Senin, 20 Juni 2011

Hegemoni WTO

Skenario dibalik perundingan Kesepakatan Umum Perdagangan Sektor Jasa (GATS - General Agreement on Trade in Services) di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO – World Trade Organisation) adalah negara maju dan perusahaan multinasional yang ingin memperluas pasar jasa ke negara-negara berkembang dan miskin.


Namun perlu diingat bahwa sektor jasa menjadi tumpuan bagi basis pelayanan publik, sekaligus sebagai sendi pendukung bagi produksi pertanian dan industri. Adapun sektor-sektor jasa kunci yang dibidik oleh negara maju antara lain: keuangan, energi, lingkungan, air, pariwisata, transportasi dan distribusi.


Produk-produk yang diperjualbelikan dalam GATS merupakan jasa yang tidak kasat mata dan lebih kompleks dari kesepakatan perdagangan barang. Sehingga penghitungan dan pencatatan nilai ekspor dan impor jasa belum terukur. Situasi itu membuat banyak negara terutama negara berkembang kesulitan untuk melakukan penilaian manfaat dan biaya yang yang harus ditanggung akibat pembukaan pasar jasa.


GATS tidak lain merupakan pakta penanaman modal yang dirancang untuk melindungi para penanam modal dan memperluas liberalisasi bagi perusahaan jasa lintas negara. Pada saat yang sama, negara-negara berkembang mempunyai kapasitas minimal dalam membangun industri jasa yang kompetitif di pasar global. Negara seperti Indonesia lebih banyak mengimpor jasa dibandingkan mengekspor jasa. Karenanya pembukaan pasar jasa tidak akan menguntungkan negara pengimpor dan yang memiliki kapasitas pasokan jasa minimal.



MENINGKATNYA TEKANAN NEGARA MAJU

Untuk mempercepat dan menjamin hasil-hasil perundingan sektor jasa, negara-negara maju seperti Uni-Eropa (UE), dan Amerika Serikat (AS) mengupayakan adanya metode baru dalam perundingan jasa untuk memperluas pembukaan pasar jasa.


Pendekatan baru itu disebut “benchmarking atau tolak ukur’ atau juga disebut sebagai pendekatan komplementer atau complementary approach’. Pendekatan itu menekankan keharusan suatu negara menentukan titik dasar terendah dalam meliberalisasi sektor jasa. Proposal negara maju untuk menerapkan pendekatan minimal berarti menghilangkan fleksibilitas negara-negara anggota WTO dalam mengambil keputusan untuk menyerahkan komitmen atau tidak.

Komitmen liberalisasi sektor jasa jelas akan mempunyai dampak terhadap kebijakan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Menilik berbagai pengalaman yang telah terjadi, liberalisasi sektor jasa hanya akan menguntungkan negara-negara maju, seperti terpapar di bawah ini :

Deregulasi dan akses pasar perusahaan jasa asing melalui GATS tidak akan memperkuat sasaran dan prioritas pembangunan di negara berkembang, karena orientasinya adalah pasar dan bukan mengatasi kebutuhan dan kepentingan warga negara. Penanaman modal asing secara langsung di sektor jasa mayoritas melalui perusahaan multinasional (MNC – Multinational Corporations.) yang mengambil alih layanan publik yang diprivatisasi atau menggantikan perusahaan lokal yang sudah ada, bukan membangun usaha baru; Swastanisasi juga tidak selalu menciptakan lapangan kerja baru bahkan mungkin malah mempersempit peluang lapangan kerja, sedangkan perluasan sektor layanan tetap terbatas, dan mayoritas melayani kelompok elit. Tatkala pelayanan publik seperti air, pendidikan, dan kesehatan diswastanisasikan, maka konsekuensinya akan dipikul oleh masyarakat;



KENYATAAN NEGOSIASI SAAT INI

WTO tidak menghiraukan permintaan negara berkembang untuk meninjau kembali secara komprehensif tentang dampak-dampak lingkungan, sosial, dan jender dari liberalisasi sektor jasa sebelum berlanjut dengan negosiasi GATS. Kajian Konferensi Persatuan Bangsa-Banga untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD – United Nations Conference on Trade and Development) baru-baru ini telah mempertanyakan manfaat swastanisasi dan liberalisasi sektor jasa, dan menunjukkan bagaimana negara berkembang akan kehilangan fleksibilitas penyusunan kebijakan karena pengaruh GATS.

Hak untuk mengatur dan menata prioritas pembangunan sangat penting bagi negara berkembang untuk menjamin kemajuan strategi dan prioritas pembangunannya, terutama karena kebanyakan negara berkembang tidak mempunyai cetak biru pembuatan kebijakan sektor jasa.

Pada saat yang sama, negara-negara berkembang berharap mendapatkan keuntungan besar dari mode 4, yang mengacu pada perpindahan perpindahan individu (movement of natural persons) ke negara lain untuk memasok jasa. Namun, jelas bahwa kebanyakan negara maju seperti AS tidak akan memberikan pembukaan pasar jasa tenaga kerja yang berarti, terutama dalam kaitannya dengan tenaga kerja tanpa ketrampilan.

Selain hal di atas, tata cara pelaksanaan perundingan GATS dan pengalaman liberalisasi serta privatisasi sektor jasa selama ini telah membuat masyarakat kehilangan pekerjaan, ketidakamanan kerja, pembatasan hak-hak pekerja, penurunan pendapatan dan peningkatan fleksibilitas tuntutan kerja.



GATS Informasi Dasar

GATS (general agreement trade in services) adalah salah satu perjanjian di bawah WTO (World trade organization) yang mengatur perjanjian umum untuk semua sektor jasa-jasa. Tujuannya adalah memperdalam dan memperluas tingkat libralisasi sektor jasa di Negara-negara anggota. Sehingga diharapkan perdagangan jasa di dunia bisa meningkat.

GATS mulai berlaku sejak 1 januari 1995. Saat itu, setiap Negara anggota diwajibkan untuk membuka sektor-sektor jasa untuk di liberalisasi dengan menyusun jadwal, bagaimana, apa, seberapa dalam dan seberapa luas sektor tersebut dibuka untuk pemasok jasa asing.


Cara perdagangan jasa lintas Negara berbeda dengan cara perdagangan barang. Pada perdagangan barang, produk dipertukarkan melalui skema ekspor dan impor. Pada perdagangan jasa, hal ini lebih sulit dilakukan mengingat jasa adalah produk yang tidak terlihat langsung. Dalam GATS, pertukaran pasokan dan permintaan jasa antara Negara dibagi dalam empat cara yang disebut sebagai mode.



* Mode 1 adalah konsumi luar negeri (consumption abroad), ketika warga Negara Indonesia pergi ke luar negeri untuk menjadi konsumen jasa di luar negeri, misalnya menjadi pelajar di Singapura, atau menjadi wisatawan di Australia.

* Mode 2 adalah pasokan lintas batas (cross border supply), ketika konsumen warga Negara Indonesia membeli jasa dari luar negeri tanpa harus meninggalkan tempat tinggalnya. Misalnya konsumen jasa pengobatan melalui telepon, pemesanan jasa arsitektur melalui email atau telepon.

* Mode 3 adalah kehadiran komersial, ketika suatu perusahaan pemasok jasa dari Negara lain beroperasi di Indonesia. Misalnya perusahaan Price Water House (jasa konsultasi) dan Citibank (jasa perbankan) beroperasi di Indonesia.

* Mode 4 adalah pergerakan manusia (movement of natural person), ketika tenaga kerja berpindah ke Negara lain. Misalnya pekerja asing yang bekerja secara independent sebagai penyedia jasa konsultan di Indonesia.

Cakupan GATS adalah semua sektor jasa, dalam perjanjian disebutkan minimal ada 12 sektor yang terdiri atas jasa bisnis termasuk jasa professional dan jasa computer); jasa komunikasi. Jasa konstruksi dan teknik terkait; jasa distribusi; jasa pendidikan; jasa lingkungan; jasa keuangan (termasuk asuransi dan perbankan); jasa kesehatan dan social; jasa wisata dan perjalanan; jasa rekreasi, budaya dan olah raga; jasa transportasi dan jasa-jasa lain (yang belum tercantum).

Prinsip GATS pada dasarnya sama dengan prinsip WTO dimana Negara-negara anggota harus menurunkan atau menghilangkan hambatan perdagangan seperti tariff dan hambatan non tariff. Jika dalam perdagangan produk barang, hambatan tariff dibicarakan maka untuk menghilangkan dan menurunkan hambatan dalam perdagangan jasa, regulasi local dan nasional menjadi target utama.

Prinsip lainnya, national treatment dimana setiap negara anggota WTO harus memberikan perlakuan sama antara pemasok jasa local dengan pemasok jasa dari Negara lain. Selain itu, juga ada prinsip Non diskriminasi, Negara-negara anggota tidak boleh memberikan perlakuan yang berbeda antar Negara anggota.

Untuk membuka sektor jasa masing-masing Negara, GATS menggunakan prinsip “daftar positif atau positive list”. Dimana setiap Negara diperbolehkan untuk membuka sektor jasa yang diinginkan sesuai dengan kapasitas pasokan dan tujuan pembangunannya. Daftar positif berarti sektor yang diinginkan untuk dibuka, itulah yang dikomitmenkan secara resmi dalam WTO. Daftar positif sering juga disebut sebagai prinsip fleksibilitas dari GATS.

Dalam pembukaan pasar, GATS bertujuan untuk melakukan liberalisasi progresif. Metode perundingan dalam membuka pasar setiap Negara dengan menggunakan request dan offer. Request adalah meminta Negara lain untuk membuka sektor-sektor tertentu dan offer berarti menawarkan pembukaan sektor tertentu untuk dibuka untuk pemasok asing. Request dan offer ini dirundingkan secara bilateral, biasanya di Jenewa.

Sejak Konferensi Tingkat Menteri di Hongkong bulan Desember 2005 lalu, model pembukaan pasar jasa dilengkapi dengan metode lain yang disebut sebagai pendekatan request dan offer secara plurilateral. Dimana sekelompok Negara mengajukan permintaan (request) kepada sekelompok Negara lainnya. Pendekatan ini menimbulkan kontroversi yang luas di KTM Hongkong, karena dirundingkan dengan cara tidak demokratis.



Kontroversi GATS

Kontroversi tentang GATS bukanlah hal baru. Setidaknya telah dimulai sejak sebelum Putaran perundingan Uruguay (yang menghasilkan WTO) tahun 1983. Saat itu Negara berkembang dan sebagian kecil Negara maju menentang dimasukkannya isu jasa dalam perundingan. Tetapi di akhir putaran Uruguay tahun 1990-an awal, Negara berkembang memilih mempertukarkan isu jasa dengan mensepakati GATS dan berharap mendapatkan akses pasar dan penurunan subsidi dan dukungan domestic di bidang pertanian di Negara maju. Hal yang tak terbukti bahkan setelah 11 tahun WTO disahkan.

Kontroversi kedua adalah kapasitas pasokan jasa dari Negara berkembang dan Negara maju. Diakui bahwa perdagangan internasional dibidang jasa dalam beberapa tahun terakhir memegang peranan penting, tapi seberapa penting bagi Negara anggota WTO? Sekitar 75 persen dari perdagangan global di bidang jasa dilakukan oleh Negara industri maju seperti Uni Eropa, AS, Kanada, dan Jepang, sedangkan Negara berkembang hanya 25 persen dengan rata-rata Dengan demikian, ketika sektor jasa dibuka untuk pemasok asing, maka pemasok dari Negara maju yang akan mengambil keuntungan. Sedangkan Negara-negara berkembang kebanyakan menjadi net importir jasa seperti Indonesia misalnya.

Pada tahun 2004, misalnya deficit neraca pembayaran sektor jasa (lebih banyak impor daripada ekspor) di Indonesia mencapai .. milyar rupiah. Tidak mengherankan, asosiasi bisnis dan perusahaan multinasional berada di balik perundingan jasa yang kontroversi tersebut. Korporasi raksasa tersebut berperan besar dalam menentukan aturan yang menjamin lemahnya regulasi di Negara tujuan sehingga mereka bisa meningkatkan dan mengamankan pasar di masa depan.

Kontroversi ketiga adalah cakupan perundingan jasa, yang meliputi semua sektor jasa tanpa kecuali. Ini mengubah paradigma untuk jasa-jasa public, yang sebelumnya adalah hak dasar menjadi sesuatu yang bisa diperdagangkan secara global. Laporan Komisi PBB untuk Hak Azasi Manusia pada tahun 2003 menyebutkan bahwa perjanjian GATS bisa mengancam akses masyarakat atas pendidikan, air bersih dan kesehatan.



Dua Makalah Sektor Jasa Diajukan Negara Berkembang

Dua makalah dari dua kelompok negara berkembang telah dikumpulkan dari draft teks yang akan dimasukkan dalam konsultasi dengan ketua negosiasi jasa di WTO untuk membuat teks perundingan jasa sebagai bagian dari negosiasi Doha secara keseluruhan.

Ada dua makalah yang dikeluarkan oleh negara-negara berkembang. Satu makalah dikeluarkan oleh Argentina, Brazil, China, India, Pakistan, dan Afrika Selatan. Makalah lain dipresentasikan oleh Chile, Hong Kong, Peru, Singapura, dan Turki.

Dua makalah ini disirkulasikan pertama kali pada konsultasi jasa informal dalam kelompok kecil dan mereka menginginkan untuk diformulasikan dan didiskusikan lagi pada pertemuan informal yang terbuka mengenai jasa. Ketua negosiasi jasa adalah Duta Besar Fernando de Mateo dari Meksiko.

Makalah ini dikumpulkan mengikuti makalah bersama dari 8 negara maju (AS, Komunitas Eropa, Jepang, Australia, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, dan Swiss) sebagai mana Korea dan Taiwan yang menaruh proposal dalam konsultasi kelompok kecil jasa pada tanggal 23 Januari. Dalam pertemuan yang sama, makalah lain yang diajukan oleh 18 negara ekonomi kecil.

Makalah dari AS, EU, dan beberapa negara maju meminta anggota WTO untuk membuat komitmen dalam sektor jasa yang (1) merefleksikan level akses pasar dan perlakuan nasional (2) menyediakan akses pasar yang baru dan perlakukan nasional dalam sektor-sektor di mana masih ada hambatan di dalamnya.

Makalah AS dan Uni Eropa juga mengkomplain bahwa dalam negosiasi bilateral dan plurilateral, hanya sedikit anggota yang telah memperlihatkan fleksibilitas untuk menyediakan akses pasar yang efektif.

Makalah yang disajikan oleh Brazil dan yang lainnya, secara kontras, menekankan bahwa penawaran selanjutnya harus melindungi arsitektur GATS, merespon untuk meminta garis dan mandat (KTM Hong Kong), memikirkan dari level pembangunan negara berkembang, menyediakan akses pasar dalam wilayah kepentingan untuk negara berkembang, dan berpikir komitmen yang telah dibuat oleh negara yang baru bergabung.

Makalah Brazil ini terlihat akan menyediakan perspektif pembangunan dan teks jasa apa yang mungkin dilakukan, dengan mendeskripsikan secara faktual apa yang menjadi mandat dan kondisi perundingan, sambil menekankan fleksibilitas pembangunan maupun kebutuhan untuk negara maju untuk melengkapi kebutuhan jasa dari negara berkembang.

Makalah lain yang disajikan oleh Chile dan negara lain terlihat lebih merefleksikan kepentingan negara maju, dengan menekankan kebutuhan untuk hasil yang substansial dalam sektor jasa sebagai bagian dari keseimbangan secara keseluruhan dalam putaran itu, dengan menyebutkan terdapatnya perbedaan antara permintaan dan indikasi bahwa anggota telah membuat dalam perundingan bilateral dan plurilateral.

Secara khusus, dalam makalah ini juga dinyatakan bahwa penawaran yang maju terhadap usaha pengurangan atau pencegahan efek dalam perdagangan jasa dari pengukuran sebagai saran untuk menyediakan akses pasar yang efektif. Meningkatkan level umum dari komitmen spesifik dari dan untuk anggota untuk memasukkan lebih banyak sektor dan komitmen yang lebih mendalam atau komitmen yang penuh dari sektor-sektor ini.

Makalah yang dibuat oleh Brazil dan negara anggota lain adalah berada dalam bentuk kontribusi teks. Dalam bab-babnya, makalah ini memperlihatkan bahwa negosiasi seharusnya dilakukan dalam basis dan prosedur untuk negosiasi perdagangan jasa dan Annex C dalam KTM Hong Kong yang menyebutkan panduan substansial untuk kesimpulan negosiasi jasa melalui tujuan dan pendekatan yang khusus.

Makalah yang disajikan negara berkembang itu meminta negosiasi berdasar permintaan-penawaran sebagai metode negosiasi dan mencatat hal tersebut sebagai pelengkap negosiasi bilateral, 21 kelompok plurilateral telah bertemu dalam sektor dan mode yang berbeda-beda.

Ini kemudian yang mengingatkan bahwa permintaan berikutnya seharusnya :

Mendasarkan pada arsitektur sekarang dari GATS dan daftar positif liberalisasi (positive list).

Merespon permintaan bilateral dan plurilateral yang sesuai dengan kerangka dan prosedur negosiasi perdagangan untuk jasa dan dengan Annex C dari Deklarasi Menteri Hong Kong dengan pencapaian liberalisasi yang progresif, sebagaimana dimandatkan dalam Artikel XIX:1 dari perjanjian GATS.

Melihat level pembangunan dari negara berkembang yang menjadi anggota, khususnya derajat pembangunan regulasi jasa, di mana liberalisasi harus menghormati fleksibilitas yang disediakan kepada anggota negara berkembang untuk membuka lebih sedikit sektor jasa, meliberalisasi lebih sedikit tipe transaksi, memperluas akses pasar yang sejalan dengan situasi pembangunan dan membuat akses untuk pasar mereka untuk penyedia jasa asing, dan ketika sukses dalam memperluas pasar mereka tersedia untuk penyedia jasa asing, menambahkan beberapa kondisi akses yang bertujuan untuk mencapai tujuan yang dirujuk dalam Pasal IV.

Menyediakan akses pasar kepada sektor-sektor dan tipe kepentingan pemberian ekspor kepada negara berkembang, seperiTipe 1 dan 4, sebagaimana diindikasikan dalam permintaan bilateral dan plurilateral, sejalan dengan Artikel IV GATS.

Mempertimbangkan komitmen yang ekstensif yang telah dibuat oleh negara anggota baru.


Makalah tersebut juga membuat poin-poin sebagai berikut :

* Menyetujui untuk mengadakan evaluasi, sebelum lengkapnya negosiasi dan hasil yang didapat dalam kerangka tujuan Artikel IV.
* Mengingatkan kembali komitmen mereka untuk memberikan pertimbangan untuk proposal yang terkait dengan perdagangan yang memperhatikan isu-isu ekonomi negara kecil.
* Mengingatkan kembali komitmen mereka untuk menaruh mekanisme untuk implementasi yang penuh dan efektif dari modalitas LDCs sebelum formulasi penawawan kedua.
* Mengetahui bahwa waktu yang efketif diperlukan untuk mencapai kesimpulan yang sukses dalam negosiasi dan oleh karena itu negosiasi seharusnya bertahan pada tanggal-tanggal sebagai berikut :

* Putaran kedua dari penawaran yang telah direvisi seharusnya dikumpulkan 90 hari setelah modalitas Pertanian dan NAMA.
* Jadwal draft final dari komitmen seharusnya dikumpulkan oleh kelompok negosiasi horizontal
* Melengkapi pertimbangan proposal untuk implementasi perlakuan berbeda dan spesial, termasuk mencari implementasi yang efektif dari proposal-proposal tersebut melalui rekomendasi yang jelas untuk keputusan oleh mereka oleh Dewan Umum.
* Provisi untuk regulasi domestik dan peraturan GATS akan ditambahkan berikutnya.

Makalah yang disajikan oleh Chile dan negara lainnya mengakui bahwa hasil substansial di bidang jasa yang membentuk bagian dari keseimbangan secara keseluruhan. Hal ini dicatat bahwa ada 21 permintaan plurilateral yang telah disirkulasi dan ada empat putaran negosiasi plurilateral yang telah terjadi.

Perbedaan masih terjadi di dalam beberapa sektor yang berbeda dan juga tipe penawaran serta indikasi. Selama negosiasi, beberapa anggota juga telah menekankan pada kesulitan yang mereka hadapi dalam beberapa sektor dan tipe penawaran.

Dalam perkembangannya, teks draft kemudian disetujui anggota bahwa dalam formulasi penawaran mereka yang direvisi anggota seharusnya berusaha memastikan kualitas yang tinggi dari penawaran dengan menghormati penawaran bilateral dan plurilateral.

Secara spesifik, penawaran seharusnya melihat hal-hal sebagai berikut :

* Mencapai level liberalisasi yang lebih tinggi
* Mengurangi efek yang berlebihan akibat perdagangan jasa sebagai ukuran untuk menyediaakn akses pasar yang efektif.
* Mempromosikan kepentingan semua anggota dalam sebuah basis yang saling menguntungkan dan mengamankan keseimbangan hak dan kewajiban, dan
* Meningkatkan level umum dari komitmen spesifik yang diambil oleh anggota.

Draft teks perundingan ini tentunya berlawanan dengan apa yang diperjuangkan negara-negara berkembang dalam perundingan jasa. Masih diperlukan usaha yang lebih keras dari negara berkembang untuk mendekonstruksi teks-teks perundingan jasa yang banyak merugikan rakyat di negara-negara berkembang. (HNK)



Sekilas NAMA

Apa yang dimaksud dengan NAMA?

Perundingan mengenai akses Pasar Produk-Produk Non-Pertanian (NAMA – Non-Agricultural Market Access) merupakan hasil kesepakatan Konperensi Tingkat Menteri (KTM) Doha, Qatar, pada tahun 2001. Perundingan NAMA secara lebih sederhana juga dapat disebut sebagai perundingan penurunan tarif industri. Hasil akhir dari perundingan NAMA nantinya akan berdampak pada penurunan tarif industri negara-negara anggota WTO.

Apa yang dibahas dalam perundingan NAMA?

Hingga saat ini, perundingan NAMA masih berkisar mengenai modalitas, atau cara bagaimana, negara-negara anggota dapat menurunkan tarif industri. Sebagai bagian dari modalitas tersebut, negara-negara anggota melakukan perdebatan mengenai formula untuk menurunkan tarif. Pada awalnya, ada sejumlah proposal yang diajukan negara-negara anggota mengenai modalitas ataupun formula penurunan tarif tersebut. Salah satu modalitas penurunan tarif yang paling mencolok adalah formula Swiss.

Formula Swiss sendiri terdiri dari berbagai macam varian. Salah satu varian formula Swiss yang paling terkenal adalah formula Swiss sederhana yang kerap didukung oleh negara-negara maju. Formula Swiss sederhana pada umumnya mengharuskan penurunan tarif secara drastis bagi tingkat tarif tinggi yang dimiliki negara-negara anggota.


Bagaimana perkembangan perundingan NAMA hingga saat ini?

Pada Konperensi Tingkat Menteri (KTM) WTO, yang diadakan di Hong Kong bulan Desember 2005 lalu, telah disepakati bahwa formula Swiss sederhana akan digunakan sebagai dasar penurunan tarif industri negara-negara anggota. Selain itu, KTM WTO Hong Kong juga menyepakati bahwa modalitas perundingan NAMA sudah harus disepakati pada akhir bulan April 2006 ini. Pada saat itu, sejumlah negara-negara berkembang, termasuk Argentina, Brasil, Afrika Selatan, Indonesia, Namibia, Filipina, Mesir, India, Tunisia, dan Venezuela, sempat membentuk Kelompok NAMA-11. Partisipasi Indonesia di NAMA-11 tentunya merupakan langkah yang positif dalam mengembangkan kebijakan yang kritis terhadap perundingan NAMA. Namun demikian, hal tersebut perlu dipertahankan, sehingga kepentingan rakyat Indonesia sepenuhnya dapat dipertahankan dalam forum-forum perdagangan internasional, seperti WTO.



Kenapa Indonesia harus tolak NAMA?

Banyak alasan yang dapat dikemukakan kenapa Indonesia harus menolak NAMA. Namun, beberapa yang mungkin dapat menjadi acuan umum termasuk:

* Indonesia kehilangan sumber pemasukan dari pengenaan tarif.

Selayaknya negara-negara berkembang lainnya, Indonesia, yang konon sektor industrinya masih megap-megap, sebenarnya masih memerlukan tarif tidak hanya untuk melindungi sektor-sektor industri yang kita anggap sensitif, tetapi juga sebagai satu bentuk sumber pemasukan. Pengenaan tarif terhadap produk-produk impor memang menyulitkan konsumen dalam memilih barang di pasar. Namun, negara sebenarnya dapat mengambil keuntungan besar dari penerapan tarif tersebut. Selain itu, apabila diatur secara seksama, rakyat kita belum tentu memerlukan produk-produk asing apabila Indonesia dapat mengembangkan produk-produk sektor industri yang berkualitas tinggi.



* Perekonomian Indonesia mulai mengarah menuju proses deindustrialisasi.

Proses liberalisasi yang dilakukan Indonesia sejak awal 1990an memang telah membawa perekonomian negara ini menuju ke arah proses deindustrialisasi. Kenapa? Penurunan tarif menyebabkan peningkatan ekspor. Sektor-sektor yang tidak siap dalam menghadapi persaingan dengan pihak asing tentunya dipaksa untuk gulung tikar dan mati. Contoh dari kecenderungan ini sudah dapat kita lihat setiap harinya. Para pelaku usaha di industri sektor tekstil dan garmen, misalnya, seringkali mengeluhkan kepada pemerintah bahwa mereka menghadapi tekanan yang cukup berat dari impor-impor asing yang masuk ke Indonesia. Ratusan perusahaan di sektor industri ini terpaksa harus tutup karena kesulitan menghadapi persaingan dengan produk-produk tekstil dan garmen dari luar negeri. Sektor industri lainnya yang juga sempat mengalami masalah serupa termasuk sektor alas kaki, elektronik, dan kulit. Semua sektor-sektor ini merupakan sektor-sektor ‘panas’ yang akan diperjual-belikan dalam perundingan-perundingan NAMA. Proses penurunan tarif sebagai hasil dari perundingan NAMA tersebut akan mempercepat proses deindustrialisasi perekonomian Indonesia.

* Penurunan tarif industri akan timbulkan masalah pengangguran bagi Indonesia. Bersamaan dengan proses deindustrialisasi di atas, Indonesia juga akan mengalami peningkatan pengangguran. Dalam satu kajian yang dilakukan oleh Konperensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) baru-baru ini disebutkan bahwa penerapan formula penurunan tarif yang agresif, seperti formula Swiss sederhana, dapat mengakibatkan peningkatan tingkat pengangguran di negara-negara berkembang secara signifikan. Di negara-negara berkembang seperti China, India, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan India penurunan akan mencapai masing-masing 10,4 persen, 5,6 persen, 36,8 persen, 6,6 persen, dan 4,3 persen. Di kawasan Asia Tenggara sendiri UNCTAD memperkirakan tingkat pengangguran akan mencapai 2,3 persen untuk sektor manufaktur, 6,6 persen untuk kendaraan bermotor, dan 1,7 persen untuk sektor elektronik. Dalam analisa kami, penurunan penggunaan tenaga kerja yang tidak terlalu signifikan di kawasan Asia Tenggara karena kawasan ini secara ekonomi memang sudah cukup terbuka sangat lebar.

* Penurunan tarif sebabkan perusakan lingkungan .

Apabila kita menggunakan logika neo-liberal untuk memahami penurunan tarif, maka kita ketahui maksud para ekonom neo-liberal untuk mempromosikan hal tersebut adalah untuk meningkatkan persaingan di antara pelaku usaha pada sektor-sektor serupa dari seluruh dunia, dengan hasil akhir produk-produk yang lebih kompetitif, berkualitas, dan dapat dijangkau masyarakat. Dalam jangka pendek dan menengah, dampak pelaksanaan penurunan tarif memang dapat kami perkirakan akan membawa Indonesia menuju arah industrialisasi. Namun demikian, semua proses tersebut membutuhkan kinerja sektor industri yang agresif. Implikasinya adalah perusakan lingkungan.


* Pemerintah Indonesia semakin kehilangan ruang pengambilan kebijakan untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang pro-pembangunan.

Dengan disepakatinya NAMA, otoritas pemerintah Indonesia untuk mengambil kebijakan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan industri nasional semakin mengecil. Hal ini tidak lain karena keputusan yang dibuat pada tingkat WTO sangat mengikat. Dengan diturunkannya tarif industri, di masa mendatang pemerintah tidak boleh lagi untuk menaikkan tingkat tarifnya.


Bayangkan saja apabila di masa mendatang, setelah dilaksanakannya penurunan tarif industri NAMA, Indonesia kebanjiran impor. Langkah kebijakan apa yang bisa diambil pemerintah? Tidak ada! Hal ini sebenarnya sudah terjadi pada sektor tekstil dan garmen. Bahkan langkah-langkah pengendalian impor, seperti yang diberlakukan dalam sektor pertanian, sama sekali sulit untuk diaplikasikan di sektor industri. Dengan demikian, perlu kiranya ada kajian ulang mengenai posisi Indonesia dalam perundingan NAMA.




Kertas Lampiran I: Informasi WTO dan Konferensi Tingkat Menteri


Apakah yang dimaksud dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)?

Organisasi Perdagangan Dunia (WTO – World Trade Organisation) dibentuk pada tahun 1994 dan merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur perdagangan antar negara-negara di dunia. Sebelumnya forum perdagangan barang dibicarakan pada Kesepakatan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT – General Agreement on Tariffs and Trade), yang didirikan 1947.


Pada tahun 1986, negara-negara peserta yang disebut sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam GATT memulai putaran perundingan baru untuk memperluas cakupan kesepakatan. Setelah melewati proses perundingan panjang dan penuh kontroversi selama delapan tahun, terjadi kesepakatan untuk mengesahkan organisasi baru yaitu WTO sebagai pengganti GATT (Das 2000).


Apa yang diatur dalam WTO?

Berbeda dengan pendahulunya, WTO tidak hanya menetapkan standar minimal perdagangan barang namun meluas ke sektor jasa, dan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI). WTO juga mengikat secara hukum, memiliki badan penyelesaian sengketa yang terintegrasi dan dapat menerapkan sanksi silang. Secara sederhana, WTO mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan perdagangan internasional. Dari perdagangan produk alas kaki, tekstil, beras, buah-buahan, sandal dan sepatu, baja, barang dan jasa lingkungan, program televisi, jasa rumah sakit, penyediaan air bersih, sampai penyusunan undang-undang kekayaan intelektual, seperti pengaturan hak cipta, merek dagang, paten, rahasia dagang, program komputer dan lain-lain.


Apa tujuan WTO?

WTO bertujuan untuk mendorong pertumbuhan arus barang dan jasa antar negara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan perdagangan, tarif dan non-tarif (subsidi, bantuan ekspor, aturan-aturan yang menghambat ekspor negara lain, dll). Selain itu, WTO juga memfasilitasi perundingan antar anggotanya dengan menyediakan forum-forum perundingan yang permanen, membantu penyelesaian sengketa di antara anggota dan mengawasi pelaksanaan aturan-aturannya di masing-masing negara anggota. Saat ini anggota WTO mencapai 149 negara di seluruh dunia dan sekretariatnya berpusat di Jenewa, Swiss.


Prinsip Dasar WTO

Ada beberapa hal yang menjadi prinsip dasar WTO, yaitu perlakuan non-diskriminasi antar negara (most favoured nations), dimana negara-negara anggota dilarang memberikan perlakuan berbeda kepada sesama negara anggota WTO; prinsip non-diskriminasi di tingkat nasional (national treatment), yaitu negara anggota dilarang memberikan perlakuan berbeda antara warga lokal dengan warga asing; prinsip transparansi, dimana negara-negara anggota harus selalu mengumumkan perubahan-perubahan kebijakan atau aturan berkaitan dengan seluruh perjanjian WTO kepada seluruh anggota.



Apakah yang dimaksud dengan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO?

Konferensi Tingkat Menteri (KTM) merupakan badan tertinggi WTO yang bertemu sedikitnya sekali dalam dua tahun; KTM I diadakan di Jenewa, Swiss (1996), KTM II di Singapura (1997), KTM III di Seattle, AS (1999) gagal, KTM IV di Doha, Qatar (2001), KTM V di Cancun, Meksiko (September 2003) yang juga gagal menghasilkan kesepakatan baru.

KTM IV di Doha, Qatar, menghasilkan Deklarasi Doha dan Agenda Doha. Dalam agenda tersebut, negara-negara anggota bersepakat untuk mulai melakukan beberapa bentuk perundingan baru, termasuk tarif industri (juga sering dikenal dengan sebutan Akses Pasar Produk-Produk Non-Pertanian (NAMA – Non-Agricultural Market Access)), peraturan-peraturan anti-dumping dan subsidi, penanaman modal, kebijakan persaingan, fasilitasi perdagangan, transparansi pada penyediaan barang pemerintah, perlindungan HAKI, isu-isu implementasi, dan isu perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang dan terbelakang (LDCs – Least Developing Countries).



Mengapa KTM Ke-6 di Hong Kong Penting?

KTM Ke-6 akan diadakan di Hong Kong pada tanggal 13-18 Desember 2005. KTM ini penting karena pada pertemuan tersebut, akan menentukan masa depan organisasi perdagangan multilateral tersebut. Setelah mengalami dua kali kegagalan, yakni pada KTM di Seattle (1999) dan KTM di Cancun (2003), nyawa WTO akan dipertaruhkan di Hongkong Desember mendatang. Apabila KTM WTO Ke-6 gagal kembali, akan menimbulkan pertanyaan tentang relevansi sistem perdagangan di bawah naungan organisasi perdagangan dunia ini. Sembilan belas hari menjelang KTM berlangsung, perbedaan tajam masih terjadi antara negara-negara maju dan berkembang. Salah satu penyebabnya adalah kritikan dari negara berkembang yang merupakan anggota terbesar bahwa WTO seringkali tidak mewakili kepentingan masyarakat negara berkembang. Apalagi Dekalarasi Doha tahun 2001 yang menjadi dasar dari perundingan selama ini disebut sebagai Agenda Pembangunan Doha (Doha Development Agenda).

Belakangan ini, beberapa negara anggota utama dalam WTO bahkan mulai menunjukkan rasa pesimis terhadap suksesnya KTM ke-6 mendatang. Perkembangan ini merupakan refleksi berkembangnya rasa frustasi di antara negara-negara anggota WTO terhadap jalan buntu yang mereka hadapi dalam berbagai perundingan WTO. Harapan awal akan diraihnya ‘modalitas penuh’ pada saat KTM Hong Kong mendatang kini diturunkan menjadi ‘setengah modalitas, dengan beberapa negara bahkan berspekulasi akan diadakannya KTM Hong Kong II pada awal tahun 2006 mendatang.

Pertanyaan mendasar yang masih sulit dijawab oleh negara anggota WTO adalah, mampukan KTM ini membawa agenda pembangunan bagi masyarakat di negara berkembang dan miskin, seperti yang pernah dideklarasikan di Doha?



Apa pandangan kelompok masyarakat sipil?

kelompok-kelompok masyarakat sipil berpandangan, dan berusaha agar KTM ke-6 mendatang dapat digagalkan. Ada beberapa alasan utama kenapa kita harus menggagalkan KTM WTO mendatang.



* Pertama, kesepakatan-kesepakatan dalam WTO mengurangi ruang gerak bagi negara untuk menentukan kebijakan ekonomi nasional.
* Kedua, kebijakan-kebijakan WTO lebih mengedepankan kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional dan negara-negara maju.
* Ketiga, kebijakan-kebijakan WTO membatasi masyarakat untuk mengakses jasa-jasa publik.
* Keempat, WTO memperlebar jurang antara negara-negara / kelompok-kelompok yang kaya dan miskin.
* Kelima, kebijakan-kebijakan WTO tidak sensitif terhadap lingkungan. Pada intinya, WTO lebih mementingkan keuntungan sebelum rakyat dunia, dan cenderung mengedepankan Agenda Anti-Pembangunan. Oleh sebab itulah, KTM WTO ke-6 mendatang harus gagal karena nasib masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia, akan ditentukan.



Peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menghadapi KTM WTO Ke-6

Seperti yang disebutkan sebelumnya, kebijakan-kebijakan yang akan disepakati dalam KTM WTO di Hong Kong akan menentukan hajat hidup orang banyak. Meskipun secara ekonomi Indonesia telah ditelanjangi oleh badan-badan ekonomi multilateral (seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dll.), peran DPR diperlukan untuk menahan perluasan liberalisasi pasar negara ini di bawah rejim perdagangan WTO.

Satu hal konkrit yang dapat dilakukan oleh DPR adalah memastikan bahwa posisi Indonesia yang telah disiapkan oleh Tim Nasional WTO merupakan perwakilan dari berbagai kepentingan dari mayoritas masyarakat Indonesia, bukan sekedar mewakili kepentingan para pelaku ekonomi besar dan perusahaan-perusahaan multinasional. DPR juga perlu melakukan dengar pendapat dengan Tim Nasional WTO, para menteri dan atau departemen yang terkait untuk mengetahui sejauh mana posisi yang dibawa oleh Indonesia merupakan kepentingan masyarakat Indonesia bukan merupakan kepentingan para pemodal asing.

Demikian juga ketika KTM ke-6 berakhir, DPR bisa memanggil kembali Tim Nasional untuk mempresentasikan apa yang telah disepakati atau tidak disepakati dalam KTM tersebut, konsesi baru apa yang telah disetujui dan lainnya.



Kertas Lampiran II: Perkembangan Perundingan-perundingan WTO, Kepentingan, dan Posisi Ornop


PERUNDINGAN SEKTOR PERTANIAN

Perundingan sektor pertanian di WTO tetap menjadi kunci dalam proses perundingan di dalam lembaga perdagangan multilateral ini. Kealotan proses perundingan sektor pertanian juga berdampak terhadap berbagai perundingan yang terjadi di sektor-sektor lainnya, termasuk perundingan sektor tarif industri dan jasa. Bagi negara-negara berkembang, sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi mereka. Hal ini tak lain karena sektor pertanian memperkerjakan hampir lebih dari 75 persen penduduk di negara-negara berkembang, dan terhitung lebih dari setengah produk domestik bruto (PDB) negara-negara tersebut.

Ketidakadilan yang terjadi dalam proses perundingan sektor pertanian cukup jelas. Negara-negara maju tetap mempertahankan kepentingan mereka agar dapat tetap mensubsidi para petani mereka secara besar-besaran. Pada saat yang sama, mereka menginginkan adanya akses pasar yang luas di negara-negara berkembang sembari menutup pasar mereka dari produk pertanian negara berkembang lewat bermacam-macam hambatan non-tarif yang mungkin. Apa yang mereka lakukan bahkan secara jelas melecehkan prinsip pasar bebas. Mulut mereka mengucapkan ‘pasar bebas’, tetapi kebijakan yang mereka ambil adalah proteksionisme.

Melihat alotnya proses perundingan di sektor pertanian, negara-negara maju, seperti AS dan UE, mulai menyatakan kesediaannya untuk menurunkan subsidi mereka. Akan tetapi, kita tidak sepenuhnya menolak adanya subsidi. Subsidi seharusnya ‘diarahkan’ hanya bagi petani kecil/petani keluarga dan bukan untuk pertanian eksport; dan tidak sekedar diturunkan atau dihapuskan, seperti yang muncul dalam berbagai proposal AS dan UE belakangan ini. Subsidi sektor pertanian yang berlebihan di AS dan UE sebenarnya sebagian besar adalah untuk perusahaan-perusahaan agribisnis berorientasi eksport mereka yang menyebabkan harga dumping ke pasar dunia dan menyingkirkan pertanian di negara-negara tujuan ekspor tersebut.



Kepentingan Indonesia

Kepentingan dasar dalam sektor pertanian Indonesia yang harus diperjuangkan dalam setiap forum multilateral, khususnya WTO, adalah ‘mencapai kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan’ dan bukan sebaliknya merugikan petani atau berdampak negatif. Untuk mencapai hal itu, maka perlu diletakkan dalam prinsip-prinsip dasar berikut ini:

1. Melaksanakan reforma agraria untuk merubah struktur warisan kolonial, agar tersedia dasar-dasar yang kokoh dan adil dalam pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria .
2. Menjalankan Kedaulatan pangan agar Indonesia tidak tergantung pada pangan dari luar dan mampu menghasilkan pangan untuk kebutuhan seluruh rakyat Indonesia.
3. Menempatkan pertanian berbasiskan keluarga tani dan bukan pertanian besar /perkebunan besar (agribisnis), sebagai prioritas pembangunan .
4. Mementingkan perlindungan (proteksi) pasar dalam negeri dan menolak mekanisme pasar bebas.

Dalam menyikapi tiga pilar perjanjian pertanian di WTO, maka kepentingan utama Indonesia sebenarnya terletak pada dukungan domestik yang harus disediakan pemerintah kepada petani dan pertanian Indonesia, dengan prinsip-prinsip berikut:

1. Dukungan dan subsidi kepada petani adalah hak setiap negara untuk melakukannya.
2. Subsidi harus diberikan kepada petani, khususnya petani kecil dan bukan pada petani eksport.
3. Dukungan penuh pemerintah bagi petani Indonesia agar tidak hanya mampu menghasilkan komoditas pertanian mentah, tetapi juga mampu menghasilkan barang-barang pertanian olahan.
4. Harga harus dapat dinikmati oleh petani dan yang menjamin kesejahteraan petani, bukan untuk dinikmati oleh pedagang atau kelompok perantara lain


Rekomendasi kepada DPR:

1. Mendorong pemerintah agar dapat memberikan dukungan dan perlindungan, baik langsung maupun tidak langsung, kepada petani dalam bentuk akses dan kontrol terhadap tanah, alat produksi, peningkatan kualitas dan kuantitas fasilitas layanan publik (pendidikan, kesehatan, air, listrik dan sebagainya).
2. Mendorong pemerintah untuk melindungi produksi dan perdagangan dalam negeri melalui instrumen tarif maupun non-tarif sesuai dengan kebutuhan negara tersebut (seperti dalam larangan impor beras). Dengan demikian pemerintah harus menolak pemotongan atau penghapusan tarif di negara-negara berkembang dan menolak keharusan import.
3. Mendorong pemerintah, sebagai representasi dari masyarakat, untuk menolak kesepakatan-kesepakatan di WTO dan membangun bentuk lain perdagangan yang adil



PERUNDINGAN SEKTOR NAMA

Perundingan akses pasar produk-produk non-pertanian (NAMA – Non-Agricultural Market Access), atau juga dikenal sebagai perundingan tarif industri, merupakan satu perundingan dalam WTO yang bertujuan untuk menurunkan tarif dan hambatan non-tarif sektor industri, khususnya produk-produk yang menjadi kepentingan negara-negara berkembang.

Cakupan produk yang akan diikutsertakan didalam perundingan NAMA diharapkan akan menyeluruh, yakni melibatkan semua produk-produk non-pertanian, dan tanpa pengecualian (misalnya, tidak adanya pengenaan status sensitif bagi produk-produk non-pertanian). Satu hal penting yang perlu diketahui bahwa perundingan NAMA seharusnya mengedepankan kepentingan negara-negara miskin dan berkembang. Hal ini diatur dalam paragraf 16 Mandat Doha, dibawah naskah untuk Akses Pasar untuk Produk-Produk Non-Pertanian, yang menyebutkan bahwa perundingan NAMA harus memberikan perlakuan khusus dan berbeda bagi kedua jenis negara tersebut.

Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian fleksibilitas bagi negara-negara berkembang dan miskin dalam komitmen mereka untuk menurunkan tarif. Selain itu, bagian dari Mandat Doha tersebut juga menekankan bahwa negara-negara miskin harus diberikan bantuan sehingga mereka dapat berpartisipasi secara efektif didalam perundingan-perundingan NAMA.

Dalam perkembangannya terakhir, perundingan sektor NAMA masih memperdebatkan penggunaan metode penurunan tarif yang tepat. Pada awalnya, setiap negara masih diberikan kesempatan untuk mengajukan berbagai macam proposal yang mereka anggap sesuai untuk menurunkan tarif industri negara-negara anggota. Akan tetapi, sejak awal tahun 2005 ini mulai terlihat kecenderungan bahwa proposal penurunan tarif yang diajukan oleh negara-negara majulah, seperti formula model Swiss formula, yang digunakan sebagai tolak-ukur dari perdebatan sektor NAMA.

Penggunaan metode penurunan tarif model ini sangat berbahaya bagi negara-negara berkembang karena metode ini cenderung memotong tingkat tarif yang paling tinggi lebih drastis dibanding tingkat tarif yang rendah. Dengan kata lain, metode ini memang digunakan untuk memotong tarif sektor-sektor yang dianggap sensitif di negara-negara berkembang.

Pada intinya, ada beberapa bentuk kekhawatiran yang patut diperhatikan dalam perundingan NAMA:

1. perundingan NAMA yang terjadi sejauh ini masih belum mengedepankan kepentingan negara berkembang. Berbagai formula yang diajukan negara-negara maju cenderung mengarahkan de-industrialisasi di negara-negara berkembang;
2. hasil perundingan NAMA dapat meningkatkan produksi dan konsumsi produk-produk yang dapat mencemari lingkungan;
3. hasil perundingan NAMA dapat memperlemah posisi negara dalam mengatur sektor-sektor industri dalam negara mereka;

4. hasil perundingan NAMA juga berpotensi merubah peraturan nasional yang dianggap menghambat perdagangan internasional;

5. banyak negara-negara berkembang yang masih memerlukan tarif sebagai bahan pemasukan keuangan mereka.


Kepentingan Indonesia:

Pemerintah Indonesia masih harus mengevaluasi posisinya dalam WTO dikarenakan:

1. Belum adanya kebijakan strategi pembangunan nasional yang konkrit dan memenuhi kepentingan seluruh elemen masyarakat, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), serta memberikan perlindungan terhadap produk-produk lokal;
2. Belum adanya kejelasan mengenai kebijakan impor bahan baku industri;
3. masih minimnya teknologi untuk proses produksi dan pengolahan bahan baku;
4. Perlu adanya kebijakan-kebijakan yang jelas mengenai penetapan standar perburuhan;



Rekomendasi kepada DPR:

1. Mendorong pemerintah agar dapat berusaha mengeluarkan industri berbasis sumber daya alam (perikanan dan kehutanan) dari perundingan-perundingan WTO;
2. Mengusulkan kepada pemerintah untuk mengembangkan strategi aliansi dengan negara-negara berkembang yang memiliki kepentingan pembangunan serupa;
3. Mendorong pemerintah agar hanya akan mendukung konsep formula penurunan tarif yang dapat mengangkat kepentingan eksportir kecil dan menengah Indonesia, dan mendukung konsep pembangunan, baik di Indonesia ataupun negara-negara berkembang dan miskin lainnya;
4. Menekan pemerintah untuk merubah orientasi perdagangan Indonesia dari pasar internasional ke pasar domestik;
5. Menekan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah perlindungan menyeluruh terhadap produk-produk lokal;
6. Menekan pemerintah Indonesia untuk mengambil posisi mengeluarkan sektor perikanan dari perundingan-perundingan WTO;
7. Menekan pemerintah Indonesia untuk tidak meliberalisasikan sektor perburuhan, ataupun menggunakan isu perburuhan sebagai alat untuk menarik penanam modal asing;



PERUNDINGAN SEKTOR JASA

Kesepakatan Umum atas Perdagangan Sektor Jasa (GATS – General Agreement on Trade in Services) mengatur bagaimana sektor jasa di seluruh 149 negara anggota WTO di liberalisasi. Sektor ini menjadi kepentingan Negara maju karena sekitar 75 persen dari pasokan jasa di dunia berasal dari Negara-negara tersebut. Oleh karenanya pembukaan pasar jasa memang diinginkan oleh negara maju dan menguntungkan pemasok jasa yang terutama berasal dari perusahaan-perusahaan multinasional.

Sektor jasa yang diliberalisasi untuk pemasok dari Negara lain adalah semua sektor tanpa kecuali. Saat ini perundingan jasa telah melewati satu periode awal dimana setiap negara telah membuat komitmen berdasarkan tingkat dan kapasitas pasokan jasa yang dimilikinya. Komitmen ini disusun ketika WTO disahkan tahun 1994. Walaupun ‘komitmen berdasar kapasitas’ masing-masing Negara mungkin bias, karena sebagian besar Negara berkembang tidak mengetahui secara persis kapasitas pasokan jasa dan nilai impor yang sebenarnya. Sifat perdagangan jasa yang tidak terlihat apalagi jika dibandingkan dengan perdagangan barang, membuat sektor ini sulit dihitung secara tepat. Misalnya Indonesia dikenal ‘mengekspor’ jasa tenaga kerja ke berbagai Negara, nilai pendapatannya haruslah diperhitungkan dengan devisa yang harus dibayar Indonesia untuk tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia.

Untuk komitmen pertama, Indonesia mencantumkan jadwal liberalisasi untuk sektor telekomunikasi, pariwisata, keuangan, transportasi maritim, dan jasa industri dalam tingkatan yang berbeda-beda.

Sejak tahun 2000, Negara-negara anggota sepakat untuk memperbesar dan memperluas tingkat liberalisasi yang telah dilakukan. Metode yang digunakan adalah request dan offer dimana setiap Negara menyampaikan permintaan sector jasa yang diinginkan kepada Negara-negara lain untuk dibuka. Negara anggota juga harus menyampaikan penawaran (offer) sektor yang menurut mereka siap dibuka pasarnya untuk pemasok asing.

Tenggat waktu penyusunan initial request dan offer ini beberapa kali mengalami perubahan. Terakhir pada bulan juni 2005 dan berubah lagi. Ini nampaknya dikarenakan Negara-negara anggota terutama Negara berkembang sperti Indonesia mengalami kesulitan dalam menjawab request dan menyampaikan offer, sektor apa yang bisa ditawarkan, serta seberapa dalam dan seberapa luas. Untuk daftar penawaran yang dilakukan pada Mei 2005, Indonesia telah menyampaikan initial offer yaitu : professional services : legal services, construction services, educational services, financial services, health services, maritime services, energy services ; dan initial request yaitu proffesional services, educational services, health services, tourism services dan maritime services. Initial request lebih banyak ditujukan untuk mode 4 (perpindahan manusia-movement of natural persons).

Selain perundingan untuk memperluas dan meperdalam pembukaan pasar jasa dalam negeri, GATS juga masih merundingkan aturan-aturan (rules), seperti pengaturan regulasi domestik, subsidi, penyusunan assessment (penilaian) dan mekanisme pengamanan darurat (emergency safegueards measures). Berbeda dengan suasana perundingan dalam pembukaan pasar dimana negera maju dinamis dan bersemangat dalam mendorong negara berkembang menyusun daftar penawaran dan permintaan, maka dalam perundingan mengenai aturan ini, negara berkembanglah yang bersemangat. Dengan demikian terlihat bahwa perundingan berjalan tidak cukup seimbang, dimana perundingan perluasan pasar lebih mengemuka dibandingkan mengenai aturan-aturan. Tetapi Negara maju berpendapat lain.

Dalam satu laporan perundingan yang disampaikan ketua perundingan jasa pada Juni 2005 lalu, disebutkan bahwa kualitas penawaran negara-negara anggota tidak memuaskan atau buruk. Negara maju berpendapat bahwa penawaran yang disusun oleh negara berkembang tidak sesuai dengan tingkat liberalisasi yang diinginkan, sedangkan negara berkembang kecewa karena negara maju tidak cukup serius membuka pasar jasa yang menjadi kepentingan negara berkembang.

Kekecewaan Negara maju atas ‘kualitas’ penawaran pembukaan pasar jasa inilah yang dijadikan alasan untuk menerapkan metode baru dalam perundingan jasa, terutama untuk membuka pasar semakin dalam dan luas. Pendekatan ini dikenalkan oleh kelompok Negara maju seperti Uni Eropa, Kanada, Selandia Baru dan lain-lain. Dinamakan pendekatan komplementer (complementary) atau sering disebut pendekatan ‘tolak ukur’ (bencmarking). Pendekatan ini menekankan perlunya disusun target baik kualitatif maupun kuantitatif dalam pembukaan pasar jasa. Sehingga menurut kalangan pendukungnya, akan semakin meningkatkan perdagangan jasa.

Pendekatan ini kemudian mendapat tentangan dari negara berkembang karena dianggap tidak sesuai dengan aturan GATS, dimana setiap negara bisa menentukan tingkat komitmen yang disusun sesuai dengan tujuan pembangunan nasionalnya. Penentuan target membuat fleksibilitas yang dimiliki berkurang.

Saat ini, kontroversi semakin meruncing, karena dalam draf yang diluarkan oleh ketua perundingan jasa yaitu Dutabesar Fernando de Mateo dari Meksiko menyebutkan adanya target-target kualitatif dan kuantitaif, dan model perundingan plurilateral. Draf itu menimbulkan pertentangan, 14 negara berkembang termasuk Indonesia telah melayangkan posisi bersama yang mengkritik draf tersebut. Intinya pendekatan yang menuliskan target dan indikator pencapaian tidaklah sesuai dengan aturan GATS dan akan mengurangi fleksibilitas negara berkembang untuk menentukan langkah liberalisasi yang ditempuhnya.



Kepentingan Indonesia:

Sampai saat ini negara-negara berkembang termasuk Indonesia, belum dapat mengoptimalkan keuntungan dari sistem perdagangan multilateral WTO karena masih menjadi net importir dari perdagangan jasa. Tetapi, negara-negara berkembang cenderung untuk bergerak maju dalam setiap perundingan-perundingan WTO.

Agar sistem perdagangan multilateral dapat memberikan dampak yang optimal bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, harus ada kemajuan berarti dalam perundingan mode 4 (perpindahan manusia – movement of natural person). Bagi Indonesia mode 4 adalah salah area dari ekspor jasanya dan elemen fundamental untuk menjamin keseimbangan dalam comparative advantage antara negara maju dan negara berkembang. Dalam sistem yang sekarang digunakan dalam ‘eksor’ jasa tenaga kerja adalah hanya nota kesepahaman atau kesepakatan bilateral.

ESM didasarkan pada hypothetical conditions, dimana negara berkembang memperkirakan pasar jasa domestik akan dibanjiri oleh supplier jasa dari luar negeri mengingat adanya gap antara supplier jasa domestik dan luar negeri. ESM diperlukan sebagai sistem yang dapat langsung diterapkan dan tidak memakan waktu lama sehingga (kerugian) injury pada industri domestik dapat diminimalisasi.

ESM memungkinkan suatu negara menghidar dari komitmen yang sudah diikat. Negara maju ingin hanya dengan ENT (operasionalisasi hanya terbatas pada jumlah tertentu atau daerah tertentu). ESM diperlukan sebagai jaminan untuk memodifikasi komitmen apabila terjadi kerugian (injury) pada sektro jasa lokal.

Perlindungan tenaga kerja lokal dari tenaga kerja dari luar. Karena dalama undang-udang tneaga kerja yang saat ini tidak memberikan kewajiban ke tenaga kerja lokal melakukakan transfer teknologi.

Perlunya negara menjamin akses rakyatnya atas pendidikan, dan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas. Karena masalah dalam penyediaan jasa publik yang esensial bagi rakyat Indonesia adalah ketersediaan, kualitas, dan aksesibilitas. Karena pertanyaan mendasar perlukan membuka satu sektor dibuka untuk pemain asing atau tidak adalah apakah akan membantu akes atau memperburuk.


Rekomendasi kepada DPR:

1. Ada cetak biru tentang pembangunan jasa, sektor masa tidak bisa diliberalisasi, sektor apa boleh dan lainnya.
2. Penyusunan regulasi untuk berbagai bidang harus berdasarkan kepentingan nasional bukan kepentingan negara lain atau sebagian pemain bisnis.
3. Selalu mengkomunikasikan dan melibatkan semua sektor dalam pembahsan mengenai liberlisasi jasa.
4. Meminta pada sektor jasa nasional agar mengidentifikasi subsidi yang dilakukan oleh negara lain yang pada akhirnya akan membuat perusahaan asing menjadi lebih daya saing yang lebih tinggi dibanding perusahaan-perusahaan nasional;
5. Menegaskan kepada pemerintah agara hanya akan membahas masalah government procurement apabila isu yang dibahas hanya mengenai transparansi pada isu domestik regulasi. Semua proses dan prosedur yang disepakati oleh pemerintah harus ada persetujuan DPR karena hal yang dimaksud berhubungan dengan masalah strutktur legal;
6. Meminta sektor jasa nasional agar membuat penilaian terhadap keuntungan dan kerugian bila sektor-sektor jasa tertentu diliberalisasi. Selain itu, DPR juga perlu meminta kepada sektor jasa nasional untuk menentukan sektor jasa mana saja yang dapat bersaing pada tingkat perdagangan internasional. Pada prinsipnya Indonesia setuju dengan pengunduran waktu new revised offer dari bulan Mei 2005 menjadi 2006;
7. Dalam proses perundingan offer and request, Indonesia mengusulkan untuk tetap menggunakan pendekatan bilateral dan tidak merubah pendekatan pendekatan request / offer dimaksud;
8. Menekan pemerintah Indonesia agar tidak menyetujui usulan negara-negara maju untuk menggunakan pendekatan komplementer karena pendekatan tersebut tidak sesuai dengan progressive liberalisation;
9. Menekan pemerintah agar tidak menyetujui adanya tolak-ukur (benchmarking), adanya target-target tertentu atau apapun namanya, mengingat penggunaan pendekatan yang dimaksud sulit untuk diterapkan pada negara-negara anggota WTO yang memiliki tingkat pembangunan yang berbeda, dan diterapkan secara sektoral;







*dimuat sebagai naskah akademik pelengkap perkuliahan

hukum perdagangan multilateral dan regional



sumber:

1. Martin Khor, "Trade: Two papers on "services text" put in by developing countries", SUNS 20 Februari 2008.

2. Institute Global Justice

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger