Senin, 20 Juni 2011

Navigation on The Law of The Sea

LATAR BELAKANG

Hukum laut mulai dikenal semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan. Pentingnya laut dalam hubungan antarbangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum laut internasional. Tujuan hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut, yaitu sebagai jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sumber tenaga.

Dalam sejarah hukum laut, perdagangan internasional yang kita kenal dengan istilah ekspor-impor barang antar Negara diangkut oleh kapal melalui pelayaran di laut. Dan sampai saat ini, sarana vital yang menyangkut pelayaran guna mengangkut barang-barang ekspor-impor dalam perdagangan internasional itu mendominasi kurang lebih 90% arus perdagangan barang antar negara. Maka fungsi yang paling utama dari laut adalah untuk pelayaran.

Pelayaran internasional yang mendorong perdagangan lintas batas tersebut dikuasai oleh Negara-negara maju yang memiliki armada kapal yang besar dan kuat, sehingga Negara-negara berkembang meskipun memiliki laut, belum mendapatkan keuntungan yang optimal dari pelayaran internasional tersebut

Pelayaran internasional berada di bawah wadah organisasi dunia, yang disebut International Maritime Organization atau IMO yang bermarkas di London, Inggris. IMO telah banyak mengeluarkan berbagai aturan pelayaran internasional yang mengikat setiap Negara termasuk Indonesia dan Indonesia juga telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional yang dibuat oleh IMO tersebut.



Konvensi internasional yang terkait dengan persoalan pelayaran diantaranya adalah :
1.United Nations Convention on the Law of the Sea 1982
2.International Convention on Regulation for Preventing Collision at Sea.1972 (Konvensi Internasional tentang Peraturan untuk mencegah terjadinya tubrukan di laut Thn 1972).
3.International Convention on Standard if Training Certification and Watchkeeping for Seafarars 1978, Code 1995. (Konvensi Internasional tentang standar Pelatihan, Sertifikasi dan Tugas Jaga pelaut Thn 1978 dengan amandemen thn 1995)
4.International Convention of Safety of Life At Sea 1974 (Konvensi Internasional tentang Keselamatan Jiwa di Laut thn 1974).
5.International Convention for the Prevention of Pollution from Ship 1973/1978 (Konvensi Internasional tentang Pencegahan Pencemaran di Laut dari kapal thn 1973/1978).
6.Convention on the International Maritime Satellite Organization 1976 (Konvensi tentang Organisasi Satelit Maritim Internasional /INMARSAT 1976).
7.Basel Convention on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Waste and Their Disposal 1989


PERUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah dari makalah ini adalah menyangkut hal-hal apa saja yang diatur di dalam pelayaran internasional menurut United Nations Convention on the Law of the Sea 1982


PEMBAHASAN


1.PELAYARAN DALAM KONVENSI HUKUM LAUT 1982
Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang diterima Konferensi Hukum Laut III pada tanggal 30 April 1982 pada sidangnya yang ke-11 di New York untuk ditandatangani mulai tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika, merupakan karya hukum masyarakat internasional yang terbesar di abad ke-20.

Konvensi Hukum Laut 1982 pada intinya mempunyai landasan mengatur mengenai hak-hak berlayar dari semua Negara, apabila kita telaah lebih mendalam sejatinya Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan bentuk kompromi dari Negara Maritim dengan Negara Pantai dalam hal pemanfaatan laut. Konvensi Hukum Laut 1982 lebih bersifat publik, sehingga banyak hal tentang pelayaran yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa pasal antara lain Pasal 11 – 12, Pasal 17- 45, Pasal 52-53, Pasal 87, dan Pasal 90. Hal tentang pelayaran tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

A.Pelabuhan
Pelabuhan (ports) yang diatur dalam Konvensi Hukum laut 1982 dihubungkan dengan penetapan batas laut territorial suatu negara sebagaimana terdapat dalam Pasal 11 yang berbunyi:

“For the purpose of delimiting the territorial sea, the outermost permanent harbor works which form an integral part of the harbour system are regarded as forming part of the coast. Off-shore installations and artificial island shall not be considered as permanent harbour works”.


Sedangkan di dalam Pasal 12 Konvensi Hukum Laut 1982, juga diatur mengenai Tempat Pelabuhan di Tengah Laut (roadsteads):

“Roadsteads which are normally used for the loading, unloading and anchoring of ships, and which would otherwise besituated wholly or partly outside the outer limit of the territorial sea, are include in the territorial sea”




B.Hak Lintas Damai dan Bukan Damai
Pengaturan mengenai hak lintas damai (rights of innocent passage) dan bukan damai, diatur didalam Pasal 17-19 Konvensi Hukum Laut 1982. Konvensi menyebutkan pengaturan di dalam Pasal 17 sebagai berikut:

“subject to this convention, ships of all state, wheater coastal or land-locked, enjoy the right of innocent passage through the territorial sea”


Pasal 18 Konvensi memberikan pengertian lintas (passage) yaitu:
1.Passage means navigation through the territorial sea for the purpose of:
(a). traversing that sea without entering internal waters or calling at a roadstead or port facility outside internal water;
(b). proceeding to or from internal waters or a call at such roadstead or port facility.

2.Passage shall be continous and expeditious. However, passage includes stopping and anchoring, but only it so far as the same are incidental to ordinary navigation or are rendered necessary by force majure or distress or for the purpose of rendering assistance to persons, ships or aircraft in danger or distress.




2.Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. namun demikian, lintas mencakup berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majure atau mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan.

Sedangkan pada Pasal 19 Konvensi Hukum Laut juga memberikan pengertian mengenai lintas damai:

1.Passage is innocent so long as it is not prejudicial to the peace, good order or security of the coastal state. such passage shall take place in conformity with this Convention and with other rules of international law.

2.Passage of a foreign ship shall be considered to be prejudicial to the peace, good order security of the coastal state if in the internasional sea it engages in any of the following activities:

a)any threat or use of force against the sovereignty, territorial integrity or political independence of the coastal state, or in any other manner in violation of the principles of international law embodied in the charter of the United Nation;
b)any exercise or practice with weapons of any kind;
c)any act aimed at collecting information to the prejudice of the defence or security of the coastal state;
d)any act of propaganda aimed at effecting the defence or security of the coastal state;
e)the launcing, landing or tacking on board of any military device;
f)the loading or unloading of any commodity, currency or person contrary to gthe customs, fiscal, immigration or sanitary laws and regulations of the coastal state;




C.Hak Lintas Transit
Hak Lintas transit (right of transit passage) diatur oleh Pasal 37-44 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 37 menyatakan bahwa lintas transit (transit passage) berlaku pada selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara satu bagian laut lepas (high seas) atau zona ekonomi ekslusif dan bagian laut lepas atau bagian laut lepas atau zona eksklusif lainnya, sedangkan hak lintas transit itu sendiri terdapat di dalam Pasal 38 Konvensi yang menyatakan bahwa semua kapal (ships) dan pesawat udara (aircraft) mempunyai hak lintas transit yang tidak boleh dihalangi. Lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran (freedom of navigation) dan penerbangan (overflight) semata-mata untuk tujuan transit terus-menerus langsung dan secepat mungkin antara satu bagian laut lepas atau zona eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya.

The Agreement of 2 November 1988 defining the territorial sea boundary was accompanied by a Joint Declaration by the two Governments concerning the status of the Straits. The two Governments had to co-operatde very closely.




D.Hak Lintas Alur Laut Kepulauan
Negara Kepulauan memiliki keistimewaan dalam hal melakukan batas teritorialnya di laut dengan cara menarik garis pangkal kepulauan, akan tetapi terdapat beberapa kewajiban bagi Negara kepulauan terutama berkaitan dengan pelayaran, seperti yang diatur dalam Pasal 53 Konvensi Hukum Laut, sebagai berikut :

1.An archipelagic State may designate sea lanes and air routes thereabove, suitable for the continuous and expeditious passage of foreign ships and aircraft through or over its archipelagic waters and the adjacent territorial sea.

2.All ships and aircraft enjoy the right of archipelagic sea lanes passage in such sea lanes and air routes.
3.Archipelagic sea lanes passage means the exercise in accordance with this Convention of the rights of navigation and overflight in the normal mode solely for the purpose of continuous, expeditious and unobstructed transit between one part of the high seas or an exclusive economic zone and another part of the high seas or an exclusive economic zone.

4.Such sea lanes and air routes shall traverse the archipelagic waters and the adjacent territorial sea and shall include all normal passage routes used as routes for international navigation or overflight through or over archipelagic waters and, within such routes, so far as ships are concerned, all normal navigational channels, provided that duplication of routes of similar convenience between the same entry and exit points shall not be necessary.

5.Such sea lanes and air routes shall be defined by a series of continuous axis lines from the entry points of passage routes to the exit points. Ships and aircraft in archipelagic sea lanes passage shall not deviate more than 25 nautical miles to either side of such axis lines during passage, provided that such ships and aircraft shall not navigate closer to the coasts than 10 per cent of the distance between the nearest points on islands bordering the sea lane.

6.An archipelagic State which designates sea lanes under this article may also prescribe traffic separation schemes for the safe passage of ships through narrow channels in such sea lanes.

7.An archipelagic State may, when circumstances require, after giving due publicity thereto, substitute other sea lanes or traffic separation schemes for any sea lanes or traffic separation schemes previously designated or prescribed by it.

8.Such sea lanes and traffic separation schemes shall conform to generally accepted international regulations.

9.In designating or substituting sea lanes or prescribing or substituting traffic separation schemes, an archipelagic State shall refer proposals to the competent international organization with a view to their adoption. The organization may adopt only such sea lanes and traffic separation schemes as may be agreed with the archipelagic State, after which the archipelagic State may designate, prescribe or substitute them.

10.The archipelagic State shall clearly indicate the axis of the sea lanes and the traffic separation schemes designated or prescribed by it on charts to which due publicity shall be given.

11.Ships in archipelagic sea lanes passage shall respect applicable sea lanes and traffic separation schemes established in accordance with this article.

12.If an archipelagic State does not designate sea lanes or air routes, the right of archipelagic sea lanes passage may be exercised through the routes normally used for international navigation.

Sesuai dengan pasal 53 Konvensi Hukum Laut tersebut maka jelas bahwa Negara kepulauan mempunyai kewajiban membuka akses hak lintas alur laut kepulauan. Lintas alur laut kepulauan diartikan sebagai pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan dalam cara normal, sehingga meskipun tidak sebebas seperti lintas transit akan tetapi lintas alur kepulauan tidak terlalu terbatas seperti lintas damai, atau berada diantara kedua jenis hak lintas tersebut.



E.Alur Laut
Negara pantai dengan memperhatikan keselamatan pelayaran dapat mewajibkan kapal asing melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial dengan menggunakan alur laut (seas lanes) dan skema pemisahan lalu lintas (traffic separation schemes) sebagaimana diatur oleh Pasal 22 Konvensi Hukum Laut 1982:

1.the coastal state may, where necessary having regard to the safety of navigation, require foreign ships exercising the right of innocent passage through its territorial sea to use such sea lanes and traffic separation schemes as it may designate or prescribe for the regulation of the passage of ships.

2.In particular, tankers, nuclear-powered ships carrying nuclear or other inherently dangerous or noxious substance or materials may be required to confine their passage to such sea lanes.

3.in the designation of sea lanes and the prescription of traffic separation schemes under this article, the coastal state shall take into account:

a)the recommendations of the cometent international organization;
b)any channels customarily used for international navigation;
c)the special characteristics of particular ships and channel; and
d)the density of traffic.

Demikian juga pelayaran dengan menggunakan hak lintas transit karena ketentuan Pasal 41 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur alur laut dan skema pemisah lintas transit:

1)In conformity with this part state bordering straits may designate sea lanes and prescribe traffic separation scheme for navigation in straits where necessary to promote the safe passage of ships;

2)Such state may, when circumstances require, and after giving due publicity thereto, substitute other sea lanes or traffic separation schemes for any sea lanes or traffic separation schemes previously designated or prescribed by them;

3)Such sea lanes and traffic separation schemes shall conform to generally accepted international regulations;

4)Before designating or substituting sea lanes or prescribing or substituting traffic separation schemes, state bordering straits shall refer roposals to the competent international organization with a view to their adoption. the organization may adopt only such sea lanes and traffic separation schemes as maybe agreed with the states bordering the straits, after wich the state may designate, prescribe or substitute them;

5)In respect of a straits where sea lanes or traffic separation schemes through the waters of two or more states bordering the state are being proposed, the state concerned shall co-operate in formulating proposal in consultation with the competent internasional organization;

6)State bordering straits shall clearly indicate or sea lanes and traffic separation schemes designated or prescribed by them on charts to which due publicityshall be given;

7)Ships in transit passage shall respect applicable sea lanes and traffic separation schemes established in accordance with this article.




F.Kapal Nuklir
Hak lintas damai juga berlaku bagi kapal asing nuklir/kapal yang bertenaga nuklir (foreign nuclear-powered ships) atau kapal yang membawa nuklir (ships carrying nuclear) atau kapal lain yang membawa bahan berbahaya dan beracun (other inherently dangerous or noxious substances) melalui laut territorial harus membawa dokumen dan mematuhi upaya pencegahan khusus yang ditetapkan oleh persetujuan internasional.




G.Tagihan Terhadap Kapal Asing
Dalam hal tagihan terhadap kapal asing, Konvensi Hukum Laut 1982 mengaturnya dalam Pasal 26, yaitu:

1)No charge may be levied upon foreign ships by reason only of their passage through the territorial sea;

2)Charges may be levied upon a foreign ships passing through the territorial sea as payment only for specific service rendered to the ships. These charges shall be levied without discrimination.



H.Aturan Bagi Kapal Dagang dan Kapal Pemerintah Untuk Komersial
Di dalam Pasal 27 Konvensi Hukum Laut 1982, mengatur kapal dagang dan kapal pemerintah untuk kegiatan komersial yang melintas di laut territorial bahwa jurisdiksi pidana Negara pantai tidak dapat dilaksanakan diatas kapal asing untuk menangkap siapapun atau mengadakan penyelidikan berkenaan dengan kejahatan yang dilakukan diatas kapal asing selama lintas damai tersebut kecuali:

1)apabila kejahatan itu mempengaruhi Negara pantai;
2)apabila kejahatan itu mengganggu kedamaian atau ketertiban Negara pantai;
3)apabila diminta bantuan oleh nakhoda kapal atau perwakilan diplomatik/konsuler Negara bendera;
4)apabila diperlukan untuk memberantas perdagangan gelap narkotika dan bahan psikotropika.



I.Kapal Perang dan Kapal Pemerintah Untuk Kegiatan Bukan Komersial
Pasal 29-32 Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur ketentuan bagi kapal perang (warships), yaitu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata dengan memakai tanda yang menunjukan kebangsaannya dan dibawah komando serta awak kapal yang tunduk pada disiplin militer. Kapal perang yang melintasi laut territorial tetap harus mematuhi peraturan perundang-undangan Negara pantai dan apabila kapal perang itu menimbulkan kerugian bagi Negara pantai, maka kapal perang itu bertanggung jawab. kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk kegiatan bukan komersil mempunyai kekebalan.




J. Urusan Pabean dan Imigrasi
Wilayah laut yang berbatasan langsung dengan laut teritori adalah zona tambahan (contiguous zone) yang diatur oleh Pasal 33 Konvensi Hukum Laut 1982:

1.In a zone contiguous to its territorial sea, described as the contiguous zone, the coastal state may exercise the control necessaryto:

a)prevent infringement of its customs, fiscal, immigration or sanitary laws and regulations within is territory or territory sea;
b)punish infringement of the above laws and regulations commited within is territorial sea.

2.The contiguous zone may riot extend beyond 24 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territotial sea is measured.


Pengaturan mengenai pelayaran selain dalam Konvensi Hukum Laut 1982 juga terdapat dalam ketentuan – ketentuan lainnya, seperti MARPOL 73/78 konvensi tentang pencegahan pencemaran laut dari kapal, Konvensi Basel 1989 dan lain sebagainya.


K.Konvensi Internasional SOLAS
Konvensi Internasional SOLAS adalah perjanjian atau konvensi paling penting untuk melindungi keselamatan kapal dagang. versi pertama diterbitkan pada tahun 1914 sebagai akibat tenggelamnya kapal RMS Titanic. Dimana diatur mengenai ketentuan tentang jumlah sekoci atau rakit penolong dan perangkat keselamatan lain serta peralatan yang dibutuhkan dalam prosedur penyelamatan, termasuk ketentuan untuk melaporkan posisi kapal melalui radio komunikasi. Dan Sejak pertama kali ditetapkan dilakukan beberapa perubahan/amandemen 1929, 1948, 1960, dan 1974.

Konvensi Internasional SOLAS 1974 diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 17 Desember 1980 dengan Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1980. Kemudian pada tanggal 12 Desember 2002, Konferensi Diplomatik yang dilaksanakan oleh Maritime Safety Committee dari IMO mengadopsi amandemen Konvensi Internasional SOLAS yang dikenal dengan sebutan International Ships and Port Facility Security (ISPS) Code, 2002.



2.HAMBATAN DALAM PELAYARAN
Ada kalanya pelayaran memiliki hambatan, secara garis besar di bagi dua hal, yaitu hambatan secara alamiah dan hambatan yang non alamiah. Hambatan yang alamiah diantaranya disebabkan faktor alam seperti seperti cuaca dan kondisi alamiah dari alur laut sedangkan hambatan non alamiah diantaranya perampokan bersenjata di laut dan pembajakan atau perompakan.

Dalam hal hambatan secara alamiah, kewajiban Negara pantai adalah memberikan peringatan dini kepada kapal yang melintas dan memberikan informasi baik berupa bulletin ataupun yang lainnya, selain itu Negara pantai juga berkewajiban memberikan sarana dan prasarana pendukung untuk meminimalisir hambatan tersebut seperti membuat mercusuar atau lampu peringatan.

Sedangkan untuk hambatan non alamiah Negara pantai selain memberikan peringatan dini juga berkewajiban membantu secara segera apabila terjadi hambatan non alamiah tersebut seperti melakukan pengejaran seketika. Khusus mengenai pembajakan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 hanya pembajakan yang terjadi dalam laut lepas sedangkan untuk pembajakan yang terjadi dalam yurisdiksi suatu Negara maka yang dipergunakan dasar hukumnya adalah resolusi DK PBB 1838 Tahun 2008.





PENUTUP
Pelayaran internasional berada di bawah wadah organisasi dunia, yang disebut International Maritime Organization atau IMO yang bermarkas di London, Inggris. IMO telah banyak mengeluarkan berbagai aturan pelayaran internasional yang mengikat setiap Negara termasuk Indonesia dan Indonesia juga telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional yang dibuat oleh IMO tersebut.

Ada kalanya pelayaran memiliki hambatan, secara garis besar di bagi dua hal, yaitu hambatan secara alamiah dan hambatan yang non alamiah. Hambatan yang alamiah diantaranya disebabkan faktor alam seperti seperti cuaca dan kondisi alamiah dari alur laut sedangkan hambatan non alamiah diantaranya perampokan bersenjata di laut dan pembajakan atau perompakan.









Daftar Pustaka

Anderson, David, Modern Law Of The Sea, Selected Essays, Martinus Nijhoff Publisher, 1992.

Basel Convention on The Control of Transboundary Movements of Hazardous Waste and Their Disposal 1989

Convention on the International Maritime Satellite Organization 1976 (Konvensi Tentang Organisasi Satelit Maritim Internasional /INMARSAT 1976).

International Convention on Regulation for Preventing Collision at Sea.1972 (Konvensi Internasional Tentang Peraturan untuk Mencegah Terjadinya Tubrukan di laut Tahun 1972).

International Convention on Standard if Training Certification and Watchkeeping for Seafarars 1978, Code 1995. (Konvensi Internasional Tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Tugas Jaga Pelaut Tahun 1978 dengan amandemen tahun 1995)

International Convention of Safety of Life At Sea 1974 (Konvensi Internasional Tentang Keselamatan Jiwa di Laut Tahun 1974).

International Convention for the Prevention of Pollution from Ship 1973/1978 (Konvensi Internasional Tentang Pencegahan Pencemaran di Laut dari Kapal tahun 1973/1978).

Konvensi Internasional SOLAS, http://id.wikipedia.org/wiki/Konfensi_Internasional_SOLAS

Mauna, Boer. Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2003.

R Agoes, Etty. Jurnal Hukum Internasional Volume 6 Nomor 3 April 2009, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI, Jakarta.
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger