Selasa, 21 Juni 2011

Critical Legal Studies Theory

Teori ini diperkenalkan pada tahun 1970-an di Amerika Serikat. Esensi pemikiran CLS terletak pada kenyataan bahwa HUKUM adalah POLITIK.

Teori yang dikemukakan oleh para pemikir CLS sungguh sangat tepat untuk menjelaskan upaya Negara Berkembang dalam mengubah wajah hukum internasional. Hukum Internasional adalah produk politik dan sebagian merupakan hasil tarik ulur Negara berkembang dengan Negara maju. Kekuatan sering digunakan Negara maju bahkan Negara maju kerap menggunakan kekuatan yang dimilikinya tanpa sadar sebagaimana dikatakan oleh N.D. White dalam bukunya The Law of International Organisastions, (Manchester University Press, 1996, Hal. 20) yaitu:

“Domination of the system…, by the rich and powerful State is not necessary carried out in a conscious fashion by the representative of those state-they simply assume thaht the imposition of Western values and the extention of the market philosophy to the international olane is a natural and perfectly legitimate exercise. Indeed, since the Western way claims to be the only true path to follow, all others deemed to be wrong hence illegitimate”.

Oleh karena itu White mengatakan, “(I)t is the aim of the critical lawyers to delegitimate this claim to the truth, to reveal it as an exercise of power and domination, and to reveal a fairer and more equitable system”.

Untuk melakukan proses delegitimasi terhadap doktrin hukum yang telah terbentuk, aliran CLS menggunakan metode TRASHING, DECONSTRUCTION, dan GENEALOGY.

Trashing adalah teknik untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.

Deconstruction adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.

Genealogy adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interoretasi sejarah kerap didominasi oleh mereka yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah ini yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum.

-Implementasi CLS pada Negara Berkembang-
Dalam hukum internasional ada suatu wilayah yang merupakan wilayah yang berada diluar yurisdiksi Negara (Commonage). Wilayah Bersama pada dimensi laut terletak pada sea-bed dan ocean floor yang dikenal dengan istilah Area. Sementara pada dimensi ruang angkasa, ruang angkasa secara keseluruhan dinyatakan sebagai Wilayah Bersama. Di Wilayah Bersama, Negara dilarang mengklaim kedaulatan, walaupun tidak menutup kemungkinan mereka mengambil keuntungan.

Dalam mengekspolrasi dan mengeksploitasi Wilayah Bersama secara tradisional prinsip yang berlaku adalah prinsip Res Communis. Prinsip res communis harus dibedakan dengan res nullius. Perbedaan mendasar terletak pada tidak diakuinya pemilikan pada Wilayah Bersama dalam res communis. Res communis hanya memperkenankan proses eksploitasi bagi siapa saja tanpa didahului dengan klaim kedaulatan. Hanya saja, prinsip res communis mengasumsikan bahwa semua pihak mempunyai kemampuan yang sama, baik dibidang teknologi, modal dan keahlian. Dalam prakteknya, prinsip res communis akan member keuntungan bagi mereka yang memiliki kemampuan apabila dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan. Pada akhirnya first come first serve akan berlaku pada Wilayah Bersama.

Bagi Negara berkembang, menggunakan prinsip res communis sama saja dengan tidak dapat menikmati keuntungan (benefit) apapun dari Wilayah Bersama. Negara berkembang yang tidak mempunyai kemampuan dari segi teknologi, modal dan keahlian tidak akan mungkin mengeksploitasi Wilayah Bersama. Padahal Negara Berkembang menghendaki agar keuntungan yang didapat dari Wilayah Bersama dapat dirasakan juga oleh mereka.

Untuk itu Negara berkembang memperkenalkan prinsip common heritage of all mankind atau Warisan Ummat Manusia Bersama sebagai pengganti dari prinsip res communis.
Dalam prinsip common heritage of all mankind yang berlaku adalah siapa yang dapat mengeksploitasi Wilayah Bersama, maka ia wajib untuk membagi keuntungan yang didapat kepada yang lain. Dengan menyatakan keuntungan yang didapat dari Wilayah Bersama sebagai warisan ummat manusia bersama, maka Negara berkembang akan ikut merasakan apapun keuntungan yang didapat.

Disini terlihat bahwa Negara berkembang lebih menginginkan pemanfaatan Wilayah Bersama untuk kepentingan social (Social Interest) dari pada kepentingan komersial (Commercial Interest). Keinginan Negara berkembang untuk mengubah prinsip res communis menjadi common heritage of all mankind telah diakomodasi dalam perjanjian internasional, seperti Agreement Governing the Activities of State on the Moon and Other Celestial Bodies (“Perjanjian tentang Bulan”) dan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Hukum Laut 1982).

Secara tidak sadar, apa yang dilakukan oleh Negara berkembang dalam mengubah prinsip res communis menjadi common heritage of all mankind telah menggunakan tiga metode yang diperkenalkan oleh para pemikir CLS.

PERTAMA, Negara berkembang telah melakukan TRASHING dengan mengatakan bahwa prinsip res communis bukanlah prinsip yang universal yang diikuti oleh masayarakat internasional modern. Prinsip res communis hanya berpihak pada Negara maju yang notabene adalah Negara yang memiliki modal, keahlian dan teknologi.

KEDUA, Negara berkembang melakukan DECONSTRUCTION terhadap prinsip res communis dengan mengatakan bahwa prinsip tersebut hanya menguntungkan Negara maju saja. Dalam argumentasi Negara berkembang manfaat dari Wilayah Bersama seharusnya tidak dinikmati terbatas pada mereka yang mempunyai kemampuan untuk mengeksploitasi saja, melainkan oleh seluruh ummat manusia. Oleh karena itu prinsip res communis sudah selayaknya ditinggalkan.

KETIGA, teknik GENEALOGY juga diterapkan dengan mengungkapkan bahwa Negara maju dalam sejarah telah banyak mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat dalam Wilayah Bersama tanpa memperhatikan kepentingan dari Negara lain di dunia. Oleh karena itu sudah saatnya prinsip tradisional tersebut diganti dehingga tidak diskriminatif terhadap Negara yang tidak memiliki modal, teknologi dan keahlian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger