Selasa, 21 Juni 2011

FILSAFAT HUKUM, PANCASILA, DAN DAMPAK TRANSPLANTASI HUKUM SERTA BENTURAN NILAI-NILAU PADA SISTEM HUKUM INDONESIA

A.Renungan Tentang Filsafat Hukum

Secara etimologis, istilah “filsafat” merupakan padanan kata dari “falsafah” (bahasa arab) dan “phylosophy” (bahasa inggris).Istilah Filsafat berasal dari kata Yunani yang merupakan gabungan dari suku kata “philo” dan “sophia”. “philo” artinya adalah berhasrat, berkasih (bersahabat), sedangkan “sophia” adalah kebijaksanaan; pengetahuan. Secara harfiah philosophia berarti yang mencintai kebijaksanaan, sedangkan arti secara filsafat berarti hasrat akan kebijaksanaan.

Selanjutnya pengertian yang demikian sejalan dengan yang pernah dikemukakan oleh Socrates : “… the love of wisdom.

Berikut beberapa tokoh-tokoh filsafat pada zaman Yunani Kuno:

1.Socrates
Seorang filsuf dalam bidang moral yang terkemuka setelah Thales pada zaman Yunani Kuno ialah Socrates.Ia mengajarkan kepada khalayak ramai terutama kaum muda bahwa pengetahuan adalah kebijakan dan kebijakan adalah kebahagiaan. Dalam pemahaman Socratest, filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan bahagia.

2.Plato
Plato adalah murid sekaligus sahabat Socrates.Iamengubah pengertian kearifan (sophia) yang semula bertalian dengan soal-soal praktis dalam kehidupan menjadi pemahaman intelektual. Dalam karya tulisnya “Republic”, Plato menegaskan bahwa para filsuf adalah pecinta pandangan tentang kebenaran (vision of truth).Selain itu, Plato juga mengatakan bahwa filsafat adalah Penyelidikan tentang sebab-sebab dan azas-azas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.


3.Aristoteles
Aristoteles adalah murid dari Plato, menurut pendapatnya sophia (kearifan) merupakan kebijakan intelektual yang tertinggi, sedang philosophia merupakan padanan kata dari “episteme”. Aristoteles juga mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas yang ada (being).Ia pun mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelejaari “ada sebagai ada” (being as being) atau ada sebagaimana adanya (being as such).


I.Filsafat Sebagai Ilmu Pengetahuan
Manusia terdiri dari 2 (dua) unsur, (i) Jasmani dan (ii) Rohani. Kedua unsur tersebut satu sama lain saling melengkapi agar manusia tersebut dapat dikatakan sebagai manusia apa adanya. Dengan demikian, apabila salah satu unsur tidak ada, maka penamaannya pun akan berubah. Jasmani tanpa rohani disebut mayat atau bangkai, sebaliknya adanya rohani tetapi tidak ada jasmani orang menyebutnya setan atau sejenisnya.Dengan demikian pikiran (cipta) manusia mendapat pengetahuan, sedangkan kehendak (karsa) manusia mengarahkan sikap tindaknya, dan perasaan (rasa) manusia dapat memperoleh kesenangan.

Penulis berpendapat soal klasifikasi Filsafat Hukum sebagai cabang dari filsafat dilihat dari sejarah filsafat sebagai “materscientarum” tidak dapat dibantah.Namun demikian dalam perkembangannya Filsafat Hukum termasuk ilmu yang berdisiplin ganda, yaitu cabang dari disiplin filsafat dan cabang dari disiplin hukum karena disiplin hukum terdiri dari ilmu-ilmu hukum, politik hukum dan filsafat hukum. Problema lanjut adalah apakah seluruh ahli, pakar atau filsuf menyepakati filsafat hukum adalah cabang dari filsafat moral atau etika ?menurut penulis, masih banyak perbedaan pendapat karena ada 2 (dua) kelompok yang berbeda soal klasifikasi inim yaitu:
(a). Filsafat Hukum adalah cabang dari Etika atau Filsafat Moral
(b). Filsafat Hukum adalah cabang dari Filsafat Politik.

Termasuk dalam pendapat pertama ini antara lain adalah Prof. Purnadi Purbacaraka yang menyatakan:

“Dengan demikian maka etika sebagai sarana untuk mencapai keserasian, lebih jelas lagi merupakan system ajaran sebagai bagian dari filsafat. Mengingat etika itu sendiri ruang lingkupnya menyangkut empat bidang sikap tindak, yang salah satunya adalah bidang hukum, maka filsafat hukum yang merupakan system ajaran tentang sikap tindak serasi yang menuju “vreedzame samenleving” atau pergaulan hidup damai, merupakan bagian etika.”

Sejalan dengan hal itu L. Bender O.P (1948) meyakini Filsafat Hukum adalah bagian dari filsafat moral atau etika. Beliau mengatakan :“Filsafat Hukum adalah suatu ilmu yang merupakan bagian dari filsafat”.Filsafat itu terdiri dari beberapa bagian, salah satu bagian utamanya adalah filsafat moral, yang disebut juga etika.Objek dari bagian utama ini adalah tingkah laku manusia dari segi baik dan buruk, yang khas yang ditemukan dalam tingkah laku manusia yaitu baik dan buruk menurut kesusilaan.Oleh karena itu menurut keyakinannya filsafat hukum adlah bagian dari filsafat moral dan etika. Lebih lanjut, Lili Rasyidi & Ira Tania Rasyidi menskematisir hubungan filsafat dan filsafat hukum sebagai berikut :

Filsafat Manusia - Genus Filsafatnya
Filsafat Moral - Species Filsafatnya
Filsafat Hukum - Subspecies Filsafatnya


B.Sejarah Pancasila
Pada tahun 1945, menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dr. Radjiman, ketua Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengajukan pertanyaan yang fundamental : Indonesia merdeka yang akan kita dirikan apa dasarnya? Karena dasar negara yang kita hendaki haruslah dasar negara yang mampu mempersatukan unsur-unsur bangsa dan negara yang begitu heterogen.Bung Karno menjawab pertanyaan dr. Radjiman pada tanggal 1 Juni 1945. Jawaban itu disampaikan dalam suatu pidato tanpa teks.Pidato itu dinilai oleh para pengamat sangat baik. Para anggota BPUPKI memberikan tanggapan penuh semangat,yang dianggap tanda persetujuan terhadap substansi uraiannya.

Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 mengandung sintesis nilai-nilai atau unsur-unsur budaya yang lengkap dan memiliki sifat-sifat universal, mulai dari kebangsaan, kemanusiaan, kerakyatan, kesejahteraan, dan ketuhanan. Semua itu menunjukkan betapa luas dan mendalamnya pengetahuan dan wawasan Bung Karno.

Meski demikian Bung Karno sadar akan perlunya penyempurnaan.Sampai sekarang masih diperdebatkansiapa sebenarnya pencetus gagasan dasar negara Pancasila pertama kali, Soekarno atau M.Yamin.Mereka yang pro-Yamin mendasarkan pendapatnya atas dasar dokumen Yamin yang berjudul Asas dan Dasar Negara Kebangsaan RI bertanggal 29 Mei 1945.

Teks Yamin itu termuat dalam buku himpunannya yang berjudul naskah Persiapan UUD 1945 jilid I (1959).Buku itu mendapat kata pengantar tulis tangan dari Presiden Soekarno, bertanggal 22 April 1959. Berdasarkan 2 dokumen itu muncullah pendapat yang menyatakan bahwa Yaminlah pecetus gagasan dasar negara pertama, meskipun tidak memberi nama Pancasila. Pendapat itu menganggap pengantar tulis tangan dari Presiden Sukarno sebagai endorsement (pengukuhan) atas pendapat pro-Yamin itu.

Tetapi mereka yang mau cermat akan menghadapi kesukaran karena dalam karya-karya Yamin yang lain, justru ia mengakui Bung Karnolah penggali pertama gagasan dasar negara Pancasila. Karya-karya Yamin itu adalah :

1. Sistematika Falsafah Pancasila (1958)
2. Tinjauan Pancasila terhadap Revolusi Fungsionil (1959)
3. Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II
4. Lima uraian tentang UUD 1945 (1960)
5. Pembahasan UUD 1945

Sekedar contoh pernyataan Yamin dikutipkan dari Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II (hal 649) berikut ini: “ Setelah dimajukan hasil penggalian dan Penemuan Bung Karno yang diberi nama ajaran Pancasila dan golongan fungsionil itu, marilah pula dengan ringkas meminta perhatian kepada cetusan Bung Karno pula bernama Demokrasi Terpimpin.Contoh kedua diambilkan dari sistema Falsafah Pancasila (hal 7), sbb:

“Untuk penjelasan ingatlah beberapa tanggal sebagai pagangan sejarah: 1 Juni 1945 diucapkan pidato yang pertama tentang Pancasila dalam suatu rapat di gedung Kementerian Luar Negeri yang sekarang ini ” (dulu gedung BPUPKI).

Kecuali pengakuan Yamin dalam karya-karyanya tersebut, Pendapat yang pro Bung Karno, 1 Juni 1945 juga didukung oleh para saksi, yaitu anggota BPUPKI yang menyaksikanpidato Lahirnya Pancasila pada tanggal tsb. Mereka itu adalah Ki Hajar Dewantara, KH Masykur, RP Suroso, Prof Rooseno dan dr. Radjiman sendiri.

Dr. Radjiman pulayang memberi kata pengantar untuk penerbitan pertama lahirnya Pancasila.Seperti sudah dikemukakan pidato Bung Karno Mendapat sambutan hangat disertai tepuk tangan bertubi-tubi.Hal itu diartikan sebagai persetujuan para peserta sidang.Namun perlu dibahas dan dirumuskan kembali sehingga lebih runtut dan bernada filosofis.Untuk itu BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang anggotanya antara lain Bung Karno (ketua), Hatta (wakil ketua), M.Yamin, Kh Agus Salim, Kahar Muzzakkir, Maramis, Wachid Hasyim, Ahmad Soebardjo, dan Abi Kusno Tjokrosujoso.

Lewat pengkajian yang mendalam Panitia Sembilan menghasilkan dokumen yang disebut Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Pengkajian itu diteruskan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang menghasilkan, antara lain Pembukaan UUD 1945. Lewat tahap pengkajian 22 Juni gagasan Bung Karno Dirumuskan kembali menjadi:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan

5. Keadilan sosisal bagi seluruh rakyat Indonesia

Tahap berikutnya adalah merumuskan sila pertama.Sebelum sidang PPKI 17 Agustus 1945 petang, Bung Hatta didatangi utusan dari Kaigun Indonesia Timur. Wakil rakyat daerah itu mengusulkan agar sila pertama diubah,sehingga sebagai norma dasar, Pembukaan UUD tidak memuat ketentuan yang diskriminatif. Keesokan harinya sebelum sidang PPKI 18 Agustus bermula, Hatta melobi tokoh-tokoh Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singadimeja, Wahid Hasyim dan Teuku Moh Hasan. Mereka sepakat untuk berkompromi, sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.Dengan kompromi itu sesuatu dapat menimbulkan perpecahan bangsa dapat dicegah.

Dengan landasan yang sama berbagaipersoalan hidup kenegaraan, kebangsaan dan kerakyatan dapat dimusyawarahkan dengan penylesaian yang manusiawi, berkeadilan dan berkebudayaan. Sebenarnya terdapat beberapa rumusan-rumusan dalam Pembentukan Pancasila sebagai dasar negara, diantaranya adalah :

1.Muhammad Yamin
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI dalam Rumusan Pidato

Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:

1.Peri Kebangsaan
2.Peri Kemanusiaan
3.Peri ke-Tuhanan
4.Peri Kerakyatan
5.Kesejahteraan Rakyat

Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:

1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

2.Ir. Soekarno
Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno[1]. Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula- lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Muh Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.

•Rumusan Pancasila

1.Kebangsaan Indonesia
2.Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3.Mufakat,-atau demokrasi
4.Kesejahteraan sosial
5.ke-Tuhanan yang berkebudayaan

•Rumusan Trisila
1.Socio-nationalisme
2.Socio-demokratie
3.ke-Tuhanan

•Rumusan Ekasila
1.Gotong-Royong



3.Piagam Jakarta
Usulan-usulan blueprint Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945. Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945, delapan orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk.Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal.Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia Sembilan”) yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.

Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin.Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/ declaration of independence).Rumucan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para “Pendiri Bangsa”.

Rumusan kalimat “…dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

4.Rumusan Populer
Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat terakhir.


Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
Rumusan:

1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


II. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia.

Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.

Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.Maka Pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap adanya perbedaan.Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.

Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik.Negara tidak mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya” Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila.

Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”

Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia.Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.

Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia.Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.

Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:

1. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.


C. Pancasila Adalah Sendi Keserasian Hukum

I.KESERASIAN DALAM SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
Sila pertama ini menguraikan hubungan yang serasi antara Pencipta dan ciptaan-Nya.Wawasan tentang Pencipta ini mungkin berbeda pada manusia yang satu daripada manusia lainnya dan sebutan bagi Pencipta dapat pula berbeda. Walaupun demikian manusia yang mengakui dan yakin akan adanya Pencipta itu akan berikhtiar memantapkan dan tidak mengganggu hubungan yang serasi antara Pencipta dan ciptaan-Nya apakah itu dirinya sendiri sebagai makhluk termulia maupun segala ciptaan Pencipta yang ada dalam lingkungannya. Hal inilah yang mengharuskan manusia untuk hidup serasi pula.Karena itu wajarlah kalau hukum itu tidak hanya untuk keserasian hidup antara manusia tetapi juga keserasian lingkungan pergaulan hidup mereka.

II.KESERASIAN DALAM SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Sila kedua ini menunjuk pada hubungan serasi antar manusia perorangan, antar kelompok ataupun antar seseorang dengan kelompok. Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api; bila apinya besar maka cahayanya terang; jadi, bila peradabannya tinggi maka keadilanpun mantap. Peradaban merupakan kodrat khusus manusiawi. Sesuai dengan kodrat alami maka manusia mempunyai pikiran/cipta dan perasaan/rasa yang bila dikombinasikan akan menjadi kehendak/karsa yang merupakan motif daripada karya/sikap tindak. Karena penggunaan cipta, rasa dan karsa itu maka terbentuklah kalbu atau “geweten” manusia. Adanya kalbu ini membedakan manusia sebagai makhluk termulia daripada makhluk lain ciptaan Allah. Walaupun demikian kalbu manusia dapat berkeadaan positif atau negatif tergantung keadaan sarana (cipta, rasa,karsa) pembentukannya yang mungkin positif atau negatif; karena itu ada sebutan orang biadab atau rendah peradabannya.

Manusia dikatakan beradab, yaitu kalbunya positif, apabila ia mampu “mulat sarira” atau mawas diri yang akan terlihat pada sikap tindakannya. Untuk berkemampuan mawas diri manusia harus berikhtiar hidup:

1.saberene (logis), yaitu dapat membuktikan apa atau mana yang benar dan yang salah;

2.samestine(ethis), yaitu bersikap tindak maton atau berpatokan dan tidak waton ialah asal saja sehingga sembrono atau ngawur. Ukuran maton ialah:

a.“sabutuhe” yang maksudnya tidak serakah.
b.“sacukupe” yaitu mampu tidak berkekurangan juga tidak serba berkelebihan.
c.“saperlune”, artinya lugu lugas tidak bertele-tele tanpa ujung pangkal.
3.sakepenake(estetis) yang harus diartikan ; mencari yang enak tanpa menyebabkan tidak enak pada pribadi lain.

Manusia yang beradab, yaitu mampu “mulat sarira” selalu harus “tepa selira” terhadap orang lain dan ini hanya mungkin bila dilandasi dua asas yaitu:

1.apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain mengalaminya; dalam rumus bahasa Latin inilah “neminem laedere” = jangan merugikan orang lain, sebagai asas yang ditujukan terhadap umum, siapa saja tanpa kecuali sehingga ini merupakan sendi “equality” bagi pergaulan hidup yang merupakan satu kutub dalam citra Keadilan.

2.Apa yang boleh anda perdapat, biarkanlah orang lainberikhtiar mendapatkannya; rumus latinnya terkenal “sum cuique tribuere” = bertindaklah sebanding, maksudnya tidak lain mengarahkan agar disamakan apa yang tidak beda dan dibedakan apa yang tidak sama. Dalam pergaulan hidup sendi “equity” ini akan kita alami dalam hal yang khusus/konkrit dan merupakan kutub lainnya dalam citra Keadilan.
Dengan demikian jelaslah bahwa sila Perikemanusiaan itu adalah sendi keserasian hukum, terutama Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (termasuk Hukum Acara) maupun Hukum Pidana yang adanya perlu untuk mencegah dan mengurangi aneka macam sengketa dalam pergaulan hidup manusia.

III.KESERASIAN DALAM SILA PERSATUAN INDONESIA
Pada saat menjelang proklamasi Indonesia Merdeka , Nusantara dihuni oleh kebinaan suku (Aceh di ujung barat sampai Irian di ujung timur) dan golongan (selain Pribumi juga non-pribumi). Walaupun pada tahun 1928 telah dikumandangkan lahirnya satu bangsa-Bangsa Indonesia, namun ketunggalan perlu dikukuhkan dalam Mukadimah Indonesia sebagai suatu Pancasila. Persatuan Indonesia tidak lain maksudnya ialah persatuan suku serta golongan yang sekaligus pula terjelma sebagai satu bangsa, sehingga tidak sewajarnya yang satu meniadakan yang lain, tetapi haruslah ada keserasian antara kebinaan suku serta golongan dan ketunggalan bangsa.

Keserasian dwi-tunggal tersebut haruslah mengejawantah dalam unsur uniformitas kebangsaan (tanpa chauvinisme) berlainan dengan unsur varietas kesukuan serta golongan (tanpa separatisme) dalam sengketa bidang kehidupan bangsa sehingga akan terbukti bahwa “Bhineka Tunggal Ika” bukanlah semboyan semata-mata. Dalam hukum sila ke tiga ini menjadi pembenaran Pluralisem dalam bidang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, sedang Unifikasi menjadi keharusan dalam bidang lainnya (Hukum Tata Negara, Hukum Karya /Administrasi Negara, Hukum Harta Kekayaan dan Hukum Pidana) dari pada Tata Hukum Indonesia.


IV.KESERASIAN DALAM SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN

Manusia sebagai pribadi maupun dalam kelompok pergaulan hidup mempunyai aneka macam kepentingan, pada suatu ketika kepentingan itu mungkin berbeda bagi pribadi/kelompok yang satu dengan yang lainnya. Bahkan kelompok yang satu menyetujui pembaharuan sedang yang lain menginginkan pelestarian dan sebagainya, keadaan kelompok yang berbeda kepentingan itu mungkin:

1.Sederajat atau

2.Berbeda derajat (Penguasa, atasan: Warga, bawahan).

Dalam hubungan sederajat dapat timbil masalah mayoritas dan minoritas dengan perbedaan kepentingan, tetapi manusia yang beradab akan mencegah atau mengurangi kemungkinan perbedaan itu menjadi meruncing sehingga pergaulan hidup dapat terpelihara dan tidak berubah menjadi pergumulan hidup. Untuk mempertahankan kebersamaan dalam kebedaan diperlukan upaya yaitu ikhtiar mencapai keserasian dalam konsensus yang dapat bersifat substansiel atau formel.Konsensus formel sebagai konsensus tentang adanya konsensus (substansiel), dapat dibenarkan apabila hal itu lebih serasi daripada memaksakan konsensus substansiel.

Dalam lingkup kenegaraan, maka sila ke IV daripada Pancasila itulah yang merupakan upaya konsensus yang dalam (Ilmu) Hukum Internasional dikenal sebagai konsultasi. Apabila pada suatu ketika peruncingan perbedaan kepentingan terjadi tetapi masih diinginkan penanggulangan melalui upaya damai agar dapat dipertahankan adanya Kebersamaan dalam Kebedaan, maka disamping konsultasi masih ada upaya:

1.“good offices”/jasa baik yaitu dengan pihak ketiga sebagai perantara para pihak yang bersengketa tetapi penyelesaiannya berupa konsensus antara kedua pihak saja.

2.“mediation”/penengahan dengan pihak ketiga yang menengahi penyelesaian perkara dengan konsensus antara ketiga pihak.

3.Peradilan yang dengan pihak ketiga secara mandiri menyelesaikan sengketa antar pihak dalam bentuk keputusan yang wajib dipatuhi para pihak dalam sengketa. Sesungguhnhya, menyelesaikan (Perkara) sengketa Perdata bidang perjanjian, kekeluargan maupun kewarisan tidaklah harus langsung melalui peradilan, tetapi (salah satu dari) ketiga upaya tersebut dapat digunakan lebih dahulu.

Tentang upaya “good offices” dan “mediation” kiranya tepat diselenggarakan dengan perantara Lembaga Bantuan Hukum dalam ataupun luar Fakkultas Hukum. Dalam keadaan beda-derajat (Penguasa/atasan:Warga/bawahan, orang tua:anak dsb.), maka konsepsi hubungan Kekuasaan dan Kepatuhan adalah menjadi intinya. Perbedaan kepentungan menghangat dalam hubungan tersebut apabila timbul ketidakserasian antara nilai Ketertiban (kepentingan penguasa) dan nilai Kebebasan (kepentingan warga).

Keserasian antara kepentingan penguasa dengan kepentingan warga tidak perlu goyah bila kedua pihak menginsyafi hakekatKekuasaan yaitu peranan untuk menciptakan, meningkatkan dan memelihara keserasian maupun mencegah gangguan keserasian Ketertiban:Kebebasan serta hakekat Kepatuhan sebagai peranan untuk mengakui dan menuruti kekuasaan yang demikian.


V.KESERASIAN DALAM SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH BANGSA INDONESIA

Perumusan terakhir Pancasila terarah pada tujuan setiap pribadi manusia yaitu keserasian rohaniah dan jasmaniah.Komposisi manusia terdiri dari unsur rohani/spirituil dan unsur jasmaniah/materiel serta unsur (antara) jalinan saraf yang menyetaraka kedua unsur lainnya agar serasi dalam kepribadiannya.Peranan kodrati manusia ialah memelihara dan meningkatkan daya tahan ketiga unsurnya.Daya tahan ubsur jasmaniah dipelihara dan ditingkatkan sarana kegiatan ekonomis (pangan, papan, dan sandang), berolahraga dan sebagainya. Daya tahan unsur rohaniah terdiri dari du tingkat yaitu:

1.Taraf alami yang meliputi cipta, rasa dan karsa, sebagai potensi serta,

2.Taraf budaya (kesadaran) yang berupa trias-spiritualia yaitu:
a.Logika – ilmu pengetahuan
b.Estetika – kesenian (sebagai daya kreasi) dan
c.Ethika – keimanan;keakhlakan;sopan santun;hukum.

Dalam taraf budaya ini manusia trbedakan dari makhluk lainnya ataupun robot.
Mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia berarti bahwa secara merata dan berkesinambungan setiap manusia Indonesia mengalami sungguh keserasian rohaniah;jasmaniah. Dalam Hukum Harta Kekayaan/Hukum Ekonomi (sektor produksi-tukar menukar-konsumsi) haruslah diutamakan keserasian rohaniah;jasmaniah dalam jalinan dengan keserasian kebaruan;kelestarian dan keserasian kebebasan ketertiban.


C.Ekonomi Sebagai Kekuatan Baru Dunia

Sedemikian sempurna Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, banyak negara-negara yang memuji prinsip-prinsip asas pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.Dengan pancasila dan implementasinya UUD 1945 tercipta keserasian dan kerukunan pada masyarakatnya. Akan tetapi kita menyadari bahwa Ekonomi saat ini adalah kekuatan baru di dunia, tidak lagi dengan cara kekerasan senjata melainkan dengan penjajahan dalam bentuk modern yang berupa uang baik itu dalam bentuk investment dan perdagangan. Indonesia menyatakan dirinya bergabung dalam World Trade Organization (WTO) yang terbentuk pada tahun 1994 yang berupa hasil dari Uruguay Round (Marrakesh Agreement).

Dalam WTO terdapat aturan-aturan mengenai transaksi dan prosedur jual-beli serta keluar-masuknya perdagangan. Dalam bidang barang diatur dalam General Agreement on Trade in Goods (GATT), di bidang jasa yang diatur dalam General Agreement on Trade in Services (GATS)dan di bidang Hak Cipta diatur dalam General Agreement on Trade Related Aspect’s of Intellectual Property Rights (TRIP’s). Sebagian kelompok maupun golongan menganggap WTO adalah salah satu bentuk imprealisme oleh negara-negara maju, sedangkan bagi kelompok ataupun golongan yang lain menganggap bahwa WTO adalah salah satu wahana untuk menciptakan keadilan antara negara maju dan negara berkembang.

Salah satu bentuk hambatan (barriers) di bidang perdagangan adalah tarif, jelas tarif dianggap sebagai hambata dalam perdangangan, karena akan membuat ketimpangan antara negara maju dengan negara berkembang. Untuk menghindari adanya tarif tersebut adalah dengan cara membuat perjanjian yang mengarah kepada perdagangan bebas (Free Trade Area).

Penulis mengambil salah satu contoh di Kawasan Association Southeast AsianNations (ASEAN), ASEAN telah mengubah statusnya yang awalnya adalah Organisasi yang berdasarkan Deklarasi (Bangkok Declaration) menjadi rule-of based Organization yang ditandai dengan adanya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) sebagai konstitusinya. Selanjutnya mekanisme pengambilan keputusan tertinggi di ASEAN dilakukan melalui ASEAN Summit, sebagai lembaga tertinggi organisasi ini.Piagam ASEAN ditandatangani dalam Perundingan KTT ASEAN ke-14 di Singapura pada 20 November 2007. Indonesia meratifikasi Piagam ASEAN dengan melalui Undang-Undang Nomor 38 tahun 2008 tentang Pengesahan Charter Of The Association of Southeast Asian Nations.

Dengan diratifikasinya Piagam ASEAN tersebut status Indonesia memiliki komitmen yang tinggi dan secara hukum bersifat legally binding (bersifat mengikat). Dalam Pasal 1 ayat (2) Piagam ASEAN disebutkan mengenai peningkatan ekonomi dengan membentuk The ASEAN Economic Community, yaitu menciptakan pembangunan pada kawasan regional dalam rangka perdagangan bebas dengan membentuk mekanisme pasar tunggal (single market). Karena pilar utama ASEAN adalah liberalisasi perdagangan, investasi dan keuangan.

Itulah mengapa penghapusan segala hambatan tariff menjadi prioritas kebijakan, akan tetapi Pemerintah kurang memperhatikan kemampuan ekonomi negerinya sendiri.



*dimuat sebagai bahan akademik
pada mata kuliah Filsafat Hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger