Selasa, 21 Juni 2011

Unilateralisme (Tindakan Sepihak) Dalam Hukum Internasional

Dalam dunia internasonal, Negara sering melakukuan tindakan sepihak (unilateral acts) dengan maksud untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Signifikansi tindakan unilateral tersebut berkembang sebagai akibat dari perubahan politik, ekonomi dan teknologi yang terjadi dalam masyarakat internasional pada saat sekarang ini, khususnya kemajuan sarana untuk mengekspresikan perilaku dan tindakan Negara.

Disamping itu praktek Negara dalam kaitannya dengan tindakan unilateral yang diwujudkan dalam berbagai bentuk dan kondisi telah menjadi pokok bahasan studi dan telah menjadi pertimbangan dalam putusan di Mahkamah Internasional (ICJ).

Dalam sejarah perkembangan hukum internasional, tindakan sepihak sebuah Negara telah lama terjadi terutama berkaitan dengan masalah perang. Sebagian besar diawali dengan tindakan sepihak Negara yang berupa agresi sewaktu Perang Dunia I. Walaupun ada ketentuan dalam hukum kebiasaan perang bahwa Negara yang akan menjalankan perang diwajibkan untuk mendeklarasikan namun tindakan sepihak masih saja terus terjadi.

Peta politik internasional telah mengalami perubahan begitu besar sejak berakhirnya perang dingin dan hancurnya bekas Negara Uni Soviet. Kondisi tersebut menimbulkan kekuatan baru AS sebagai satu-satunya Negara “super power” di dunia. Perubahan tersebut juga diwarnai dengan adanya globalisasi yang begitu cepat, serangan terorisme dalam skala besar terutama sejak aksus 11 September 2001.

Terciptanya perdamaian dan keamanan dunia pasca perang dingin masih menjadi tantangan dan belum bisa terwujud sejak didirikannya PBB. Dari beberapa peristiwa di dunia, perang Irak merupakan isu yang terkini yang mempertanyakan keberdayaan ketentuan ketentuan hukum internasional yang ada khususnya ketentuan yang diatur dalam Piagam PBB yang dimaksudkan untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia yang sedang berubah.

Ketidakmampuan PBB untuk bereaksi secara cepat untuk memecahkan persoalan-persoalan internasional telah menyebabkan dilakukannya intervensi oleh AS dan Negara-negara lainnya tanpa melalui persetujuan PBB. Intervensi demikian dapat dikatakan sebagai intervensi sepihak (unilateral action). Reaksi internasional terhadap intervensi sepihak ini beranekaragam dari kasus per kasus.

Di satu pihak banyak Negara lebih setuju bila intervensi unilateral tersebut dilakukan dalam bentuk keterlibatan PBB dalam penyelesaian sengketa internasional yang diwujudkan melalui persetujuan DK PBB seperti legislasi intervensi militer NATO. Di lain pihak ada beberapa reaksi dimana AS telah bertindak atau seharusnya bertindak diluar kerangka PBB. Satu contoh adalah intervensi militer di Afganistan.

Meskipun dunia sepakat untuk menindak tegas teroris atas serangan 11 september, legalitas serangan AS ke Afganistan dipertanyakan berkaitan dengan prinsip-prinsip hukum internasional.

Dari tindakan tindakan unilateral yang hampir sebagian besar dilakukan oleh Negara Negara maju menunjukan kecenderungan untuk memperoleh justifiaksi bahkan legitimasi oleh masyarakat internasional dengan bingkai perlindungan HAM dan demokrasi serta pemberantasan terhadap kejahatan terorisme. Kecenderungan semaca itu memang akan sangat merugikan Negara sedang berkembang termasuk Indonesia karena ada ketergantungan mereka terutama sisi kepentingan ekonomi. Pada akhirnya semua permasalahan yang muncul berkaitan dengan tindakan sepihak tersebut berakar pada keadilan structural masyarakat internasional.



Pengertian dan Basis Teori tentang Tindakan Sepihak

Dalam hukum internasional, belum ada ketentuan yang baku mengenai pengertian dari unilateral act.Unilateral act dipahami sebagai tindakan yang diikuti oleh sebuah Negara atau beberapa Negara bersama-sama yang menciptakan akibat hukum terhadap Negara lain. Status hukum tindakan sepihak ini masih belum jelas dalam hukum internasional.

Aspek dari tindakan sepihak ini sedang dikodifikasi oleh International Law Commission dalam sesi ke53 dalam report ke4. Umumnya, tindakan sepihak dari suatu Negara berarti ekspresi tegas kehendak yang dirumuskan oleh suatu Negara dengan tujuan menghasilkan efek hukum sehubungan dengan masyarakat internasional.

Unilateral act juga bisa diartikan deklarasi sepihak yang dirumuskan oleh sebuah Negara dengan tujuan menghasilkan akibat hukum tertentu dalam hukum internasional. Tidak ada rumusan atau definisi yang bisa ditemukan dalam sumber hukum internasional karena memang pada dasarnya tindakan unilateral dalam hubungan antar Negara tidak diperbolehkan. Berikut merupakan beberapa pengertian unilateral act yang dapat dijadikan pedoman.

1.Dalam Second Report on Unilateral acts of States yang dibuat oleh ILC, unilateral acts of states diberikan pengertian sebagai :

“An unequivocal, autonomous expression of will, formulated publicly by one or more States in relation to one or more other States, the international community as a whole or an international organization, with the intention of acquiring international legal obligations”

Dalam pengertian tersebut digunakan istilah unilateral legal act yang maksudnya adalah unilateral declaration yang merupakan sebuah pernyataan kehendak yang independent dan dibuat oleh satu atau lebih Negara yang berhubungan dengan satu atau lebih Negara, masyarakat internasional secara keseluruhan atau sebuah organisasi internasional dengan maksud untuk menimbulkan kewajiban hukum internasional.

Pengertian ini menjadi jelas karena pernyataan kehendak tersebut hanya mencakup kewajiban bagi Negara atau Negara yang membuatnya karena memang sebuah Negara tidak dapat memaksakan kewajiban kepada Negara lain tanpa ada persetujua (consent).


2.Pengertian tindakan unilateral menurut Piagam PBB disamakan dengan intervensi seperti yang tertuang dalam Pasal 2(7) :

Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter Vll.

Pasal 2 ayat 7 tersebut hanya mengatur intervensi melalui PBB dan bukan melalui Negara. DK PBB dapat bertindak bila ada ancaman terhadap perdamaian dan agresi.

Berdasarkan kondisi tersebut DK PBB dapat memutuskan baik secara penuh maupun sebagian hubungan ekonomi dan komunikasi da juga hubungan diplomatic. Bila tindakan ini dirasakan belum cukup DK PBB dapat menggunakan kekuatan bersenjata. Negara dapat menjalankan hak bela diri secara individu maupun kolektif bila memang ada serangan militer.

Seperti diketahui bahwa dalam hukum internasional terdapat asas “par in parem non habet imperium” yang artinya suatu Negara berdaulat tidak boleh menerapkan yurisdiksinya atas Negara berdaulat yang lain, tetapi hanya boleh menerapkan yurisdiksinya atas badan-badan atau pribadi-pribadi yang kedudukannya lebih rendah daripada Negara itu.

Sebagai konsekuensi dari pembatasan tersebut maka Negara-negara di dunia termasuk organisasi internasional, haruslah saing menghormati kedaulatan masing-masing. Saling penghormatan atas kedaulatan ini berlaku secara timbal balik atau yang disebut dengan asas resiprositas. Tindakan sepihak ini bentuknya berbagai macam dan tujuannya juga berbeda.

Banyaknya tindakan sepihak dengan berbagai caranya merupakan sebuah fenomena yang wajar dan alami dari sebuah entitas Negara yang berdaulat. Meskipun pergerakannya sangat dibatasi oleh hukum internasional, Negara-negara masih memiliki jurisdiksi dan kompetensi yang eksklusif dimana mereka dapat bertindak menurut kebijakan nasional mereka dan membuat keputusan yang memiliki pengaruh atau akibat dalam hubungannya dengan Negara lain.

Di satu sisi Negara bebas bertindak seperti yang dia harapkan, namun disisi lain beberapa ketentuan baik dalam hukum kebiasaan maupun hukum perjanjian memberikan tempat pada tindakan sepihak ini melalui berbagai proses hukum atau membolehkan tindakan sepihak dalam situasi yang berbeda-beda.

Dalam hukum internasional terutama dalam konteks kedaulatan, tindakan sepihak suatu Negara dengan melakukan serangan terhadap Negara lain adalah dilarang, kecuali dalam rangka self defence. Dalam hukum internasional yang mengagungkan kedaulatan Negara, intervensi satu Negara dalam urusan dalam negeri Negara lain selalu akan menimbulkan konflik.

Pandangan tradisional yang mengatakan bahwa semua jenis campur tangan ke dalam urusan dalam negeri Negara lain di anggap bertantangan dengan hukum internasional ini telah mengalami penekanan yang semakin meningkat dengan semakin munculnya tindakan proaktif yang bersifat sepihak yang dalam keadaan-keadaan tertentu memperoleh legitimasi. Alasan demi menjaga perdamaian, HAM dan demokrasi merupakan dasar justifikasi tindakan intervensi tersebut.



Kewajiban Negara dalam Hukum Internasional

Di dalam Piagam PBB sudah jelas ada kewajiban dasar Negara dalam hubungannya dengan Negara-negara lain, yakni :

a.kewajiban tidak melakukan tindakan yang bersifat melanggar kedaulatan Negara;
b.kewajiban tidak melanggar supremasi territorial Negara lain;
c.kewajiban tidak mengintervensi masalah dalam negeri Negara lain.

Ketentuan piagam tersebut dengan jelas menyatakan bahwa dalam hubungan antarnegara tidak diperbolehkan adanya intervensi. Ketentuan tersebut kemudian didukung oleh deklarasi yang dibuat oleh Majelis Umum PBB tentang Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of their Independence and Sovereignty ( G.A. Res. 2131/XX, 21 Desember 1965).

Dalam paragraf pertama deklarasi tersebut disebutkan bahwa setiap negara tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi, langsung maupun tidak langsung, untuk alasan apapun, di dalam urusan dalam dan luar negeri sebuah negara.

Deklarasi tersebut diteguhkan kembali oleh masyarakat internasional melalui deklarasi majelis umum PBB, yang dikenal dengan, Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations (G.A. Res. 2625 (XXV), 24 Oktober. 1970).

Deklarasi tersebut tidak hanya mengutuk sebuah tindakan intervensi, namun juga menyatakan bahwa tindakan intervensi merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum internasional, sehingga perihal intervensi akan masuk dalam sebuah tanggung jawab internasional.

Keberadaan kewajiban kewajiban internasional tersebut telah mengalami perkembangan dan pergeseran dari konsep awal. Pergeseran sighnifikan dari kewajiban Negara dapat dicontohkan dalam masalah HAM yang dewasa ini telah mendunia. Persoalan HAM suatu Negara tidak lagi dapat dikatakan sebagai semata-mata persoalan negeri yang bersangkutan.

Penghormatan terhadap HAM telah menjadi kewajiban bagi Negara untuk menegakkannya, bahkan apabila perlu dapat dilakukan dengan melampaui batas kedaulatan territorial suatu Negara. Tindakan tersebut tidak dapat dikatakan semata-mata sebagai bentuk intervensi asing pada urusan dalam negeri suatu Negara.


Kecenderungan membentuk hukum baru

Hukum internasional seperti perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional juga memberikan tempat kepada unilateral acts ini sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Meskipun tindakan sepihak ini selalu berhubungan dengan aspek politis, namun disini perhatian kita akan focus terhadap tindakan-tindakan yang memiliki akibat hukum. Tindakan sepihak tidak berada di dalam ruang lingkup sumber hukum internasional manapun.

Akan tetapi tindakan ini memiliki pengaruh terhadap pembentukan hukum internasional. Tindakan sepihak dalam prakteknya bisa merupakan awal munculnya hukum kebiasaan internasional, sementara untuk menjadi sebuah perjanjian internasional membutuhkan sejumlah tindakan Negara yang terus menerus dan konsisten. Banyak contoh tindakan sepihak ini pada akhirnya dapat membentuk hukum kebiasaan internasional, sementara proses pembentukan suatu perjanjian internasional tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya tindakan-tindakan sepihak ini.

Hal ini bukan berarti setiap Negara dapat menciptakan hukum internasional hanya dengan bertindak sepihak sendiri. Beberapa tindakan ini dapat melahirkan hak dan kewajiban secara hukum. Berikut adalah contoh kasus tindakan sepihak dimana beberapa di antaranya diikuti oleh Negara lain dan membentuk hukum kebiasaan internasional.


Unilateral Act di bidang hukum udara :

1.Larangan Terbang oleh Uni Eropa

Uni Eropa melakukan tindakan unilateral yang bertentangan dengan ketentuan ICAO. Mestinya yang memutuskan apakah suatu negara memadai atau kurang memadai dalam memajukan keselamatan penerbangan adalah ICAO dan bukan sekelompok negara dalam Uni Eropa.

Memang, pada dasarnya setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udaranya, sehingga dapat secara unilateral mengadakan pembatasan-pembatasan. Hal tersebut memang dijamin oleh konvensi, seperti kawasan udara terlarang (Pasal 9 Konvensi Chicago 1944), penentuan tempat pendaratan untuk penerbangan tidak berjadwal (Pasal 5 Konvensi Chicago 1944) dan yang lainnya.

Akan tetapi, tindakan-tindakan unilateral tersebut tidak boleh mengganggu keberlangsungan penerbangan sipil internasional. Salah satu tindakan unilateral yang dapat dilakukan adalah mengenai larangan terbang bagi maskapai dari negara tertentu demi alasan keamanan dan keselamatan negaranya. Dalam setiap kasus, tindakan yang dilakukan secara unilateral oleh sebuah negara harus memiliki komitmen bahwa tidak boleh ada diskriminasi perlakuan.

Konvensi Chicago memang memberikan diskresi kepada negara peserta untuk membuat aturan-aturan unilateral atau bilateral perihal ketentuan yang belum diatur oleh konvensi.


2.Larang Terbang oleh Amerika Serikat

Sebagai contoh tindakan unilateral larangan terbang adalah apa yang dilakukan Amerika Serikat pada tahun 1992. Sejak terjadi kecelakaan atas AVIANCA B-707 pada tahun 1990, kemudian Amerika memberlakukan aturan keselamatan bagi pengangkut asing.

Mereka mengharuskan setiap pengangkut udara asing minimal harus memenuhi standar minimum keselamatan yang telah diatur oleh ICAO. Apabila pengangkut tersebut tidak memenuhi standar tersebut, maka pengangkut tersebut tidak dapat terbang memasuki wilayah Amerika.



Unilateral act di bidang hukum laut :

Malaysia secara unilateral menentukan garis pangkal dan titik pangkal batas wilayahnya yang hanya diketahui oleh Malaysia sendiri. Sejak awal pembuatan peta tahun 1979, Malaysia ditentang oleh negara-negara tetangga di ASEAN karena tidak mematuhi hukum Internasional (resistant state objectors). Penentuan dan pembuatan peta wilayah laut mensyaratkan adanya keterlibatan negara-negara tetangga lainnya.

Tindakan sepihak tersebut bertentangan dengan ketentuan UNCLOS 1984. Tindakan sepihak seperti dilakukan oleh Pemerintah Malaysia jelas bertentangan dengan preseden hukum yang tidak terbantahkan. Dua kasus seperti Norwegian Fisheres Case dan Lotus case, merupakan preseden hukum mengikat masyarakat dunia (world community).

Penentuan batas laut suatu negara harus ditetapkan dengan melibatkan negara-negara tetangga. Pengaturan tentang penentuan suatu wilayah berbatasan, baik di laut dan darat mewajibkan adanya suatu kesepakatan Negara-negara tetangga seperti yang ditegaskan dalam UNCLOS 1982, yaitu “penentuan batas wilayah laut suatu Negara harus dilakukan dengan suatu kesepakatan bilateral yaitu dengan melibatkan Negara Negara tetangga (neighboring countries).



Unilateral act dalam bentuk penggunaan kekuatan bersenjata :

Penggunaan kekuatan unilateral terjadi bilamana penggunaan kekuatan tersebut dilakukan tanpa memperoleh kewenangan dari suatu organisasi internasional yang kompeten, seperti Dewan Keamanan PBB. Sebagai contoh tindakan unilateral tersebut antara lain adalah : invasi Vietnam terhadap Kamboja 1978-1979, invasi Rusia terhadap Afganistan 1980, invasi Amerika atas Panama 1989. Selain itu juga terjadi di Uganda 1974, Somalia tahun 1992-1994, Rwanda 1994, Haiti 1994, Bosnia Herzegovina 1992-1995, dan kasus terbaru yang paling kontroversial adalah Kosovo 1998-1999. Kasus agresi sepihak AS ke Irak juga bahkan sering menjengkelkan negara lain, malah membahayakan warga sipil AS sendiri.

Secara umum penggunaan kekuatan unilateral tidak dibenarkan dalam hukum internasional khususnya Piagam PBB. Hal ini bias dilihat dengan jelas dalam pasal (1), pasal 2(3), dan pasal 2(4) dari Piagam PBB.

Prinsip non-intervensi sebagai salah satu fondasi dasar dalam hukum internasional, berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan negara. Artinya bahwa negara berdaulat; bebas dari negara lainnya dan juga sama derajatnya dengan yang lain. Prinsip non-intervensi merupakan kewajiban setiap negara berdaulat untuk tidak melakukan tindakan mencampuri urusan dalam negeri negara lain dalam relasi antarnegara.

Larangan untuk intervensi antarnegara diatur dalam Piagam PBB Pasal 2 (7). Pasal tersebut menyatakan bahwa pelarangan terhadap PBB untuk intervensi sesuatu yang berada dalam yurisdiksi domestik suatu negara.Prinsip non intervensi kembali diteguhkan oleh mahkamah internasional (ICJ) dalam memutus perkara antara Nikaragua Vs Amerika Serikat. Mahkamah menyatakan bahwa:

The principle of non-intervention involves the right of every sovereign State to conduct its affairs without outside interference; though examples of trespass against this principle are not infrequent, the Court considers that it is part and parcel of customary international law. Between independent States, respect for territorial sovereignty is an essential foundation of international relations and international law requires political integrity also to be respected.... The existence in the opinio juris of States of the principle of non-intervention is backed by established and substantial practice. It has moreover been presented as a corollary of the principle of the sovereign equality of States….

Artinya prinsip non-intervensi merupakan hak setiap negara berdaulat untuk mengatur urusan dalam negeri tanpa intervensi dari negara lain dalam bentuk apapun. Prinsip ini juga telah mencapai status hukum kebiasaan internasional.

Adapun kunci mengenai larangan penggunaan kekerasan dalam Piagam PBB Pasal 2 (4) yang berisi: Segenap anggota PBB dalam hubungan internasional harus menghindarkan dirinya dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap keutuhan wilayahnya atau hak kemerdekaan suatu negara atau dengan cara apa pun yang bertentangan dengan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sebenarnya terdapat pengecualian tentang penggunaan kekuatan bersenjata yaitu pasal 51 yaitu self defence. Penggunaan hak untuk membela diri (the right of self-defence) pertama-tama harus didasarkan pada kriteria ada atau tidaknya suatu serangan bersenjata yang nyata (an actual armed attack).

Selanjutnya para pakar hukum internasional menambahkan syarat lainnya agar hak pembelan diri sah secara hukum yaitu :

1. Serangan balasan hanya ditujukan kepada angkatan bersenjata negara penyerang (the response is aimed at the armed attacker);

2. Serangan balasan dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah adanya serangan lanjutan (the response has the purpose of preventing future attack);

3. Serangan balasan bertujuan untuk melenyapkan ancaman dan harus proporsional di dalam pelaksanaannya (the response is necessary to remove the threat and is proportional in the circumstances).

Saat ini pengecualian yang dapat diberikan dalam larangan penggunaan kekuatan tersebut berkembang menjadi :

1. Mempertahankan diri secara individual (pasal 51 Piagam PBB)
2. Mempertahankan diri secara kolektif (pasal 51 Piagam PBB)
3. Hak untuk melindungi bangsa-bangsa (pasal 2(4) Piagam PBB)
4. Intervensi Kemanusiaan (Pasal 2(4) dan (7) Piagam PBB)
5. Intervensi atas undangan
6. Balasan (reprisals)
7. Penentuan sendiri (self determination)

Contoh kasus uniteral act lainnya adalah tindakan Israel yang membangun tembok pembatas di Desa Bilin , tembok-tembok itu membelah Yerusalem, melingkar atau menikung, dan membagi dua kehidupan , Israel beralasan tembok pembatas tersebut untuk menangkal serangan dari Pejuang Palestina dan melindungi warganya dari serangan bom bunuh diri para militan Palestina, Israel membangun tak kurang 130 kilometer tembok pembatas di wilayah Israel-Palestina. Bagi Otoritas Palestina, pembangunan permukiman adalah bentuk pendudukan. Hal ini semakin mengancam upaya perdamainan antara Israel dan Palestina .




Perkembangan Unilateral Act dalam Hukum Internasional Saat ini

Dalam hukum internasional hukum perang dibagi dua yaitu sebagai berikut:

1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.

2. Jus in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi dua yaitu :

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.

b.Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang, ini lazimnya disebut The Geneva Laws.

Responsibility to Protect merupakan perkembangan konsep dalam hukum internasional yang pertama kali dibuat oleh pemerintah Canada dan dikembangkan oleh International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) pada tahun 2001 yang berhubungan humanitarian intervention dan tanggung jawab negara terhadap warga negaranya dan tanggung jawab komunitas internasional dalam kasus apabila suatu negara gagal (tidak mau dan tidak mampu) bertanggung jawab.


1.Prinsip Dasar

a.Kedaulatan negara disertai dengan tanggungjawab. Tanggungjawab utama adalah melindungi warga negaranya.

b.Ketika warga negara menderita pelanggaran HAM, sebagai hasil dari suatu perang sipil, kegagalan suatu negara, dan negaranya tidak mau dan tidak mampu untuk mencegahnya, prinsip non-intervensi beralih menjadi tanggungjawab untuk melindungi.



2.Landasan Pembentukan

a.Ada kewajiban yang melekat dengan kedaulatan;

b.Berdasarkan pasal 24 Piagam PBB, Dewan Keamanan PBB memiliki tanggungjawab utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional;

c.Ada kewajiban khusus dibawah hukum hak asasi manusia, deklarasi perlindungan hak asasi manusia, konvensi dan perjanjian internasional serta hukum humaniter internasional dan hukum nasional;

d.Perkembangan praktek negara, organisasi regional dan Dewan Keamanan PBB.



3.Elemen atau Unsur

a.Tanggungjawab untuk mencegah suatu internal konflik yang terjadi dalam suatu negara;

b.Tanggungjawab untuk bereaksi atas suatu pelanggaran HAM berat, dengan intervensi militer sebagai pilihan terakhir bila perlu;

c.Tanggungjawab untuk membangun kembali, memulihakan dan memberikan bantuan, rekonstruksi serta rekonsiliasi sebagai akibat suatu intervensi militer.




4.Prioritas

a.Pencegahan adalah tujuan utama. Upaya untuk mencegah selalu harus merupakan pilihan pertama sebelum intervensi dilakukan.

b.Aplikasi dari tanggungjawab untuk mencegah dan bereaksi harus selalu tidak menimbulkan keadaan yang lebih buruk.

Dalam perkembangannya, terdapat enam kriteria sah intervensi atau penggunaan kekuatan bersenjata :

1.Teori Just Cause : Pengecualian intervensi militer untuk tujuan kemanusiaan, harus ada kejahatan serius terhadap kemanusiaan, atau kejahatan yang akan segera terjadi, seperti :

a. kematian dalam jumlah yang besar, atas tindakan negara (pemerintah) atau negara tersebut tidak mampu atau gagal untuk mengatasi keadaaan tersebut.

b. pembersihan suku (ethnic cleansing) dalam jumlah besar, dengan cara membunuh, mengusir dengan paksa, tindakan teror ataupun dengan memperkosa.


2. Niat yang benar : Tujuan utama intervensi adalah untuk mencegah atau menghentikan penderitaan manusia. Tidak ada tujuan selain mencegah pelanggaran HAM berat.

3. Upaya terakhir : Intervensi militer hanya dapat dibenarkan ketika setiap pilihan dengan cara non-militer telah dilakukan. Upaya awal dapat dilakukan dengan diplomasi dengan negara setempat atau meminta persetujuan Dewan Keamanan PBB.

4. Proporsional : Skala, jangka waktu dan intensitas intervensi militer yang direncanakan harus sebanding untuk perlindungan kemanusiaan.

5. Prospek yang layak : Harus ada kemungkinan yang logis bahwa intervensinya akan berhasil mencegah atau menghilangkan penderitaan kemanusiaan.

6. Otoritas yang benar : Intervensi tersebut harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Keamanan. Dewan Keamanan merupakan badan atau organ yang memiliki kewenangan utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Apabila Dewan Kemanan menolak suatu proposal dari suatu negara untuk melakukan humanitarian intervention, maka ada dua alternatif yaitu :

a. mengusulkan kepada Majelis Umum dalam Sesi Darurat dan membentuk prosedur “Uniting for Peace”;

b. organisasi regional meminta otorisasi atau persetujuan dari Dewan Keamanan PBB.




Implikasi Tindakan Sepihak terhadap Negara Berkembang (Indonesia)

1. Tindakan unilateral tentang larangan terbang yang dilakukan Uni Eropa telah membuat Indonesia mengalami kerugian secara ekonomis, mengganggu lalu lintas orang dan barang, melanggar prinsip “equality” dan “opportunity”. Jadi ketentuan nasional itu harus diberlakukan tanpa perbedaan kepada setiap negara. Dalam setiap kasus, tindakan yang dilakukan secara unilateral oleh sebuah negara harus memiliki komitmen bahwa tidak boleh ada diskriminasi perlakuan.

2. Deklarasi Kemerdekaan sepihak Kosovo tidak memiliki dampak langsung terhadap kepentingan Indonesia. Bagi Indonesia, tidak ada alasan untuk tergesa-gesa memutuskan untuk mengakui atau tidak kemerdekaan Kosovo yang bermasalah itu. Karena berdasarkan hukum internasional dan praktik negara, tidak ada kewajiban bagi suatu negara untuk memberi pengakuan kepada negara baru.




DAFTAR PUSTAKA


LITERATUR
Arlina Permatasari, Pengantar Hukum Humaniter, International Committe Of The Red Cross, Jakarta, 1999

Boer Mauna, Hukum Internasional “Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global”, Bandung : Alumni, edisi kedua, 2005

Haryomataram, Hukum Humaniter, Trimatra, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 2003

Mansyur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003

Krzysztof Skubiszewski, "Unilateral acts of States", in Mohammed Bedjaoui, ed., International Law: Achievements and Prospects. Paris, UNESCO and Dordrecht, Martinus Nijhoff, 1991


JURNAL

Atip Latifulhayat, Perang Irak dan Hukum Internasional, Journal of International Law UNPAD, Vol. 3 No. 1 – April 2004

Boleslaw Adam, International Law: A Dictionary. Lanham, md: Scarecrow Press, 2005.

Jelly, Levina, Konsep Penggunaan Kekuatan dan Penentangan Terhadapnya dalam Perspektif Hukum Internasional, Sumatera Utara, 2005

Joko Priyono, Aksi Unilateral (Tindakan Sepihak) Negara Maju dan Implikasinya bagi Kepentingan Nasional Indonesia, MMH Jilid 37, No1, 2008

Rika Ratna Permata, Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Pelanggaran Piagam PBB Oleh Invasi Amerika Serikat Ke Irak, Journal Of International Law UNPAD, Vol 2 No. 2 – Agustus 2003

Rosmi Hasibuan, Tinjauan Yuridis Konflik Indonesia Malaysia Tentang Kepemilikan Hak Berdaulat Atas Blok Ambalat dan Ambalat Timur, Jurnal Equality, Vol, 10, 2005
PERATURAN

International Commission on Intervention and State Sovereignty, 2001, The Responsibility to Protect, International Development Center, Canada

Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Cooperating among States in Accordance with the Charter of the United Nations 1970

Declaration on the Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of their Independence and Sovereignty. 1965

Fifth report on unilateral acts of States by Victor Rodríguez Cedeño, Special Rapporteur. ILC 54th session. Doc. A/CN.4/525 di 51. [UN Doc. A/CN.4/525]

Ninth report on unilateral acts of States By Víctor Rodríguez Cedeño, Special Rapporteur. ILC 58th session UN Doc. A/CN.4/569/Add.1, at 137.[ UN Doc. A/CN.4/569/Add.1.]

Charter of the United Nation 1945



KASUS

Nicaragua v United States, Merits 1986 ICJ 14 (Judgement of 27 June)

Nuclear Tests Case (Australia v. Perancis; Selandia Baru v. Perancis), Putusan 20 Desember 1974, ICJ Reports

1 komentar:

Powered By Blogger