Selasa, 21 Juni 2011

Hukum Internasional Sebagai Instrumen Politik

Eksistensi Hukum Internasional yang berfungsi sebagai instrument politik didasarkan pada realitas hubungan antar Negara. Hubungan atur Negara tidak lepas dari kepentingan saling bersinggungan. Terlebih lagi di era global dimana batas fisik seolah tidak ada (borderless).

Suatu Negara akan menggunakan berbagai instrument politik seperti ketergantungan ekonomi (ketergantungan ekonomi dijadikan alat karena semakin tergantung sebuah Negara kepada Negara lain, maka semakin rentan Negara tersebut untuk di intervensi.

Bahkan Negara yang memiliki kekuatan ekonomi bisa melakukan pemaksaan melalui lembaga keuangan internasional yang mereka control), ketergantungan dalam masalah pertahanan dan Hukum internasional untuk mengenyampingkan halangan kedaulatan Negara lain dalam mencapai kepentingan nasionalnya.

Pemanfaatan Hukum Internasional
a.Tiga bentuk pemanfaatan

Dalam konteks masayarakat internasional, Hukum Internasional kerap dimanfaatkan oleh Negara sebagai instrument untuk mencapai suatu kepentingan, apakah secara langsung maupun tidak langsung melalui Organisasi Internasional

1. Sebagai Pengubah Konsep
Hukum Internasional sebagai instrument politik memiliki manfaat untuk mengubah atau memperkenalkan suatu ketentuan, asas, kaedah ataupun konsep.

Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan mengakomodasi suatu konsep baru kedalam perjanjian internasional. Tentu ini tidak berarti bahwa suatu Negara dalam waktu singkat dapat melakukannya.

Negara berkembang tidak jarang menggunakan Perjanjian Internasional untuk mengubah wajah Hukum Internasional yang Euro Centris. bahwa Hukum Internasional bagi Negara berkembang yaitu “…….. is instrumental in bringing about social change….” (Lihat: Cassese International Law in a Deviden World, Oxford).

2. Sebagai Sarana Intervensi Urusan Domestik
Kedua, Hukum Internasional menjadi instrument politik bertolak pada keinginan Negara demi kepentingan nasionalnya untuk turut campur dalam urusan domestic Negara lain tanpa dianggap sebagai pelanggaran.

Padahal intervensi urusan domestic suatu Negara oleh Negara lain dianggap sebagai pelanggaran Hukum Internasional. (Lihat Piagam PBB Pasal 2 ayat (7) yang berbunyi:

Nothing contained in the precent Charter shall authorize The United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the precent Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VII).

Untuk keperluan ini (intervensi) sudah tidak dapat lagi ditempuh cara-cara berupa ancaman atau penggunaan kekerasan (Lihat Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB: “All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nation”), atau dilakukan atas dasar hubungan antara penjajah dengan pihak yang dijajah.

Cara yang paling efektif untuk melakukan intervensi adalah dengan memanfaatkan Perjanjian Internasional sebagai salah satu produk Hukum Internasional.

Dalam memanfaatkan Perjanjian Internasional sebagai entry point untuk intervensi, Negara yang hendak melakukan intervensi harus memiliki instrument lain agar Negara yang hendak di intervensi mau menandatangani Perjanjian Internasional yang dikehendaki.

Instrumen ini dapat berupa ketergantungan ekonomi ataupun ketergantungan pertahanan. Bila instrument ini tidak ada, maka sulit bagi Negara yang hendak di intervensi untuk mau ikut dakam usaha perjanjian internasional

3. Sebagai Alat Penekan
Terakhir, Hukum Internasional berfungsi sebagai instrument politik berangkat dari fakta bahwa dalam interaksi internasional Negara saling pengaruh mempengaruhi.

Negara berkembang sebagaimana diargumentasikan Cessase, sering menggunakan:

”…………..protects them from undue interference by powerfull State…” (Cassese, International Law in a Deviden World, Hal. 119).

Kebanyakan Negara maju membungkus kepentingannya dalam Hukum Internasional sebagaimana dikatakan Cassese:

“…..law was moulded by Western countries in such a way as to suit their interests; it was therefore only natural for them to preach law abidance and to attempt to live up to legal imperatives which had been forges precisely to reflect and protect their interest…” (Lihat Cassese, International Law in a Deviden World, Oxford: Oxford University Press, 1986, Hal. 108).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger