Senin, 20 Juni 2011

International Sea Bed Area (ISBA) menurut UNCLOS 1982

Pendahuluan

Hukum laut internasional merupakan salah satu cabang disiplin ilmu dari hukum internasional, hal-hal yang diatur sudah tentu mengenai laut secara internasional.Bidang pengaturan dari hukum laut telah melalui beberapa tahapan dalam perkembangannya, hal ini ditunjukkan dengan adanya United Nations Convention on the Law of the Sea 1982(Unclos 1982) ke-3 (tiga) di Montego Bay, Jamaika pada tahun 1982.

Apabila dulu hukum laut pada pokoknya hanya mengurus kegiatan-kegiatan di atas permukaan laut, tapi pada saat ini perhatian juga telah mengarah pada apa yang terdapat di dasar laut serta kekayaan-kekayaan mineral yang terkadung didalamnya
Defisini laut itu sendiri sebenarnya tidak terdapat di dalam Unclos 1982, akan tetapi laut dapat diartikan sebagai keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi yang saling menghubungkan ke seluruh permukaan bumi, serta dapat menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain. Laut tidak hanya memiliki arti secara fisik, akan tetapi juga memiliki arti komersial dan strategis.

Dari laut dapat menimbulkan jalur transportasi di laut, laut juga bisa menjadi sumber makanan bagi ummat manusia, sebagai contoh dengan adanya hewan yang hidup di laut seperti ikan.Dalam hal sumber daya alam, di dasar laut juga terdapat sumber-sumber mineral yang memiliki nilai sangat tinggi seperti minyak, gas bumi dan nodule nodule yang mengandung nikel, tembaga dan kobalt.

Kelautan Indonesia sebelum 13 Desember 1957, menurut Undang-Undang Hindia Belanda Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordanantie 1939 (TZMKO 1939) masing-masing pulau hanya memiliki laut wilayah selebar 3 (tiga) mil dari pantai. Selebihnya adalah laut bebas dimana terdapat antara lain kebebasan menangkap ikan, berlayar, terbang diatas laut tersebut, menyelam dibawah laut dan mengadakan penelitian ilmiah (research of scientific).



Perkembangan Hukum Laut

Konferensi Hukum Laut yang pertama pada tahun 1958 di Jenewa, Swiss menghasilkan 4 (empat) Konvensi, yaitu:

(i)tentang “Territorial Sea and Contiguous Zones”,

(ii)High Seas,

(iii) “Fishing and Conservation of Living Resources of the High Seas,

(iv) Continental Shelf.


Indonesia menandatangani dan meratifikasi konvensi nomor 2 (dua) dan 3 (tiga) dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1961, akan tetapi ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia ditolak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) karena melakukan reservasi terhadap pasal-pasal yang tidak diperbolehkan untuk di reservasi. Tidak hanya itu saja, perjuangan Indonesia terus dilakukan tanpa kenal lelah, selanjutnya mengenai Deklarasai Djuanda 1957 yang langsung mendapat protes dan penolakan dari negara-negara maritime yang menentang konsep “Archipelagic States” (konsep si negara-negara kepulauan).

Penolakan tersebut dianggap bertentangan dengan Hukum Laut Internasional, khususnya kebebasan berlayar melalui perairan Indonesia.Pemerintah Indonesia pada saat itu merasa bahwa belum waktunya untuk mendorong pembahasan konsepsi Wawasan Nusantara dan karena itu menariknya kembali sebelum ditolak sema sekali yang dapat membuatnya menjadi sesuatu hal yang illegal.

Konferensi Hukum Laut yang ke-2 (dua) pada tahun 1960, Indonesia mengundangkan Deklarasi Djuanda 1957 tersebut menjadi Undang-Undang No. 4/PRP/60 dengan menetapkan Garis-Garis Pangkal Perairan Nusantara. Tetapi pada konferensi kedua tersebut memusatkan perhatian kepada isu lebar laut territorial, dan karena itu tidak lagi terdapat bahasan mengenai masalah Negara Nusantara.Namun demikian UU No.4/PRP/60 tetap mendapat protes keras dari negara-negara maritim. Sementara itu Indonesia tetap mengimplementasikan konsep Negara Kepulauan tersebut di dalam negeri, baik melalui kebijakan publik maupun ketetapan hukum seperti :

a.Dewan Maritim Indonesia didirikan tahun 1960 untuk membahas permasalahan-permasalahan kelautan Indonesia

b.Indonesia menetapkan PP No. 8/1962 tentang “Innocent Passage” melalui perairan Indonesia, dan Keppres No. 103/1963 yang menjadikan seluruh perairan Indonesia sebagai “satu lingkungan laut” dibawah pengawasan Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut (TNI-AL), serta

c.Mengundangkan konsepsi Landas Kontitnen Indonesia melalui Pengumuman Pemerintah 1969 dan selanjutnya mengundangkannya menjadi Undang-Undang No. 1 / 1973
Menghadapi Konferensi Hukum Laut PBB Ketiga (1973-1982), semakin banyaknya negara-negara baru berkembang di Asia dan Afrika yang memperoleh kemerdekaan sesudah tahun 1958, dan merasa bahwa Hukum Laut Internasional selama ini dibuat untuk kepentingan negara-negara maritime barat dan tidak melindungi laut negara-negara berkembang yang baru merdeka tersebut. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi mengenai mineral di dasar samudera, Duta Besar Malta, Arvid Pardo mempertanyakan dalam tahun 1967 siapa yang berhak atas kekayaan alam di dasar samudera di luar batas-batas yurisdiksi nasional ?.

Lalu pada saat yang sama, masalah pencemaran laut karena minyak muncul, terutama pada banyaknya kecelakaan kapal tanker raksasa Torrey Canyon di Dover Strait (Selat Dover) 1967 yang menghancurkan lingkungan laut di pantai Inggris dan Perancis.

Berikut hasil-hasil yang diperoleh oleh Indonesia melalui Konvensi Hukum Laut 1982:

1.Kedaulatan territorial Republik Indonesia diakui untuk seluruh Nusantara yang mencakup satu kesatuan wilayah atas wilayah darat, udara, laut, termasuk dasar laut, tanah dibawahnya serta seluruh sumber daya yang terkandung di dalamnya.

2.Beberapa hak-hak tertentu negara tetangga dan negara lain diakui:

a.Hak “innocent passage” atas seluruh perairan Nusantara an Laut territorial Indonesia

b.Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) melalui perairan-perairan Indonesia tertentu (archipelagic sealanes) sesuai dengan penetapan yang diatur oleh Unclos 1982.

3.Sebagai negara pantai, Indonesia memiliki hak yang sama dengan negara-negara pantai yang lainnya dalam hal laut diluar perairan nusantara, yaitu: (i) Laut Teritorial sampai 12 (dua belas) mil dari garis pangkal, (ii) Zona Tambahan panjang 12 (dua belas) mil dari laut territorial, (iii) Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang (ZEE) 200 (dua ratus) mil dari garis pangkal dan (iv) Landas Kontinen sepanjang 200 (dua ratus) mil sampai dengan 350 (tiga ratus lima puluh) mil.

4.Indonesia juga dapat mengelola kepentingan-kepentingan diluar ZEE (laut bebas) dan diluar rezim Continental Shelf (Landas Kontinen).

5.Indonesia telah menandatangani dan meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 dengan Undang-Undang No. 17 / 1985. Sementara itu Indonesia juga sudah mengundangkan Konsepsi ZEE dengan Undang-Undang No. 5 / 1983, yang kemudian dalam perkembangannya disusul dengan Undang-Undang No. 9 / 1985, Undang-Undang No. 31 / 2004 dan selanjutnya Undang-Undang No. 45 / 2009 tentang Perikanan.

Sementara itu, dalam mempersiapkan berlakunya Konvensi Hukum Laut 1982, Indonesia telah aktif berpartisipasi dalam persiapan membentuk dan mendirikan badan-badannya, khususnya International Seabed Authority (ISA) di Jamaika, International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) di Hamburg, Germany dan Continental Shelf Commision (CSC) di New York. Walaupun diantara ketiga badan-badan tersebut Indonesia hanya menjadi anggota aktif pada International Seabed Authority (ISA).

Indonesia juga aktif mengembangkan dan merumuskan Implementing Agreement 1994 tentang Seabed Mining, dan telah meratifikasinya. Selain itu, Indonesia juga aktif dalam merumuskan Implementing Agreement 1995 mengenai Pengelolaan Perikanan yang bermigrasi jauh di ZEE dan laut bebas, akan tetapi Indonesia sampai saat ini beum meratifikasinya.

Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 saat ini adalah aturan yang sangat komphrehensif dalam hal mengatur urusan kelautan, dan dalam perkembangannya mengalami proses-proses yang sangat rumit. Dari sekian banyak bidang-bidang kelautan yang ada dalam Unclos 1982, maka pembahasan selanjutnya akan melakukan kajian terkait dengan Kawasan Dasar Laut (International Seabed Area).


C.International Seabed Area (Kawasan)

Pada tahun 1873 petualang melakukan ekspedisi di perairan laut hindia, lalu menemukan adanya nodul yang berukuran sebesar kentang yang berhamburan melintangi kawasan dasar laut.Setelah dilakukan penelitian yang mendalam, ternyata diketahui bahwa nodul tersebut merupakan campuran dari emas yang memiliki kualitas yang sangat baik.Tidak hanya campuran emas melainkan juga mengandung campuran timah, nikel dan kekayaan mineral lainnya.

Sehingga pada tahun 1970, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di kawasan dasar laut menjadi industri pertambangan yang sangat mahal nilainya bagi kepentingan ekonomi.Sehingga kegiatan di Kawasan Dasar Laut perlu diatur, dan terdapat dalam Unclos pada Bab XI. Definisi Kawasan adalah “Area means the seabed and ocean floor and subsoil thereof, beyond the limits of national jurisdiction” , yang artinya “Kawasan berarti dasar laut, dasar samudera, dan tanah di bawahnya di luar batas-batas yurisdiksi nasional”.

Yang dimaksud di luar batas-batas yurisdiksi nasional adalah kawasan tersebut bukan berada pada rezim landas kontinen suatu negara. Sedangkan definisi dari sumber kekayaan adalah”resources means all solid, liquid, or gaseous mineral resources in situ in the Area at or beneath the sea-bed including polymetalic nodules”
Artinya “kekayaan berarti segala kekayaan mineral yang bersifat padat, cair, atau gas di kawasan atau di bawah dasar laut termasuk nodul polimetalik.Serta Kekayaan yang dihasilkan dari Kawasan itu dinamakan mineral.

Kawasan dasar laut dan tanah di bawahnya yang diatur oleh Bab XI Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut tunduk pada rezim hukum internasional, yaitucommon heritage of mankind artinya warisan bersama umat manusia. Di Kawasan tidak boleh ada negara yang mengklaimkedaulatan karena semua kekayaannya hanya untuk kepentingan seluruh umat manusiayang dikelola oleh suatu badan internasional, yaitu Badan Otorita Dasar Laut Internasional International Sea-Bed Authority (ISBA), sehingga pertambangan di Kawasan terutama yangdilakukan oleh negara-negara maju yang mempunyai teknologi dan sumber daya manusia harus berdasarkan persetujuan ISBA.


D.International Seabed Authority (ISA)

Resolusi Pertama dari Unclos 1982 adalah mendirikan sebuah Komisi Persiapan untuk mendirikan Otorita Kawasan Dasar Laut dan Pengadilan Internasional Hukum Laut, atau yang dikenal dengan istilah “Prepcom”.Komisi Persiapan ini mulai beroperasi pada tahun 1973. Selanjutnya, dalam tambahannya Komisi Persiapan membentuk ketentuan tanggung jawab untuk hal-hal administrasi dari persiapan perlindungan investasi.

International Sea-Bed Authority adalah organisasi otonom yang memiliki fungsi sebagai alat legitimasi formil untuk menyetujui kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di kawasan dasar laut serta bersama-sama mengelola hasil kekayaannya.karena diketahui bahwa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di kawasan dasar laut menghasilkan industri yang besar, maka Otorita didirikan sebagai badan yang membatasi dan mencegah kesewenang-wenangan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh negara maju.

International Seabed Authority ini selanjutnya dikenal dengan istilah “Otorita”, Otorita Kawasan Dasar Laut tidak lahir dari implementasi Bab XI Unclos 1982, melainkan sudah ditetapkan ketentuannya dalam Pasal 1 ayat (2) “Authority, means the International Seabed Authority” yang artinya Otorita adalah Badan Otorita Internasional, dan diatur lebih khusus lagi ke dalam bentuk perjanjian “Implementing Agreement 1994”. Otorita memiliki kantor pusat di Kingston, Jamaika, 16 November 1994, setelah berlakunya Konvensi 1982.Otorita mulai beroperasi secara penuh sebagai organisasi internasional otonom pada bulan Juni 1996, ketika mengambil alih tempat dan fasilitas di Kingston, Jamaika yang sebelumnya digunakan oleh PBB Kingston Kantor Hukum Laut. Rapat Otorita diadakan di Pusat Konferensi Jamaika di Kingston pusat kota.


a.Fungsi International Seabed Authority
Pengawasan produksi dilakukan oleh Badan Otorita Internasional atas kekayaan di Kawasan yang di dalamnya terdapat minyak, gas, dan mineral lainnya.Pihak yangmelakukan produksi di Kawasan adalah negara atau perusahaan setelah mendapat izindari ISBA tersebut sebagaimana diatur oleh Pasal 151 Konvensi Hukum Laut 1982. Produksidi Kawasan berupa “activities in the Area means all activities of exploration for, and exploitationof, the resources of the Area”

Alih Teknologi Alih teknologi (transfer of technolgy) dan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) dilakukan oleh ISBA bekerja sama dengan negara-negara maju yang diperuntukkan bagiperusahaan dan negara-negara berkembang sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 144Konvensi Hukum Laut 1982.

Kelembagaan yang mengatur pengelolaan kekayaan di Kawasan adalah dilakukan oleh Badan Otorita Internasional atau ISBA.Pasal 156 Konvensi Hukum Laut 1982menyatakan bahwa semua negara peserta Konvensi adalah ipso facto anggota ISBA yangberkedudukan di Jamaika.ISBA dapat membentuk pusat-pusat regional yang diperlukan bagi pelaksanaan fungsi Otorita. Badan Otorita ini mempunyai badan-badan utama (principalorgan), yaitu Majelis (an Assembly), Dewan (a Council), Sekretariat (a Secretariat), danPerusahaan (the Enterprise).

Dalam kerangka penyelesaian sengketa tentang pemanfaatan kekayaaan di Kawasan tersebut telah dibentuk Kamar Sengketa Dasar Laut yang merupakan bagian dari PengadilanInternasional Hukum Laut (Sea-Bed Disputes Chamber of the International Tribunal for theLaw of the Sea).Kamar Sengketa Dasar Laut tersebut mempunyai jurisdiksi atas kegiatandi Kawasan yang dilakukan oleh Negara, perusahaan, organisasi internasional atau kontrak-kontrak antara ISBA dengan pihak lainnya sebagaimana diatur oleh Pasal 186-187 Konvensi Hukum Laut 1982.

Demikian juga Chamber harus memberikan pendpat berupa nasihat (advisory opinion) atas permintaan Majelis atau Dewan mengenai persoalan hukum yangtimbul dalam ruang lingkup kegiatan di Kawasan sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 191 Konvensi Hukum Laut 1982.



Hak dan Kewajiban Indonesia
Kawasan yang berada di luar jurisdiksi nasional (landas kontinen) dan berada di bawah pengelolaan Badan Otorita Dasar Laut Internasional atau ISBA itu mempunyai status common heritage of mankind, yaitu semua kekayaan di Kawasan adalah warisan bersama umat manusia. Oleh karena itu tidak ada kewajiban khusus yang dimiliki oleh setiap Negara termasuk Indonesia. Kewajiban Indonesia adalah berpartisipasi dalam eksplorasi dan eksploitasi bekerja sama dengan negara, organisasi internasional, atau perusahaan dalam negeri atau asing.



Peran Indonesia

1.Indonesia seharusnya konsentrasi menjaga dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam di laut baik hayati maupun nonhayati yang berada di bawah kedaulatan dan jurisdiksi Indonesia, seperti di perairan kepulauan, laut territorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen.

2.Pemerintah Indonesia harus aktif mengikuti sidang ISBA yang dilakukan setiap tahun, untuk mengikuti perkembangan-perkembangan mengenai potensi pertambangan di dasar laut.




Contoh Kasus
Pada tahun 2008, Republik Nauru mensponsori Nauru Ocean Resources Inc untuk melakukan eksplorasi Polymetalik. Permohonan diajukan terkait dengan intepretasi Pasal 148, Pasal 150 sub huruf c, dan Pasal 152 ayat 2, terkait dengan tanggung jawab dan kewajiban sehingga negara berkembang mampu untuk menilai apakah pengaturan di dalam pasal - pasal ini akan mempengaruhi kemampuan negara dalam melakukan eksplorasi, sehingga pada gilirannya mampu untuk membuat keputusan tentang jadi atau tidaknya melakukan eksplorasi di suatu kawasan. Seabed Disputes Chamber of the International Tribunal for the Law of the Sea :

“Sponsoring States have two kinds of obligations under the Convention and relatedinstruments:

A.The obligation to ensure compliance by sponsored contractors with theterms of the contract and the obligations set out in the Convention and relatedinstruments

B.Direct obligations with which sponsoring States must complyindependently of their obligation to ensure a certain conduct on the part of thesponsored contractors.

1 komentar:

  1. Izin copas untuk referensi tugas, Pak. Terima kasih tulisan Bapak sangat membantu saya.

    BalasHapus

Powered By Blogger