Rabu, 22 Juni 2011

MINIMUM ORDER DAN OPTIMUM ORDER DALAM HUKUM INTERNASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

Hukum internasional memiliki fungsi sosial yang sama layaknya bentuk hukum lainnya. Hukum internasional merupakan sebuah konstitusi yang dibuat sendiri oleh, dan untuk masyarakat internasional itu sendiri. Hukum merupakan produk dari sebuah proses sosial yang mencerminkan kepentingan bersama dari sebuah masyarakat dan mengatur pembuatan dan pelaksanaan dari hukum tersebut. Kondisi hukum internasional dalam suatu waktu mencerminkan tingkatan dari perkembangan suatu masyarakat internasional.

Dalam tatanan masyarakat internasional, terdapat kekuatan-kekuatan dunia yang efektif atau disebut dengan effectives elites of the world, yang secara politis mampu mengarahkan kepentingan bersama masyarakat dan menolak kepentingan-kepentingan tertentu. Kepentingan bersama ini dikategorikan dalam dua jenis, yaitu:

1) Kepentingan inklusif (inclusive interest), yaitu permintaan dan harapan mengenai sebuah tindakan yang mempunyai tingkat pengaruh tinggi, atau dengan kata lain memiliki dampak yang luas terhadap komunitas internasional secara keseluruhan.

2) Kepentingan eksklusif (exclusive interest), yaitu permintaan dan harapan mengenai sebuah kegiatan yang memiliki pengaruh hanya terhadap beberapa kelompok orang dalam sebuah wilayah tertentu.

Jika kita berbicara mengenai kepentingan bersama, maka dapat pula muncul kemungkinan bahwa kepentingan bersama tersebut akan berbenturan dengan kepentingan pribadi atau kelompok. Meskipun demikian, kepentingan bersama bukanlah suatu penindasan atas sebuah kepentingan tertentu. Kepentingan bersama muncul akibat pertemuan antara sesuatu yang seyogyanya terjadi (ideal) dengan kenyataan atau realita. Tidak menjadi masalah apakah kepentingan bersama ini muncul akibat putusan sepihak dari kekuatan tiran atau muncul dari keinginan masyarakat langsung, karena kepentingan bersama ini dipengaruhi secara mutlak oleh politik.

Dari perspektif global, inclusive interest dari penduduk dunia secara keseluruhan adalah mempertahankan apa yang dimaksud dengan minimum order, yaitu meminimalisasi (mengurangi atau menekan) kekerasan yang dilarang dan unsur paksaan lainnya. Ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan sebuah cerminan dari aspirasi masyarakat dunia mewujudkan kepentingan yang sangat penting ini.

Masyarakat dunia pada dasarnya juga memiliki sebuah keinginan atau kepentingan yang lebih dari sekedar minimum order, yaitu kepentingan yang lebih jauh yang dinamakan optimum order. Optimum order ini merupakan menghasilkan dan mendistribusikan segala bentuk-bentuk nilai yang diinginkan secara maksimal yang dapat diperoleh melalui sumber daya yang tersedia.

Tatanan atau order dalam hubungan internasional dapat memiliki berbagai pengertian dan interpretasi. Dalam sebuah konferensi yang bernama “Conditions of World Order” di Bellagio, Italia, mendefinisikan tatanan atau order sebagai “kondisi minimum untuk hidup berdampingan.” Namun pada kenyataannya tatanan dalam negara secara tradisional merupakan sebuah produk hierarkis. Jadi dapat dipahami bahwa terdapat ketimpangan dan perbedaan (inequality) antara negara dalam tatanan dunia.



BAB II
MINIMUM ORDER SEBAGAI DASAR UNTUK MENEKAN KEKERASAN DAN PAKSAAN YANG DILARANG

Pada bab sebelumnya telah disebutkan sebelumnya, minimum order dikatakan sebagai upaya meminimalisasi (mengurangi atau menekan) kekerasan yang dilarang dan unsur paksaan lainnya. Selanjutnya akan dibahas mengenai unsur-unsur yang terkait mengenai masalah minimum order.

1. Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB sebagai Dasar Larangan Penggunaan Paksaan dan/atau Kekerasan

Perwujudan minimum order dalam hukum internasional pada dasarnya dituangkan secara tertulis dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang menyatakan:

All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.

Pendahulu PBB, yaitu Liga Bangsa-Bangsa pada dasarnya juga menyebutkan prinsip meminimalisasi kekerasan dalam bagian pembukaan, namun hanya dalam rangka pencapaian perdamaian dan keamanan internasional serta kewajiban untuk tidak melakukan perang. Ketika Pasal 2 ayat (4) masih dalam rancangan, sengaja tidak digunakan istilah war atau perang, melainkan “the threat of force”.

War atau perang memiliki arti yang lebih teknis dan sempit, sementara negara-negara terkadang terlibat dalam sebuah situasi yang mengancam namun tidak menyatakan bahwa mereka secara teknis sedang dalam perang. Situasi yang mengancam ini dapat berupa insiden perbatasan yang berskala kecil, hingga operasi militer yang besar.

Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB ini dielaborasikan dan dianalisis secara sistematis dalam Declaration on Principles of International Law (1970). Dalam deklarasi ini disebutkan bahwa: Pertama, tindakan atau perang dengan cara agresi, mengandung kejahatan terhadap perdamaian, dimana terdapat suatu pertanggunjawaban dalam hukum internasional.

Kedua, negara-negara dilarang menggunakan ancaman atau kekerasan untuk melanggar ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional atau dalam menyelesaikan sengketa.

Ketiga, negara berkewajiban untuk menghindari penggunaan kekerasan dalam tindakan reprisal (pembalasan).

Keempat, negara dilarang menggunakan kekerasan untuk membatasi sekelompok orang untuk menentukan nasib sendiri atau menentukan kemerdekaannya.

Kelima, negara harus menghindarkan diri dari tindakan membantu atau mengatur perselisihan sipil atau terorisme di negara lain dan menghindarkan diri untuk mendorong dibentuknya pasukan yang digunakan untuk menyerang secara mendadak di wilayah negara lain.

Perlu diketahui bahwa Pasal 2 ayat (4) juga meliputi ancaman kekerasan (selain penggunaan kekerasan). Masalah ini dinyatakan dalam sebuah advisory opinion di Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) kepada Majelis Umum PBB perihal Keabsahan Ancaman atau Penggunaan Kekerasan dalam Senjata Nuklir.

Mahkamah Internasional berpendapat bahwa maksud atau niat yang jelas untuk menggunakan kekerasan dalam suatu keadaan dapat digolongkan dalam sebuah ancaman terhadap Pasal 2 ayat (4). Hal ini dicontohkan dalam ancaman-ancaman terhadap sebuah negara, sehingga negara tersebut melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan politis atau ekonomis tertentu.

Sehubungan dengan larangan penggunaan kekerasan terhadap kesatuan wilayah atau kemerdekaan politis dari negara manapun atau bentuk-bentuk lain yang tidak sesuai dengan tujuan PBB, terdapat Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States (1965) yang menekankan bahwa: “tidak satupun negara berhak untuk mengintervensi, secara langsung atau tidak langsung dengan alasan apapun, dalam masalah internal atau eksternal dari suatu negara.

Dengan kata lain, intervensi bersenjata dan segala bentuk campur tangan lainnya atau percobaan ancaman terhadap sifat dari sebuah negara, atau terhadap elemen politis, ekonomis dan budaya suatu negara, adalah perbuatan yang dikutuk.

Ketentuan ini juga ditegaskan dalam sebuah kasus di Mahkamah Internasional, yaitu kasus Corfu Channel. Dalam kasus ini Inggris menuntut pembenaran atas intervensinya ketika menyapu ranjau-ranjau di kanal Corfu sebagai bukti untuk dipergunakan dalam proses peradilan. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa: “pembenaran terhadap intervensi tersebut merupakan manifestasi dari sebuah kebijakan kekerasan yang sejak dahulu mengakibatkan pelanggaran serius, sehingga tidak sesuai dalam hukum internasional.


2. Jenis-Jenis Paksaan atau Kekerasan

Menurut Malcolm Shaw, sejak Piagam PBB dilahirkan, paling tidak terdapat 3 kategori keekrasan atau paksaan dalam hukum internasional, yaitu retorsion, reprisal dan self-defence.

1) Retorsion (Retorsi)

Retorsion adalah tindakan tidak bersahabat atau yang merugikan suatu negara dalam rangka pembalasan terhadap negara lain karena telah melakukan tindakan yang merugikan sebelumnya. Retorsion merupakan tindakan yang dibenarkan sebagai penunjukkan ketidaksenangan terhadap negara lain, namun masih dalam lingkup dapat dibenarkan.

2) Reprisal (Balas Dendam)

Reprisal atau balas dendam adalah tindakan yang illegal yang dilakukan oleh negara sebagai bentuk pembalasan atas tindakan illegal yang telah dilakukan terlebih dahulu oleh negara lain. Kasus klasik yang menangani masalah reprisal ini adalah kasus Naulilaa. Pengadilan menyatakan bahwa reprisal dapat dibenarkan dan dilakukanm ketika terdapat pembenaran akibat sebuah tindakan yang dilakukan sebelumnya yang telah melanggar hukum internasional. Jika hal ini terjadi, reprisal harus dilakukan atas dasar rasa tidak puas terhadap pemulihan dan disertai dengan tindakan yang proporsional antara pelanggaran dan reprisal tersebut.

3) Penggunaan Hak untuk Membela Diri
Hak untuk Membela Diri terdapat pada Pasal 51 Piagam PBB yang menyatakan bahwa:

“Noting in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self defence if an armed attack occurs against a member of the United Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and security…”

Hak untuk Membela Diri adalah sebuah pengecualian dalam penggunaan paksaan atau kekerasan dalam hukum internasional, meskipun hal ini tidak terlepas dari kontroversi. Salah satu kontroversi adalah hak dalam pembelaan diri secara antsipatif (right of anticipatory self-defense). Dalam pengaturan Pasal 51 digunakan kalimat “if an armed attack occurs…” Hal ini jika dimaknai secara harfiah, maka sebuah serangan bersenjata harus ada terlebih dahulu agar dapat digunakan sebuah kekerasan dalam rangka upaya bela diri. Para pendukung hak dalam pembelaan diri secara antsipatif ini menyatakan bahwa Pasal 51 tidak membatasi keadaan-keadaan menetukan dimana bela diri dapat dilakukan.

Mereka menolak kata if (jika) yang digunakan dalam Pasal 51 ini berarti hanya dalam keadaan if (jika) saja. Sehingga mereka berpendapat secara ekstrim bahwa negara dapat menggunakan paksaan/kekerasan dalam rangka mempertahankan kepentingannya yang sangat besar, meskipun tidak ada serangan kekerasan secara nyata atau indikasi/bahaya yang nyata.

Meskipun demikian, setelah Piagam PBB berlaku dan mengikat (24 Oktober 1945), masih terdapat pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan ini yang dilakukan oleh negara-negara kuat (adikuasa), dan Dewan Keamanan tidak dapat berbuat banyak karena dibayang-bayangi hak veto yang dimiliki negara-negara kuat tersebut. Untuk mengetahui dampak dari Piagam PBB ini terhadap tindakan-tindakan militer dan pembenarannya dari negara-negara kuat di dunia, maka kita harus mengetahui bentuk dan tujaun dari Piagam itu sendiri.

Hingga saat ini negara-negara anggota PBB mengandalkan Dewan Keamanan dalam rangka menjaga perdamaian dan keamanan internasional dan bersedia bekerja sama antara satu dengan yang lain dalam menempuh upaya-upaya yang diputuskan dalam Dewan keamanan.


3. Pembatasan

Seperti yang tertuang dalam Piagam PBB, terdapat batasan-batasan dalam penggunaan kekerasan ini. Pertama adalah larangan penggunaan kekerasan atau ancaman terhadap kesatuan wilayah atau kemerdekaan politis negara manapun (Piagam PBB Pasal 2 ayat (4)).

Kedua adalah larangan penggunaan kekerasan atau ancaman terhadap tujuan-tujuan dari PBB, yaitu menjaga perdamaian dan keamanan internasional, upaya pencegahan terhadap ancaman perdamaian, penggunaan agresi atau bentuk-bentuk lainnya yang merupakan pelanggaran terhadap perdamaian (Piagam PBB Pasal 2 ayat (1)), menciptakan persahabatan dengan dasar persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi tiap orang (Piagam PBB Pasal 2 ayat (2)).

Ketiga, larangan penggunaan kekerasan tidak berlaku ketika negara melaksanakan hak inheren-nya dalam upaya pembelaan diri ketika mendapatkan serangan-serangan…sampai Dewan Keamanan memutuskan upaya apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional (Piagam PBB Pasal 51).

Segala tindakan kekerasan diluar hal-hal diatas dikatakan sebagai tindakan yang illegal, atau suatu ancaman perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian dan tindakan agresi (Piagam PBB Pasal 39).




BAB III
UPAYA PENCAPAIAN OPTIMUM ORDER PADA TINGKAT INTERNASIONAL

1. Pengertian Optimum Order

Penduduk dunia memiliki kepentingan yang lebih ekstensif berupa optimum order. Optimum order didefinisikan oleh Profesor Chen sebagai “…the greatest production and widest distribution of all demanded values that can be attained with available resources.” .

Perspektif optimum order atau ‘ketertiban dunia yang optimal’ menurut definisi Profesor Chen tersebut merupakan suatu konsep yang utopis, didasari oleh harapan agar nilai-nilai dasar yang diinginkan manusia dapat dinikmati secara merata oleh setiap orang di seluruh dunia. Nilai-nilai yang ingin dicapai oleh optimum order meliputi nilai-nilai yang berlaku universal di seluruh dunia, antara lain:

kesehatan, kesejahteraan, pengetahuan, saling menghormati, kebahagiaan, dan sebagainya. Singkatnya, optimum order yang dicita-citakan manusia adalah keberlakuan hak-hak azasi manusia (HAM) secara merata di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang suku, ras, agama, kebangsaan, maupun negara.

Profesor Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa HAM dipercaya memiliki nilai universal yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Upaya meletakkan nilai universal HAM telah dilakukan pada tingkat internasional dalam berbagai instrumen hukum internasional yang ada, mulai dari Piagam PBB, Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia, hingga kovenan-kovenan HAM internasional serta sejumlah konvensi dalam bidang-bidang khusus dan ekspresi-ekspresi mengenai HAM.

Pembukaan Piagam PBB misalnya menyatakan “…to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large and small….AND FOR THESE ENDS to practice tolerance and live together in peace with one another as good neighbors…”

Perkembangan selanjutnya, prinsip-prinsip mengenai HAM diatur dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia (DUHAM), yang meskipun sifatnya tidak mengikat (soft law) namun dalam prakteknya telah menjadi kebiasaan internasional. Instrumen HAM internasional lain di samping DUHAM adalah International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Ketiga instrumen HAM ini secara bersama-sama dipandang sebagai piagam hak-hak azasi manusia internasional.

Masyarakat internasional dalam masa sekarang dapat dikatakan telah mencapai kondisi minimum order (keamanan dan perdamaian), sehingga dimulailah upaya menciptakan optimum order. Minimum order dan optimum order memang saling mempengaruhi satu sama lain sebab optimum order yang dicita-citakan hanya dapat diusahakan apabila minimum order (keamanan dan perdamaian) telah tercapai, sebaliknya dalam pertumbuhan interdependensi pada tingkat komunitas dunia, minimum order tidak dapat dipertahankan tanpa didukung optimum order yang memadai.

Bukti pencapaian minimum order adalah adanya tuntutan pengakuan HAM dalam tingkatan yang paling dinamis dan komprehensif, mulai dari Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, hingga sejumlah Perjanjian Internasional bidang HAM dan induk bagi perjanjian yang lebih khusus tentang HAM. Bukti lainnya ialah meningkatnya penggunaan istilah “umat manusia” (“mankind”) dalam berbagai instrumen hukum internasional , sebagaimana diungkapkan Profesor Chen sebagai berikut:

Examples abound: the U.N. Charter refers in its preamble to wars as the “scourge of mankind”; the Nuclear Nonproliferation Treaty admonishes the “devastation that would be visited upon all mankind by a nuclear war”; the Antarctic Treaty seeks to protect the “interests of science and mankind”; the Outer Space Treaty declares outer space to be the “province of all mankind” and astronauts to be the “envoys of mankind”.

Jadi optimum order kemudian membuat masyarakat internasional mengatur bidang-bidang yang lebih luas dari keamanan dan perdamaian semata, bidang-bidang yang berarti penting bagi manusia seiring berkembangnya waktu, serta bidang-bidang yang tidak sempat terpikirkan pada masa yang penuh dengan peperangan.


2. Contoh Upaya Mencapai Optimum Order sebagai Standar Baru dalam Pergaulan Masyarakat Internasional

Masyarakat internasional yang telah mencapai suatu tingkatan minimum order yang relatif stabil dewasa ini kemudian mencoba mencapai optimum order dalam beberapa bidang tertentu. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai upaya kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) agar hak seseorang untuk menentukan orientasi seksual serta identitas gender ditetapkan sebagai instrumen HAM internasional sebagai contoh upaya mencapai optimum order oleh masyarakat internasional dewasa ini.

Upaya kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) agar hak seseorang untuk menentukan orientasi seksual serta identitas gender ditetapkan sebagai instrumen HAM internasional merupakan salah satu contoh pembentukan optimum order.

Sebagaimana diketahui, orientasi seksual dan identitas gender manusia secara kodrati adalah heteroseksualisme (hubungan dengan lawan jenis) antara laki-laki dengan perempuan, sedangkan kaum LGBT adalah sekelompok orang yang orientasi seksual maupun identitas gendernya selain heteroseksual. Secara teknis terdapat tiga macam orientasi seksual, yaitu:

• Homoseksual: memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis (lesbian/terhadap sesama perempuan, gay/terhadap sesama laki-laki);

• Heteroseksual: memiliki orientasi seksual terhadap lawan jenis (laki-laki dengan perempuan);

• Biseksual: memiliki orientasi seksual terhadap kedua jenis, baik laki-laki maupun perempuan.

Kaum LGBT sebagaimana telah disebutkan, orientasi seksualnya termasuk meliputi homoseksual dan biseksual.

Aspek lain dari kaum LGBT yaitu identitas gender diwakili oleh istilah transgender, sifatnya psikologis berbeda dengan orientasi seksual yang bersifat biologis. Transgender bentuknya bisa bermacam-macam, antara lain: laki-laki yang bersikap seperti perempuan (lazim disebut waria), perempuan yang bersikap seperti laki-laki (lazim disebut tomboi), memakai pilihan busana yang berkebalikan dari fisiknya sejak lahir (cross-dresser), bahkan hingga melakukan operasi penggantian kelamin agar sesuai dengan pilihan identitas gendernya sebagaimana yang dilakukan Dorce Gamalama.

Kaum LGBT sejatinya bukan merupakan fenomena yang baru-baru saja terjadi, meskipun tidak diketahui dengan pasti sejak kapan tepatnya aktivitas kaum LGBT bermula, namun fenomena tersebut telah tercatat dalam berbagai literatur dan dokumen sejarah hingga sebelum zaman masehi. Contoh yang paling sederhana adalah kisah kota Sodom dan Gomorrah yang dimusnahkan karena penduduknya melakukan homoseksualitas dan seks bebas.

Kaum LGBT berupaya mendapatkan pengakuan serta perlindungan hukum internasional atas hak untuk menentukan orientasi seksual dan identitas gender secara mandiri sesuai dengan Pembukaan DUHAM yang mengakui “…inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world.” DUHAM menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang setara dan mutlak tak terhapuskan terhadap sesamanya. Pasal 2 DUHAM lebih lanjut menyatakan sebagai berikut:

Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty.

Pernyataan serupa juga terdapat dalam ketentuan Pasal 2.1 ICCPR serta Pasal 2.2 ICESCR.

Sejumlah instrumen hukum internasional di bidang HAM mengatur beberapa bidang tertentu dalam suatu konvensi tersendiri, masing-masing adalah:

1.Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD);
2.Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW);
3.United Nations Convention Against Torture (CAT);
4.Convention on the Rights of the Child (CRC);
5.Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD);
6.International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families (ICRMW atau MWC).

Perjuangan kaum LGBT di tingkat internasional adalah agar hak untuk menentukan orientasi seksual dan identitas gender secara mandiri ditetapkan sebagai konvensi HAM oleh PBB, sebagaimana keenam konvensi tersebut di atas.

Upaya kaum LGBT di tingkat internasional dimulai dari dikeluarkannya Resolusi Brazil yang membahas tentang hak azasi manusia dan orientasi seksual. Resolusi ini dipresentasikan di hadapan Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada bulan April 2003, dengan didukung Austria, Belgium, Brazil, Kanada, Republik Czech, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Liechtenstein, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Portugis, Spanyol, Swedia, serta Inggris, akan tetapi pembahasan resolusi ini ditunda pada tahun 2004 karena dirasa tidak akan diterima.

Kelanjutannya, kaum LGBT memprakarsai Deklarasi Montreal (The Declaration of Montreal on Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender Human Rights) yang diadopsi di Montreal, Kanada, tanggal 29 Juli 2006, oleh The International Conference on LGBT Human Rights. Deklarasi tersebut dihadiri lebih dari 1500 delegasi dari berbagai penjuru dunia yang kemudian menyetujui deklarasi tersebut. Deklarasi Montreal menggarisbawahi sejumlah hak dan kemerdekaan bagi kalangan LGBT yang oleh hukum internasional dijamin secara universal

Langkah lain kaum LGBT ditempuh melalui Prinsip Yogyakarta (The Yogyakarta Principles on the Application of International Human Rights Law in relation to Sexual Orientation and Gender Identity” yang berisi garis besar prinsip-prinsip internasional terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender. Prinsip Yogyakarta disusun pada pertemuan International Commission of Jurists dan pakar HAM dari penjuru dunia di Universitas Gadjah Mada tanggal 6 - 9 November 2006, berisi 29 prinsip yang disetujui seluruh pakar, serta sejumlah rekomendasi kepada pemerintah, lembaga regional, masyarakat sipil dan PBB.

Upaya terbaru dari perjuangan kaum LGBT adalah dengan dikeluarkannya instrumen HAM berjudul United Nations Declaration on Sexual Orientation and Gender Identity yang diajukan oleh Perancis dan Belanda dengan dukungan Uni Eropa kepada Majelis Umum PBB tanggal 18 Desember 2008, didukung oleh 68 dari 192 negara anggota PBB, termasuk seluruh anggota Uni Eropa dan sebagian besar negara-negara barat. Negara anggota yang lain tetap menolak isi resolusi tersebut dikarenakan menyangkut persoalan sensitif, tampak bahwa perjuangan kaum LGBT untuk memperoleh pengakuan pada tingkat internasional telah sampai sejauh ini, namun tampaknya tercapainya cita-cita tersebut sebagai salah satu bentuk optimum order belum akan terwujud dalam waktu dekat.




BAB IV
KEKUATAN-KEKUATAN DUNIA YANG BERPENGARUH DALAM PEMENUHAN MINIMUM DAN OPTIMUM ORDER

Tatanan dunia saat ini masih ditandai oleh pembagian-pembagian kekuatan. Kelompok negara maju dan negara berkembang masih memiliki perbedaan pandangan dalam berbagai hal, khususnya mengenai ekonomi dan lingkungan global. Perbedaan ideologi dasar dalam sisi politik, sosial dan ekonomi mengakibatkan munculnya perbedaan dalam perwujudan sistem dan tatanan dunia, baik secara domestik maupun transnasional.

Universalitas masih sebatas sebuah visi saja, mengingat perkelompokan dan ketergantungan satu sama lain masih terus bertahan dan menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.

Perang Dingin merupakan peperangan antara Barat (Liberal) dan Timur (Komunis) yang terjadi untuk mengejar kepentingan mereka dalam perlombaan di bidang luar angkasa dan nuklir. Perang Dingin berakar pada upaya pembangunan Eropa yang runtuh melalui Kebijakan Luar Negeri. Amerika Serikat memberikan Kebijakan Bantuan Luar Negeri kepada Eropa Barat yang disebut dengan Marshall Plan, sementara Uni Sovyet melakukan upaya yang sama kepada Eropa Timur dengan apa yang disebut dengan Molotov Plan. Dampak yang cukup signifikan akibat Perang Dingin ini salah satunya adalah pembagian wilayah Jerman (Barat dan Timur) dan terbentuknya pakta pertahanan yaitu NATO dan Pakta Warsawa.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Perang Dingin merupakan sebuah Perang Nuklir dan Perlombaan Ruang Angkasa, namun kedua belah pihak menyadari akan adanya bahaya yang terjadi apabila Perang Nuklir akan benar-benar terjadi. Ada upaya untuk mengurangi, membatasi atau memusnahkan senjata nuklir, antara lain:

a. Non Poliferation Treaty 1968 (antara AS dan Uni Sovyet);
b. Strategic Arms Limitation Talks 1972 atau SALT I yang berisi kesepakatan untuk membatasi persediaan senjata-senjata nuklir strategis;
c. Strategic Arms Reduction Treaty 1982 atau START (antara AS dan Ui Sovyet)
d. Perlombaan ruang angkasa: Sputnik I dan II (1957) oleh Uni Sovyet dan Explorer I dan II, Discoverer dan Vanguard (1958) oleh AS.


Perang Dingin pada saat itu sangat mempengaruhi kehidupan umat manusia, dimana banyak harta kekayaan yang dikeluarkan, jangkauan secara geografis dapat terwujud, dampak lingkungan yang berkepanjangan. Hal ini membuat Perang Dingin menjadi salah satu konflik yang terbesar dalam sejarah umat manusia. Setelah Perang Dingin berakhir dengan ditandai runtuhnya Uni Soviet pada sekitar tahun 1991, kekuatan-kekuatan dunia yang baru pun muncul.

1. Kebangkitan Uni Eropa dan Jerman

Setelah Eropa runtuh akibat Perang Dunia II, pemerintah negara-negara Eropa berusaha bangkit dengan secara bersama-sama mendukung perkembangan ekonomi satu sama lain melalui European Coal and Steel Community (ECSC) yang kemudian pada tahun 1957 dibentuk European Economic Community (EEC). Usai Perang Dingin, Eropa secara cepat mampu membangun kembali perekonomiannya. Eropa Barat menjadi yang tercepat, Eropa Tengah seperti Hungaria, Slovenia dan Polandia juga mampu beradaptasi secara cepat. Eropa Timur masih harus menyesuaikan diri. Meskipun secara bersama-sama Eropa berusaha bangkit, Yugoslavia dilanda perang. Kebangkitan perekonomian Jerman dibantu melalui The Marshall Plan (Investments Funds for the European Recovery Program) yang bertujuan untuk memodernisasi praktek bisnis dan memaksimalan potensi terbesar dari Jerman.

Pada tahun 1970-1980 Jerman mengalami kenaikan dalam perkembangan ekonominya, meskipun terkadang mengalami penurunan juga. Setelah Jerman bersatu, maka diinvestasikan sejumlah dana yang besar untuk pembangunan Jerman Timur. Jerman yang kembali bersatu kini menjadi kekuatan ekonomi yang sangat besar di dunia. Jerman didukung dengan tenaga kerja yang berketerampilan tinggi, infrastruktur yang modern, modal yang besar dan tingkat korupsi yang rendah menjadikan kekuatan ekonomi Jerman no. 1 di Eropa dan no. 4 di dunia. Hasil ekspor Jerman yang terkenal meliputi mesin-mesin, mobil, teknologi, bahan kimia dan daging.


2. Asia: China dan India

a. India

Perkembangan ekonomi India pada hakikatnya sudah dimulai pada masa penjajahan Inggris. Namun pada periode sebelum tahun 1991, India menerapkan sebagian sistem ekonomi protektionis dan sosialis, karena perekonomian India sangat tertutup terhadap dunia luar akbiat intervensi pemerintah berupa regulasi-regulasi. Pada tahun 1991, India menerapkan kebijakan ekonomi pasar bebas. Ekonomi pasar bebas di India menghasilkan investasi dan perdagangan asing (ekspor-impor). Ekspor unggulan India berada di sektor pertanian dan industri, khususnya tekstil. Selain kedua produk ini, India juga memiliki ekspor berupa: minyak, bahan kimia, dan batu-batu berharga. Pada tahun 2009/2010, IMF menyatakan India menempati urutan kesebelas dalam perekonomian dunia dengan pendapatan perkapita US $ 1.43 triliun. Namun jika hanya dihitung melalui cara purchasing power parity atau pendapatan perkapita yang sebenarnya, maka India menempati posisi keempat dalam perekonomian dunia, dengan pendapatan perkapita US $ 4 triliun.

b. China

China mengalami keterpurukan pada masa terbentuknya pemerintahan Republik. (1911-1927). Sempat mengalami kenaikan pada saat Perang Dunia I, ketika banyak permintaan akan barang-barang dari China. Pada tahun 1919-1921, rakyat China menyerukan boikot terhadap barang asing, dan justru membantu perkembangan perekonomian China. China mengalami keterpurukan kembali ketika mengalami produksi berlebih dalam petanian yang mengakibatkan harga jatuh di pasar internasional. Hal ini memaksa investasi asing untuk masuk ke China. Keadaan tidak menentu ini dialami China selama tahun 1940-1970 akhir.

Pada tahun 1976, Deng Xiaoping menggerakkan reformasi pasar bebas yang membangkitkan perekonomian China secara signifikan. Salah satu upayanya adalah melalui Chengbao System, yaitu dimana aset negara diberikan kepada operator privat, yang memberikan negara uang dan sebagian keuntungan. Sistem ini diberlakukan pada sekitar tahun 1990. China juga melakukan liberalisasi, antara lain dengan menerapkan “special economic zones” dimana investor asing dapat berinvestasi di China dengan menggunakan tenaga kerja yang murah. Pada tahun 1997 Deng Xiaoping meninggal dunia dan digantikan oleh Jiang Zemin yang juga berhasil meningkatkan perekonomian China.Pada saat ini kesejahteraan China meningkat, dengan hanya 10% angka kemiskinan, tingkat umur yang lebih panjang (73 tahun), dan 93% rakyat China mampu membaca dan menulis. Pada tahun 2010, China menempati urutan kedua dalam perekonomian dunia.


3. Kekuatan Dunia Lainnya

a. Brazil

Brazil mengalami perkembangan perekonomian yang stagnan dan cenderung menurun pada tahun 1962-1993. Namun ketika diterapkan Real Plan (Plano Plan) digerakkan pada tahun 1994, Brazil secara perlahan mengalami perkembangan sedikit demi sedikit hingga sekarang. Dengan sumber daya alam yang melimpah, kini Brazil menempati urutan kedelapan dalam perekonomian dunia.

b. Russia

Russia sebagai salah satu negara pecahan Uni Sovyet tentunya masih menyimpan potensi-potensi yang tersisa sebagai bekas negara super power. Dengan wilayah yang luas, Russia memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Pada sektor industri, Russia unggul dalam bidang alat transportasi. Namun hasil produk unggulan yang terkenal dari industri pertahanan adalah Pesawat Tempur Sukhoi. Segala sumberdaya yang dimiliki Russia menjadikannya urutan kesepuluh dalam tingkat perekonomian dunia.

c. Korea Selatan

Sejak dahulu Korea Selatan memiliki potensi yang sangat besar dalam bidang industri khususnya elektronik dan otomotif. Korea Selatan menempati urutan keempatbelas dalam perekonomian dunia.



BAB IV
KESIMPULAN


Kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah dan penelusuran mengenai minimum dan order ini adalah:

1. Minimum order merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh tatanan dunia secara bersama dan utama, yaitu upaya meminimalisasi atau menekan kekerasan dan paksaan yang dilarang. Minimum order ini didasari oleh Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB.

2. Optimum order yang dicita-citakan manusia adalah keberlakuan hak-hak azasi manusia (HAM) secara merata di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang suku, ras, agama, kebangsaan, maupun negara.

3. Dalam menempuh baik minimum maupun optimum order, tatanan dunia sangat bergantung kepada keputusan-keputusan yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan dunia, yaitu negara-negara kuat khususnya dari pengaruh segi ekonomi dan politik. Pada sekarang ini, Amerika Serikat bukanlah satu-satunya negara yang bisa memberikan pengaruh terhadap tatanan dunia, namun muncul nama-nama baru seperti Jerman, China, India, Brazil, Russia dan Korea Selatan yang merupakan beberapa kandidat kuat yang dapat memegang kunci bagi pergerakan tatanan dunia.



DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Chen, Lung-Chu. An Introduction to Contemporary International Law – A Policy Oriented Perspective, New Haven and London: Yale University Press, 2000.

Dahlman, Carl and Anuja Uz. India and the Knowledge Economy – Leveraging Strength and Opportunities, Washington DC: World Bank, 2005.

Devaland, Mary Jo. China’s Economic Policy Impact on the United States, New York: Nova Science Publishers, Inc., 2009.

Humell, Andrew and Ngaire Woods. Order, Globalization and Inequality in World Politics, Oxford: Oxford University Press, 2002.

Juwana, Hikmahanto, Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Berkembang, PT. Yarsif Watampone, Jakarta, 2010

Malanczuk, Peter. Akehurst’s Modern Introduction to International Law, 7th Revised Edition, London and New York: Routledge, 1997.

Phillips, Charles and Alan Axelrod. Encyclopedia of Historical Treaties and Alliances, New York: Facts on File, 2006.

Rajan, Ramkishen S. and Sunil Rongala. Asia in the Global Economy – Finance, Trade and Investment, Singapore: World Scientific, 2008.

Shaw, Malcolm N. International Law, Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

Westra, Joel H. International Law and the Use of Armed Force – The UN Charter and the Mayor Powers, London and New York: Routledge, 2007.
JURNAL DAN WORKING PAPERS

Allott, Philip. The Concept of International Law, European Journal of International Law, Vol. 1999.

De Long, J. Bradford and Barry Eichengreen. The Marshall Plan: History’s Most Successful Structural Adjustment Program, Center for Economic Performance and Landeszentral Bank Hamburg Conference on Post-World War II European Reconstruction, 1991.

Temin, Peter. The Golden Age of European Grwoth Reconsidered, European Review of Economic History, Cambridge University Press: 2002.


WEBSITE

EconomyWatch. Russia Economy,
, diakses pada tanggal 22 Mei 2011.

The Economist. Brazil Takes Off,
diakses pada tanggal 22 Mei 2011.

The Economist. Improving Prosperity,
, diakses pada tanggal 22 Mei 2011.

Piagam PBB, http://www.un.org/, diakses tanggal 10 Maret 2011.

Naskah Prinsip Yogyakarta, diunduh dari www.yogyakartaprinciples.org, diakses tanggal 10 Maret 2011.

Naskah Deklarasi Universal Hak-Hak Azasi Manusia, http://www.un.org/, diakses tanggal 10 Maret 2011.

Naskah ICCPR, diunduh dari www.un.org, diakses tanggal 10 Maret 2011.

Naskah ICESCR, diunduh dari www.un.org, diakses tanggal 10 Maret

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger