Senin, 20 Juni 2011

Penjajahan Kembali Dunia Ketiga Melalui Perangkap WTO

Latar Belakang

Lee Kyung Hae berada jauh dari rumahnya ketika dia memutuskan bunuh diri. Petani dan mantan ketua Federasi Petani Korea Selatan berusia 56 tahun ini memilih mati di Cancun, Meksiko, pada tanggal 10 September 2003, saat pembukaan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation - WTO). Ia menusukkan tubuhnya pada barikade baja tajam yang dipasang oleh pasukan keamanan Meksiko, untuk menghambat para pengunjuk rasa

memasuki ruang siding resmi. Walaupun sudah dilarikan ke rumah sakit, Lee akhirnya meninggal.[1]

Aksi Bunuh diri Lee mungkin adalah puncak dari unjuk rasa damai yang dilancarkan ribuan petani, masyarakat adat, dan organisasi-organisasi non-pemerintah (ORNOP) diluar tempat pembukaan Konferensi WTO tersebut. Sementara di dalam gedung, ketika Direktur Jenderal WTO, Supachai Panitchpakdi sedang memberikan sambutan, sekitar 40 wakil ORNOP berdiri dengan kertas karton kecil, menampilkan tulisan “WTO obsolete”, “WTO anti - Pembangunan”, dan sebagainya.[2]


Mengapa WTO menuai begitu banyak unjuk rasa dan protes? Lebih tragis lagi, mengapa seorang petani rela mengambil nyawanya sendiri, jauh dari kampung halaman sekedar untuk memprotes kebijakan perdagangan di WTO?


Pertanyaan tersebut mungkin akan terjawab apabila kita mengetahui apa itu WTO, bagaimana system kerjanya, kemungkinan dan potensi dampaknya terhadap kehidupan kita, serta terhadap Negara-negara berkembang dalam hal globalisasi ekonomi.


Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan globalisasi? Pada bagian ini, akan sedikit dijelaskan mengenai pengertian dari peristilahan globalisasi yang sering diperbincangkan orang itu, tentunya tidaklah sempurna, sebatas pengetahuan penulis dalam berburu dan merangkai pendapat dari beberapa orang ahli, yang berasal dari beberapa disiplin ilmu.

Secara etimologi, globalisasi berarti pengglobalan atau proses masuk ke ruang lingkup dunia.


Held menafsirkan globalisasi sebagai hubungan keterkaitan (interconectedness) dan saling ketergantungan antar benua yang berbeda, dalam berbagai aspek, dari kriminal hingga aspek budaya, dari keuangan hingga aspek spiritual.[3]

Selanjutnya Mansour Fakih mengatakan, globalisasi adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global.[4] Sedangkan menurut Wellerstein, globalisasi adalah proses pembentukan sistem kapitalis dunia.[5]


E. Goffman menganalogikan dunia dengan panggung sandiwara dimana individu-individu menjadi actor yang memegang peran dalam hubungan sosial sebagai representasi yang tunduk pada aturan yang baku[6].


Dalam teori Structural Functionalism Theory (atau yang lebih dikenal dengan functionalism saja) yang merupakan sebuah teori sosiologi dengan menekankan segala kontribusi positif yang dibuat oleh kejadian-kejadian social terhadap jalan dan lahirnya masyarakat dan pola kebudayaan masyarakat. Teori ini berada pada lingkup sosiologi makro dan memusatkan pada kelompok-kelompok besar dan pola sosial, seperti sistem sosial secara keseluruhan dan lemen fungsinya.


Pendekatan ini lebih menekankan kekuatan struktur sosial yang ada terhadap pilihan-pilihan individu. Hal ini mengartikan bahwa lingkup studi teori ini mencakup keseluruhan masyarakat, kelompok-kelompok besar, atau pola sosial tertentu dalam sebuah masyarakat.[7]


Dengan kata lain, teori ini berpandangan pentingnya dari stabilitas sosial dan keseimbangan. Akibat dari penekanan eksternal yang dibebankan kepada tiap-tiap individu, maka kapasitas dari individu tersebut untuk merubah fakta sosial yang ada, menjadi sangat terbatas.[8]


Tujuan utama paper ini selain untuk melengkapi syarat kelulusan pada mata kuliah sosiologi hukum, juga bertujuan untuk “menguak mistik” (demistifikasi) WTO yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang sulit dipahami, ada nun jauh disana, bukan urusan kita, tapi urusan para pedagang dan Departemen Perdagangan.


WTO bukanlah sesuatu yang mistik, tetapi sesuatu yang nyata, yang perlu kita pahami bersama. Yang terpenting untuk dipahami adalah kesepakatan mengenai perdagangan internasional bukanlah suatu kompromi perdagangan, tetapi merupakan proses politik, terutama dalam lembaga antar Negara yang bernama WTO.


Di dalam WTO, yang berunding adalah pemerintah, tetapi yang dirundingkan adalah para perusahaan raksasa multinasional untuk mendapatkan akses pasar, kemudahan persyaratan dagang, dan berbagai fasilitas lainnya. Maka terjadilah ironi dimana Negara harus menjalankan kewajiban di bawah WTO, tetapi perusahaan-perusahaan swasta multinasional yang justru menikmati keuntungan. Demi kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa lintas Negara itulah, para pemerintah dipaksa bekerja keras merundingkan peraturan global yang kadangkala dengan mengorbankan kepentingan rakyat.



Permasalahan

Atas dasar latar belakang tersebut diatas, maka dipandang perlu membahas permasalahan yang terjadi akibat perundingan WTO tersebut dengan batasan materi yaitu: Bagaimanakah kesanggupan Indonesia untuk bertarung dalam forum Dispute Settlement Body WTO?



Pembahasan

1. Sekilas tentang WTO

Sebagai satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara, World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan sebuah pintu gerbang bagi suatu negara untuk memperluas akses pasarnya. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.



I. Sejarah pembentukan WTO

Pasca Perang Dunia II, kondisi perekonomian dunia mengalami perlambatan yang cukup signifikan. Perbedaan pandangan politik di tengah terbentuknya dua blok baru antara kapitalisme dan komunisme, menyebabkan semakin menguatnya upaya proteksionisme perdagangan yang semakin menekan upaya perbaikan ekonomi pasca perang dunia. Kondisi ini mendorong beberapa negara yang memiliki tingkat perdagangan dunia yang besar untuk menyusun sebuah sistem perdagangan multilateral yang kemudian menghasilkan suatu kesepakatan yang dikenal sebagai General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947.


Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948,[9] proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara anggota tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS memutuskan tidak meratifikasi Piagam Havana, sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrumen multilateral yang mengatur perdagangan internasional.


Bersama berjalannya waktu, GATT semakin membuka diri kepada negara-negara lain untuk menjadi anggota. Pada tahun 1947, anggota GATT tercatat sebanyak 23 negara dan akhirnya terus berkembang menjadi 123 negara yang terlibat dalam Putaran Uruguay pada tahun 1994. Dalam Putaran Uruguay itu pulalah, para negara anggota GATT sepakat untuk membentuk suatu lembaga baru yakni WTO.[10] Setelah melewati masa transisi untuk memberikan kesempatan ratifikasi di tingkat nasional anggota, WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Walau telah terbentuk organisasi baru di bidang perjanjian perdagangan internasional, GATT masih tetap ada sebagai “payung perjanjian” di dalam WTO berdampingan dengan perjanjian lain seperti General Agreement on Trade in Service (GATS) dan Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs).


II. Prinsip WTO

Untuk menjaga agar tujuan dari WTO dapat dicapai dengan baik, diperlukan prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota. Prinsip-prinsip ini disusun dengan tujuan mencegah pembatasan perdagangan yang tidak diperlukan. Prinsip-prinsip dasar yang dianut oleh seluruh anggota WTO meliputi:

* Perlakuan sama terhadap semua mitra dagang (Most Favored Nation).[11] Prinsip ini menekankan bahwa semua anggota WTO diharuskan memperlakukan mitra dagangnya sebagai rekan dagang yang paling difavoritkan. Sehingga satu kebijakan perdagangan spesial yang diberikan kepada satu mitra dagang harus diberikan pula kepada seluruh anggota WTO yang lain. Dengan demikian, anggota WTO tidak dapat melakukan diskriminasi kepada negara tertentu. Namun terdapat beberapa pengecualian kepada negara-negara yang bergabung dalam perjanjian pasar bebas yang dapat memberlakukan kebijakan eksklusif kepada kelompoknya serta perdagangan di bidang jasa dalam batas dan kondisi tertentu.
* Perlakuan Nasional (National Treatment).[12] Prinsip ini diatur dalam Article III GATT 1994.[13] Prinsip ini mengatur ketentuan bahwa suatu produk/barang yang di impor dari Negara lain tidak boleh diberi perlakuan yang berbeda dengan maksud untuk memberikan proteksi pada produksi dalam negeri.[14]
* Pengikatan Tarif (Tariff Binding). Walau dalam perjanjian GATT suatu negara tidak dilarang untuk mengenakan tarif terhadap barang impor, GATT memberikan kesempatan untuk masing-masing negara mengikatkan diri untuk memberikan konsensi tarif berdasarkan negosiasi tarif secara multilateral. Apabila telah disepakati, tarif suatu negara atas produk tersebut tidak boleh melebihi komitmen tarif yang telah disepakati. Dalam hal pelanggaran komitmen dari negara importir, negara eksportir berhak untuk mendapatkan kompensasi ataupun bila tidak melakukan tindakan balasan (retaliasi) dengan meningkatkan tarif untuk produk yang menjadi kepentingan negara eksportir. Selain itu, dalam Protokol Maraskesh disepakati untuk melakukan penurunan tarif secara bertahap antar negara anggota WTO.[15]

III. Sistem Organisasi WTO.[16]

Berbeda dengan beberapa organisasi internasional yang lain seperti IMF dan Bank Dunia, WTO merupakan organisasi yang sepenuhnya dijalankan oleh anggota. Di dalam WTO, setiap negara memiliki kedudukan yang sama dan saling bernegosiasi dalam mengambil kesepakatan bersama. Dengan demikian tidak terdapat susunan dewan direksi yang akan menjalankan kegiatan organisasi, namun seluruh kegiatan dilakukan secara bersama-sama oleh perwakilan negara anggota WTO.


Oleh karena itu, WTO dalam mengambil keputusan melalui berbagai jenis dewan (council) dan komite (committee). Sedangkan keputusan tertinggi WTO diambil melalui forum Konferensi Tingkat Menteri yang dilakukan secara periodik selama 2 tahun sekali. Konferensi Tingkat Menteri ini mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan atas semua hal-hal yang dirundingkan ditingkat bawah dan menetapkan masalah-masalah yang akan dirundingkan dimasa mendatang. Struktur di bawah Konferensi Tingkat Menteri adalah General Council (Dewan Umum) yang didukung oleh 2 badan pendukung yakni Dispute Settlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa) dan Trade Policy Review Body (Badan Pengkajian Kebijakan Perdagangan). Untuk mendukung kinerjanya, General Council membawahi 3 badan yaitu:

* Council For Trade in Goods (CTG) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan barang. Badan ini membawahi berbagai komite ditambah kelompok kerja (working group) serta badan yang khusus menangani masalah textil dan pakaian jadi yaitu Textiles Monitoring Body (TMB). Komite-komite yang berada di bawah CTG adalah Komite yang menyangkut masalah Market Access, Agriculture, Sanitary and Phytosanitary, Rules of Origin, Subsidies and Countervailing measures, Custom Valuation, Technical Barriers to Trade, Anti-dumping Practices, Import Licensing, dan Safeguard.

* Council For Trade in Services (CTS) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan jasa. CTS hanya membawahi satu komite yaitu Committee Trade in Financial Services ditambah dengan satu kelompok kerja (working party) di bidang jasa profesional (professional services).

* Council For Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (Council For TRIPs) yaitu badan yang menangani masalah perdagangan yang berkaitan dengan masalah penggunaan hak kekayaan intelektual.

Selain dewan dan komite tersebut, WTO mempunyai Komite Plurilateral yang mengatur kesepakatan khusus diantara beberapa anggota WTO saja. Keputusan dari Komite Plurilateral ini hanya mengikat kepada negara yang menandatangani kesepakatan tersebut saja. Adapun Komite Plurilateral diwajibkan untuk menginformasikan aktivitas dan keputusan mereka kepada General Council maupun badan di bawahnya.


Untuk mendukung peran dari organisasi WTO tersebut, dibentuk sebuah sekretariat yang berlokasi di Jenewa, Swiss. Sekretariat WTO dipimpin oleh seorang Direktur Jenderal yang diangkat oleh sidang tingkat menteri. Sekretariat tersebut tidak memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan. Tugas utama dari sekretariat WTO antara lain:

* Menyediakan bantuan teknis dan profesional kepada badan-badan yang berada di dalam struktur WTO.
* Memberikan bantuan teknis untuk negara berkembang.
* Mengawasi dan menganalisa perkembangan perdagangan dunia.
* Menyediakan informasi kepada publik dan media.
* Memberikan bantuan hukum dalam proses penyelesaian sengketa.
* Memberikan saran kepada pemerintah yang ingin bergabung menjadi anggota WTO.
* Menyelenggarakan Konferensi Tingkat Menteri.

Pengambilan keputusan dalam WTO dilakukan melalui konsensus yang diperoleh dari hasil perundingan seluruh negara anggota. Namun, apabila konsesus tersebut sulit untuk dicapai, pengambilan keputusan akan dilakukan dengan pengambilan suara terbanyak (voting) dengan sistem satu negara satu suara yang ditentukan oleh suara mayoritas. Adapun kondisi yang harus dipenuhi dalam pengambilan suara terbanyak antara lain:



* Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk memutuskan kesepakatan perdagangan multilateral.
* Mendapat persetujuan minimal ¾ anggota WTO untuk melepaskan suatu negara dari suatu kewajiban dalam WTO.
* Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk mengamandemen kesepakatan WTO.
* Mendapat persetujuan minimal 2/3 anggota WTO untuk menetapkan anggota baru.




VI. Kesepakatan-Kesepakatan WTO

Sepanjang perjalanannya, WTO telah berhasil mencapai berbagai kesepakatan yang memiliki peranan penting dalam perkembangan perdagangan dunia. Kesepakatan-kesepakatan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi. Adapun secara umum struktur dasar kesepakatan dalam WTO meliputi:

* General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yakni kesepakatan di bidang perdagangan barang
* General Agreement on Trade and Services (GATS) yakni kesepakatan di bidang perdagangan jasa
* General Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Properties (TRIPs) yakni kesepakatan di bidang hak kekayaan intelektual.
* Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)

Dari keempat kesepakatan utama yang dihasilkan oleh WTO, GATT dinilai memiliki peranan terbesar bagi sistem perdagangan multilateral mengingat peranan perdagangan barang yang jauh lebih besar dibandingkan peranan perdagangan dari sektor jasa. Hasil kesepakatan GATT mengatur banyak hal guna mengurangi hambatan-hambatan yang terjadi dalam perdagangan multilateral dari mulai upaya penurunan hambatan tarif dan non tarif hingga upaya pengaturan penggunaan hambatan teknis/ technical barriers to trade (TBT) sehingga menjadi lebih transparan dan



2. Partisipasi Negara Berkembang Pada Proses Hukum WTO: Antara Harapan dan Permasalahan

Keterlibatan Negara-negara berkembang dalam proses litigasi WTO merupakan perwujudan dari suatu keinginan untuk membuat terobosan dari kesulitan yang menghimpit Negara-negara dalam menghadapi mitra dagangnya yang lebih maju.

Menurut Davis, dosen ilmu politik dari Princeton University, ada empat alasan mengapa suatu kerangka aturan hukum dapat membantu Negara-negara berkembang untuk melawan praktik diskriminatif Negara-negara kuat atas ekspor mereka:[17]

1. Tersedianya pilihan untuk mengajukan gugatan hukum memberikan kekuatan kepada Negara berkembang untuk memaksa Negara maju datang ke meja perundingan untuk membicarakan permintaan mereka;
2. Aturan penyelesaian sengketa WTO yakni Dispute Settlement Understanding (DSU) menjadikan hukum perdagangan internasional sebagai acuan (standar) guna mencapai kesepakatan;
3. Menggunakan aturan yang disepakati bersama akan memudahkan Negara berkembang mendapatkan sekutu yang memiliki keuntungan serupa untuk mendukung kasus mereka;
4. Kepentingan ekonomi jangka panjang untuk mendukung peraturan guna mendorong dipatuhinya aturan-aturan tersebut.

Menurut Habermas, negara tidak dapat terlepas dari perannya terhadap ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi persoalan pengakuan politik dari masyarakat. Begitupun sebaliknya krisis ekonomi yang akan terjadi pun akan menjadi krisis politik. Keadaan ini pada gilirannya akan memaksa negara untuk menghimpun berbagai resources dari sistem sosial budaya untuk memulihkan keseimbangan fungsi.[18]


Akan tetapi karena krisis politik itu sekali lagi mencerminkan konflik kepentingan mendasar dalam masyarakat kelas, maka mustahil menyelesaikan persoalan ini langsung melalui mekanisme integrasi sosial. Hal ini menyebabkan negara semakin kesulitan menjustifikasi kebijakan-kebijakannya. Kesulitan inilah yang kemudian menciptakan defisit legitimasi. Oleh sebab itu, korelasi peristiwa yang terjadi didalam negeri akan turut memberikan kontribusi atas stabilitas di negara lain. [19]


3. Proses Hukum Sebagai Harapan

Dalam WTO, Indonesia menggugat dalam tiga buah perkara, yakni dalam perkara US-Continued Dumping and Offset Act 2000 (WT/DST217) atau yang biasa disebut sebagai Byrd Amandement.[20] Dalam kasus ini sebagai tergugat adalah Amerika Serikat. Kasus lainnya, dengan tergugat Argentina dalam perkara Argentina Safeguard Measures on Imports of Footwears.[21] Kasus terakhir dimana Indonesia menjadi penggugat dalam perkara Korea-Antidumping Duties on Imports of Certains papers from Indonesia.[22]


Sebagai tergugat Indonesia telah menghadapi 4 gugatan dari sejumlah Negara yakni Uni Eropa, AS, dan Jepang yang kesemuanya menyangkut kebijakan Mobil Nasional Indonesia (Certain Measures Affecting the Automobile Industry, DS54, DS55, DS59 dan DS64).[23]


Sekalipun Indonesia telah menjadi peserta GATT sejak tahun 1950, namun belum pernah satu kali pun Indonesia terlibat dalam proses penyelesaian sengketa GATT, baik sebagai penggugat maupun tergugat. Indonesia hanya pernah meminta untuk bergabung (request for joinder) dalam konsultasi yang dilakukan negara-negara lain atas dasar Pasal XXII GATT.[24]


Tampaknya, yang menjadi pertimbangan utama Indonesia dalam penyelesaian sengketa dengan Negara lain adalah persoalan untung-ruginya. Cara penyelesaian sengketa diluar forum multilateral seperti GATT tampaknya dianggap yang paling baik oleh Indonesia.


Joseph Stiglitz memberikan komentar atas respon Indonesia tersebut:

“bahwa kehadiran institusi-institusi tersebut seperti seorang anak kecil yang memuntun seorang tua yang yang buta. A young boy leading an old blind man.”[25]


Maksud dari pernyataan Stiglitz tersebut adalah bagaimana institusi semacam WTO, yang tidak memiliki sumber daya selain modal, mampu melakukan intervensi yang besar dan menentukan arah kebijakan dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.


Jika menilik pernyataan tersebut di atas, sebenarnya, arah kebijakan diplomasi Indonesia telah diuraikan lebih awal oleh Muhammad Hatta:[26]


“Demoralisasi yang menandai masyarakat Indonesia tidak bisa kunjung didiamkan, melainkan harus dirubah ke arah yang lebih baik, dan pada posisi ini kaum intelegensia berperan. Kaum intelegensia didefinisikan Hatta sebagai sosok yang intelektual dan bermoral, di mana sebagai warganegara terpelajar dan mampu menimbang baik-buruk, benar-salah serta bertanggung jawab”



4. Seandainya Skenario Mobil Nasional berbeda

WTO nampaknya mulai dikenal masyarakat Indonesia melalui kontroversi Proyek Mobil Nasional (Mobnas). Ketika itu, kebijakan yang tidak adil mengenai fasilitas yang diberikan kepada satu perusahaan mobil, menuai protes baik di dalam maupun di luar negeri. Beberapa Negara kemudian mengajukan tuntutan kepada Indonesia di Badan Penyelesaian Sengketa WTO.


Pemerintah kemudian menerbitkan Keputusan Presiden (KEPPRES) No.42/1996 yang memberikan fasilitas bebas pajak komponen impor dan pajak pertambahan nilai barang mewah kepada PT. Timor Putra Nasional (TPN), milik Hotomo Mandala Puta, Putra Presiden Soeharto. Fasilitas ini diberikan dengan alasan agar Indonesia menguasai teknologi pengembangan industry di dalam negeri.


Mobil yang bermerek TIMOR (Teknologi Industri Mobil Rakyat) itu akan di produksi bekerjasama dengan KIA Motor Corporation di Korea Selatan. Tetapi pada saat peluncuran, ternyata mobil Timor tersebut tidak dirakit atau di produksi di Indonesia, melainkan di impor “bulat-bulat” dari Korea Selatan. Mobil itu tetap dinyatakan sebagai “Mobil Nasional” karena dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia di Korea Selatan dan fasilitas impor mobil tersebut hanya diberikan selama satu tahun, dari Juni 1996 hingga Juni 1997. Setelah itu Timor harus dibuat di dalam negeri.

Menurut hemat penulis, Kebijakan ini membuat banyak kalangan merasa dirugikan.

1. Impor mobil Timor jelas mengurangi pendapatan pajak Negara;
2. Perusahaan otomotif dalam negeri yang lain merasa di diskriminasikan, padahal mungkin komponen local yang mereka gunakan lebih besar dari pada Timor.;
3. Kebijakan itu adalah tindakan kolusi dan nepotisme yang memang marak pada saat itu.;
4. Perusahaan otomotif Jepang Uni Eropa dan Amerika Serikat mengatakan bahwa hal tersebut melanggar prinsip non-diskriminasi[27] dalam WTO dan kemudian mengajukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO (Dispute Settlement Body World Trade Organization).

Pemerintah pada saat itu tidak mempunyai pengacara khusus dengan spesifikasi Hukum Dagang Internasional sehingga harus menggunakan konsultan hukum dari luar negari yang dibayar dengan dollar. Pada akhirnya, Indonesia kalah dan diberi waktu untuk mencabut semua kebijakan yang dianggap diskriminatif tersebut.


Bila kita cermati Teori Konflik Ralf Dahrendorf, seharusnya semua sistem sosial itu dikoordinasi secara imperative dengan cara melakukan koordinasi yang mengharuskan adanya otoritas esensial sebagai suatu yang mendasari sebuah organisasi kenegaraan.[28]


Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas, maka dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan.


kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem sosial yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.


Oleh sebab itu, Pada tanggal 21 Januari 1998, diterbitkan KEPPRES No.20/1998 untuk mencabut KEPPRES No.42/1996. Celakanya, dalam proses sengketa di WTO, seluruh kebijakan komponen local dalam industry otomotif juga dipertanyakan dan diminta untuk direvisi. Sebagai contoh, Pemerintah Indonesia harus mencabut Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.114/M/SK/6/1993 mengenai Penentuan Tingkat Muatan Lokal dari Kendaraan Bermotor yang dibuat di dalam negeri. Perbedaan pajak atas kendaraan buatan dalam negeri juga dipertanyakan. Seluruh kebijakan otomotif nasional yang tadinya memang diberlakukan untuk mendorong kapasitas dalam negeri digugat dan harus dirubah, hanya karena satu langkah kebijakan yang salah.[29]


Kasus Mobnas menampakkan WTO sebagai lembaga yang “adil” dimata public. Tetapi, mari kita coba menyusun skenario mobnas yang lain. Seandainya, kebijakan fasilitas pengurangan pajak atas komponen impor diberikan tidak hanya pada satu perusahaan. Seandainya, Pemerintah benar-benar mengembangkan langkah-langkah dan kebijakan yang diarahkan secara adil untuk membangun kapasitas industry otomotif dalam negeri. Seandainya, mitra dari luar negeri juga dipilih melalui persaingan bebas dan terbuka. Seandainya, fasilitas kemudahan tidak diberikan kepada seorang putra presiden, tetapi kepada perusahaan yang benar-benar bekerja keras mengembangkan kapasitas produksi otomotif di dalam negeri. Seandainya, Pemerintah mempersiapkan diri dengan mengetahui celah-celah pengaman yang tidak melanggar ketentuan WTO. Faktor-faktor inilah yang seharusnya menjadi titik tolok kebijakan bagi seorang kepala Negara terhadap posisi seorang individu, yang dalam hal ini adalah putra presiden. Maka apa yang akan terjadi?


Menurut George Ritzer, mengenai paradigma dalam sosiologi, seharusnya lebih memperhatikan 3 hal, yaitu:[30]

1. paradigma fakta sosial yang menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat mempengaruhi individu;
2. paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini sekalipun struktur juga berpengaruh terhadap pemikiran individu, akan tetapi yang berperanan tetap individu dan pemikirannya;
3. paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan. Dalam hal ini interaksi antar individu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan.

Menurut Robert K. Merton konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu ada yang mengarah pada integrasi dan keseimbangan (fungsi manifest), akan tetapi ada pula konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu yang tidak dimaksudkan dan tidak diketahui. Oleh karena itu, menurut pendapatnya konsekuensi-konsekuensi objek dari individu dalam perilaku tersebut ada yang bersifat fungsional dan ada pula yang bersifat disfungsional.[31]

Konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku mampu mengarah pada integrasi dan keseimbangan, sedangkan konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku yang bersifat disfungsional akan memperlemah integrasi. Konsekuensi-konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional akan menyebabkan timbulnya ketegangan atau pertentangan dalam sistem sosial. Ketegangan tersebut muncul akibat adanya saling berhadapan antara konsekuensi yang bersifat disfungsional. Dengan adanya ketegangan tersebut maka akan mengundang munculnya struktur dari yang bersifat alternatif sebagai substitusi untuk menetralisasi ketegangan.


Dari beberapa pendekatan sosiologi diatas dapat kita simpulkan atas insiden mobnas tersebut. Beberapa Negara mungkin tetap saja akan mengajukan tuntutan ke WTO. Namun, bila kebijakan tersebut dipertanyakan oleh anggota WTO yang lain, maka kebijakan itu akan dibela oleh masyarakat luas, termasuk kalangan industry otomotif dalam negeri secara kolektif. Dalam kasus ini, Pemerintah bisa membela diri dengan menggunakan berbagai perangkat WTO sendiri yang membenarkan proteksi untuk industry yang sedang berkembang atau baru berkembang. Sayangnya, seperti dalam banyak kasus, Pemerintah tidak mengadakan kajian dan memetik pelajaran mengenai kasus Mobnas tersebut. Begitu kasus selesai, tidak dijadikan cermin untuk mengatasi persoalan lain yang akan timbul berkaitan dengan peraturan WTO.

Kasus ini dijadikan “trauma” dalam menyelesaikan persoalan lain, seperti kasus impor paha ayam, atau keterburu-buruan dalam meratifikasi TRIPs.[32]




5. Setumpuk Permasalahan Kesiapan Indonesia di Forum Dispute Settlement Body World Trade Organization.

Sekalipun sebagaimana dikemukakan, Negara-negara berkembang memainkan peranan yang lebih aktif dalam proses penyelesaian sengketa WTO dibandingkan dengan pada masa GATT 1947, namun terdapat sejumlah permasalahan serius yang masih harus diatasi. Salah satunya adalah tidak meratanya presentase Negara-negara berkembang yang memanfaatkan system ini. Sebagian besar Negara-negara berkembang hanya sekali-sekali terlibat dalam proses penyelesaian sengketa WTO atau tidak sama sekali.



Permasalahan terberat sekarang ini adalah bagaimana menggerakan kembali Putaran Doha karena dalam putaran perundingan ini antara lain dibahas pula usulan-usulan perbaikan teks hukum Dispute Settlement Understanding yang beberapa diantaranya jika berhasil disepakati akan dapat meringankan beban Negara berkembang yang menempuh proses hukum di WTO.[33]


Menurut Lewis A. Coser, konflik internal menguntungkan kelompok secara positif. la menyadari bahwa dalam relasi-relasi sosial terkandung antagonisme, ketegangan atau perasaan-perasaan negatif termasuk untuk relasi-relasi kelompok dalam, (in group) yang di dalamnya terkandung relasi-relasi intim yang lebih bersifat parsial.[34] Konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Konflik dapat terjadi antar individu, antar kelompok dan antar individu dengan kelompok.


Baginya konflik dengan luar (out group) dapat menyebabkan mantapnya batas-batas struktural, akan tetapi di lain pihak konflik dengan luar (out group) akan dapat memperkuat integrasi dalam kelompok yang bersangkutan. Konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain dapat menyebabkan solidaritas anggota kelompok dan integrasi meningkat, dan berusaha agar anggota-anggota jangan sampai pecah. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya apabila suatu kelompok tidak lagi merasa terancam oleh kelompok lain maka solidaritas kelompok akan mengendor, dan gejala kemungkinan adanya perbedaan dalam kelompok akan tampak. Di sisi lain, apabila suatu kelompok selalu mendapat ancaman dari kelompok lain maka dapat menyebabkan tumbuh dan meningkatnya solidaritas anggota-anggota kelompok.



a. Ratifikasi Tanpa Persiapan

Sebagai Negara merdeka, atas inisiatif sendiri, Indonesia meratifikasi WTO melalui Undang-Undang No.7 tahun 1994. Sejak itu pemerintah harus mengkaji ulang dan memberlakukan kebijakan perdagangan serta tariff agar sesuai dengan peraturan WTO. Seperti banyak Negara berkembang lainnya, Indonesia berharap bahwa liberalisasi perdagangan, yang diresepkan WTO, dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional sehingga diharapkan membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Tetapi, ada dua masalah berkaitan dengan hal tersebut:

1. Ketika meratifikasi WTO, tantangan utama adalah menggunakan peluang yang ditawarkan liberalisasi perdagangan dengan memperkuat daya saing, kapasitas produksi, prasarana, serta stabilitas ekonomi makro. Untuk itu, pelaku usaha, pemerintah maupun masyarakat umum, perlu memahami peraturan internasional di bidang perdagangan yang tercakup dalam WTO. Namun, pemerintah dan dunia usaha kurang memahami hak dan kewajiban dalam WTO sehingga perhatian lebih ditekankan pada bagaimana melaksanakan kewajiban yang dituntut WTO, tetapi kurang mampu memanfaatkan peluang yang ada.[35] Padahal, pada tahun 2002, iuran Indonesia ke WTO sebesar SFr.1.180.851, dihitung berdasarkan besarnya andil perdagangan Indonesia di Dunia. Indonesia termasuk 25 negara penyumbang kontribusi terbesar ke WTO. Artinya, Indonesia punya arti penting dan seharusnya berani mengambil manfaat dari arti penting tersebut.[36]

2. Berkaitan dengan hal diatas, Pemerintah Indonesia meratifikasi tanpa melakukan kajian mendasar tentang manfaat dan resiko mengenai hak dan kewajiban, serta mempersiapkan sumber daya manusia dan kapasitas di dalam negeri.



b. Kelemahan Indonesia

Secara ringkas, berikut ini beberapa kelemahan Indonesia berkaitan dengan WTO khsusus nya dalam segi kesiapan Indonesia pada Dispute Settlement Body World Trade Organization:

1. Tidak ada kebijakan dan koordinasi nasional yang utuh;

Indonesia belum memiliki suatu kebijakan perdagangan internasional yang strategis dan menyeluruh. Indonesia bahkan, misanya tidak punya visi lima tahun kedepan. Hal ini menyebabkan pemerintah sulit menentukan secara tepat posisi yang hendak dimainkan dalam perundingan-perundingan multilateral

1. Tim Nasional Indonesia untuk WTO (Dispute Settlement Body) masih banyak kekurangan, antara lain koordinasi antar lembaga yang belum lancer serta sumber daya manusia yang masih sangat terbatas. Hal ini membuat Tim Nasional nasih bersifat defensive atau reaktif, tidak proaktif.

2. Informasi Lemah

Setelah ratifikasi, belum ada perbaikan dalam pengumpulan data dan informasi yang sangat vital untuk melakukan analisis manfaat dan risiko yang kemudian dijadikan landasan penentuan posisi.





1. Sumber Daya Manusia Lemah

Diplomasi liberalisasi perdagangan merupakan kegiatan yang canggih dan memerlukan pendekatan multidisiplin. Perundingan di WTO tidak hanya memerlukan kemampuan berunding, tetapi juga pemahaman substanasi, visi ke depan, proyeksi dampak dari setiap kesepakatan yang dirundingkan dan tentu saja penguasaan bahasa inggris.

Padahal, pemahaman para pemerintah lemah, baik ditingkat legislatif maupun eksekutif, di daerah dan pusat. Hal itu terlihat dari kenyataan bahwa pemerintah meratifikasi WTO tanpa didasari pengetahuan tentang isinya. Bahkan, kesepakatan WTO itu tidak diterjemahkan dengan baik sehingga sulit dipahami oleh para pembuat kebijakan.

Para pengambil keputusan ditingkat tinggi juga tidak mempunyai semangat untuk memahaminya. Kemauan politik mereka untuk mendorong peningkatan sumber daya manusia juga lemah. Hal itu terlihat dari kenyataan bahwa tidak adanya pusat latihan khusus untuk para perunding dan pejabat pemerintah yang mempunyai kaitan dengan WTO.



2. Partisipasi Masyarakat Lemah

Pemerintah meratifikasi WTO tanpa melalui proses dialog public ataupun pendidikan masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui apa itu WTO, apa dampaknya bagi kehidupan dan sumber penghidupan mereka. Peraturan-peraturan yang dirumuskan untuk mematuhi WTO juga disusun tanpa konsultasi public. Sementara posisi pemerintah dalam berbagai Konferensi Tingkat Menteri hampir tidak pernah dikomunikasikan pada masyarakat.



Penutup


1. Kesimpulan

Sudahlah jelas, bahwa kesepakatan WTO merupakan masalah hidup atau mati bagi banyak rakyat di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Namun, persoalan perundingan di dalam Badan Penyelesaian Sengketa WTO hampir mirip dengan persoalan yang dialami oleh bangsa Dunia Ketiga pada zaman kolonialisme. Hanya mekanisme dan pelakunya saja yang mungkin berubah.



Sudah saatnya Indonesia meluruskan salah urus perdagangan internasional yang selama ini terjadi. Sudah saat nya Indonesia berhenti menjadi penontondan pengikut dalam kancah perundingan perdagangan internasional pada Badan Penyelesaian Sengketa di dalam WTO. Karena itu, diperlukan pembenahan di berbagai sektorpemerintahan dan masayarakat sebelum memulai pertarungan pada badan penyelesaian sengketa WTO agar amunisi perlawanan tidak hanya bersifat reaktif melainkan proaktif agar posisi tawar Indonesia pada badan penyelesaian sengketa WTO, jika suatu waktu Indonesia kembali menjadi Negara penggugat atau tergugat dapat serta memainkan peranannya.



1. Saran

Langkah-langkah berikut ini perlu diambil guna meluruskan salah urus yang selama ini menjadi titik lemah Indonesia dalam forum Dispute Settlement Body World Trad Organization:

a. Pembelajaran Nasional

Seluruh jajaran pemerintah, eksekutif maupun legislative, baik pusat maupun daerah, harus mempelajari beberapa prinsip dasar dan berbagai perjanjian dalam WTO agar posisi tawar dan juru runding Indonesia mampu mengoptimalkan keinginan nasional.



2. Penguatan Informasi Data

Pemerintah bekerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian, harus memperkuat informasi dan data dasar yang penting bagi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perundingan-perundingan World Trade Organization

a. Membangun koordinasi dan penyelarasaan kebijakan nasional dengan internasional
b. Memperkuat keterampilan dan perangkat perundingan guna diberdayakan pada forum Dispute Settlement Body WTO





DAFTAR PUSTAKA

Buku
1. Jurgen Habermas, Krisis Legitimasi, Qalam Press, Yogyakarta, 2004.
2. Emile Durkheim. The Rules of Sociological Method, Oxford University Press. 1962.
3. Dooglas J. Goodman. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media. 2004.
4. L. Laeyendecker. Suatu Pengantar Sosiologi, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan.Gramedia. Jakarta. 1983.
5. Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardoyo, Problem Globalisasi: Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama, Surakarta. UMS Press, 2001.
6. George Ritzer. Sociology: A Multiple Paradigm Science. Boston: Allyn and Bacon.1980.
7. Tom Cambell. Seren Theories of Human Society. Oxford University Press. New York. 1981.
8. E. Goffman. The basic of sociology: a critical examination of Herbert spencer’s synthetic philosophy. 1990.
9. J.E. Farley. Sociology, 2nd ed. Prentice Hall, New Jersey. 1992.

10. Muhammda Hatta. Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensi dalam Cendikiawan dan Politik, LP3ES, Jakarta.1983.

11. Ian Craib. Modern Social Theory: from Parsons to Habermas. Oxford University Press. New York. 1986.

12. David Held, Global Transformation: Politics, Economics and Culture, California. Stanford University Press, 1999.

13. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembanguinan dan Globalisasi, Yogyakarta. Pustaka Pelajar dan Insist Press, 2001.

14. Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005

15. Hira Jhamtani. WTO Dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, Insist Press, Yogyakarta. 2005.

16. Christoporus Barutu. Ketentuan Anti Dumping dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007

17. H.S. Kartadjoemena. GATT DAN WTO (Sitem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan). Universitas Indonesia, UI Press, 1996.

18. Joseph Stiglitz. Globalization and its discontents. W.W Norton & Company. 2002.

19. Cavanagh,et.al., Alternatives Globalization (A Better World is Possible), Alternative Task Force of the International Forum on Globalization. (drafting Committee), Berret-Koehler, Inc., San Francisco. 2002





Jurnal/Artikel



20. Dukgeun Ahn. WTO Dispute Settlement in East Asia, National Bureau of Economic Research, 1050 Massachusetts Avenue, Cambridge, MA 02138, December 2003

21. John H Jackson. World Trade and the Law og GATT: A Legal Analysis of the General Agreement on Tariffs and Trade. Charlottesville, Va: The Michie Company Law Publisher.

22. Martin Khor. How the Ministerial Began – in the Shadow of Suicide, Protest and A Non-transparent Process, Third World Resurgence, no.157/158, Sept/Oct 2003, Penang: Third World Network

23. Maria Emilia Retno K. Dampak Implementasi GATT/WTO terhadap Ekspor-impor Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1999

24. Mochamad Slamet Hidayat, et.al. Sekilas WTO (World Trade Organization) Edisi Keempat, Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri, Jakarta, tanpa tahun,

25. Biro Hubungan Masyarakat, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, “Keputusan Badan Banding WTO Atas Sengketa Dagang Produk Alas Kaki Antara Argentina dengan Indonesia.”

26. Miljani, H. Indonesia dan WTO, makalah pada Consumers International Trainning Workshop on International Trade, Denpasar: 8 Juli 2004



Web/Blog/Surat Kabar

27. United State_Continued Dumping and Subsidy Offset Act0f2000. http://www.wto.org/english/tratop_edispu_e/ds217_e.htm. diakses tanggal 20 desember 2010.

28. Argentina-Safeguard Measures on Import of Footwear. http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds123_e.htm. diakses btanggal 20 desember 2010

29. Indonesia-Certain Measures Affecting the Automobile Industry. http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds54_e.htm. diakses tanggal 20 desember 2010



30. Special Session of the Dispute Settlement Body, Report by the Chairman to the Trade Negotiation Committee, TN/DS/9,6 June 2003>http://www.to.org/.



31. Christina L. Davis. Do WTO Rules Created A Level Playing Field? Lessons From the Experience of Peru and Vietnam, Princeton.edu/-cl davis/files/davis diakses tanggal 20 oktober 2010

32. http://www.nberg.org/papers/w10178. diakses pada tanggal 19 desember 2010

33. Kompas, edisi 6 Juni dan 11 Juli 1996



[1] Jhamtani, Hira. WTO Dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, Insist Press, Yogyakarta. 2005. hal.ix

[2] Khor, Martin. How the Ministerial Began – in the Shadow of Suicide, Protest and A Non-transparent Process, Third World Resurgence, no.157/158, Sept/Oct 2003, Penang: Third World Network.

[3]David Held, Global Transformation: Politics, Economics and Culture, California. Stanford University Press, 1999., hal. 100.

[4]Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembanguinan dan Globalisasi, Yogyakarta. Pustaka Pelajar dan Insist Press, 2001, hal. 198-200.

[5]Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global, dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardoyo, Problem Globalisasi: Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama, Surakarta. UMS Press, 2001, hal. 3

[6]E. Goffman, The basic of sociology: a critical examination of Herbert spencer’s synthetic philosophy ( 1990 ), hal.122

[7]J.E. Farley. Sociology, 2nd ed. Prentice Hall, New Jersey. 1992, hal. 66-67

[8]Emile Durkheim. The Rules of Sociological Method, (1962) hal. 1-13.

[9]Mochamad Slamet Hidayat, et.al. Sekilas WTO (World Trade Organization) Edisi Keempat, Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI Direktorat Jenderal Multilateral Departemen Luar Negeri, Jakarta, tanpa tahun, hal. 6

[10]Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 36

[11]Jackson, John H. World Trade and the Law og GATT: A Legal Analysis of the General Agreement on Tariffs and Trade. Charlottesville, Va: The Michie Company Law Publisher. Hal.163

[12]Ibid, hal.273-303

[13] Perlakuan nasional yang meliputi bidang jasa, merek, paten dan Haki diterapkan pada suatu produk memasuki pasar domestic. Prinsip National Treatment tercantum dalam tiga persetujuan utama WTO (Pasal 3 GATT, Pasal 17 GATS dan Pasal 3 TRIPs). Masing-masing persetujuan tersebut mempunyai perbedaan dalam implementasi prinsip dimaksud)

[14]Maria Emilia Retno K. Dampak Implementasi GATT/WTO terhadap Ekspor-impor Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1999, hal.94

[15]Barutu, Christoporus. Ketentuan Anti Dumping dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. hal. 26

[16]Kartadjoemena, H.S. GATT DAN WTO (Sitem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan). Universitas Indonesia, UI Press, 1996. hal. 190-191

[17]Christina L. Davis. Do WTO Rules Created A Level Playing Field? Lessons From the Experience of Peru and Vietnam, Princeton.edu/-cl davis/files/davis diakses tanggal 20 oktober 2010

[18]Jurgen Habermas, Krisis Legitimasi, Qalam Press, Yogyakarta, 2004. hal.5. Dalam penjelasannya, Habermas banyak berhutang budi dari Parsons terutama tentang analisanya mengenai krisis legitimasi, Habermas mengambil analisanya dari konsek integrasi normative (normative integration), diferensiasi fungsi (fungtional differentiation), dan hubungan pertukaran (interchange relation).

[19]George Ritzer dan Dooglas J. Goodman .Teori Sosiologi Modern. Prenada Media. 2004. hal 591

[20]United State_Continued Dumping and Subsidy Offset Act0f2000. http://www.wto.org/english/tratop_edispu_e/ds217_e.htm. diakses tanggal 20 desember 2010.

[21]Argentina-Safeguard Measures on Import of Footwear. http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds123_e.htm. diakses pada tanggal 20 desember 2010. Lihat: Biro Hubungan Masyarakat, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, “Keputusan Badan Banding WTO Atas Sengketa Dagang Produk Alas Kaki Antara Argentina dengan Indonesia”, Jakarta, 27 desember 1999.

[22]Ahn, Dukgeun. WTO Dispute Settlement in East Asia, National Bureau of Economic Research, 1050 Massachusetts Avenue, Cambridge, MA 02138, December 2003. Lihat: http://www.nberg.org/papers/w10178. diakses pada tanggal 19 desember 2010

[23]Indonesia-Certain Measures Affecting the Automobile Industry. http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds54_e.htm. diakses tanggal 20 desember 2010

[24] Hatta. Op.Cit.hal.256.

[25]Stiglitz, Joseph. Globalization and its discontents. W.W Norton & Company. 2002. hal.23

[26]Hatta, Muhammad. Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensi dalam Cendikiawan dan Politik, LP3ES, Jakarta.1983. hal. 15

[27]Prinsip ini diatur dalam Article III GATT 1994. Prinsip ini mengatur ketentuan bahwa suatu produk/barang yang di impor dari Negara lain tidak boleh diberi perlakuan yang berbeda dengan maksud untuk memberikan proteksi pada produksi dalam negeri

[28]Laeyendecker, L. Suatu Pengantar Sosiologi, Tata, Perubahan, dan Ketimpangan.Gramedia. Jakarta.1983. hal. 376-377

[29]Jhamtani, Hira. Op.Cit.hal 134-136

[30]Ritzer, George. Sociology: A Multiple Paradigm Science. Boston: Allyn and Bacon.1980

[31]Craib, Ian. Modern Social Theory: from Parsons to Habermas. 1986. hal.98

[32]Kompas, edisi 6 Juni dan 11 Juli 1996.

[33]Special Session of the Dispute Settlement Body, Report by the Chairman to the Trade Negotiation Committee, TN/DS/9,6 June 2003>http://www.to.org/.

[34]Cambell, Tom. Seren Theories of Human Society. New York: Oxford, University Press.1981)

[35]Miljani, H. Indonesia dan WTO, makalah pada Consumers International Trainning Workshop on International Trade, Denpasar: 8 Juli 2004.

[36]Cavanagh,et.al., Alternatives Globalization (A Better World is Possible), Alternative Task Force of the International Forum on Globalization. (drafting Committee), Berret-Koehler, Inc., San Francisco. 2002











*dipublish untuk keperluan akademik pada mata kuliah Hukum Perdagangan Multilateral dan Regional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger