Senin, 20 Juni 2011

Modern Piracy (Bajak Laut ) Dalam Hukum Internaional

PENDAHULUAN

Era Kapten Blackbeard dan Kapten Kidd telah berlalu, tetapi bajak laut tetap bertahan dalam aksinya. Tidak ada lagi bajak laut yang sering kita dengar atau bahkan lihat melalui beberapa dokumentasi media yang menggunakan penutup satu mata, pedang tajam yang selalu menghunus, dilengkapi dengan kapal dengan tiang-tiang tinggi dimana bendera dengan lambang “tengkorak” terpampang dengan anggun dan elegan.

Sekarang, keadaan tradisional tersebut seolah tergantikan seiring modernitas zaman yang terus bergerak dengan kapal cepat, senjata api, pelontar granat, telephone genggam hingga Global Positioning System. Reinkarnasi itulah yang kini menjadi “citra” dari bajak laut dimasa modern.

Sejak ditemukannya kapal sebagai sarana untuk melakukan penjelajahan laut, teknologi pelayaran telah berkembang begitu pesat. Bersamaan dengan itu, penggunaan kapal dan teknologi pelayaran juga menjadi sarana baru untuk melakukan kejahatan.

Tindakan perompakan (Piracy) menjadi permasalahan baru bagi masyarakat. Perompakan secara adalah tindakan menyerang kapal oleh sekelompok orang secara pribadi (tidak terkait dengan negara) dengan tujuan menguasai kapal tersebut beserta dengan muatannya, biasanya yang menjadi sasaran adalah kapal-kapal dagang yang mengangkut banyak harta dan muatan berharga yang bisa dijual lagi.

Sejarah kegiatan perompakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Catatan sejarah tertua menunjukkan bahwa tindakan perompakan sudah dilakukan oleh suku manusia laut di wilayah Aegean dan Mediterranean pada abad 13 SM . Perkembangan masa penjelajahan laut untuk mencari daratan baru yang dikenal dengan era ”Dunia Baru”, menjadi masa-masa keemasan era perompak.

Pada masa itulah terkenal beberapa nama perompak seperti Edward “Blackbeard” Teach, John “Calico Jack” Rackham, Bartholomew Roberts, dan lain-lain. Kegiatan perompakan pada masa lalu, terbagi dalam dua jenis, pertama adalah apa yang disebut Pirate, yaitu pelaku perompakan yang merupakan kriminal murni dan menjadi buronan di seluruh dunia.

Jenis yang kedua disebut Privateer, yaitu perompak yang diberi surat izin oleh pemerintah untuk melakukan tindakan perompakan terhadap kapal dagang negara musuh. Privateer merupakan suatu metode perang pada abad pertengahan yang telah dilarang pada abad kesembilanbelas.

Kegiatan perompakan ternyata tidak berhenti sampai disitu, bahkan mengikuti perkembangan zaman hingga ke masa sekarang. Kegiatan perompakan yang mulai dilupakan orang dan hanya dianggap sebagai sejarah, kembali menjadi pusat perhatian sejak terjadinya kasus perompakan di Somalia beberapa tahun silam. Penelusuran lebih lanjut menunjukkan, bahwa pada tahun 1998 saja terdapat sejumlah serangan perompak yang garis besarnya sebagai berikut:

•15 merchants vessels highjacked by pirates;
•138 merchant vessels boarded by pirates;
•11 merchant vessels fired upon by pirates
•35 merchant crew members badly injured;
•Over 400 merchant crew members taken hostage by pirates; and
•Over 75 merchant crew members murdered in cold blood.

Dalam insiden pembajakan dilaut, motif ekonomi sangat tampak terlihat dengan “kehadiran” uang tebusan yang diminta kepada pemilik kapal atau operator kapal untuk membebaskan para sandera. Bukan hanya itu, para pembajak pun tidak segan untuk menyakiti sandera baik itu psikis maupun fisik. selain itu, para pembajak juga kerap melakukan tindakan yang lebih brutal lagi dengan berusaha menghadirkan “arena” baru dilaut baik itu pemerintah lokal, maupun pihak ketiga yang mencoba membebaskan sandera berupa pertempuran.

Modus operandi ini berbeda dengan “citra” bajak laut tradisional, dimana kerap kali kapal dikuasai, awaknya dibunuh atau diceburkan kelaut, kemudian kapal dicat ulang atau dimodifikasi dengan mengganti nama kapal yang kemudian muatannya dijual dipasar bebas dimana para penadah sudah siap untuk itu.

Hal inilah yang kemudian disebut sebagai “phantom ship” dalam dunia pelayaran, karena biasanya pembajak laut ini telah dilengkapi dengan “global positioning device, forged registration document” dan “ bill of lading” yang memudahkan operasi mereka. Berbagai peristiwa juga telah mencatat bahwa bukan hanya kapal-kapal dagang besar saja yang diserang oleh bajak laut, tetapi juga termasuk juga kapal layar pribadi dan kapal penangkap ikan.

Para pengamat membedakan dua macam bentuk bajak laut:
1.Pencurian (stealing) yaitu, bajak laut dengan motif semata-mata keuntungan ekonomi belaka dan;

2.Terencana (well planned) yaitu, ada motif lain selain financial misalnya political motive (Somalia dan Sri Lanka) dan “terrorism” (filiphina)



PEMBAHASAN

A. Istilah Bajak Laut (Piracy) dan Perampokan Laut (Sealarmed Robbery)

Hukum Internasional membedakan kedua istilah tersebut karena adanya perbedaan konsekuensi hukum yang akan berlaku padanya. secara umum, definisi yang terdapat dalam kamus untuk “piracy” antara lain:

1.robbery commited at sea (the American Herritage Dictionary of the English language, 2000);

2.an act of robbery especially on the high seas, specifically: an illegal act of violence, detention, or plunder commited for private ends by crew or passengers of a private ship or aircraft against another ship or aircraft on the high seas or in place outside the jurisdiction of any state (Merriam-Webster Dictionary of Law, 1996) dan;

3.robbery on the high seas; taking a ships away from the control of those who are legally entitled to it (Wordnet 2.0. Princeton University, 2003).
United Nations Convention on the Law of the Sea / UNCLOS 1982 memberikan definisi “piracy” pada Pasal 101, bahwa “piracy” dapat berupa:

a)an illegal acts of violence or detention, or any act of depredation, committed for private ends bt the crew or the passengers of a private ship or aircraft and directed:

i.on the high seas, against another ship or aircraft, or against persons or property on board such ship or aircraft;

ii.against a ships, aircraft, persons or property in place outside the jurisdiction of any state,

b)any act of voluntary participation in the operation of a ship or an aircraft with the knowledge of facts making it a pirate ship or aircraft; and

c)any act inciting or of intentionally facilitating an act described in sub paragraph (a) or (b).


Definisi tersebut jelas memberikan batasan bahwa dikategorikan “piracy” jika kejadian tersebut terjadi dilaut bebas, atau diluar yurisdiksi suatu Negara, artinya tentu diluar pelabuhan dam laut territorial suatu Negara. namun bagaimana jika terjadi di Zona ekonomi ekslusif satu Negara, apakah dapat dianggap “piracy” sebagaimana didefiniskan oleh UNCLOS 1982, atau masih merupakan “sealarmed robbery” sebagai istilah lain yang digunakan jika tindakan itu terjadi diperairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut territorial suatu Negara.

Global Security Organization mendefinisikan “piracy” sebagai:

“ an international crime consisting of illegal acts of violence, detention or depredation committed for private ends by the crew of passenger of a private ship or aircraft in or over international waters against another ship or aircraft or person and property on board”. “Internal water” dianggap termasuk laut bebas, zona ekonomi ekslusif dan zona tambahan.


Sementara International Maritim Bureau (IMB) mendefinisikan “piracy” sebagai:

“an act of boarding or attempting to board any ship with the intent to commit theft or any other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance of the act”.

Beberapa definisi diatas jelas menggambarkan bahwa ada dua pengertian besar yang berkembang, yaitu pengertian umum tentang bajak laut, yaitu setiap kegiatan penyerangan terhadap kapal dilaut, tidak perduli apakah itu dilaut lepas atau yurisdiksi suatu Negara.

Pengertian inilah yang umum diketahui oleh masyarakat awam. satunya lagi tentu adalah pengertian hukum, sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982. sebenarnya, hal yang membedakannya adalah terkait dengan kewenangan untuk menindak peristiwa tersebut, siapa yang bertanggung jawab, siapa yang berhak untuk menghukum bajak laut tersebut, atau jelasnya, siapa yang mempunyai yurisdiksi terhadap “piracy” tersebut dan hukum mana yang berlaku padanya.

“piracy” sebagaimana definisi UNCLOS 1982 merupakan “universal jurisdiction”, artinya, kapal perang/kapal dinas pemerintah Negara manapun berhak untuk “menangkap dan menahan” kapal, awak dan muatan kapal bajak laut atau kapal yang dikuasai oleh bajak laut tersebut. Pengadilan Negara tersebut juga berhak untuk memeriksa dan memutuskan perkara tersebut, dan menetapkan hukuman yang akan dijatuhkan termasuk tindakan yang akan diambil terhadap kapal yang dibajak, tetapi dengan cara mengindahkan hak pihak ketiga yang beritikad baik 9 Pasal 105-107 UNCLOS 1982).

Sementara jika itu adalah “sealarmed robbery”, maka Negara yang berhak menindak adalah Negara pantai dimana tindakan itu terjadi. Dunia mencatat bahwa “piracy/sealarmed robbery” menjamur ditempat yang diketahui “general political instability”, compromised law enforcement” dan “high volume of unprotected shipping”



B. PENGATURAN PIRACY DALAM HUKUM INTERNASIONAL

1. Dasar hukum internasional
Piracy atau yang lebih dikenal dengan pembajakan merupakan sebuah kejahatan internasional yang sudah ada sejak dulu,oleh karena itu ada beberapa aturan yang megatur tentang pembajakan. Dalam pembahsan ini penulis akan membahas tiga konvensi yang menjadi aturan utama dalam menangani pembajakan, konvensi-konvensi tersebut adalah :

a)UNCLOS 1982.

b)Convention on Supression of Unlawful Act of Violence Against The Safety of Maritime Navigation (SUA).

c)Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP).



a. UNCLOS 1982
Pada abad ke 16 dan ke 17, negara-negara kuat maritim diberbagai kawasan Eropa saling merebutkan dan memperdebatkan melalui berbagai cara untuk menguasai lautan di dunia ini. Negara- negara tersebut adalah negara-negara yang terkenal kuat dan tangguh di lautan yaitu Spanyol dan Portugis. Namun demikian Spanyol dan Portugis yang menguasai lautan berdasarkan perjanjian Tordesillas tahun 1494, ternyata memperoleh tantangan dari Inggris (di bawah Elizabeth 1) dan Belanda.

Konferensi Internasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah “codification conference” (13 Maret – 12 April 1930) di Den Haag, di bawah naungan Liga Bangsa Bangsa, dan dihadiri delegasi dari 47 negara. Konferensi ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak menangkap ikan dari negara-negara pantai pada zona tambahan. Ada yang menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara), 6 mil (12 negara), dan 4 mil.

Setelah perdebatan panjang dan tidak menemukan kata sepakat diantara negara-negara yang bersengketa tentang wilayah maritim, maka PBB yang sebelumnya bernama Liga Bangsa- Bangsa mengadakan konferensi hukum laut pertama pada tahun 1958 dan konferensi hukum laut yang kedua pada tahun 1960 yaitu yang lebih dikenal dengan istilah UNCLOS 1 dan UNCLOS 2. Konferensi hukum laut pertama ini melahirkan 4 buah konvensi, dan isi dari konvensi UNCLOS pertama ini adalah, :

1.Konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan (convention on the territorial sea and contiguous zone) belum ada kesepakatan dan diusulkan dilanjutkan di UNCLOS II.

2.Konvensi tentang laut lepas (convention on the high seas), yaitu : Kebebasan pelayaran, Kebebasan menangkap ikan, Kebebasan meletakkan kabel di bawah laut dan pipa-pipa, dan Kebebasan terbang di atas laut lepas.

3.Konvensi tentang perikanan dan perlindungan sumber-sumber hayati di laut lepas (convention on fishing and conservation of the living resources of the high sea).

4.Konvensi tentang landas kontinen (convention on continental shelf).

Pada tanggal 17 Maret – 26 April 1960 kembali dilaksanakan konferensi hukum laut yang kedua atau UNCLOS II, membicarakan tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan, namun masih mengalami kegagalan untuk mencapai kesepakatan, sehingga perlu diadakan konferensi lagi.

Pada pertemuan konferensi hukum laut kedua, telah disapakati untuk mengadakan kembali pertemuan untuk mencari kesepakatan dalam pengaturan kelautan maka diadakan kembali Konferensi Hukum Laut PBB III atau UNCLOS III yang dihadiri 119 negara. Dalam pertemuan ini, disapakati 2 konvensi yaitu: Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica (10 Desember1982), ditandatangani oleh 119 negara. Ada 15 negara yang memiliki ZEE besar: Amerika Serikat, Australia, Indonesia, New Zealand, Kanada, Uni Soviet, Jepang, Brazil, Mexico, Chili, Norwegia, India, Filipina, Portugal, dan Republik Malagasi.

Dalam dekade abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha untuk memperoleh suatu himpunan tentang hukum laut, diantaranya:

1.Konferensi kodifikasi Den Haag (1930) di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa.
2.Konferensi PBB tentang hukum laut I (1958) UNCLOS I.
3.Konferensi PBB tentang hukum laut II (1960) UNCLOS II.
4.Konferensi PBB tentang hukum laut III (1982) UNCLOS III.

Kepentingan dunia atas hukum laut telah mencapai puncaknya pada abad ke-20. Faktor-faktor yang mempengaruhi negara-negara di dunia membutuhkan pengaturan tatanan hukum laut yang lebih sempurna, yaitu: Modernisasi dalam segala bidang kehidupan; Tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat; Bertambah pesatnya perdagangan dunia;

Bertambah canggihnya komunikasi internasional; dan Pertambahan penduduk dunia yang membawa konsekuensi bertambahnya perhatian pada usaha penangkapan ikan.
Mengenai pasal-pasal yang terkait dengan pembajakan dalam UNCLOS diatur dalam pasal 100 sampai dengan 107 yang berbunyi :

Article 100
Duty to cooperate in the repression of piracy
All States shall cooperate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any State

Article 101
Definition of piracy
Piracy consists of any of the following acts:

(a) any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation, committed for private ends by the crew or the passengers of a private ship or a private aircraft, and directed:

(i) on the high seas, against another ship or aircraft, or against persons or property on board such ship or aircraft;

(ii) against a ship, aircraft, persons or property in a place outside the jurisdiction of any State;

(b) any act of voluntary participation in the operation of a ship or of an aircraft with knowledge of facts making it a pirate ship or aircraft;

(c) any act of inciting or of intentionally facilitating an act described in subparagraph (a) or (b).


Article 102
Piracy by a warship, government ship or government aircraft whose crew has mutinied
“The acts of piracy, as defined in article 101, committed by a warship, government ship or government aircraft whose crew has mutinied and taken control of the ship or aircraft are assimilated to acts committed by a private ship or aircraft.”

Article 103
Definition of a pirate ship or aircraft
“A ship or aircraft is considered a pirate ship or aircraft if it is intended by the persons in dominant control to be used for the purpose of committing one of the acts referred to in article 101. The same applies if the ship or aircraft has been used to commit any such act, so long as it remains under the control of the persons guilty of that act.”

Article 104
Retention or loss of the nationality of a pirate ship or aircraft
“A ship or aircraft may retain its nationality although it has become a pirate ship or aircraft. The retention or loss of nationality is determined by the law of the State from which such nationality was derived.”

Article 105
Seizure of a pirate ship or aircraft
“On the high seas, or in any other place outside the jurisdiction of any State, every State may seize a pirate ship or aircraft, or a ship or aircraft taken by piracy and under the control of pirates, and arrest the persons and seize the property on board. The courts of the State which carried out the seizure may decide upon the penalties to be imposed, and may also determine the action to be taken with regard to the ships, aircraft or property, subject to the rights of third parties acting in good faith.”


Article 106
Liability for seizure without adequate grounds
“Where the seizure of a ship or aircraft on suspicion of piracy has been effected without adequate grounds, the State making the seizure shall be liable to the State the nationality of which is possessed by the ship or aircraft for any loss or damage caused by the seizure.”

Article 107
Ships and aircraft which are entitled to seize on account of piracy
“A seizure on account of piracy may be carried out only by warships or military aircraft, or other ships or aircraft clearly marked and identifiable as being on government service and authorized to that effect.”


b. Convention on Supression of Unlawful Act of Violence Against The Safety of Maritime Navigation (SUA)

Konvensi ini dibentuk sebagai reaksi atas kasus pembajakan kapal Acille Lauro. Kasus ini terjadi pada tanggal 7 Oktober 1985, 4 orang teroris Palestina membajak kapal pesiar bernama Achille Lauro yang sedang berada di perairan internasional lepas pantai Mesir.

Para teroris tersebut menuntut dibebaskannya orang Palestina yang ditahan oleh Israel. Para teroris telah membunuh seorang warga negara USA dan mengancam akan membunuh para penumpang lainnya apabila tuntutannya tidak dipenuhi. Setelah dilakukan serangkaian negosiasi dengan melibatkan organisasi pembebasan Palestina (PLO) dan Pemerintah Mesir, serta adanya jaminan melewati Mesir dengan aman, para teroris menyerahkan diri kepada Perwakilan PLO di Mesir.

Pada tanggal 11 Oktober 1985, dengan menumpang pesawat Boeing 737 milik Egypt Air, para teroris berangkat dari Mesir menuju Tunisia. Pesawat Egypt Air itu dintersepsi oleh 4 buah pesawat temput F-14 milik USA ketika berada diatas wilayah perairan internasional dan dipaksa mendarat dipangkalan udara NATO di Sicilia, kemudian para teroris ditangkap. Atas kasus tersebut Pemerintah Mesir memprotes bahwa tindakan USA telah melanggar hukum internasional.



c. Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP)

Agreement ini dibentuk untuk mengatasi pembajakan dan perampokan bersenjata diatas kapal yang terjadi di kawasan Asia. Tujuan utamanya adalah sebagai pusat informasi tentang aksi pembajakan dan perampokan bersenjata diatas kapal, namun tidak menutup kemungkinan juga Negara peserta agreement ini juga memberikan bantuan baik dari segi tenaga, dan alih teknologi kepada Negara lain yang membutuhkan.


C. Yurisdiksi Untuk Mengadili Pembajakan
Pembajakan digolongkan sebagai kejahatan internasional karena bisa terjadi di laut lepas dimana tidak ada hokum yang berlaku di sama,oleh karena itu untuk pembajakan di terapkan Yurisdiksi Universal yang juga disebut sebagai asas “universal interest jurisdiction”. Dahulu asas ini digunakan sebagai dasar kewenangan untuk menangkap dan menghukum para pelaku bajak laut dan kejahatan perang akan tetapi kemudian asas ini telah diperluas sehingga termasuk pula penyiksaan, genosida, dan pembajakan pesawat udara.




PENUTUP

Tindakan perompakan telah ada hampir sepanjang sejarah manusia dan berkembang mengikuti kemajuan zaman. Perompakan merupakan kejahatan internasional dimana setiap negara bisa menerapkan yursidiksinya.

Dalam insiden pembajakan dilaut, motif ekonomi sangat tampak terlihat dengan “kehadiran” uang tebusan yang diminta kepada pemilik kapal atau operator kapal untuk membebaskan para sandera. Bukan hanya itu, para pembajak pun tidak segan untuk menyakiti sandera baik itu psikis maupun fisik. selain itu, para pembajak juga kerap melakukan tindakan yang lebih brutal lagi dengan berusaha menghadirkan “arena” baru dilaut baik itu pemerintah lokal, maupun pihak ketiga yang mencoba membebaskan sandera berupa pertempuran.

Modus operandi ini berbeda dengan “citra” bajak laut tradisional, dimana kerap kali kapal dikuasai, awaknya dibunuh atau diceburkan kelaut, kemudian kapal dicat ulang atau dimodifikasi dengan mengganti nama kapal yang kemudian muatannya dijual dipasar bebas dimana para penadah sudah siap untuk itu.

Perlu diingat, bahwa unsur Negara adalah rakyat, wilayah dan pemerintahan. jika wilayah terganggu maka rakyat dan pemerintah tentu tidak akan dapat menjalankan fungsinya dengan baik. oleh karena itu, sudah menjadi sebuah kewajiban bersama bahwa setiap Negara harus mampu menjaga kedaulatan Negara dari gangguan keamanan berupa pembajakan dilaut sehingga kedaulatan Negara tidak terabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger