artinya ucapan . Berarti yurisdiksi adalah kekuasaan/hak/kewenanagan menurut hukum, sedangkan Yuridiksi negara adalah kekuasaan/hak/kewenangan suatu negara untuk menetapkan dan menegakkan hukum oleh negara itu sendiri. Disamping itu terdapat pengertian yurisdiksi yang lain seperti berikut:

•Menurut DP O Connel
The power of sovereign to affect the right person, whether by legislation, by executive decree or by judgement of a Court.. It is intemately connected with to conception of independence and it territory

•(Robert L./Boleslaw A., 1987:102),
the capacity of state under international law to prescribe and enforce a rule of law

•Menurut Black Law Dictionary
A goverment’s general power to exercise authority over all person to create interest that will be recognized under common law principle as valid in other state

Berdasarkan pengertian diatas maka secara garis besar dapat diartikan bahwa Yurisdiksi merupakan sebuah kewenangan suatu negara untuk menetapkan dan menegakkan ketentuan hukum nasionalnya terhadap orang, benda maupun peristiwa hukum. Pada suatu perkembangannya yurisdiksi negara mengalami perluasan tidak hanya terbatas pada yurisdiksi tertorialnya saja melainkan mencakup yurisdiksi Negara yang bukan yurisdiksi territorial (yurisdiksi ekstra territorial atau extra territorial jurisdiction) yang eksistensinya bersumber dari hukum internasional, seperti yurisdiksi negara di jalur tambahan, di ZEE, di landas kontinen, di laut bebas, di ruang angkasa dan lain sebagainya.

Yurisdiksi yang dimiliki negara ada bermacam-macam seperti yurisdiksi legislative, yurisdiksi eksekutif, yurisdiksi administrative, yurisdiksi yudikatif, yurisdiksi kriminal dan sipil, yurisdiksi personal, yurisdiksi universal dan lain sebagainya. Dari bukunya Starke dalam Pengantar Hukum Internasional I, yurisdiksi dapat dikelompokkan menjadi;

a)Yurisdiksi teritorial
b)Yurisdiksi terhadap individu
c)Yurisdiksi menurut prinsip perlindungan
d)Yurisdiksi universal

Pengelompokkan yurisdiksi ini nantinya akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya dalam berlakunya yurisdiksi baik secara nasional, bilateral, regional dan universal.

Secara umum maka hukum internasional telah meletakkan beberapa prinsip-prinsip umum yang terkait dengan yurisdiksi negara yaitu:

a)Prinsip teritorial
Negara untuk menerapkan yurisdiksi nasionalnya dalam membuat peraturan-peraturan hukum, melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam hubungan dengan orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah dari Negara yang bersangkutan

b)Prinsip nasional aktif
Negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana apabila orang yang melakukan tindak pidana atau orang yang bersalah adalah warganegaranya sendiri

c)Prinsip nasional pasif
Negara melaksanakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri apabila pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya adalah warganegaranya sendiri

d)Prinsip perlindungan
Suatu negara berhak untuk menerapkan hukum nasionalnya pada pelaku tindak pidana sekalipun di luar wilayah negara tersebut apabila tindakannya dirasa mengancam keamanan dan keutuhan negara yang bersangkutan

e)Prinsip universal
Suatu negara tertentu bisa mengadili kasus kejahatan berat atau kejahatan serius berdasarkan hukum internasional berdasarkan yurisdiksi universal.



BERLAKUNYA YURISDIKSI SECARA NASIONAL


Yurisdiksi dapat dikatakan lahir dari suatu negara yang telah memiliki kedaulatan. Pada prinsipnya suatu negara tidak akan memberlakukan yurisdiksinya di wilayah negara lain atau di luar batas wilayahnya karena semua negara yang berdaulat mempunyai persamaan yurisdiksi kecuali ditentukan lain oleh hukum internasional. Hal ini ditegaskan dalam Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara. Yaitu dalam pasal 3, 4,5,8 dan 9.

Article 3
The political existence of the state is independent of recognition by the other states. Even before recognition the state has the right to defend its integrity and independence, to provide for its conservation and prosperity, and consequently to organize itself as it sees fit, to legislate upon its interests, administer its services, and to define the jurisdiction and competence of its courts.

The exercise of these rights has no other limitation than the exercise of the rights of other states according to international law.

Article 4
States are juridically equal, enjoy the same rights, and have equal capacity in their exercise. The rights of each one do not depend upon the power which it possesses to assure its exercise, but upon the simple fact of its existence as a person under international law.

Article 5
The fundamental rights of states are not susceptible of being affected in any manner whatsoever.

Article 8
No state has the right to intervene in the internal or external affairs of another.

Article 9
The jurisdiction of states within the limits of national territory applies to all the inhabitants.

Berlakunya yurisdiksi di luar wilayah negaranya biasa disebut dengan perluasan yurisdiksi seperti yurisdiksi negara pada diplomatik/konsuler, yurisdiksi negara pada kapal yang berbendera di laut lepas dan yurisdiksi negara yang melekat pada individu negara yang berada di luar wilayah negaranya (biasanya dikenal asas nasional aktif).

Berlakunya yurisdiksi secara nasional pada umumnya meliputi yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi individu. Seklain berlaku secara nasional, suatu negara juga mempunyai yurisdiksi yang berlaku secara bilateral, regional, maupun universal. Menurut membedakan yurisdiksi yang dimiliki oleh negara menjadi beberapa macam yaitu:

1. Yurisdiksi teritorial
2. Yurisdiksi terhadap individu
3. Yurisdiksi terhadap perlindungan pengamanan
4. Yurisdiksi universal (akan dijelaskan dalam bahasan yurisdiksi universal)

Berdasarkan pernyataan di atas maka yang dapat berlaku secara nasional adalah yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi Individu. Bahkan dapat dikatakan bahwa yurisdiksi teritorial merupakan yurisdiksi negara yang paling menonjol dan signifikan. Hal ini dikarenakan yurisdiksi seperti inilah yang pada akhirnya dapat dilaksanakan oleh suatu negara terkait dengan siapapun dan apapun yang berada di dalam batas-batas wilayahnya.

Menurut Starke, yurisdiksi territorial dapat diartikan sebagai hak, kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh Negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum, melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam hubungan dengan orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah dari Negara yang bersangkutan. Yurisdiksi teritorial atas wilayah Indonesia ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan indonesia dalam pasal 4

“Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”

Dalam Hukum Internasional dikenal dengan istilah perluasan yurisdiksi teritorial (the extention of territorial jurisdiction). Perluasan yurisdiksi ini disebabkan karena kemajuan iptek, khususnya teknologi transportasi, komunikasi dan informasi serta hasil-hasilnya. Selanjutnya kemajuan iptek tersebut ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum internasional guna mengantisipasi pemanfaatan dan penyalahgunaan hasil-hasil iptek ini oleh mereka yang terlibat dalam pelanggaran hukum maupun tindak pidana di dalam wilayah suatu Negara.

Ada 2 pendekatan dalam melakukan perluasan yurisdiksi teritorial yaitu:

1)Prinsip territorial subyektif (the subjective territorial principle)
Kewenangan yang diberikan pada suatu negara dalam menerapkan yurisdiksinya terhadap tindak pidana yang mulai dilakukan atau terjadi di dalam wilayah negaranya dan berakhir/ diselesaikan di wilayah negara lain. Prinsip tersebut belum diterapkan secara umum dalam praktek masyarakat internasional, namun paling tidak telah penerapan secara khusus telah diakui dan menjadi bagian dari hukum internasional.

Prinsip tersebut dapat dilihat pada Geneva Convention on the Suppression of Counterfeiting Currency, 1929; Geneva Convention on the Suppression of the Illicit Drug Trafficking, 1936, etc).

2)Prinsip territorial obyektif (the objective territorial principle);
Kewenangan yang diberikan pada suatu negara dalam menerapkan yurisdiksinya terhadap tindak pidana yang terjadi di luar negeri (Negara lain), tetapi berakhir atau diselesaikan dan membahayakan negaranya sendiri. Penerapan prinsip territorial obyektif ini, selain dapat ditemukan dalam kedua perjanjian atau konvensi tersebut di atas, juga dalam konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian lainnya. juga dapat ditemukan dalam putusan Mahkamah Internasional Permanen terkait dengan kasus Lotus (the Lotus Case).

Kasus atau perkara ini melibatkan Perancis dan Turki yang timbul akibat peristiwa tubrukan kapal kedua Negara di laut bebas di luar perairan territorial Turki. Turki melalui pengadilannya menerapkan aturan hukum pidananya yang di dalamnya memuat azas perlindungan (jurisdiction according the protective principle) di mana tindak pidana yang terjadi di luar wilayah Turki menimbulkan kerugian bagi Turki atau warganya. Karena kapten kapal Perancis (MV Lotus) dihukum, lalu Pemerintah Perancis melakukan protes terhadap Turki.

Sengketa kedua Negara diajukan ke depan Mahkamah Internasional Permanen yang pada akhirnya menyatakan bahwa tidak ada larangan dalam hukum kebiasaan internasional bagi suatu Negara untuk menjalankan yurisdiksinya atas suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri, tetapi merugikan Negara tersebut. Putusan Mahkamah ini di samping mengakui asas perlindungan sebagai landasan dalam menjalankan yurisdiksi, juga terutama menerapkan azas territorial obyektif, di mana tindak pidana tersebut terjadinya dimulai dari kapal Perancis, tetapi membawa akibat yang merugikan kapal Turki yang dianggap sebagai bagian integral dari wilayah Turki sehingga yang berlaku adalah hukum Negara ini.

Kedua prinsip yang digunakan dalam memperluas yurisdiksi territorial tersebut sudah pasti membawa dan menimbulkan apa yang dinamakan persaingan yurisdiksi (concurrent jurisdiction), yaitu antara Negara tempat terjadinya suatu tindak pidana dengan Negara yang menerima akibatnya ataupun dengan Negara tempat pelakunya berada atau melarikan diri. Oleh karena itu maka untuk mengurangi hal tersebut perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama antara negara-negara yang mempunyai kepentingan maupun dibuat perjanjian tentang tindak pidana lintas batas tesebut. Sebagai contoh seperti perjanjian kerjasama interpol, perjanjian ekstradisi.

Selain yurisdiksi teritorial terhadap wilayah dan perluasan yurisdiksi teritorial, Starke juga mengemukakan adanya yurisdiksi teritorial terhadap orang asaing dan yurisdiksi teritorial terhadap penjahat.

a)Yurisdiksi teritorial terhadap orang asing
Hukum internasional juga mengakui penerapan yurisdiksi teritorial terhadap orang asing sama halnya dengan warga negara dari negara teritorial. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan dalam konvensi montevideo pasal 9 yaitu;

Nationals and foreigners are under the same protection of the law and the national authorities and the foreigners may not claim rights other or more extensive than those of the nationals.

Walaupun demikian hukum internasional tidak melarang suatu negara untuk melakukan pembedaan terhadap orang asing maksudnya dengan lebih mengutamakan warga negaranya sendiri. Ada 2 kriteria yang digunakan dalam memperlakukan orang asing yaitu:

1. Ukuran perlakuan internasional (internasional standar of treatment)
Suatu perlakuan yang harus diberikan terhadap orang asing dimana mereka tinggal yang merupakan dasar minimun. Misalnya persamaan status hukum orang asing dengan warga negara, orang asing tidak emmiliki hak berpolitik

2. Ukuran perlakuan nasional(national standard of treatment)
Seorang asing tidak boleh menuntut hak-hak yang lebih banyak daripada warga negaranya. Biasanya lebih dikenal dengan Doktrin Calvo.


*Yurisdiksi teritorial terhadap penjahat atau disebut dengan yurisdiksi kriminal teritorial

Kejahatan harus ditangani oleh negara-negara yang ketertibannya terganggu atau negara tempat kejahatan tersebut dilakukan. Apabila dilihat lebih lanjut yurisdiksi ini sama dengan yurisdiksi nasional aktif maupun yurisdiksi terhadap prinsip perlindungan

Walaupun negara berdaulat berhak secara penuh untuk melaksanakan yurisdiksi teritorialnya namun dalam beberapa hal terdapat pembebasan dan pembatasan terhadap yurisdiksi territorial yang terdapat pada hal-hal berikut;

•Negara asing dan kepala negara asing
•Perwakilan-perwakilan diplomatik dan konsul negara asing
•Kapal-kapal miliki negara asing
•Angkatan bersenjata negara-negara asing
•Lembaga-lembaga internasional

Pada negara yang berdaulat juga menerapkan yurisdiksi personal/individu secara nasional. Yurisdiksi ini berbeda dengan yurisdiksi atas wilayah, bergantung pada kualitas orang yang terlibat dalam peristiwa hukum . Yurisdiksi personal adalah yurisdiksi terhadap seseorang, apakah dia adalah warganegara atau orang asing.

Hanya saja orang yang bersangkutan tidak berada dalam wilayahnya atau dalam batas-batas territorial dari Negara yang mengklaim yurisdiksi seperti ini. Negara yang mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya apabila orang yang bersangkutan sudah datang dan berada dalam batas-batas teritorialnya, baik dia datang secara sukarela ataukah melalui proses ekstradisi.

Dalam Yurisdiksi personal dapat digunakan berdasarkan dua macam azas yaitu ;

1)asas/ prinsip nasionalitas aktif (active nationality principle)

Negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana apabila orang yang melakukan tindak pidana atau orang yang bersalah adalah warganegaranya sendiri. Hal ini disebabkan karena hukum nasional dari suatu Negara akan selalu mengikuti warganegaranya dimanapun dia berada dan kemanapun dia berpergian. Orang Indonesia membunuh seseorang di Philipina. Hukum Indonesia mengikuti, melekat dan berlaku pada pelakunya, tetapi pada saat bersamaan juga berlaku hukum Filipina sehingga terjadi persaingan yurisdiksi (concurrent jurisdiction). Namun dari persaingan ini, Negara yang efektif menjalankan yurisdiksinya adalah Filipina.

Filipina dapat secara efektif menjalankan yurisdiksinya berdasarkan azas territorialitas terkait dengan tempat kejadian dan terutama pelakunya. Sebaliknya Indonesia tidak mungkin efektif menjalankan yurisdiksinya, sekalipun Indonesia berkepentingan dan dapat saja mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini prinsip nasionalitas aktif. Kalau Filipina menjalankan yurisdiksi teritorialnya dengan melakukan proses hukum terhadap warganegara Indonesia, maka Indonesia wajib menghormatinya.

Kasus pembunuhan oleh Harnoko (Oki), warganegara Indonesia dengan korbannya dua orang Indonesia dan seorang warganegara India yang terjadi dalam wilayah hukum AS pada tahun 1994 menimbulkan persaingan yurisdiksi di antara kedua Negara. AS mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas territorialitas (territorial jurisdiction) karena tempat kejadian, alat bukti, barang bukti termasuk para korban terjadi dan berada di dalam wilayah AS (di Los Angeles).

Sedangkan Indonesia juga mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas karena pelaku kejahatan di AS adalah warganegara Indonesia (azas nasionalitas aktif) dan korbannya adalah juga warganegaranya (azas nasionalitas pasif). Selain azas personalitas, maka klaim dan pernyataan yurisdiksi Indonesia atas kasus pembunuhan di AS juga didasarkan atas azas territorialitas karena pelakunya sudah terlanjur masuk ke dalam wilayah Indonesia sebelum kasus itu berhasil dibongkar oleh aparat hukum AS.

2)prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle).

Negara melaksanakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri apabila pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya adalah warganegaranya sendiri. Orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri dan merugikan warganegara dari suatu Negara, maka Negara korban dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini azas nasionalitas pasif.

Negara yang bersangkutan baru dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif apabila pelakunya sudah datang dan berada di dalam wilayahnya. Ada tindakan-tindakan tertentu yang bagi suatu Negara dikategorikan sebagai tindak pidana, tetapi bagi Negara lain bukan tindak pidana atau bukan perbuatan melawan hukum.

Misalnya pencemaran nama baik seseorang dikategorikan sebagai tindak pidana dalam hukum Indonesia, tetapi dalam hukum AS bukan tindak pidana. Hal seperti ini yang antara lain melatarbelakangi timbulnya azas personalitas yang memungkinkan atau memperkenankan suatu Negara mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang asing di luar negeri, namun merugikan warganegaranya sendiri. Dalam hubungan ini, persaingan yurisdiksi tentu saja terjadi dan tidak terhindarkan di antara beberapa Negara yang mempunyai kepentingan.

Negara mana yang pada akhirnya dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif, tergantung pada Negara tempat pelakunya berada. Kasus pencemaran nama baik mantan Presiden Soeharto oleh majalah Time secara implisit mengandung persaingan yurisdiksi antara Indonesia dan AS, di mana pihak Indonesia berkepentingan untuk mengklaim dan menyatakan kewenangannya berdasarkan azas personalitas pasif, sementara pihak AS berkepentingan untuk tidak mengklaim dan untuk tidak menyatakan kewenangannya berdasarkan azas territorial.


*BERLAKUNYA YURISDIKSI SECARA BILATERAL DAN REGIONAL

Hubungan bilateral /bilateral relations /bilateralism) adalah suatu hubungan politik, budaya dan ekonomi diantara 2 Negara. Kebanyakan hubungan internasional dilakukan secara bilateral. Misalnya perjanjian politik-ekonomi, pertukaran kedutaan besar, dan kunjungan antar negara. Alternatif dari hubungan bilateral adalah hubungan regional - hub antar negara dalam satu kawasan, multilateral; yang melibatkan banyak negara, dan unilateral; ketika satu negara berlaku semaunya sendiri (freewill).

*Yurisdiksi yang muncul atas Perjanjian Bilateral dan Regional
Konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian Internasional merupakan sumber utama Hukum Internasional. Konvensi-konvensi itu dapat berbentuk bilateral bila yang menjadi pihak hanya dua Negara dan multilateral bila yang menjadi pihak lebih dari dua Negara.

Kadang-kadang suatu konvensi disebut regional bila yang menjadi pihak hanya Negara-negara dari suatu kawasan. Konvensi multilateral dapat bersifat universal bila menyangkut seluruh Negara di Dunia

Pengaruh suatu traktat dalam member arahan kepada pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional bergantung pada sifat hakikat traktat yang bersangkutan . Dalam kaitan ini perlu kiranya untuk membuat perbedaaan, meskipun tidak bersifat kaku, antara:

a.Traktat-traktat “yang membatasi hukum” (Law Making), yang menetapkan kaidah-kaidah yang berlaku secara universal dan umum;

b.“traktat-traktat kontrak” (Treaties Contract) misalnya, suatu traktat antara dua atau hanya beberapa negara , yang berkenaan dengan suatu pokok permasalahan khusus yang sevara ekslusif menyangkut Negara-negara ini.

Pembedaan ini hingga taraf tertentu sesuai dengan yang dibuat oleh para ahli hukum continental yaitu pembedaan antara apa yng disebut vereinbarungen dan vertrage.

a.Traktat-Traktat “yang membuat hukum”
Suatu traktat “yang membuat hukum” pada hakikatnya tidak dapat menjadi suatu ketentuan yang memuat kaidah-kaidah hukum internasional yang senantiasa berlaku secara universal. Kita terpaksa menerima adanya pembagian traktat-traktat “yang membuat hukum” dalam dua macam:

1.Yang memuat kaidah-kaidah hukum internasional universal, misalnya Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa;

2.Yang menetapkan kaidah-kaidah umum atau hampir umum

Kemudian, meskipun hingga taraf tertentu suatu traktat “yang membuat hukum” itu bersifat universal atau umum, traktat tersebut mungkin benar-benar merupakan suatu “Framework Convention”, yang membebankan kewajiban-kewajiban untuk menetapkan perundang-undangan, atau menawarkan pilihan-pilihan, dalam kaitan mana Negara-negara harus menerapkan prinsip-prinsip yang ditetapkan di dalam konvensi itu.

Penggunaan istilah “yang membuat hukum” (law making) yang diterapkan terhadap traktat-traktat telah dikritik oleh beberapa penulis dengan alasan bahwa traktat-traktat ini tidak sepenuhnya menetapkan kaidah-kaidah hukum seperti kewajiban-kewajiban kontraktual yang harus ditaati oleh Negara-negara pesertanya.

Dalam kritiknya tersebut para penulis itu mengabaikan sejumlah konvensi dan instrument perundang-undangan internasional yang pada saat ini dikeluarkan (adopted) oleh organ-organ lembaga-lembaga internasional, seperti Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Organisasi Buruh Internasional, bukan yang seperti yang sebelumnya yang ditandatangani oleh wakil-wakil Negara di dalam konferensi-konferensi diplomatic. Memang benar bahwa beberapa dari konvensi dan instrument-instrumen ini perlu ratifikasi oleh Negara-negara untuk memberlakukannya, akan tetapi beberapa konvensi lainnya tidak perlu diterima secara tegas dalam bentuk konsensual.

Mungkin sebutan “traktat-traktat normative” (normative treaties) lebih tepat dipakai. Istilah ini akan meliputi:

1.Traktat-traktat yang berlaku sebagai instrumen-instrumen aturan standar umum, atau yang dipakai Negara-negara baik atas dasar de facto ataupun sementara; misalnya Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT) tanggal 30 Oktober 1947, yang mana syarat-syarat hubungan perdagangan dikaitkan dengan Negara-negara bukan peserta;

2.Konvensi-konvensi yang tidak diratifikasi, tetapi penting karena memuat pernyataan-pernyataan tentang prinsip-prinsip yang disetujui oleh sejumlah besar Negara;

3.Traktat-traktat yang “tertutup” atau “berpeserta terbatas” yang hanya ditandatangani oleh sejumlah Negara tertentu saja;

4.Traktat-traktat yang mmerumuskan kaidah-kaidah hukum regional atau komunitas;

5.Traktat-traktat yang menciptakan suatu status atau rezim yang diakui secara internasional, yang hingga taraf tertentu, berlaku ega omnes: misalnya, Twelve-Power Treaty on Antartica yang ditandatangani di Washington, Tanggal 1 Desember 1959;

6.Instrumen-instrumen seperti Ketentuan Penutup (final Acts), yang padanya dilampirkan pengaturan-pengaturan internasional yang dimaksud untuk dipakai oleh Negara-negara peserta sebagai kaidah umum inter se;


b.Traktat-traktat Kontrak
Sebaliknya dari traktat “yang membuat hukum”, traktat-traktat kontrak tidak secara langsung menjadi “sumber” hukum internasional. Namun demikian, traktat-traktat ini di antara peserta atau penandatangan traktat dapat menjadi hukum yang khusus; oleh karena itu dipakai istilah konvensi-konvensi “khusus” dalam Pasal 38 ayat (1) huruf
(a) Statuta international Court of Justice.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan:

1.Serangkaian traktat yang menetapkan aturan yang sama secara berulang-ulang dapat membentuk suatu prinsip hukum kebiasaan internasional yang maksudnya sama. Traktat-traktat demikian merupakan suatu langkah proses munculnya suatu kaidah kebiasaan internasional. Fungsi traktat-traktat ini berkaitan dengan, misalnya perjanjian-perjanjian diplomatic, keputusan-keputusan yudisional nasional serta praktek organ-organ internasional.

2.Mungkin saja terjadi dengan sebuah traktat yang pada mulanya dibentuk hanya diantara sejumlah peserta terbatas kemudian kaidah yang dimuat dalam traktat itu digeneralisasikan dengan adanya penerimaan atau dipakai contoh sebagai kaidah yang berdiri sendiri. Dalam kasus ini traktat tersebut merupakan tahap awal dalam proses pengulangan adat-istiadat yang akan mengembangkan kaidah kebiasaan hukum internasional.

3.Suatu traktat dapat dianggap mempunyai nilai pembuktian (evidentiary value) mengenai adanya suatu kaidah yang dikristalisasikan menjadi hukum melalui proses perkembangan yang berdiri sendiri. Hal demikian terjadi karena otoritas dan kesungguhan yang dimiliki oleh tipe instrument tersebut.




*Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional
Mulai berlakunya suatu perjanjian internasional, baik bilateral, regional maupun multilateral, pada umumnya ditentukan oleh klausul penutup dari perjanjian itu sendiri atau atas apa yang disepakati Negara-negara peserta traktat (Konvensi Wina Pasal (2) ayat 1). Seperti telah dikemukakan, banyak traktat berlaku sejak tanggal penandatanganan, tetapi apabila diperlukan ratifikasi, penerimaan atau persetujuan, maka kaidah umum hukum internasional adalah bahwa traktat yang bersangkutan mulai berlaku hanya setelah pertukaran atau penyimpanan ratifikasi, penerimaan atau persetujuan oleh semua Negara penandatangan.

Saat ini traktat-traktat multilateral biasanya menentukan mulai berlakunya bergantung kepada penyimpanan sejumlah ratifikasi dan persetujuan untuk terikat yang disyaratkan, biasanya mulai dari eanam sampai tiga puluh lima tahun. Namun kadang-kadang waktu tepatnya tanggal mulai berlaku ditetapkan tanpa memperhatikan jumlah ratifikasi yang diterima. Juga, kadang-kadang traktat itu mulai berlaku hanya didasarkan kepada terjadinya peristiwa tertentu.

Bagi perjanjian-perjanjian bilateral tertentu yang materinya tidak begitu penting dan yang biasanya merupakan suatu perjanjian pelaksanaan, maka umumnya mulai berlaku sejak penandatanganan. Jadi pada prinsipnya, dapat dinyatakan bahwa penandantangan saja sudah cukup untuk dapat berlakunya suatu perjanjian. Dalam perjanjian multilateral, klausa yang mulai berlaku sejak tanggal penandatangan ini jarang sekali terjadi. Hal ini antara lain disebabkan banyaknya para pihak pada perjanjian multilateral tersebut, kecuali untuk beberapa perjanjian multilateral, yang pada pihaknya terbatas pada beberapa Negara tertentu saja.

*Batal dan Berakhirnya suatu Perjanjian
Traktat dapat diakhiri oleh: (1) hukum; dan (2) tindakan atau tindakan-tindakan negara-negara peserta.
(1)Berakhirnya traktat karena hukum

a.Hilangnya salah satu peserta pada sebuah traktat bilateral atau keseluruhan pokok persoalan dari suatu traktat dapat membubarkan instrument tersebut.

b.Traktat-traktat dapat berakhir berlakunya karena pecahnya perang antara para peserta. Dalam beberapa contoh penangguhan traktat, lebih daripada berakhirnya secara actual, dapat timbul dari perang demikian.

c.Kecuali kasus ketentuan-ketentuan untuk perlindungan manusia yang dimuat dalam traktat-traktat yang bersifat kemanusiaan, suatu pelanggaran materi dari sebuah traktat bilateral oleh salah satu peserta akan memberikan hak kepada peserta lain untuk mengakhiri traktat atau menangguhkan berlakunya, sedangkan suatu pelanggaran materiil atas suatu traktat multilateral oleh salah satu pesertanya, menurut ketentuan-ketentuan, akan dapat menyebabkan berakhirnya traktat diantara semua peserta, atau antara Negara yang bersalah dan peserta lain yang secara khusus terkena akibat oleh pelanggaran tersebut (Konvensi Wina Pasal 60).

d.Ketidakmungkinan melaksanakan traktat karena hapusnya atau rusaknya secara permanen suatu tujuan yang sangat diperlukan untuk melaksanakan traktat akan mengakibatkan berakhirnya traktat, tetapi tidak demikian apabila ketidakmungkinan itu disebabkan karena pelanggaran traktat itu sendiri, atau karena suatu kewajiban internasional yang dilaksanakan oleh peserta yang berusaha untuk mengakhiri traktat atas dasar ketidakmungkinan tersebut (Konvensi Wina Pasal 61)

e.Traktat-traktat yang dibubarkan sebagai akibat dari apa yang secara tradisional disebut sebagai doktrin rebus sic stantibus, meskipun ada kecenderungan pada saat ini untuk membuang sebutan “rebus sic stantibus”. Menurut doktrin ini, suatu perubahan fundamental pada keadaaan fakta yang ada pada waktu traktat itu dibentuk dapat dinyatakan sebagai alasan pengakhiran traktat, atau untuk mengundurkan diri dari traktat itu.

f.Suatu traktat secara spesifik ditutup untuk jangka waktu yang ditentukan akan berakhir pada saat berakhirnya jangka waktu tersebut.

g.Apabila adanya denunsiasi (denunciation) terhadap suatu traktat multilateral telah mengurangi jumlah Negara peserta menjadi kurang dari jumlah yang ditentukan oleh traktat itu untuk berlakunya, maka traktat tersebut akan berakhir berlakunya apabila tentang hal ini ditentukan baik secara tegas maupun implicit; sebaliknya, suatu traktat multilateral tidak berakhir hanya karena alasan fakta bahwa jumlah pesertanya dibawah jumlah yang diperlukan untuk mulai berlakunya (Konvensi Wina Pasal 55)


(2)Berakhirnya Traktat oleh Tindakan para Peserta:

a.Berakhirnya traktat atau penarikan diri peserta dapat terjadi sesuai dengan ketentuan-ketentuan traktat, atau setiap waktu dengan persetujuan semua peserta setelah dilakukan konsultasi satu sama lain (Konvensi Wina Pasal 54). Suatu traktat juga dianggap akan berakhir apabila semua pesertanya membentuk traktat berikutnya yang berkenaan dengan pokok permasalahan yang sama dan tampak jelas dari traktat yang belakangan ini atau sebaliknya bahwa para peserta menghendaki untuk mengatur permasalahan tersebut dalam traktat baru tersebut, atau bahwa ketentuan-ketentuan dari traktat yang dibentuk belakangan sebegitu jauh tidak berkesesuaian dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam traktat sebelumnya sehingga kedua instrument itu tidak dapat diberlakukan pada waktu yang bersamaan (Konvensi Wina Pasal 59).

Sesungguhnya, mungkin juga bahwa, dengan tindakan mereka kalau bukan oleh deklarasi-deklarasi mereka, Negara-negara peserta dianggap ad idem berkenaan dengan traktat yang tidak berlaku lagi, atau yang tidak terpakai lagi.

b.Apabila suatu Negara ingin menarik diri dari sebuah traktat, maka biasanya ia melakukan hal tersebut dengan cara memberitahukan pengakhiran itu, atau dengan tindakan denunsiasi.


*Penangguhan Berlakunya Traktat
Berlakunya traktat dapat ditangguhkan, berkenaan dengan semua peserta lain ataupun peserta tertentu saja:

a.Sesuai dengan ketentuan-ketentuan traktat itu ;

b.Setiap saat dengan persetujuan semua peserta setelah berkonsultasi (Konvensi Wina Pasal 57);

Melalui pembuatan traktat lain yang berikutnya, apabila traktat ini merupakan kehendak para peserta (Konvensi Wina Pasal 59) tunduk kepada ketentuan-ketentuan traktat terkait, dan maksud serta tujuannya, dua peserta atau lebih pada suatu traktat multilateral dapat menangguhkan berlakunya traktat itu diantara mereka sendiri (Konvensi wina Pasal 58)


*Yurisdiksi Universal
Doktrin ini dimaksudkan agar pengadilan nasional negara tertentu bisa mengadili kasus kejahatan berat atau kejahatan serius berdasarkan hukum internasional.
Proses pengadilan dalam yurisdiksi universal tidak memperdulikan locus, kebangsaan atau kewarganegaraan pelaku/korban.

Pelaksanaan yurisdiksi atas kejahatan hukum internasional lebih diterima karena mengganggu masyarakat internasional secara luas
Unsur Pembentuk Yurisdiksi Universal:

•Customary Law:
Adalah aspek-aspek hukum internasional yang berasal dari kebiasaan, prinsip-prinsip umum dan treaty.

Sumber Hukum internasional adalah tempat dimana kita dapat menemukan hukum internasional tersebut. Menurut pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasioal, sumber formal Hukum Internasional adalah traktat, Kebiasaan-kebiasaan internasional yang diakui sebagai hukum, asas hukum umum, Yurisprudensi Internasional, dan doktrin. Urutan penyebutan sumber hukum dalam pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional di atas tidak mengambarkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal, karena soal ini tidak diatur dalam pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional. Namun klasifikasi dapat dilakukan sebagai berikut:

sumber hukum formal tersebut dibagi menjadi sumber hukum utama dan subsider. Sumber hukum primer meliputi perjanjian internasional, kebiasaan internasional dan asas-asas hukum umum. Sedangkan yurisprudensi internasional dan doktrin para ahli termasik dalam golongan sumber hukum subsider.

Kebiasaan Internasional ada pada urutan kedua dalam pasal 38 (1) namun kebiasaan internasional merupakan sumber hukum yang tertua. Sampai saat ini, sebagian besar hukum internasional terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan. Untuk dapat menjadi sebuah kebiasaan internasional yang diakui sebagai sumber hukum internasional, suatu kebiasaan harus mendapatkan sebuah opinion juris yaitu sebuah kesepakatan
Negara-negara untuk mengakui suatu kebiasaan internasional sehingga dapat diberlakukan di semua Negara dan dapat diakui sebagai salah satu sumber hukum internasional.Kebiasaan internasional terbentuk melalui adat istiadat atau kebiasaan tingkah laku internasional yang belum diterima sebagai hukum.

Bila adat istiadat tersebut berkembang atau dilakukan berulang-ulang, kemudian menjadi kebiasaan, maka dalam praktek mengikat sebagai hukum kebiasaan internasional. Dapat dikatakan kebiasaan sebagai sumber hukum internasional merupakan kristalisasi dari adat istiadat.

Menarik saat kita membahas kebiasaan internasional sebagai sumber hukum internasional. Selain kebiasaan internasional merupakan sumber hukum tertua dalam hukum internasional, pembentukan kebiasaan internasional menjadi sumber hukum internasional juga terbilang unik. Dibutuhkan sebuah proses panjang dan pengakuan dari banyak negara (opinion juris) yang sebenarnya nilai dari suatu kebiasaan tersebut bagi setiap negara relative dan berbeda-beda
Kebiasaan internasional terbentuk melalui adat istiadat atau kebiasaan tingkah laku internasional yang belum diterima sebagai hukum.

Bilamana adat istiadat tersebut berkembang atau dilakukan berulang-ulang, kemudian menjadi kebiasaan, maka dalam praktek mengikat sebagai hukum Kebiasaan Internasional. Sampai saat ini, hukum internasional sebagian besar terdiri dari kaidah-kaidah kebiasaan. Kaidah-kaidah ini pada umumnya telah menjalani suatu proses yang panjang dan telah mendapatkan pengakuan oleh masyarakat internasional.
Istilah kebiasaan dan adat Istiadat sering digunakan secara bergantian, namun ada perbedaan diantara keduanya.

Kebiasaan mulai apabila adat-istiadat berakhir, adat istiadat adalah suatu kebiasaan bertindak yang belum sepenuhnya memperoleh pengesahan hukum. Viner’s Abrigement yang berkenaan dengan kebiasaan dalam hukum inggris dikemukakan “Kebiasaan, sebagaimana dimaksudkan oleh hukum, adalah suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum.

Dalam pasal 38 ayat 1 sub b Piagam Mahkamah Internasional, dikatakan “International custom, as evidence of a general practice accepted as law”. Artinya hukum kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Jadi, tidak semua kebiasaan dapat dijadilan sebagai sumber hukum internasional. Untuk dapat dikatakan sebagai sumber hukum internasional, sebuah kebiasaan internasional harus memenuhi unsur-unsur yaitu harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, dan kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.

Keduanya harus terpenuhi. Tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum internasional jika keduanya atau salah satunya tidak dipenuhi. Terpenuhinya syarat yang pertama saja misalnya, namun tidak melahirkan sebuah hukum, maka bisa jadi kebiasaan tersebut hanyalah merupakan kesopanan internasional saja.

Kebiasaan internasional dapat termasuk dalam kebiasaan yang bersifat umum jika ada sebuah pola tindak yang berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula dan harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Menurut J.G Starke, unsure ini disebut sebagai syarat materi. Secara umum, harus ada suatu tindakan berulang-ulang yang melahirkan kaidah kebiasaan. Tindakan suatu badan atau negara tidak dapat begitu saja menciptakan suatu kebiasaan dan dapat dimanfaatkan negara lain yang diuntungkan karena tindakan tersebut. Hukum kebiasaan harus dilakukan secara teratur dan berulang-ulang.

Pertimbangan lain yang diambil adalah juga lamanya usia tindakan-tindakan yang dilakukan. Suatu kebiasaan bisa juga menjadi hukum kebiasaan dalam waktu yang singkat bila praktek negara itu telah meluas dan keseragaman dalam semua tujuan praktis.

Syarat yang kedua adalah aspek psikologis yang lebih banyak dikenal dengan sebutan opinion juris sive necessitatis. Yang diartikan seorang ahli “keyakinan bersama bahwa pengulangan tindakan itu merupakan akibat dari suatu kaidah yang memaksa”.

Pengulangan adat istiadat atau praktek cenderung untuk memperkuat dugaan bahwa dalam keadaan serupa di masa mendatang, tindakan atau sikap yang tidak melakukan tindakan (absention) demikian akan terulang lagi. Bila dugaan ini berkembang lebih jauh menjadi suatu pengakuan umum oleh negara-negara bahwa tindakan atau tidak melakukan tindakan tersebut merupakan persoalan hak dan kewajiban, maka peralihan dari adat-istiadat menjadi kebiasaan telah terjadi.

•Treaty Law:
Adalah semua instrumen yang mengikat dibawah hukum internasional, terdiri dari dua atau lebih subyek hukum internasional yang memiliki kapasitas dan kedaulatan untuk membuat treaty.

Ada dua macam treaty:

1.Law Making Treaties
Law making treaties adalah perjanjian internasional yang menetapkan ketentuan hukum internasional yang berlaku umum. Law making treaties ini menetapkan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian internasional (treaty rules). Law making treaties juga disebut international legislation. Contoh law making treaties sebagai berikut.

(a) Konvensi Perlindungan Korban Perang Jenewa Tahun 1949.
(b) Konvensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958.
(c) Konvensi Wina Tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
(d) Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler.

2.Treaty Contract
Treaty contract menetapkan ketetuan hukum internasional yang berlaku bagi dua pihak atau lebih yang membuatnya dan berlaku khusus bagi pihak-pihak tersebut. Ketentuan hukum internasional yang menetapkan treaty contract hanya untuk hal khusus dan tidak dimaksudkan berlaku umum. Namun dalam beberapa hal dapat berlaku secara umum melalui kebiasaan,yaitu jika ada pengulangan, ditiru oleh treaty, dan sebagai hukum internasional kebiasaan.

Konsep dari terbentuknya Yurisdiksi Universal dari Treaty Law dan Customary Law adalah, bahwa beberapa norma internasional merupakan milik dari seluruh komunitas dunia, atau prinsip jus cogens.

Yurisdiksi universal merupakan doktrin dimana negara di mana berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku-pelaku tindak pidana yang tergolong kedalam delik jurengentium , yaitu :

-Piracy (Jure Gentium): negara yang menangkap pelau pembajakan kapal laut dapat mengadili pelakunya meskipun negara pemilik kapal tidak terpengaruh dengan aktifitas pembajakan tersebut.

-War Crimes: kejahatan perang melanggar Geneve Convention 1949 dimana aturan didalamnya sudah menjadi Customary Law bahwa negara-negara di dunia memiliki yurisdiksi universal. Selain itu konvensi ini juga memberikan yurisdiksi universal terhadap kejahatan dalam kategori “grave breaches”.

-War-related Crimes: The International Military Tribunal di Nuremberg mengadili pemimpin Nazi atas “crime against peace” yaitu perencanaan dan pelaksanaan perang yang melanggar aturan hukum internasional dan “crimes against humanity” yaitu termasuk pembantaian, perbudakan, deportasi dan kejahatan tidak manusiawi lainnya.

-Apartheid: dalam Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid (1976), ditentukan bahwa terhadap pelaku Apartheid, asa Yuniversal dapat diterapkan.

Selain itu juga terdapat pendapat-pendapat lain mengenai kejahatan yang dapat dimasukkan kedalam kejahatan internasional terhadap kemanusiaan, yaitu menurut Bassiouni terdapat 22 jenis kejahatan yaitu:

-Agression.
-War crimes.
-Unlawfull use of weapons.
-Crime against humanity.
-Genocide.
-Racial Discrimination and apartheid.
-Slyvery and related crimes.
-Torture.
-Unlawfull human Experimentation.
-Piracy.
-Aircraft highjacking
-Threat and use of force against internationally protected person
-Taking of civilan hostages
-Drug offences
-International traffic in obscene publication
-Destruction and\or theft of national treasures
-Environmental protection
-Theft of nuclear materials
-Unlawfull use of the mails
-Interference of the submarine cables
-Falsification and counterfeiting
-Bribery of foreign public officials

Yurisdiksi universal sudah pasti dikenal dalam hukum kebiasaan Internasional yang merupakan dasar bagi proses peradilan domestic untuk bajak laut dan pedangan budak. Juga termasuk yurisdiksi universal untuk para pembajak pesawat terbang, penyanderaan dan terorisme Internasional lainnya. Hal itu secara parsial diambil dari perjanjian Internasional yang mewajibkan pelaku kejahatan yang ditemukan dalam wilayah mereka atau Negara lainnya atau mengekstradisikan pelaku ke Negara yang akan mengadili. Namun, ini semua tindakan kejahatan yang terjadi diluar batas Negara atau dilaut bebas atau di udara lepas, tanpa ada yang menjadi pemilik kedaulatan atasnya. Dengan demikian, yurisdiksi universal tidak hanya muncul karena hanya ada kejahatan kemanusiaan, tetapi semata-mata karena berdasarkan hukum domestic dimanapun hal itu merupakan tindakan kejahatan, hanya tindakan itu bisa lepas dari hukuman.

Kasus yang menjadi dasar hukum universal atas kejahatan kemanusiaan merupakan preseden yang dalam beberapa hal menyedihkan. Kekuasaan untuk membawa para pelaku ke pengadilan digambarkan dalam frase yurisdiksi universal, dimana Negara-negara mempunyai kekuasaan secara sendiri-sendiri maupun kolektif berdasarkan yurisdiksi tersebut, meskipun mereka tidak memiliki hubungan dengan tempat kejahatan itu dilakukan atau dengan pelaku atau dengan korban. Yurisdiksi atas kejahatan biasa tergantung pada hubungan, yang umumnya terjadi dalam suatu wilayah Negara, antara Negara yang menyelenggarakan pengadilan dengan kejahatan itu sendiri. Tetapi dalam kasus kejahatan kemanusiaan, hubungan tersebut dapat ditemukan dalam fakta sederhana yang menyatakan bahwa kita semua adalah umat manusia.

Yurisdiksi universal di Negara maupun akan berlangsung dibawah pengadilan local yang memberi kuasa sebuah pengadilan untuk menyelenggarakannya. Pengadilan Internasional memerlukan sebuah piagam atau statute yang akan diikuti oleh Negara-negara yang membuatnya, baik secara kolektif maupun melalui PBB sebagai organ tambahan dari Dewan Keamanan PBB. Dapat pula dilakukan secara khusus melalui perjanjian Internasional seperti piagam Nuremberg atau statute Roma mengenai pengadilan pidana Internasional.

Konsep yurisdiksi Internasional untuk kejahatan kemanusiaan adalah solusi yang ditawarkan oleh hukum Internasional atas tontonan pembebasan hukuman (impunity) dari para tirani dan penyiksa yang melindungi diri dan imunitas domestic, amnesty dan pemberian maaf. Mereka dapat bersembunyi tetapi di dalam dunia yang memiliki yurisdiksi universal terhadap kejahatan yang bersangkutan, mereka tidak dapat lari.

Meskipun demikian, prinsip yurisdiksi universal merupakan satu-satunya jalan untuk meminjam para tersangka tidak memperoleh tempat persembunyian. Pilihannya adalah mengekstradisi atau menghukum pelaku.

Alasan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak seperti kejahatan biasa, menarik yurisdiksi universal sekalipun tidak ada perjanjian-perjanjian Internasional tidak terletak pada beratnya kejahatan tersebut, karena pembunuhan berantai psikopatik dapat lebih kejam daripada penyiksaan yang biasa dilakukan oleh polisi. Yang membedakan kejahatan kemanusiaan, baik dalam skala kekejian maupun kebutuhan akan langkah-langkah pencegahan semata-mata karena kejahatan itu tidak dapat dimaafkan yang dilakukan oleh sebuah pemerintahan atau setidaknya sebuah oerganisasi yang melaksanakan kekuasaan politik yang menjadi masalah bukan otak penyiksa, akan tetapi fakta bahwa individu yang bersangkutan merupakan bagian dari aparat Negara yang membuat kejahatan tersebut menjadi begitu mengerikan dan meletakanya pada dimensi yang lain dari kriminalitas umum.

Faktor ini pula menjelaskan mengapa tanggung jawab individu dan yurisdiksi universal merupkan elemen-elemen yang diperlukan jika penyangkalan atas kejahatan tersebut hendak dicapai.


*Perdebatan mengenai Yurisdiksi Universal:

•Aspek Hukum: Belum adanya konsep yang sama mengenai yurisdiksi universal sehingga muncul pertanyaan “Apakah pelaksanaan yurisdiksi universal ini ada pada, dan diperbolehkan oleh hukum kebiasaan internasional?”

•Aspek Politis: Menurut Hans Kochler, yurisdiksi universal sarat dengan intervensi politik, sehingga muncul pertanyaan “Apakah pelaksanaan yurisdiksi universal dimaksudkan untuk tujuan politis tertentu?”


*Pelaksanaan Yurisdiksi:
Dari Eichmann Case nampak bahwa cara penangkapan seseorang tidak berpengaruh pada validitas dari pelaksanaan yurisdiksi oleh sebuah negara. Pengadilan Israel memutuskan bahwa penangkapan Eichmann oleh agen-agen Israel dari wilayah Argentina hanya melanggar kedaulatan Argentina, tetapi tidak menghapus hak yurisdiksi Israel.

Hal yang berbeda terjadi di Prancis pada kasus In
re Jolis (1933) dan di Inggris pada Mackeson Case (1985) yang melarang dilaksanakannya peradilan kriminal terhadap orang-orang yang ditangkap atau dibawa kedalam yurisdiksi sebuah Negara secara tidak sah.

1.Suaka Teritorial (Territorial Asylum)
Adalah pelaksanaan dari kedaulatan wilayah sebuah negara, dimana setiap negara memiliki diskresi ekslusif dan penuh untuk memutuskan siapa-siapa yang dapat dan tidak dapat masuk di wilayah teritorialnya.

a.Hak ini diputuskan oleh UN General Asembly dalam Declaration on Territorial Asylum (Resolution 2312, 1967).

b.Pengungsi yang telah diterima masuk kedalam sebuah negara memiliki hak untuk tidak dikembalikan ke tempat dari mana ia datang (non-refoulement).

c.Negara penerima suaka juga memiliki kewenangan ekslusif untuk menerima suaka dan negara lain tidak memiliki hak untuk keberatan, kewenangan ini disebut dengan “right of asylum”.


*Ekstradisi
Hukum internasional tidak memberikan hak kepada sebuah negara untuk meminta dari negara lain agar menyerahkan seseorang.

Cara yang disediakan adalah dengan mekanisme ekstradisi melalui perjanjian (treaty) atau berdasarkan asas timbal balik (reciprocity).

Dalam perjanjian ekstradisi biasanya disebutkan jenis-jenis kejahatan yang dapat diekstradisi, biasanya mencakup “grave offences”, juga syarat adanyadouble criminality, terkadang dimasukkan juga syarat rule of speciality.

2 komentar:

  1. Kalo boleh tau sumbernya dari buku apa ya?

    BalasHapus
  2. thanks, izin copas buat tugas sekolah.

    www.sonysetiawan65.blogspot.com

    BalasHapus

Powered By Blogger