Senin, 20 Juni 2011

Pemanfaatan Segmen Geostationary Orbit (GSO) Berdasarkan Space Treaty 1967

Latar Belakang

Sejak ditemukannya teknologi penerbangan, wilayah udara menjadi penting peranannya bagi kepentingan ekonomi maupun pertahanan dari suatu Negara. Udara adalah substansi transparan yang berupa gas yang mengelilingi dunia. Wilayah udara suatu

Negara adalah ruang udara yang ada diatas wilayah daratan, wilayah lautan pedalaman, wilayah laut territorial dan wilayah laut kepulauan Negara tersebut.[1] Pada prinsipnya, Negara berdaulat atas ruang udara yang berada di atas wilayahnya. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah sampai ketinggian berapakah suatu Negara berdaulat atas ruang udaranya.


Pada waktu pecah Perang Dunia Pertama, diterima prinsip bahwa Negara berdaulat atas wilayah udaranya sampai ketinggian yang tidak terbatas. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum Romawi kuno yang menyatakan barang siapa menguasai sebidang tanah, maka ia menguasai ruang dibawah tanah tersebut sampai di neraka dan menguasai ruang udara diatas tanah tersebut hingga disurga (cujus est solum, ejust est usque ad coelum).


Pada tanggal 4 Oktober 1957, dunia mencatat suatu perkembangan spektakuler dibidang teknologi kedirgantaraan, yakni diluncurkannya satelit ruang angkasa pertama dengan nama Sputnik I oleh Uni Soviet. Kejadian tersebut telah menggemparkan seluruh dunia dan khususnya mereka yang berperan dibidang teknologi penerbangan antara lain para ahli Hukum Angkasa. Dengan berhasilnya peluncuran itu, manusia bertambah yakin bahwa pada suatu ketika ia akan sanggup melakukan penerbangan antar planet.[2]

Perkembangan kemajuan teknik penerbangan telah mempengaruhi pemikiran-pemikiran klasik tentang teori-teori kedaulatan Negara diruang udara.[3] Keberhasilan Uni Soviet tersebut kemudian diikuti oleh kegiatan-kegiatan di ruang angkasa, termasuk di bulan dan benda-benda langit lainnya, seperti Venus dan Mars oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat.[4]



Peningkatan kegiatan-kegiatan umat manusia diatas lapisan udara, termasuk angkasa luar dan kosmos, telah menimbulkan masalah baru dalam hukum internasional.[5] Dengan dilakukannya kegiatan-kegiatan di ruang angkasa tersebut menyebabkan prinsip bahwa Negara berdaulat atas ruang udaranya sampai ketinggian tidak terbatas menjadi tidak dapat dipertahankan lagi. Ruang angkasa luar memerlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan pengaturan wilayah udara.


Setelah dilakukan kerja-kerja persiapan melalui berbagai panitia, pada tanggal 9 Desember 1996, dengan suara aklamasi, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan Resolusi No.222 (XXI) dimana disetujui dibentuknya sebuah Treaty (Traktat Angkasa Tahun 1967) yang ditandatangani di Washington, London dan Moskow tanggal 27 Januari 1967. Treaty tersebut secara resmi berjudul Treaty on Principle Governing the Activities of State in the Exploration and Use of Outer Space Including the Moon and Other Celestial Bodies (selanjutnya disingkat Space Treaty (Traktat Angkasa) 1967).


Traktat angkasa tahun tahun 1967 mengatur status ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya, serta mengatur usaha-usaha dan kegiatan manusia di ruang angkasa dan sekaligus menetapkan segala hak dan kewajiban Negara-negara.[6]


Dalam prakteknya, hanya Negara-negara maju yang mempunyai teknologi kedirgantaraan sangat baik yang dapat mengambil manfaat atas ruang angkasa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya. Negara-negara miskin yang secara teknologi masih tertinggal kurang dapat mengambil manfaat atas ruang angkasa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya. Hal ini sering menimbulkan ketidakadilan internasional dalam hal pemanfaatan ruang angkasa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya.


Salah satu ketidakadilan tersebut adalah dalam hal pemanfaatan Geostationary Orbit (GSO) untuk menempatkan satelit. GSO termasuk dalam kategori orbit geosinkron, yakni orbit satelit yang pada periode putarannya sama dengan rotasi bumi pada sumbunya. Dengan demikian, sebuah satelit yang ditempatkan di GSO akan tetap kedudukannya terhadap permukaan bumi, sehingga antenna penangkap di bumi tidak perlu dipindah-pindahkan.


Salah satu kelemahannya, GSO merupakan suatu kawasan terbatas, berada tinggi di angkasa luar dan hanya ada di khatulistiwa. GSO hanya dapat di tempati satelit dalam jumlah yang terbatas. Kenyataannya menunjukan bahwa satelit yang ditempatkan di GSO jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah ideal, dan mayoritas satelit yang ditempatkan disana milik Negara-negara maju.


Ketidakadilan dalam pemanfaatan GSO menyebabkan Negara-negara khatulistiwa, termasuk Indonesia, menuntut kedaulatan atas segmen GSO di atas wilayah mereka. Tuntutan tersebut tertuang dalam Deklarasi Bogota tahun 1967. Tuntutan tersebut segera ditentang oleh Negara-negara maju yang berpandangan bahwa GSO merupakan bagian dari wilayah angkasa luar, sehingga berlaku Traktat Angkasa Tahun 1967 yang antara lain menentukan bahwa ruang angkasa adalah wilayah bebas dan tidak dapat dimiliki oleh siapapun.


Dalam perkembangannya dikemudian hari, tuntutan kedaulatan Negara-negara khatulistiwa atas segmen GSO ditanggalkan dan diubah menjadi tuntutan atas hak kelangsungan hidup (preservation right) dalam pemanfaatan GSO. Bagi bangsa Indonesia, sebagai Negara khatulistiwa terpanjang, keveradaan GSO sangatlah penting bagi kepentingan nasional.


Pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2002, Indonesia meratifikasi Traktat Angkasa tahun 1967. Dengan demikian, Indonesia mengakui bahwa wilayah angkasa luar di atas Indonesia adalah wilayah bebas. Oleh karena itu ratifikasi Indonesia atas Traktat Angkasa tahun 1967 akan berpengaruh terhadap tuntutan pemanfaatan segmen GSO di atas wilayah Indonesia bagi kepentingan Indonesia



Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dirumuskan permasalahan tersebut sebagai berikut: “Bagaimanakah Pemanfaatan segmen GSO bagi kepentingan Indonesia berdasarkan ratifikasi Traktat Angkasa Tahun 1967?”



Pembahasan

A.Masalah pemanfaatan dan Pengaturan Geo stationary Orbit

GSO merupakan suatu kawasan yang berbentuk cincin selebar 150 kilometer dan setebal 70 kilometer yang melingkari bumi di atas khatulistiwa pada ketinggian kurang lebih 35.871 kilometer, membentang ke arah barat melalui Afrika, Atlantik, Amerika, Selatan dan Pasifik. Keberadaan GSO dikkemukakan pertama kali oleh seorang sarjana terkemuka Inggris, Arthur Clark pada tahun 1945.


GSO merupakan orbit geosinkron, yakni orbit satelit yang periode putarannya sama dengan rotasi bumi pada sumbunya. Dengan demikian, sebuah satelit yang ditempatkan di GSO akan selalu tetap kedudukannya terhadap permukaan bumi, sehingga antenna penangkap di bumi tidak perlu dipindah-pindahkan atau dirubah posisinya. Disbanding dengan orbit satelit lainnya, yakni Middle Earth Orbit (MEO), dan Low Earth Orbit (LEO), GSO merupakan tempat yang paling ekonomis dan efektif untuk menempatkan satelit, khususnya satelit komunikasi. Hal ini disebabkan satelit yang ditempatkan pada GSO dapat meliput permukaan bumi lebih luas dan dapat dimanfaatkan setiap saat.


Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat internasional adalah ketidakadilan dalam memanfaatkan GSO. Oleh Negara-negara maju, GSO dipandang sebagai bagian dari ruang angkasa (outer space), sehingga di GSO berlaku prinsip kebebasan dalam pemanfaatan. Sebagai akibat berlakunya prinsip kebebasan bagi setiap Negara dalam memanfaatkan GSO, maka berlaku pula prinsip first come, first served. Prinsip tersebut menyebabkan Negara-negara maju yang memiliki teknologi tinggi dibidang ruang angkasa dapat memanfaatkan lebih dulu. Dalam prakteknya, GSO telah jenuh ditempati satelit yang sebagian besar milik Negara-negara maju dan bukan Negara-negara khatulistiwa. Sekali menempatkan satelit mereka di GSO, Negara-negara maju tersebut biasanya tidak pernah meninggalkan slot dio GSO yang digunakan untuk menempatkan satelit mereka.[7]


Perbedaan pandangan antara Negara-negara khatulistiwa dan Negara-negara teknologi maju mengenai GSO juga muncul karena belum adanya definisi yang tegas mengenai ruang udara dan ruang angkasa. Menyangkut delimitasi ruang udara dan ruang angkasa luar, mayoritas Negara khatulistiwa berpendapat bahwa penentuan definisi dan/atau delimitasi ruang angkasa harus melalui pengakuan GSO sebagai “sui generis”. Penentuan definisi dan/atau delimitasi ruang angkasa yang tidak mengakui GSO sebagai “sui generis” tidak bisa diterima.[8]


Jadi karena sifat-sifat khusus dari GSO, Negara-negara khatulistiwa menghendaki agar GSO diatur secara khusus melalui suatu rejim hukum khusus (sui generis). Indonesia bersama-sama dengan Negara khatulistiwa lainnya seperti Kolombia, Ekuador, Brasil dan Kenya sejak awal telah memperjuangkan secara aktif terbentuknya rejim hukum khusus (sui generis) mengenai GSO.[9] Dalam siding-sidang sub komite UNCOPUOS[10] pada prinsipnya ada pengakuan bahwa GSO merupakan bagian dari wilayah angkasa luar yang memiliki sifat-sifat khusus.



B.Posisi Indonesia terhadap GSO dan Pengaruh Traktat Angkasa 1967

Indonesia sebagai Negara khatulistiwa terpanjang di dunia, maka di atas Indonesia terdapat segmen GSO yang paling panjang dibandingkan Negara-negara khatulistiwa lainnya. Oleh karena itu Indonesia merasa sangat berkepentingan atas segmen GSO, khususnya yang berada di atas wilayah Indonesia.



Dasar kepentingan Indonesia atas GSO tersebut dapat dilihat dari beberapa kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Landasan Materi Posisi Dasar Republik Indonesia tentang GSO tahun 1979 berbunyi sebagai berikut:[11]

1.Keberadaan GSO pada hubungannya dengan fenomena gravitasi yang ditimbulkan oleh bagian bumi yang berada dibawahnya, sehingga GSO tidak dapat dianggap sebagai bagian dari angkasa luar (antariksa);

2.GSO adalah “limited natural resources” yang harus digunakan secara efisien dan ekonomis, sehingga perlu dijaga agar GSO jangan sampai mencapai titik kejenuhan;

3.Semakin meningkatnya jumlah satelit yang ditempatkan pada GSO, dipandang bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) ITC dan merugikan Negara-negara khatulistiwa yang merupakan Negara-negara sedang berkembang yang belum sepenuhnya dapat memanfaatkan GSO;

4.Dengan meningkatnya jumlah satelit di GSO, akan meningkatkan pula bahaya tubrukan antar satelit;

5.Kekhawatiran bagi Negara-negara khatulistiwa yang disebabkan kemungkinan digunakannya tenaga nuklir untuk satelit-satelit yang ditempatkan di GSO, dan kemudian jatuhnya satelit tersebut menimpa Negara khatulistiwa;

6.Kemungkinan penyalahgunaan GSO untuk maksud-maksud tidak bersahabat, seperti kegiatan mata-mata oleh Negara lain yang akan merugikan kepentingan Negara khatulistiwa tertentu, sehingga jika Negara-negara khatulistiwa tidak memiliki hak untuk mengatur segmen GSO diatas wilayahnya, Negara-negara khatulistiwa akan tetap menjadi korban potensial dari kegiatan mata-mata negara lain tersebut;

7.Adanya prinsip dalam Resolusi Majelis Umum PBB No.2692 (XXV) bahwa setiap rakyat dan bangsa mempunyai hak atas kedaulatan permanen atas kekayaan dan sumber-sumber alam yang harus dilaksanakannya demi kepentingan pembangunan nasionalnya dan kesejahteraan rakyatnya;

8.“Space Treaty” 1967 tidak memberikan definisi tentang ruang angkasa luar (antariksa), sehingga tidak dapat dikatakan bahwa ruang angkasa luar dengan sendirinya mencakup GSO yang mempunyai cirri-ciri khusus.



Bagaimanapun juga, GSO merupakan suatu wilayah khusus yang memiliki karakteristik berbeda dengan wilayah luar angkasa lainnya. Beberapa delegasi dalam siding Sub-Komite Hukum UNCOPUOS di Wina tanggal 29 Maret hingga 8 April 2004 mengemukakan pandangan bahwa GSO merupakan sumber kekayaan alam yang terbatas. Sebagaimana dinyatakan dalam angka Romawi V butir 53 Report of yhe Legal Subcommittee on the work of its forty-third session, hel in Vienna from 29 March to 8 April 2004 sebagai berikut:


Some delegations expressed the view that the exploitation of the geostationary orbit, which was a limited natural resource, should, in addition to being rational, be made available to all countries, irrespective of their current technical capacities, thereby providing them with the possibility of having access to the orbit under equitable of having access to the orbit under equitable conditions, bearing in mind, in particular, the needs and interest of developing countries, as well as the geographical position of certain countrie and taking into account the process of ITU.


Oleh karena itu GSO perlu pengaturan khusus pula (melalui regim hukum sui generis). Namun demikian, dipihak lain, beberapa delegasi juga menyatakan pandangan mereka bahwa GSO merupakan bagian tidak terpisahkan dari angkasa luar dan oleh karenanya tunduk pada Traktat Angkasa tahun 1967 dn Traktat mengenai The International Telecomunication Union.[12]


Sikap Indonesia setelah Indonesia meratifikasi Traktat Angkasa tahun 1967 dapat diketahui misalnya dari pedoman delegasi Republik Indonesia ke Sidang ke-42 Subkomite Hukum UNCOPUOUS di Wina. Sikap Indonesia terhadap GSO dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.UNCOPUOUS mempunyai wewenang untuk membahas berbagai aspek penggunaan GSO sesuai dengan mandat yang telah diberikan oleh Majelis Umum PBB. Penggunaan GSO hendaknya tetap memperhatikan kepentingan Negara sedang berkembang dan Negara-negara dalam geografi khusus;

2.Indonesia tetap berpegang pada hasil kesepakatan nasional mengenai posisi dasar Republik Indonesia tentang GSO yang telah dikukuhkan pada Sidang Paripurna Kedua Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (DEPANRI) tanggal 10 Desember 1998, yang memandang bahwa GSO adalah bagian dari antariksa, GSO perlu diatur dalam suatu rejim hukum khusus yang substansinya tidak bertentangan dengan Traktat Angkasa tahun 1967 dan tetap memperhatikan kepentingan Negara-negara terutama Negara berkembang dan Negara dengan letak geografi khusus, seperti Negara khatulistiwa.

3.Penggunaan GSO yang tidak rasional dan efisien dapat menyebabkan kejenuhan, sehingga GSO perlu dilestarikan;

4.GSO merupakan kawasan kepentingan nasional.


Jadi, setelah Indonesia meratifikasi Traktat Angkasa tahun 1967, sebetulnya tidak terjadi perubahan sikap yang mendasar terhadap posisi Indonesia atas GSO. Secara lebih tegas Pemerintah Indonesia telah mengakui bahwa GSO merupakan bagian dari wilayah angkasa luar (antariksa) dan tunduk pada Traktat Angkasa tahun 1967.


Berbagai usulan pernah dikemukakan dalam hal pengaturan GSO melalui rejim hukum khusus, misalnya gagasan untuk menganalogikan pengaturan GSO dengan pengaturan wilayah zona ekonomi ekslusif, kemudian ada juga usulan penggunaan GSO melalui apriori planning, allotment plan (penjatahan) dan simplified procedure. Beberapa Negara khatulistiwa juga mengusulkan untuk memberikan hak-hak berdaulat tertentu (sovereign right) pada Negara-negara khatulistiwa atas segmen GSO di atas wilayah mereka.


Meskipun Indonesia telah meratifikasi Traktat Angkasa 1967 perhatian pemerintah tehadap kepentingan nasional atas GSO nampaknya harus ditingkatkan kembali mengingat dalam perkembangan akhir-akhir ini perhatian tersebut kurang.



Penutup

Ratifikasi Indonesia terhadap Traktat Angkasa tahun 1967 menghilangkan landasan hukum yang dulu sering dipakai Indoonesia terhadap klaim kedaulatan atas segmen GSO di atas wilayah Indonesia, yakni bahwa Indonesia tidak terikat pada Traktat Angkasa 1967. Pemerintah Indonesia telah menanggalkan klaim kewilayahan atas segmen GSO, namum masih memandang segmen GSO di atas wilayah Indonesia sebagai kepentingan nasional Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga memandang GSO merupakan sumber kekayaan alam yang terbatas dan memiliki sifat-sifat khusus, sehingga perlu diatur melalui rejim hukuk khusus (sui generis). Pengaturan GSO melalui rejim hukum khusus tersebut harus memperhatikan pula pemanfaatan GSO untuk kepentingan Negara-negara berkembang pada umumnya, dan khususnya kepentingan Negara-negara khatulistiwa.

Dari pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan diatas, terdapat 2 macam saran yang bisa kita jadikan pembelajaran bersama, yaitu:

1.Meskipun telah meratifikasi Traktat tahun 1967, perjuangan Indonesia atas kepentingan GSO di forum internasional hendaknya tidak mengendur dan mengurangi klaim-klaim yang pernah dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan norma hukum internasional yang berlaku;

2.Pemerintah Indonesia dituntut untuk segera menyusun konsep rejim hukum khusus yang mengatur GSO sesuai kepentingan nasional Indonesia. Konsep tersebut kemudian harus diperjuangkan untuk dijadikan norma hukum internasional yang mengikat dan dapat diterima masyarakat internasional.



DAFTAR PUSTAKA


1. Alex Meyer. Legal Problems of Flight into the outer Space, A Symposium, Wasington, 1961.
2. E. Pepin. Legal Problems Created by the Sputnik I, Institute of International Law, Montreal, 1957.
3. E. Suherman, 1984, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Alumni, Bandung
4. F. Sugeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atmajaya Yogyakarta,Yogyakarta.
5. Hasjim Djalal, 1984, Perjuangan Republik Indonesia atas Geo-stationary Orbit (GSO), Makalah dalam Jurnal Luar Negeri 8, Alumni, Bandung.
6. Mieke Komar Kantaatmadja, 1994, Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang, Mandar Maju, Bandung.
7. Starke, J.G., 1984, Introduction to International Law, 9th edition, Butterworth, London.
8. Sjahrial Darana, 1997, Interrelasi Geografi Indonesia terhadap GSO Dikaitkan dengan Kepentingan Nasional dan Pengaruhnya terhadap Hukum, Makalah dipresentasikan sebagai tanggapan dan bahan masukan terhadap perubahan posisi dasar RI tentang GSO, LAPAN, Jakarta.
9. Triyana Yohanes, 1996, Kebutuhan akan Undang-undang Dirgantara dan Masalah GSO, artikel pada harian Suara Pembaruan, Jakarta.
10. Verschoor, Diederiks, Ph, 1991, alih bahasa oleh bambang Iriana DJ, Persamaan dan Perbedaaan antara Hukum Udara dan Hukum Ruang Angkasa, Sinar Grafika, Jakarta.
11. Bahan Pedoman Delegasi RI ke Sidang Ke-47 Komite PBB tentang Penggunaan Antariksa Untuk Maksud Damai (UNCOPUOS), Wina, Austria 2-11 Juni 2004.
12. Report of the Legal Subcommittee UNCOPUOS on the work of its forty-third session, held in Vienna from 29 March to 8 April 2004.
13. Ringkasan Laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, Jakarta 22-24 Desember 2003
14. Priyatna Abdurrasyid, 1972, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta.
15. ………………………,1987, Pengantar Hukum Ruang Angkasa dan Space Treaty 1967, BPHN, Jakarta.
16. ………………………,1989, Hukum Antariksa Nasional, Rajawali Press, Jakarta.



[1] Istanto, F.Sugeng, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 1994. hal.41.

[2] E. Pepin. Legal Problems Created by the Sputnik I, Institute of International Law, Montreal, 1957. hal.10


[3] Alex Meyer. Legal Problems of Flight into the outer Space, A Symposium, Wasington, 1961, hal.8


[4] Starke, J.G. Introduction to International Law,9th edition, Butterworth, London, 1984. hal. 171


[5] Ibid. hal.170


[6] Abdurrasyid, Priyatna. Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta,1984. hal.48.


[7] Triyana Yohanes, Kebutuhan akan Undang-undang Dirgantara dan Masalah GSO, artikel pada harian Suara Pembaruan, Jakarta,1996.


[8] Abdurrasyid, Priyatna. Hukum Antariksa Nasional, Rajawali Press, Jakarta, hal.99


[9] Hajim Djalal, 1984. Perjuangan Republik Indonesia atas Geo-stationary Orbit (GSO), Makalah dalam Jurnal Luar Negeri 8, Alumni, Bandung.


[10] Pada tahun 1958, PBB melalui Komite yang bernama United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUS) telah menghasilkan UNGA Resolution 1348 (XIII), tanggal 13 Desember 1958 yang menetapkan perlu adanya kerjasama ilmiah dalam usaha pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan-tujuan damai


[11] Sjahrial Darana, 1997. Interrelasi geografi Indonesia terhadap GSO Dikaitkan dengan Kepentingan Nasional dan Pengaruhnya terhadap Hukum, makalah dipresentasikan sebagai tanggapan dan bahan masukan terhadap perubahan posisi dasar RI tentang GSO, LAPAN, Jakarta,hal.1-2


[12] Bahan Pedoman Delegasi RI ke Sidang Ke-47 Komite PBB tentang Penggunaan Antariksa Untuk Maksud Damai (UNCOPUOUS), Wina, Austria 2-11 Juni 2004. hal. 17.







*dipublish untuk keperluan akademik dalam Ujian Akhir Semester pada mata kuliah Hukum Pemanfaatan Udara dan Angkasa Internasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger