Rabu, 22 Juni 2011

Sociological Jurisprudence dan Sosiologi Hukum

Bab 1
Pendahuluan

Sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat masyarakat, perilaku masyarakat, dan perkembangan masyarakat. Sosiologi merupakan cabang Ilmu Sosial yang mempelajari masyarakat dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Sebagai cabang Ilmu, Sosiologi dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, August Comte.

Comte kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Namun demikian, sejarah mencatat bahwa Emile Durkheim ilmuwan sosial Perancis yang kemudian berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.

Sosiologi merupakan sebuah istilah yang berasal dari kata latin socius yang artinya teman, dan logos dari kata Yunani yang berarti cerita, diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul “Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Sosiologi muncul sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Namun sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat baru lahir kemudian di Eropa.

Sejak awal masehi hingga abad 19, Eropa dapat dikatakan menjadi pusat tumbuhnya peradaban dunia, para ilmuwan ketika itu mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.

Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya.
Tiga tahapan itu adalah :

1. Tahap teologis: adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.

2. Tahap metafisis: pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.

3. Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
Comte kemudian membedakan antara sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Sosiologi dinamis memusatkan perhatian tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan.

Kajian sosiologi hukum adalah suatu kajian yang objeknya fenomena hukum, tetapi menggunakan optik ilmu sosial dan teori-teori sosiologis, sehingga sering disalahtafsirkan bukan hanya oleh kalangan non hukum, tetapi juga dari kalangan hukum sendiri. Yang pasti Kajian yang digunakan dalam kajian sosiologi hukum berbeda dengan Kajian yang digunakan oleh Ilmu Hukum seperti Ilmu Hukum Pidana, Ilmu Hukum Perdata, Ilmu Hukum Acara, dan seterusnya.

Persamaannya hanyalah bahwa baik Ilmu Hukum maupun Sosiologi Hukum, obyeknya adalah hukum. Jadi meskipun obyeknya sama yaitu hukum, namun karena “kacamata” yang digunakan dalam memandang obyeknya itu berbeda, maka berbeda pulalah penglihatan terhadap obyek tadi.

Disadari bahwa hukum merupakan salah satu dari pranata-pranata yang bersifat sentral bagi sifat sosial manusia dan yang tanpa pranata-pranata itu, maka manusia akan menjadi suatu makhluk yang sangat berbeda. Banyak bidang pemikiran dan tindakan , yang di dalamnya hukum, ditelaah dan terus memainkan peran besar dalam kegiatan manusia. Pemikiran tentang hukum telah berkembang sepanjang sejarah umat manusia. Para filosof telah menegaskan betapa hukum adalah sesuatu yang buruk, yang menjadikan umat manusia akan melakukan dengan baik untuk mengendarai cirinya sendiri.

Namun demikian, terhadap semua keraguan filosofis tersebut, pengalaman telah membuktikan bahwa hukum merupakan salah satu dari kekuatan-kekuatan besar yang menciptakan peradaban dalam masyarakat manusia, di mana perkembangan peradaban umumnya telah dikaitkan dengan perkembangan gradual suatu sistem aturan-aturan hukum, bersama-sama dengan mekanisme untuk penegakannya yang teratur dan efektif.

Namun demikian, seperti yang pernah dikemukakan oleh Prof. Dennis Lloyd (1982), ketentuan hukum tidak berada dalam suatu ruang kosong, tetapi ditemukan berdampingan dengan aturan-aturan moral dengan kompleksitas atau kurang-lebih yang berwujud kepastian. Di lain pihak, hukum juga merupakan salah satu “gejala sosial”, yang diterapkan di dalam masyarakat yang berbeda-beda satu sama lain. Olehnya, kitapun tak dapat menafikan wujud hukum sebagai “realitas sosial”.


Sebagaimana diketahui, ada tiga jenis Kajian yang dapat digunakan dalam mempelajari ilmu hukum, yaitu :

(a) Kajian normatif, yang memandang hukum hy dlm wujudnya sbg aturan dan norma;

(b) Kajian filosofis, yang memandang hukum sebagai pemikiran, dan

(c) Kajian sosiologis, yang memandang hukum sebagai perilaku.

Perkembangan Kajian sosiologis di dalam kajian hukum itu, menimbulkan adanya dua jenis Kajian sosiologis :

(a) yang menggunakan sociology of law , dan
(b) yang menggunakan sociological jurisprudence .


“Sociology of law” diperkenalkan oleh seorang Italia, Anzilotti, olehnya itu berkonotasi Eropa Daratan, sedangkan “Sociological Jurisprudence” diperkenalkan oleh Prof. Roscoe Pound, guru besar Harvard Law School di Amerika Serikat, olehnya itu berkonotasi Anglo Saxon.

“Sociology of law” adalah sosiologi tentang hukum, karena itu ia lebih merupakan cabang sosiologi. Sedangkan “sociological jurisprudence” adalah Ilmu Hukum Sosiologis, karena itu merupakan cabang ilmu hukum.

Lebih jelasnya perbedaan antara “sociology of law” dan “sociological jurisprudence” (Curzon) :

a. Sociological jurisprudence. Pound refers to this as a study of the peculiar characteristics of the legal order, i.e. an aspect of jurisprudence proper. Lloyd writes of it as a branch of normative sciences, having the law more effective in action, and based on subjective values. Some other writters use the term to refer to the Sociological School of jurisprudence, that is, those jurists who see in a study of society a means whereby the science of law might be made more precice.

b. Sociology of law. Pound refers to this study as “sociology proper”, based on a concept of law as one of the means of social control. Lloyd writes of it as essentially a descriptive science employing empirical techniques. It is concerned with an examination of why the law sets about its tasks in the way it odes. It views law as the product of a social system and as a means of controlling and changing that system. Note: The term “legal sociology” has been used in some texts to refer to a specific study of situations in which the rules of law operate, and of behavior resulting from the operations of those rules.

Meskipun di antara “sociology of law” dan “sociological jurispridence” ada perbedaan, tetapi keduanya memiliki persamaan mendasar yaitu berkisar di dunia “sein”, di dalam realitas. Keduanya berada di dunia “is” (realm of “is”) yang adalah : “refers to a complez of actual determinants of actual human conduct”. Jadi berbeda dengan pandangan kaum positivistis yang berada di dunia”sollen” (“ought”).

Dengan kata lain, kajian sosiologis terhadap hukum ini, berpandangan empiris. Mereka ingin melakukan pemahaman secara sosiologis terhadap fenomna hukum. Jadi, “interpretative understanding of social conduct” ( suatu usaha untuk memahami objeknya dari segi tingkah laku sosial), meliputi : “ causes, its course, and its effects”. Fenomena hukum dari sudut pandangan aliran sosiologis ini adalah gejala-gejala yang mengandung streotip baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Metode yang digunakan dalam kajian sosiologis itu adalah “deskriptif”, dan mengkaji hukum dengan menggunakan teknik-teknik: survei lapangan (“field surveys”), observasi perbandingan (“comparative observation”), analisis statistic (“statiscical analysis”) dan eksperimen (“experimentation”).

Kajian sosiologis berbeda dengan pandangan kaum positivisme yang memandang hukum sebagai sesuatu yang otonom; sebaliknya, kajian sosiologis memandang hukum bukan sesuatu yang otonom, melainkan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hukum yang ada dalam masyarakatnya, seperti faktor ekonomi, politik, budaya, dan sosial .

Dari penjelasan diatas maka ada dua hal yang bisa dijadikan pokok permasalahan yaitu :

1. Bgmnkah pandangan ahli yang menganut aliran sociological jurisprudence ttg hukum?

2. Bagaimanakah pendekatan sociological jurisprudence dalam hukum internasional?




Bab 2
Pembahasan

2.1. Aliran sosiologis terhadap hukum

Aliran Sosiological Jurispridence yang dipelopori oleh Eugen Erlich (1826-1922) yang berasal dari Asutria, bukunya yang terkenal “Fundamental Principle of The Sociology of Law”. Menurut Ehrlich pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Tokoh penting lainnya ialah Roscoe Pound (1870-1964), yang berasal dari Amerika mengemukakan bahwa hukum itu harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi dalam rangka memenuhi akan kebutuhan sosial, serta tugas ilmu hukumlah untuk mengembangkan suatu kerangka kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.

Pound juga membedakan dalam mempelajari hukum, ada hukum sebagai suatu proses yang hidup dimasyarakat (law in action) dan ada hukum yang tertulis (law in the books). Ajaran pound ini bukanlah satu atau sebagian hukum saja tetapi semua bidang hukum baik subtantif maupun ajektif. Sehingga hukum tersebut apakah sudah sesuai dengan yang senyatanya. Malah Pound menambahkan kajian sosiologi hukum itu sampai kepada putusan dan pelaksanaan pengadilan, serta antara isi suatu peraturan dengan efek-efek nyatanya.

Tokoh lain yang termasuk dalam aliran ini adalah Von Jhering berpaham “social utilitarianism”. Sistem Jhering mengembangkan segi-segi dari positifisme Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Bentham dan Mill. Jhering mengembangkan filsafat hukumnya sesudah melakukan studi yang intensif terhadap hukum Romawi. Hasil renungannya terhadap kehebatan dari hukum Romawi membuatnya sangat tidak menyukai apa yang disebut sebagai Begriffsjurisprudenz (ilmu hukum yang menekankan pada konsep-konsep).

Studinya mengenai hukum Romawi tersebut telah mengajarkan kepadanya, bahwa kebijaksanaan hukum itu tidak terletak pada permainan teknik-teknik penghalusan dan penyempurnaan konsep-konsep itu untuk melayani tujuan-tujuan yang praktis.

Mark Weber disisi lain dalam teorinya yang dikenal dengan nama “legal rational form”,menyatakan bahwa hukum sebagai suatu kekuatan yang mendominasi masyarakat memliki suatu badan yang berfungsi untuk menjalankan hukum tersebut berdasarkan norma-norma yang ada di masyarakat.

Pandangan lain datang dari Durkheim, dalam bukunya “The Division of Labour in Society”, ia menyatakan bahwa semakin kompleks struktur masyarakat semakin kompleks juga hukum yang berlaku karena menurutnya hukum adalah sebuah alat untuk mempersatukan sebuah masyarakat yang terdiri dari berbagai kelas sehingga perkembangan hukum harus disesuaikan dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat agar dapat sejalan dengan perkembangan masyarakat.


2.2. Pendekatan sosiological Jurisprudence terhadap Hukum Internasional

Hukum Perdata Internasional (HPI) adalah cabang ilmu hukum perdata yang memiliki anasir, elemen, unsur, atau nuansa asing. HPI adalah hukum nasional, dan sekali-kali bukan suatu hukum yang bersifat supranasional ataupun hukum internasional. Oleh karena itu, setiap negara di dunia ini memiliki sistem HPI-nya masing-masing, misalnya HPI Indonesia, HPI Belanda, dan seterusnya .

Dalam ilmu HPI, keberlakuan hukum asing di ranah hukum nasional bukanlah sesuatu yang kontroversial apalagi haram sifatnya. Sebaliknya keberlakuan hukum asing justru merupakan suatu peristiwa yang lumrah. Suatu akibat dari saling pengakuan dan kesetaraan sistem hukum di dunia ini (gelijkwaardeigheids-beginsel). Hal yang pertama dikenal sebagai asas comitas, dan yang terakhir merupakan asumsi dasar dari ilmu HPI. Sejauh mana suatu hukum asing dapat diberlakukan di ranah hukum nasional harus memperhatikan perasaan masyarakat hukum nasional bersangkutan.

Secara teoritis, keberlakuan hukum asing untuk suatu permasalahan hukum adalah
mungkin untuk dikesampingkan dan, sebagai gantinya, diberlakukanlah hukum nasional. Di sini perlu ditegaskan, bahwa keberlakuan hukum asing tersebut sama sekali tidak dibatalkan, melainkan hanya dikesampingkan. Konstruksi hukumnya adalah hukum asing tersebut sebenarnya berlaku, tetapi karena satu dan lain hal keberlakukannya tersebut terpaksa dikesampingkan demi kemaslahatan masyarakat hukum nasional.

Lembaga pengesamping tersebut dikenal sebagai lembaga ketertiban umum. Lembaga ini merupakan padanan hukum Indonesia untuk “openbare orde” (Belanda), yang mengadopsi konsep “ordre public” (Perancis). Tujuan tertentu yang hendak dicapai dari pengesampingan tersebut adalah untuk menjaga perasaan masyarakat hukum dari masyarakat hukum nasional bersangkutan.

Alasan pengesamping yang dapat dikemukakan dan penerapan dari alasan tersebut harus bersifat terbatas. Jika tidak demikian, maka keberlakuan hukum asing dapat dengan mudah, dan cenderung seringkali untuk, dikesampingkan. Akibatnya asumsi dasar dari ilmu HPI _ mengenai kesetaraan sistem hukum _ akan menjadi nihil, dan perkembangan ilmu HPI itu sendiri akan menjadi mandeg.



2.2.1. Lembaga Ketertiban Umum

Istilah ketertiban umum menurut Prof. Kollewijn memiliki sejumlah variasi pengertian. Pertama, ketertiban umum dalam hukum perikatan merupakan batasan dari asas kebebasan berkontrak. Kedua, sebagai unsur pokok dalam “ketertiban dan kesejahteraan, keamanan” (rust en veiligheid). Ketiga, sebagai pasangan dari “kesusilaan yang baik” (goede zeden). Keempat, sebagai sinonim dari “ketertiban hukum” (rechtsorde), ataupun _ kelima _ “keadilan.” Keenam, sebagai pengertian dalam hukum acara pidana untuk jalannya peradilan yang adil, dan terakhir kewajiban hakim untuk mempergunakan pasal-pasal dari perundang-undangan tertentu.

Perlu diperhatikan bahwa ketertiban umum berbeda dengan kepentingan umum. Secara konseptual, kepentingan umum berarti menjaga kepentingan masyarakat luas atau kepentingan bersama, yang sekaligus diperhadapkan (vis-Ć -vis) dengan kepentingan kelompok, golongan atau individu. Kepentingan umum menjadi, misalnya, dasar untuk menggusur atau mengambil sebagian atau seluruh tanah milik seseorang untuk tujuan pembangunan sarana dan prasarana publik.

Untuk keperluan tersebut Pemerintah dapat menetapkan jumlah ganti kerugian sepihak, sesuai dengan kemampuan keuangannya. Oleh karena penggusuran tersebut adalah untuk kepentingan umum, maka pihak yang tergusur dapat menerima uang ganti kerugian yang sepihak tadi. Dalam penerapan kepentingan umum terdapat kebutuhan praktis dari masyarakat. Tetapi kepentingan umum bukanlah suatu dasar atau alasan pengesamping bagi keberlakuan hukum asing.

Sebaliknya, ketertiban umum tidak dapat dijadikan dasar untuk penggusuran. Penerapan ketertiban umum suatu kebutuhan normatif dan ideal. Istilah “ketertiban umum” sering digunakan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 23 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor IndonesiĆ« (AB) _ Stb. 1847-23 _ misalnya menyatakan bahwa “Undang-undang yang ada sangkut-pautnya dengan ketertiban umum atau tata susila yang baik, tidak dapat dihilangkan kekuatan hukumnya dengan tindakan atau persetujuan” (door geene handelingen of overeenkomsten kan aan de wetten, die op publieke orde of de goede zeden betrekking hebben, hare kracht ontnomen worden).

Ketentuan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh pasal 1337 Burgerlijke Wetboek (BW) yang menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum” (eene oorzaak is ongeoorloofd, wanneer dezelve bij de wet verboden is, of wanneer dezelve strijdig is met de goede zeden, of met de openbare orde).

Dalam peraturan perundang-undangan mutakhir, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, misalnya juga dimuat ketertiban umum sebagai suatu persyaratan. Pasal 2 UUPT menyatakan bahwa “Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan.

”Meski istilah “ketertiban umum” sudah sering dan umum digunakan baik dalam peraturan perundang-undangan, literatur hukum, maupun pembicaraan sehari-hari, tetapi tidak ada suatu definisi pasti yang diberikan terhadapnya. Suatu definisi yang dapat menentukan luas-lingkupnya.

Meski dari pendapat Prof. Kollewijn di atas kita mendapatkan sedikit petunjuk tentang ketertiban umum yang dimaksud, kebutuhan akan pengertian atau definisi yang lebih rinci akan membantu pemahaman serta penerapan dari ketertiban umum itu sendiri. Ketiadaaan definisi ini merupakan suatu akibat langsung dari hakikat lembaga ketertiban umum, yakni dinamis dan evolusioner.

Demikian dikatakan karena lembaga ketertiban umum terbentuk dan dipengaruhi oleh faktor tempat dan waktu. Misalnya, fenomena pasangan homoseksual sudah mulai dibicarakan secara terbuka dewasa ini di Jakarta. Sebagian (kecil) kelompok masyarakat hukum Indonesia bahkan dapat mentolerir keberadaan pasangan homoseksual.

Tetapi, paling tidak, satu dekade yang lalu wacana pasangan homoseksual dibicarakan secara jauh lebih tertutup; bahkan dipandang sebagai suatu aib. Penerimaan sekelompok kecil anggota masyarakat hukum Indonesia akan pasangan homoseksual sama sekali tidak, atau belum, menunjukkan penerimaan dan pengakuan hukum Indonesia atas hak-hak hukum pasangan homoseksual.

Berbeda dengan masyarakat hukum Indonesia, masyarakat hukum Australia telah berevolusi ke arah yang jauh berbeda dan liberal. Sampai dengan sekarang, pasangan homoseksual di Australia memang belum bisa mendapatkan perlakuan hukum yang sama seperti pasangan heteroseksual. Tetapi Parlemen Australia pada masa sidang musim dingin 2008 telah membahas perihal penghapusan perlakuan hukum yang diskriminatif bagi pasangan homoseksual dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, pasangan homoseksual akan segera memperoleh hak yang sama dengan pasangan heteroseksual, antara lain, terkait dengan masalah perpajakan, jaminan sosial, kesehatan, jaminan hari tua, dan hak-hak veteran.

Dinamika dan evolusi yang terjadi di Australia memperlihatkan kepada kita bahwa dalam suatu kurun waktu yang lampau terdapat suatu persepsi dan nilai yang dipegang oleh masyarakat hukum Australia. Tetapi sejalan lewatnya waktu, persepsi dan nilai tersebut bahkan dianggap sebagai suatu perlakuan yang diskriminatif. Suatu perubahan seratus delapan puluh derajat! Persepsi dan nilai yang “baru” dari masyarakat hukum Australia tetap tidak menerima, apalagi mengesahkan, perkawinan pasangan homoseksual. Sesuatu yang sudah diterima dan disahkan oleh masyarakat hukum di Belanda dan Denmark.

Contoh di atas menunjukkan bahwa seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat hukum Indonesia, meski secara perlahan, mulai menerima wacana pasangan homoseksual; sementara pada waktu yang bersamaan di belahan lain di dunia ini, suatu kelompok masyarakat hukum telah berevolusi sedemikian rupa hingga memberikan keabsahan hukum bagi pasangan homoseksual.




Bab 3
Penutup

Kesimpulan

1. Ada bbrp ahli yg ckp berpengaruh dalam aliran sociological jurisprudence, Yaitu:

a. Ehrlich yang berpendapat bahwa pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi di dalam masyarakat sendiri. Ajaran berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup, atau dengan kata lain pembedaan antara kaidah-kaidah hukum dgn kaidah-kaidah sosial lainnya. Hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

b. Roscoe Pund , yang berpendapat bahwa hukum itu harus dilihat atau dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi dalam rangka memenuhi akan kebutuhan sosial, serta tugas ilmu hukumlah untuk mengembangkan suatu kerangka kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.



2. Pendekatan sociological jurisprudence dalam hukum internasional banyak terjadi di bidang hukum perdata internasional terutama jika dikaitkan dengan lembaga ketertiban umum dimana nilai-nilai yang menyimpang di masyarakat diamggap menyalahi aturan




Daftar Pustaka

Brotosusilo. Agus, Diktat Filsafat Hukum, FHUI, 2011

Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jakarta: Bina Cipta, 1987.


_______. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid II, Bagian III. Buku IV. Bandung: Alumni, 1989.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger