Senin, 20 Juni 2011

Hukum Udara dan Angkasa Internasional

Hukum Angkasa

(Space Law)


1. Sejarah

Pada dasarnya perkembangan Hukum Angkasa mengalami kemajuan terutama setelah berakhirnya Perang Dunia I dan Perang Dunia II, akan tetapi lebih tepatnya setelah Uni Sovyet berhasil meluncurkan Sputnik pada tanggal 4 Oktober 1957.


Hukum Angkasa merupakan bentuk hukum baru karena seperti apa yang dijelaskan diatas, hukum angkasa dimulai pada tahun 1960-an. Setelah peluncuran Sputnik pada tahun 1957, empat tahun setelahnya tepatnya pada tahun 1961 Uni Sovyet kembali melakukan kegiatan yang terkait dengan luar angkasa, yaitu peluncuran manusia pertama yang bernama Yurin Garin. Kemudian pembentukan hukum angkasa ini didasari juga oleh respon aktif dari masyarakat internasional dengan segera menyusun rumusan kesepakatan-kesepakatan yang ditandai dengan banyaknya prinsip-prinsip dasar sesudah peluncuran satelit pertama (sputnik) itu pada tahun 1957.


Serangkaian kegiatan-kegiatan luar angkasa tersebut merupakan bentuk perkembangan teknologi khususnya di bidang penerbangan dan di bidang komunikasi. Perkembangan dari teknologi penerbangan terus mengalami kemajuan, selanjutnya adalah kegiatan pendaratan Pesawat Apollo XI di bulan pada tahun 1969. Kemajuan teknologi penerbangan ini secara tidak langsung telah melahirkan kemajuan teknologi di ruang angkasa, tidak hanya memberi pengaruh terhadap politik luar negeri (politik internasional), ekonomi, budaya dan militer, akan tetapi juga pada bidang hukum.

Setelah dikeluarkan beberapa resolusi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), akhirnya Negara-negara pada tahun 1967 sepakat untuk melakukan kodifikasi hukum di ruang angkasa yang dituangkan kedalam Perjanjian Ruang/Luar Angkasa (Outer Space Treaty 1967).


Setelah terbentuk dan berlakunya Outer Space Treaty 1967, terbentuk pula beberapa perjanjian lainnya yang mengatur ruang angkasa, antara lain (i) Perjanjian yang mengatur tentang pertolongan terhadap astronot dan pesawat antariksa (Rescue Agreement 1968), (ii) Perjanjian yang mengatur tentang tanggung jawab Negara terhadap kegiatannya di ruang angkasa (Liability Convention 1972), (iii) Perjanjian tentang pendaftaran pesawat angkasa yang diluncurkan ke ruang angkasa (Registration Covention 1975), (iv) Perjanjian tentang pengaturan bulan (Moon Agreement 1980).

Seiring dengan perkembangan teknologi ruang angkasa, maka terbentuk pula beberapa perjanjian lainnya yang mengatur tentang pemanfaatan ruang angkasa, khususnya untuk telekomunikasi dan penginderaan melalui satelit. Perjanjian-perjanjian tersebut telah secara lengkap disebutkan dalam pembahasan tentang sumber-sumber hukum angkasa.



2. Pengertian

Seperti halnya dalam setiap kegiatan tertentu yang menghendaki tata cara pengaturan dan ketertiban, maka demikian juga dengan usaha-usaha manusia dalam melakukan pemanfaatan ruang angkasa untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidupnya. Lebih luas lagi ketika memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari angkasa. Cara yang paling tepat dan efektid dalam usahanya ini adalah melalui pengaturan-pengaturan yang dituangkan dalam perangkat hukum dan dalam hal ini adalah membentuk Hukum Angkasa. Istilah Hukum Angkasa ini terdapat beberapa ruang lingkup, diantaranya :

1. Sifat dan luas wilayah ruang angkasa dimana Hukum Angkasa diberlakukan
2. Bentuk kegiatan manusia yang diatur dalam ruang angkasa tersebut,
3. Bentuk alat penerbangan (flight instrumentalities), seperti pesawat ruang angkasa untuk ruang angkasa yang memiliki keterkaitan sehingga menjadikannya sebagai objek Hukum Angkasa.

Setelah Uni Sovyet berhasil meluncurkan satelit Sputniknya, maka masyakarat Internasional menggunakan istilah yang lebih luas lagi yaitu “Air and Space Law”. Istilah tersebut menunjukkan bahwa adanya suatu bidang ilmu hukum yang mempersoalkan segala macam pengaturan terhadap ruang-ruang angkasa. Sedangkan menurut pendapat para ahli pada saat itu Hukum Angkasa adalah



G. P Zukhov

“Space law may be defined as a sum total of rules of international law governing relations between states and international organizations in connection with their space activities and establishing a regime of international law for outer space and other celestial bodies”



M. Lachs

“Space law is the law meant to regulate relations between states to determine their right and duties resulting from all activities directed towards outer space and within it. And to do so in the interest of mankind as a whole, to offer protection to life, terrestrial and non terrestrial, wherever it may exist”



John C. Cooper

“Aerospace Law is the body of legal principles and rulesm from time to time effective, which govern and regulate :



a. Aerospace : its relationship to land and water areas on the surface of the earth, the extent and characters of the right of individuals and states to use and control such space, or parts thereof or celestial bodies there in, for flights or other purpose



b. Flight : instrumentalities with which the flight is effected, including their nationality, ownership, use or control



c. The relationship of every kind affecting or between individuals, communities or states arising from the existence or facilities used in connection therewith or to make flight effective.




3. Prinsip Umum Hukum Angkasa

1. Prinsip-prinsip yang bersifat umum yang diletakkan di dalam Outer Space Treaty 1967 adalah :


a. Prinsip non diskriminasi, yaitu bahwa angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya harus dimanfaatkan untuk kepentingan semua banagsa dan negara, tanpa membeda-bedakan tingkat ekonomi dan teknologi diantara mereka.


b. Prinsip persamaan (equality), yaitu bahwa antariksan termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya dinyatakan bebas untuk dimanfaatkan oleh setiap negara atas dasar persamaan.


c. Prinsip kerjasama, yaitu bahwa kerja sama antara negara-negara harus melandasi kebebasan untuk melakukan penelitian ilmiah atas angkasa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya.


2. Dalam Artikel 2 digariskan prinsip larangan kepemilikan nasional atas angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya (national non appropriation principle). Dengan asas ini tertutuplah setiap usaha negara untuk melakukan klaim kepemilikan atas bagian manapun dari antariksa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya, baik melalui tuntutan kedaulatan, pendudukan, fakta penguasaan atau dengan cara-cara lain.


3. Didalam Artikel 3 ditegaskan asas “rule of law” yaitu bahwa kegiatan negara-negara dalam kaitan dengan angkasa harus berlandaskan hukum internasional, termasuk Piagam PBB demi memelihara perdamaian dan keamanan dunia serta membina kerjasama dan solidaritas antar negara.



4. Geo Stationery Orbit

Orbit Geostasioner (atau yang sering disebut sebagai GSO) adalah suatu istilah yang diambil dari kata “Geostationery Orbit”. GSO adalah suatu orbit di ruang angkasa berbentuk cincin gepeng yang tidak bisa dilihat, tak bisa diraba, yang melingkari bumi sejajar pada khatulistiwa pada jarak ketinggian 35.787 kilometer dari permukaan bumi. Orbit ini pertama kali dikemukakan oleh Herman Noodug, seorang sarjana Austria pada tahun 1929, sebagai hasil pemikiran dan penghitungan teroritis, yaitu bahwa suatu “bulan buatan” jika ditempatkan setinggi 36.000 kilometer di atas garis khatulistiwa akan terlihat “diam” dari bumi.


Orbit GSO ini lebih banyak dimanfaatkan untuk penempatan satelit komunikasi (untuk penyelenggaraan telekomunikasi nasional, regional dan internasional). Gelang GSO, yang batas-batasnya ditentukan oleh hitungan matematis belaka, adalah bagian dari alam, sehingga dianggap sebagai salah satu sumber alam yang terbatas.

GSO dipergunakan sebagai orbit satelit yaitu sebagai lintasan peredaran suatu lintasan peredara suatu satelit dalam mengililingi bumi. Dalam misi peluncuran untuk menempatkan satelit di GSO, maka secara umum akan ditempuh lintasan sebagai berikut :

1. Lintasan wahana peluncur (Launch vehicle trajectory)
2. Lintasan “Parking Orbit”
3. Lintasan Orbit Transfer
4. Lintasan Drift Orbit
5. Lintasan dari drift orbit ke orbit GSO
6. Lintasan orbit GSO / Orbit final

Uraian diatas telah menjelaskan bahwa GSO adalah sumber alam yang terbatas, oleh karenanya GSO tersebut dapat habis. GSO dikatakan habis apabilan mengalami kejenuhan (saturation). GSO memiliki sifat-sifat fisik yang dipengaruhi oleh gaya tarik matahari dan bulan, tekanan radiasi matahari, perbedaan gravitasi bumi, sehingga dapat dikatakan orbit GSO tersebut ridaklah stabil, hal ini mempengaruhi pula kestabilan satelit telekomunikasi yang ditempatkan di orbit tersebut.


Uraian diatas telah menjelaskan bahwa orbit GSO berada diatas garis khatulistiwa, sehingga dengan demikian negara-negara khatulistiwa atau negara-negara ekuator yang berada dibawahnya (antara lain negara Indonesia) terlibat langsung terhadap pemanfaatan orbit GSO tersebut. Untuk itulah negara-negara ekuator memperjuangkan suatu Deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Bogota, yang ditandatangani oleh Indonesia, Kolombia, Ekuador, Uganda, Zaire dan Kongo yang secara tegas menuntut kedaulatan negara ekuatorial atas segmen GSO yang melintas diatas wilayah teritorialnya.


Perjuangan terhadap GSO terus dilaukan, baik itu pada forum PBB yang khusus menangani masalah ruang angkasa (UN-COPUOS) ataupun organisasi internasional lain seperti International Telecommunication Union (ITU). Pada tahun 1982 diadakan pertemuan yang sama seperti pada tahun 1976 yang diadakan di Quito dan hasil pertemuan tersebut dikenal dengan nama Deklarasi Quito. Isi deklarasi tersebut antara lain adalah tuntutan “”Preservation Rights” dan “Prior Authorization” oleh negara-negara ekuator untuk setiap penempatan satelit di GSO diatas wilayah negaranya. Kedua tuntutan tersebut sampai saat ini masih diperjuangkan dan dijadikan pedoman, walaupun perjuangan itu sampai kapanpun tidak dapat diterima.





Hukum Udara

(Air Law)


1. Sejarah

Hukum Udara merupakan suatu bentuk hukum yang baru didalam aturan Hukum Transnasional, walaupun keinginan manusia untuk terbang telah lama ada. Pada tahun 1903 terjadi suatu fenomena spektakuler yang dilakukan oleh Wright bersaudara di kota Kitty Walk, mereka melakukan penerbangan dengan menggunakan mesin. Hukum Udara sering disebut dengan istilah Air Law, Internatinal Air Law, Luchtrecht, Droit Aerien. Istilah Air Law dan International Air Law telah digunakan di Montreal, Canada pada tahun 1951 pada saat pendirian McGill University.



Menurut Prof. E Suherman, S.H., istilah penerbangan (aviation) sering dipakai seolah-seolah menjadi sinonim dengan angkutan udara (air transportation). Pada hakekatnya penerbangan memiliki makna yang lebih luas dari angkutan udara, karena penerbangan dapat pula dilakukan bukan keperluan angkutan udara, tetapi misalnya untuk lathan penerbangan, penyemprotan hama, olah raga, pemetaan dan lain-lain.



2. Sumber-Sumber Hukum Udara

Sifat internasional dari Hukum Udara merupakan hal yang mendasari banyaknya jenis atau bentuk dari sumber hukum udara. Beberapa klasifikas data dijadikan sebagai sumber Hukum Udara, yaitu :

1. Perjanjian Internasional Multilateral
2. Perjanjian Internasional Bilateral
3. Hukum Nasional
4. Kontrak antara negara dengan perusahaan penerbangan
5. Kontrak antara perusahaan penerbangan
6. Prinsip-prinsip hukum umum.



A. Chicago Convention 1944

Konvensi Chicago merupakan sumber hukum dalam hal penerbangan internasional, konvensi ini ditandatangani di Kota Chicago pada tanggal 7 Desember 1944 yang terdiri dari 96 Artikel.

1. Bab 1 mengatur tentang prinsip-prinsip umum dan penerapan konvensi
2. Bab 2 mengatur tentang hak melintas (flight over territory)
3. Bab 3 mengatur tentang kebangsaan pesawat (nationality of aircraft)
4. Bab 4 mengatur tentang fasilitas navigasi udara
5. Bab 5 dan 6 mengatur tentang standar internasional
6. Bab 7 sampai 13 mengatur tentang struktur organisasi ICAO
7. Bab 14 tentang transportasi udara internasional (meliputi bandara dan fasilitas navigasi udara)



3. Organisasi Penerbangan Internasional

ICAO adalah singkatan dari International Civil Aviation Organization. ICAO menjadi badan khusus PBB sejak tanggal 13 Mei 1947, dan merujuk pada Pasal 64 Chicago Convention 1944. Pelopor dari pendiri ICAO ini adalah suatu organisasi yang disebut dengan PICAO (Provotional International Civil Aviation Organization).


ICAO memiliki the assembly yang bertemu sekali dalam waktu tiga tahun. Anggotanya adalah negara-negara. Didalamnya juga terdapat the council yang dikenal dengan Komite Eksekutif Organisasi. The Council ini mempunyai tugas dalam hal-hal teknis, ekonomi dan hukum. beberapa Komite juga telah dibentuk agar ICAO dapat menjalankan tugasnya dengan baik, antara lain :

1. Komite Navigasi Udara
2. Komite Transportasi Udara
3. Komite Pelayanan Navigasi Udara Bersama
4. Komite Keuangan
5. Komite atas pengaruh tindakan melawan hukum terhadap penerbangan sipil internasional dan fasilitasnya.



IATA

International Air Transport Association (IATA) adalah organisasi privat yang beranggotakan perusahaan-perusahaan penerbangan. IATA pertama kali dibentuk oleh 6 perusahaan penerbangan pada tanggal 28 Agustus 1919, dengan nama Asosiasi Lalu Lintas Udara Internasional.

Tujuan IATA antara lain :

1. Menciptakan suatu transportasi udara yang aman, teratur dan ekonomis untuk manfaat semua bangsa di dunia, serta untuk mempelajari masalah-masalah yang timbul dari suatu kegiatan penerbangan

2. Untuk mengatur kolaborasi antar perusahaan penerbangan secara langsung atau tidak langsung di dalam suatu kerangka pelayanan transportasi internasional.

3. Bekerja sama dengan ICAO dan organisasi internasional lainnya.



Dan beberapa Organisasi Regional seperti :

1. AFCAC, yaitu African Civil Aviation Commisions. Anggota dari Organisasi ini terbuka bagi anggota ECA (Economic Commision for Africa) atau OAU (Oranization of African Unity)

2. CACAS, yaitu Civil Aviation Council of Arab States. Melalui organisasi ini telah dibuat perjanjian yang bernama Arabic Services Transit Agreement.

3. LACAC, yaitu Latin America Civil Aviation Commisions.



4. Yurisdiksi Negara di Ruang Udara

Dalam pasal 1 Konvensi Chicago 1944, maka pasal ini merupakan dasar daripada kedaulatan negara di ruang udara “The contracting states recognize that every state has complete and exclusive sovereignty in the airspace above its territory”.. secara yuridis Pasal tersebut tidak begitu jelas isinya. Khususnya mengenai pengertian “Complete and Exclusive”. Pasal tersebut tidak memberikan peenjelasan yang memuaskan.


Akan tetapi pada akhirnya Pasal 1 tersebut dapat diketahui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan negara secara lengkap dan eksklusif. Keadaan ini diperkuat dengan pasal 3C dari Konvensi tersebut. Kata-kata yang harus diperhatikan dari pasal tersebut adalah “no fly over without authorization”. Penegasan seperti inilah yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari prinsip “Complete and exclusive sovereignty”. Di pihak lain, ditentukan pembatasan terhadap kedaulatan negara di ruang udara dan hak melintas di ruang udara suatu negara atau dengan suatu izin, yang diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Konvensi Chicago 1944.







*seri kumpulan presentasi kelompok kelas hukum transnasional UI angkatan 2010

pada mata kuliah Hukum udara dan angkasa internasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger